Bab 5 Usaha Sendir Mulai Berdiri
Tanpa berkata lagi, Bu Ria lantas meninggalkan ku. Jelas sekali raut wajahnya tampak kesal sekaligus khawatir. Sebab, dengan apa yang barusan aku sampaikan, hal itu pasti membuat Bu Ria takut lantaran akan ada orang yang menyaingi usahanya.
"Ini baru awal, Bu," batinku. Menatap ibu mertuaku yang dilanda kegelisahan.
***
Di pagi harinya, ketika fajar mulai menampakkan sinarnya, aku telah bersiap untuk menjalankan rencanaku hari ini. Dengan berpura-pura akan balik ke kampung halamanku, yang padahal sebenarnya aku
ingin menemui
seseorang untuk kumintai bantuannya.
"Aku pamit, ya, Mas," kataku saat melewati Mas Indra yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Loh, sepagi ini kamu berangkatnya?" tanya Mas Indra heran. Langkahku pun terhenti seketika.
"Iya, biar gak macet di jalan. Lagian kan jauh. Dah, ya, aku pergi. Assalamualaikum." Aku kembali melanjutkan langkahku.
"Gak salim dulu?!" tanya Mas Indra sedikit berteriak. Namun, aku abaikan karena memang tak berniat untuk melakukan kebiasaan yang sebelum-sebelumnya aku lakukan itu.
Tepat sebelum aku menghidupkan mesin motorku, di saat itu tiba-tiba ibu mertuaku muncul dari dalan rumah. Terlihat jelas raut wajah sumringah terpancar dari wanita berusia setengah abad itu.
Ada apa dengannya? Bukankah baru kemarin ia merasa gelisah lantaran akan ada seseorang yang menyainginya?
"Hati-hati di jalan, ya, Na!" seru Bu Ria yang berdiri di teras rumah sambil melambaikan telapak tangannya.
Ah, geli kali aku melihatnya
"Iya, Bu. Insyaa Allah," balasku. Lalu mulai menghidupkan mesin sepeda motorku dan melaju meninggalkan rumah Bu Ria.
Setelah hampir setengah jam berkendara, aku memasuki sebuah jalan yang menuju kampung di pinggiran kota. Salah satu rumah di kampung ini lah yang akan menjadi tujuan ku kali ini.
Ketika sepeda motorku telah memasuki sebuah halaman rumah yang lumayan luas, di saat itulah ada seorang wanita yang sedang berdiri di teras rumah yang aku tuju. Wanita yang usianya seperantaraan denganku itu bernama Rika.
Rika adalah teman baikku. Kami sudah mengenal sejak di bangku SMA. Rika sendiri belum menikah, padahal usianya sudah hampir kepala tiga. Walau begitu, wanita berkulit sawo matang itu cukup beruntung dalam hal perekonimiannya.
Sebab sejak lulus dari sekolah, ia sudah belajar menekuni usaha yang sebelumnya didirikan oleh ke dua orang tuanya. Usaha rumah makan jawa yang lumayan ramai di kota Solo ini.
"Assalamualaikum," ucapku sembari mendatangi Rika.
"Wa'alaikumsalam," sambut Rika yang tampak berseri.
"Kamu makin cantik, ya, masyaa Allah," puji ku pada wanita di hadapanku ini.
"Kamu juga, kok, masih cantik," balas Rika sambil tersenyum. Lalu meminta ku untuk duduk di kursi yang tersedia di teras.
"Tunggu sebentar, ya." Rika pun masuk ke dalam rumahnya yang terbilang cukup besar.
Setelah beberapa saat menunggu, Rika pun kembali dengan mengenakan pakaian yang lebih rapi dan membawa tas wanita berukuran sedang. Ditambah juga riasan make up yang membuatnya betul-betul terlihat agak berbeda dari sebelumnya. Semakin cantik dan tampak elegan.
"Kita pakai mobil ku aja. Biar lebih aman penyamarannya," ujar Rika tersenyum.
"Makasih, ya, Rik." Aku beranjak dari tempat duduk ku. Lalu mengingkuti langkah Rika menuju mobilnya yang terparkir di halaman.
