Share

Izin Pulang Kampung

Author: OptimisNa_12
last update Last Updated: 2024-02-09 14:31:50

Bab 4 Izin Pulang Kampung

"Iyaa ...," jawabku dengan suara lemah. Lantas berjalan ke arah gerobak yang tak jauh dari ku seraya menatap tajam ke arah Mas Indra yang malah ikut memerintah ku dan bukannya membantuku. 

Di momen itu, aku melihat jelas perubahan suamiku. Wajar, mungkin karena sekarang bukan aku lagi yang mengisi hatinya. Tak apa, toh, setelah ini aku akan berpisah dengannya. 

"Tunggu saja, Mas. Pernikahan keduamu ini adalah langkah awal menuju kesuksesanku."

Dengan perasaan yang harus dipaksa untuk kuat, aku mengantarkan pesanan untuk Tiyem dan lainnya. 

"Permisi, Mbak," ucapku seraya meletakkan satu per satu mangkok bergambar ayam jago di atas meja. 

"Makasih, ya, Na," balas Tiyem sambil mengembangkan senyumannya. Betul-betul merasa tak bersalah pada ku. 

Aku menyunggingkan senyumku. "Iya, Mbak."

"Oya, kamu gabung sekalian aja, soalnya kan aku mau bahas kerja sama antara salonku sama warungnya Bu Ria," ujar Tiyem yang membuatku terheran-heran. 

Kerja sama? kerja sama apa yang ia maksudkan? Dan, mengapa Mas Indra atau ibu mertuaku tak pernah mengatakan hal ini sebelumnya padaku. 

"Gak usah ngajakin dia, Yem. Nanti kalau ada pelanggan, malah repot gak cepet-cepet keurus," sahut Bu Ria sembari merapikan uang-uangnya, lalu memasukkannya ke dalam meja kasir. 

Bu Ria lantas berjalan ke arah di mana kami berada. Lalu duduk di bangku bersebelahan dengan anak lelakinya. 

"Ini tuh jam kerjanya Nana, jadi gak usah ngajakin dia. Lagian, kerja sama kita itu gak butuh persetujuan dari dia," papar Bu Ria. 

"Tapi, Bu ...." Tiyem menggantungkan ucapannya. Entah, alasan apa yang membuatnya seakan aku ingin tetap bersamanya. Ingin pamer kemesraan kah? 

"Bener kata ibu, Mbak. Aku gak usah ikut. Lagian kerja sama kayak gimana, emangnya aku bakal mudeng?" ujar ku sambil tertawa palsu. 

"Yaudah ...," balas Tiyem yang tampak agak kesal lantaran keinginannya tak tersampaikan. 

"Oya, Mas Indra." Mas Indra seketika menoleh ke arahku. "Besok aku izin, ya mau pulang kampung. Paling tiga hari lah di sana."

"Tiga hari?!" potong Bu Ria dengan mata terbelalak. Ia pun mendongakkan kepalanya ke arahku. Menatap marah padaku. "Kalau kamu pergi, terus siapa yang masak? Yang jualan?!" sergahnya. 

Mas Indra lantas berdiri dan melihat ke arahku. "Lagian kenapa harus pulang? Ibuk mu baik-baik aja, kan?" tanya Mas Indra. 

"Masalahnya itu, Mas. Ibuk minta aku cepet pulang karena beliau pengen ngurus tanah peninggalan bapak buat dibagi sama aku dan adikku, Bayu."

Tiba-tiba Bu Ria bangkit dari tempat duduknya. Wanita bertubuh gemuk itu lantas mendekatiku. 

"Ibuk mu sakit? Sakit apa? Terus kenapa kamu gak bilang sama Ibu? Biar bagaimanapun kan ibuk mu itu besannya Ibu," ucap Bu Ria yang kini nada bicaranya lebih menurun.

Benar. Setelah mendengar alasanku untuk pulang ke kampung, ibu mertuaku itu seketika merubah sikapnya padaku. Hal itu pasti didasari karena mereka mengira aku akan mendapatkan warisan dari mendiang bapakku. 

Di mana sebenarnya tanah yang dimiliki orang tuaku itu memang cukup luas. Yah, kalau dibangun rumah dengan 10x10 meter, pasti muat dengan tiga rumah. Dan tentu saja hal ini diketahui oleh suamiku dan ibunya itu. 

Aku juga percaya, karena ini lah yang lantas membuat ibu mertuaku itu mengizinkanku untuk segera pulang. Bahkan sampai menawarkan anak lelakinya untuk mengantarku. 

"Biasalah, Bu. Sakitnya orang tua," jawabku. 

"Besok biar diantar Indra pulang. Kalau perlu berangkat sekarang juga boleh," ujar Bu Ria yang terlihat lebih bersemangat. 

"Tapi, Bu," tukas Tiyem seraya beranjak dari bangkunya. Sontak yang lainnya pun menoleh ke arahnya. 

"Kalau Mas Indra pergi hari ini, terus kerja sama kita gimana?" tanya Tiyem. 

Bu Ria menatap bingung ke arahku dan bergantian ke arah menantu barunya itu. Wanita tua ini pasti dibuat bimbang lantaran harus bersikap bagaimana. 

Sebab, jika ia menuruti perkataan Tiyem, itu artinya ia akan kehilangan diriku, yang mana menurut mereka sebentar lagi akan mendapatkan harta warisan. 

Dan aku yakin pasti kalau Tiyem, si wanita berambut panjang itu juga merasa cemburu jika suaminya pergi bersamaku. Ah, dasar pelakor! Padahal, Mas Indra sendiri masih berstatus suamiku. 

"Gak usah, Bu. Nana pergi sendiri aja besok. Lagian Mas Indra kan harus masuk kerja. Nanti kalau bolos, kasihan, uang gajinya kepotong," tolak ku sambil sedikit tersenyum.

Mas Indra berjalan mendekat ku. Tepat di hadapanku, pria yang menikahi ku beberapa tahun yang lalu itu hendak meraih tanganku. Namun, lekas aku menepisnya lantaran aku tak sudi lagi disentuhnya. 

"Maaf, Mas. Aku beresin gerobak dulu." Aku melengos begitu saja tanpa memedulikan Mas Indra. 

Aku terus menyibukkan diriku di depan gerobak. Berpura-pura membereskan tempat yang dijadikan pusat pembuatan mie bertopingkan daging ayam dan kawan-kawannya itu. 

Hingga tiba-tiba datanglah dua orang pelanggan yang akan memesan mie ayam. 

"Mbak, dua ya. Makan di sini," pesan salah seorang yang baru saja datang. 

"Iya, Mbak. Minumnya apa, nggih?" tanyaku. 

"Es teh aja, dua," balas seorang yang lain. 

"Baik, Mbak." 

Dua orang tersebut lantas berjalan menuju meja pelanggan yang kebetulan bersebelahan dengan tempat Mas Indra juga Tiyem membahas yang katanya kerja sama. Padahal, sesekali aku menengok kedua pengkhianat itu sedang menunjukkan kemesraannya. 

"Bik! Es teh dua!" teriakku memberitahu Bik Inah yang berada di dapur warung. 

"Iyaaa!!" balas bik Inah yang juga berteriak. 

Di saat diriku sedang mempersiapkan pesanan, tiba-tiba Bu Ria menepuk pundak ku yang membuatku terkejut. 

"Kenapa, sih, Bu?" tanyaku kesal. 

"Kenapa, kenapa? Jangan teriak-teriak kalau lagi ada pelanggan. Gak sopan!" peringat Bu Ria setengah berbisik. Lalu kembali ke tempatnya tanpa menunggu balasanku. 

Tak ku hiraukan lah peringatan yang baru saja diberikan oleh ibu mertuaku itu. Toh, teriakan semacam ini memang aku sengaja supaya menciptakan image buruk untuk usahanya. 

Seperti biasa, setelah pesanan telah diselesaikan, itu artinya saatnya aku  mengantarkannya pada pembeli. Dan di momen itu, aku memaksimalkan fungsi dari telingaku untuk mencuri obrolan antara orang-orang licik di meja sebelah. 

"Permisi, Mbak," ucapku ramah sembari meletakkan pesanan mie ayam pada dua wanita berhijab tersebut. 