Benar. Sebelumnya aku sudah menceritakan semuanya pada temanku itu lewat pesan singkat. Dari Mas Indra yang berselingkuh hingga perbuatan keluarga suamiku itu terhadapku selama ini, serta termasuk dengan rencana ku ke depannya.
Saat itu Rika sangat terkejut mendapati keadaan diriku yang demikian. Karena yang Rika tahu, selama ini aku hidup bahagia menjalani rumah tangga bersama Mas Indra. Di lain sisi, karena kala itu aku juga masih menjaga dan menghormati suamiku, aku sama sekali tak pernah menceritakan apa pun yang sudah dilakukan ibu mertuaku dan adik iparku kepada siapapun. Termasuk pada Rika, ibuku dan adikku.
Dan karena Rika adalah pengusaha rumah makan yang sekaligus teman baikku, sebab ini lah aku meminta bantuannya. Syukurlah, tanpa pikir panjang Rika pun menyetujuinya. Bahkan, ia juga bersedia untuk mengurus usaha ku kelak. Dalam artian, kami akan bekerja sama.
Yah, walaupun aku harus menjual semua milik perhiasanku untuk mengumpulkan modal. Karena sebenarnya, dari awal ketika aku bertekad untuk membuka usaha sendiri, aku hanya mempunyai tabungan sekitar lima juta saja.
"Kamu tenang aja, semuanya udah aku beliin kebutuhan kamu. Kita tinggal pergi ke ruko mu, dan nanti kebutuhan kamu langsung di antar ke sana," kata Rika di tengah perjalanan.
Jelas aku merasa sangat bersyukur mendengar apa yang dikatakan Rika barusan. Dia memang orang baik. Teman terbaik sampai detik ini.
"Ya Allah ... Rika makasih banyak, ya," ucapku dengan menahan buliran bening yang hampir terjatuh.
Mobil yang dikendari Rika terus melaju. Hingga beberapa saat kemudian tibalah kami
di ruko yang sebelumnya sudah disewakan untukku lewat Bu Intan. Dan tak lama setelah aku dan Rika sampai, dua mobil pick yang mengangkut kebutuhanku pun juga datang.Ya, semua yang kubutuhan untuk membuka usaha pagi ini telah diurus Rika dengan baik. Mulai dari gerobak, kulkas, kompor hingga meja yang lengkap dengan kursinya, serta kebutuhan yang lainnya.
"Ayo turun!" ajak Rika, lalu membuka pintu mobil.
Di saat para tenaga menurunkan barang-barang bawaannya dan di masukkan ke dalam ruko, di momen itu lah aku dibuat tak henti-hentinya bersyukur. Dibalik peristiwa menyedihkan yang melandaku, ada banyak orang yang masih baik dan peduli padaku.
Jelas, aku akan mengingat dengan jelas orang-orang yang menyerupai malaikat itu. Bu Intan yang dengan baiknya memberikan ku bantuan menyewa ruko tanpa mengeluarkan uang seperser pun. Ayuk, orang yang selalu memberiku semangat. Dan sekarang ada Rika. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan melupakan kebaikan mereka.
"Semuanya berapa, Rik?" tanyaku ketika semua barang-barang yang aku butuhkan telah tertata rapi di dalam ruko.
"Ini, ya." Rika menyerahkan secarik kertas yang merupakan nota pembelian.
Aku meraih kertas tersebut dan membacanya dengan seksama. Lalu mengeluarkan hp ku dari dalam tas yang aku bawa.
"Aku transfer sekarang, ya," kataku.
"Boleh," jawab Rika sambil menyunggingkan senyumannya.
Aku menatap Rika sambil mengulas senyum. Ada rasa bahagia sekaligus bangga karena telah mengenalnya. "Makasih banyak, ya, Rik," kataku lagi. Satu tetes air mataku akhirnya terjatuh.
"Sama-sama, Na." Rika mengusap lembut bahu ku. Memintaku menghapus air mata yang membahasi pipi ku.
"Udah, jangan nangis lagi. Sekarang waktunya kamu berjuang," papar Rika.
"Iya, makasih, ya."