"Terima kasih, Mbak ...."

Aku tersenyum ramah, lalu secara perlahan membalikkan badan dan kembali ke depan. 

"Ck! Kok pas pada makan, sih!" gerutu ku karena tak mendapatkan informasi apapun dari obrolan Mas Indra dan Tiyem.

Padahal, aku sangat penasaran dengan kerja sama yang mereka maksudkan. Yang mana menurutku agak tak masuk akal, lantaran salon dan warung mie ayam yang saling bekerja sama.

"Ah, masa iya, selesai dari salon lalu dapat mie ayam gratis?" pikirku. 

***

Beberapa saat kemudian, ketika warung sudah mendekati jam tutup, aku yang masih beberes kembali dikejutkan dengan pertanyaan dari ibu mertuaku. 

"Nana, Bik Inah bilang kamu ada berita seru dari Bu Intan. Berita apaan?" tanya Bu Ria penasaran. 

"Eee, anu, Bu ... itu ...."

"Anu apa?!" 

"Kata Bu Intan, ruko sebelah tokonya beliau bakal di buka warung mie ayam juga. Malah ada baksonya," kataku. 

Dan sesuai dengan perkiraan ku, ibu mertuaku itu seketika terkejut setengah mati. 

"Serius kamu?" tanya Bu Ria memastikan. 

Dengan cepat aku mengangguk. "Iya, Bu. Serius."

Tanpa berkata lagi, Bu Ria lantas meninggalkan ku. Jelas sekali raut wajahnya tampak kesal sekaligus khawatir. Sebab, dengan apa yang barusan aku sampaikan, hal itu pasti membuat Bu Ria takut lantaran akan ada orang yang menyaingi usahanya. 

"Ini baru awal, Bu," batinku. Menatap ibu mertuaku yang dilanda kegelisahan. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   TAMAT

    Part 20 TAMAT"Aku gak mau basa-basa, to the poin aja, mau apa kamu ke sini?" tanya ku pada Mas Indra. "Na, Mas ke sini mau bilang—""Bilang apa? cepetan, aku gak ada waktu!"tukas ku masih tetap memasang wajah cuek. "Mas minta maaf ya sama kamu."Aku tertawa kecil seraya menatap tajam sebentar ke arah Mas Indra. "Gak usah minta maaf—""Tapi, Na," tukas Mas Indra yang membuat ku menoleh ke arahnya. "Mas banyak salah sama kamu. Jadi sudah seharusnya Mas minta maaf ke kamu."Aku menghela napas kasar. "Udah ya, Mas, Nana capek sama semua drama ini.""Drama? maksud kamu?" timpal Mas Indra. Kamu menatap serius ke arah pria di hadapan mu itu. "Mas, aku udah tau ya hubungan kamu sama Tiyem itu gimana."Mas Indra terkejut mendengar ucapan ku barusan. Ekspresinya yang tadi tampak melas pun mendadak berubah gelisah disertai keringat yang mulai membasahi wajahnya. "Kalian udah nikah, kan?""Na, Mas minta maaf ya," ucap Mas Indra cepat. "Aku bilang Mas gak perlu minta maaf!""Nana ...."Aku

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Mulai Terang-terangan

    Bab 19 Mulai terang-terangan "Mulai sekarang kamu bukan menantuku lagi!" Seketika aku menoleh ke arah Bu Ria dan Mas Indra yang menatapku dari teras rumah. "Aku juga udah gak sudi punya mertua kayak kamu!" balasku, lalu melajukan sepeda motorku. Karena sudah terlanjur diusir, kini tak ada lagi yang perlu aku tutup-tutupi perihal usahaku. Benar, setelah diusir dari rumah mertua ja*ha*nam itu, aku melajukan sepeda motorku ke arah ruko tempat aku jualan. Tentu saja tanpa memedulikan Bu Ria ataupun Mas Indra yang masih memperhatikanku dari teras rumah mereka. "Mbak Nana!" seru Lia yang melihatku tiba-tibadatang dengan membawa banyak barang. Mendengar seruan dari Lia barusan, membuat sahabatku Rika juga muncul dari dalam ruko. Ria berjalan menghampiriku dengan raut wajah terheran-heran sekaligus tak menyangka. "Kamu diusir, Na?" tanya Rika. Entahlah, sudah jelas aku membawa koper dan juga banyak barang, kenapa masih ada pertanyaan seperti itu. Aelah Rika. "Tolong bantuin dong,"