Sebelum pulang, aku dan Rika kembali membahas bagaimana kedepannya aku akan menjalankan usaha ku ini. Karena bagaimanapun aku tetap harus bekerja di warung mie ayam milik Bu Ria. Sedangkan, untuk juru masak di warung ku sendiri aku belum mendapatkannya.
Bab 6 Persaingan Dimulai "Udah, jangan nangis lagi. Sekarang waktunya kamu berjuang," papar Rika. "Iya, makasih, ya."Sebelum pulang, aku dan Rika kembali membahas bagaimana kedepannya aku akan menjalankan usaha ku ini. Karena bagaimanapun aku tetap harus bekerja di warung mie ayam milik Bu Ria. Sedangkan, untuk juru masak di warung ku sendiri aku belum mendapatkannya. Di tengah-tengah kebingungan yang sedang melanda, tiba-tiba Rika bersuara. "Tetep kamu yang masak, Na. Kan, untuk ayamnya gak tiap hari masak, to? Jadi kedepannya bisa lah diakalin. Dan untuk pelayannya nanti biar aku minta dua pekerja ku bantu di sini. Lagian kan sekarang kita parnert kerja," kata Rika lalu menyunggingkan senyuman. Mendengar apa yang dikatakan teman baik ku itu, sontak membuat semangat ku kembali terbakar. Aku kembali bersemangat untuk bisa membangun usaha ku kali ini. Sampai akhirnya Aku dan Rika mengurungkan niat kami untuk pulang. Kami memutuskan untuk pergi ke pasar guna membeli kebutuhan bah
Bab 7 Kedatangan Bu Ria Di Warung Nana Sementara aku, merasa mood-ku mulai kembali setelah mendengar semangat yang disebarkan oleh teman baikku itu. Lalu bersiap di depan gerobak untuk meracik pesanan dari pelanggan pertama. Dari depan tungku, netra ku terus saja memperhatikan mobil yang baru saja terparkir. Dan setelah pemilik mobilnya itu turun, betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa orang tersebut. Dia adalah ... Bu Intan. Aku benar-benar tak menyangka kalau pelanggan pertamaku adalah Bu Intan. Tentu saja mendapati hal demikian, aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk wanita yang sudah membantuku itu. Bu Intan berjalan dengan elegan memasuki warung. "Assalamualaikum, Nana," sapa Bu Intan sambil tersenyum. "Wa'alaikumsalam, Bu Intan ...," balasku ramah seraya mengulas senyum manis ke arah wanita yang cukup berjasa untuk ku itu. "Tolong buatin dua puluh porsi mie ayam bakso, ya," pesan Bu Intan. Kedua mataku terbuka lebar seketika. "Du-dua puluh, Bu?" balasku
Bab 8 Diminta PulangDengan memasang wajah tegap, Rika berkata, "memangnya ada urusan apa sampai mencari pemilik warung ini? Ada masalah kah?" Rika menatap tajam ke arah Bu Ria.Setelah mendapat balasan demikian, aku pikir ibu mertuaku itu akan menciut nyalinya. Tapi ternyata aku salah. Malah, Bu Ria bertindak di luar sangkaan ku yang membuatku tercengang. "Awas kamu!!" peringat Bu Ria dengan dua bola matanya yang hampir keluar. Lalu, meludah di depan Rika dan pergi dengan angkuhnya.Di momen itu, aku melihat sahabatku itu hanya bergeming sambil menatap dua wanita set*n itu pergi. Mungkin Rika terlalu syok lantaran baru kali ini ada orang yang meludah di depannya, yang mana hal itu bukanlah tindakan yang baik."Astaghfirullah ... ternyata sejahat itu ibu mertuaku," ucapku melihat sikap kasar dari Bu Ria.Aku tak pernah menyangka kalau wanita yang telah melahirkan suamiku itu rupanya bisa sekasar itu pada orang lain. Sekarang, aku sadar bahwa Bu Ria bukan hanya orang yang jahat, namun
Bab 9 Menjalankan Perintah dari Ibu Mertua "Halah! Kamu tuh tau apa soal usaha. Ibu itu minta kamu pulang buat ngerjain sesuatu. Bukan nasehatin Ibu!" balas Bu Ria ketus. "Ngelakuin sesuatu? Apa, Bu?" jawab ku yang sedikit terkejut sekaligus penasaran. Jangan-jangan, ibu mertuaku itu meminta ku untuk .... "Jangan bilang Ibu mau Nana pergi ke warung baru itu terus taruh kecoa mati lagi," tebak ku. "Hus! Ngawur kamu!" tegur Bu Ria tak terima. Aku terheran, ternyata tebakan ku salah. Lantas, apa yang dimaksud ibu mertuaku itu? "Ibu itu cuma minta Mbak Nana buat pergi ke warung baru itu!" timpal Jamilah dengan muka sinis nya. Hah? Aku tercengang mendengar perkataan adik iparku barusan. Apa aku tak salah dengar? Ya kali wanita tua itu memintaku pulang hanya untuk mendatangi warung baru yang katanya adalah saingan bisnisnya itu. Lagipu
Bab 10 Nana Mau Jujur?"Lagian, tumben kamu di sini, Mas? bukannya ini masih jam kerja, ya?" tanyaku. Mencoba mengalihkan pembicaraan sekaligus mencari jawaban atas rasa penasaranku.Mendengar pertanyaan yang aku ajukan barusan, membuat perubahan raut wajah Mas Indra terlihat jelas. Suamiku itu tampak gugup seolah bingung memberikan jawaban yang tepat. Tentu karena hal tersebutlah yang membuatku merasa curiga kalau pasti ada yang sedang disembunyikan dari pria yang menikahi ku beberapa tahun silam itu."Kenapa, Mas? sakit? apa dipecat?" tanyaku lagi.
Bab 11 Usulan Tidak Masuk AkalBu Ria terdiam. Sorot matanya tampak jelas berbeda dari sebelumnya, yang mana kini terlihat nyalinya sedikit menciut setelah mendengar perkataan ku barusan.Tak lama setelah itu, Mas Indra juga keluar dari dapur. Ia berdiri tepat di belakangku."Udah, ya, Bu ... Nana mau jujur," ucapku sambil sedikit melirik ke arah Mas Indra.Saat itu, dengan sengaja aku tak langsung melanjutkan ucapanku, sehingga membuat situasi terasa amat menegangkan. Dan betul saja, sekilas aku melihat raut wajah dari suamiku yang tampak gelisah.Entah, entah apa yang ada dipikiran Mas Indra kala it
Bab 12 Lebih Dari Yang DikiraSengaja. Benar, aku sengaja mengeluarkan kata-kata barusan. Toh, pada kenyataannya memang benar kan kalau Tiyem tidak hanya seperti keluarga sendiri, melainkan sudah menjadi bagian dari keluarga Mas Indra.Bu Ria dan Mas Indra pun terdiam satu sama lain. Tampak jelas raut wajah mereka berdua mendadak berubah grogi. Yang mana aku yakin, dua orang di dekat ku itu pasti merasa tersentil dengan ucapanku barusan."Udah ah, usulan kamu tuh gak masuk akal," ucap Bu Ria seraya kembali masuk ke dalam warung. Diikuti oleh anak lelakinya yang nampaknya juga mulai jengkel dengan sikapku.Aku pun hanya tertawa kecil melihat tingkah dua manusia itu. Hampir saja mereka terbod*hi olehku.***Malamnya di saat aku tengah tertidur, tiba-tiba aku terbangun karena mer
Bab 13 Menjual Sawah?"Mas, kalau aku mimpi buruk lagi kayak gitu, terus aku gila, usaha ibu bisa jadi bangkrut karena gak ada yang masak seenak masakan ku. Mau kayak gitu?" ancam ku.Akhirnya, dengan sangat terpaksa Mas Indra pun mengiyakan pengusiran yang aku lakukan itu. Apalagi, tindakan ini didukung langsung oleh Bu Ria yang khawatir kalau usahanya akan bangkrut beneran.***Pagi harinya, ketika matahari belum memunculkan sinarnya, aku yang sudah rapi hendak pamit pada Mas Indra yang masih tertidur di sofa ruang tengah. Karena kejadi