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Di Usir

    Bab 18 Di UsirMendapati hal tersebut aku hanya tersenyum senang. Benar-benar merasa di atas angin lantaran pihak musuh yang akhirnya membutuhkanku. Sampai tiba-tiba panggilan telepon dari Mas Indra kembali masuk. Karena penasaran dengan apa yang ingin dikatakan suamiku itu, aku pun mengangkat panggilannya tersebut."PULANG!!!" bentak Mas Indra tepat setelah aku menerima panggilannya.Terkejut. Jelas aku terkejut karena dari satu kata yang keluar dari mulut pria jelek itu membuatku langsung naik pitam. Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan sehingga membentakku seperti itu? mungkinkah karena aku pergi tanpa pamit?"Gak usah teriak, Mas, aku gak budeg!" balasku. Enak saja mau marah-marah tak jelas."Alah udah lah! mending kamu pulang sekarang atau kamu bakal menyesal." Tanpa menunggu respon dari ku, Mas Indra malah mematikan hp nya begitu saja."Dasar mokondo! awas aja ya lu!" gerutuku."Kenapa, Na?" tanya Rika.Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Menghela napas sejenak lalu menjelaska

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Pergi Tanpa Pamit

    Bab 17 Pergi Tanpa Pamit"Udah lah, Na, jangan marah terus," ujar Mas Indra. "Aku ke sini mau tanya sesuatu ke kamu."Aku tersenyum kecut. Dugaanku benar rupanya. Mas Indra mendatangiku bukan untukku melainkan karena hal lain. Dasar laki-laki kampret!Tapi ... kira-kira hal apa ya yang ingin ditanyakan suamiku itu?"Udah lah, Mas, kamu ngapain ke sini?" tanyaku ketus.Mas Indra tak langsung menjawab. Ia malah tampak ragu namun pada akhirnya berucap juga."Ibu ... nanyain soal sawah kamu gimana?""Ha?!" aku terkejut. Baru saja mengomeliku dan sekarang sudah menanyakan soal sawah. Betul-betul mertua mata duitan!"Emang kenapa sawahnya? lupa ya tadi abis marahin aku?""Udah dong, Na ... maafin ibu, ya? ibu tadi cuma gak pengen kamu berantem sama Tiyem.""Terus kenapa yang dibela Tiyem? bukannya aku? aku masih menantunya, kan?" tukasku.Mas Indra menelan ludahnya mendengar ucapanku barusan. Dari ekspresinya aku bisa menebak kalau ia mulai tak nyaman dengan sikapku. Biarlah, lagian siapa s

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Si Pengkhianat Itu ...

    Bab 16 Si Pengkhianat Itu ..."Emang sepenting apa, sih?" tanya Tiyem dengan nada meremehkan.Aku menatap secara bergantian tiga orang di hadapanku ini. Lalu mulai bersuara untuk menjelaskan maksud dari perkataanku sebelumnya. Namun sebelum itu, aku mengajukan syarat kepada Bu Ria untuk menelepon Mas Indra agar secepatnya pulang."Kenapa harus ada Indra?" tanya Bu Ria."Gak usah banyak tanya, tinggal mau gak Buuu?" balasku.Dengan menghela napas kesal akhirnya Bu Ria menuruti kemauanku. Ia menelepon anaknya untuk segera pulang.Dan benar saja, kurang dari dua puluh menit setelah Bu Ria menghubungi anak lelakinya itu, Mas Indra sudah srumah. Tentu saja hal itu semakin memperkuat dugaanku kalau suamiku itu pasti sudah tidak bekerja lagi. Sebab, normalnya jarak tempuh yang dilalui Mas Indra dari rumah ke tempat kerjanya itu bisa sampai tiga puluh hingga empat puluh menit."Ada apa, Bu? kok mendadak minta Indra pulang?" tanya Mas Indra sesaat setelah ia sampai."Loh, ada Tiyem juga to?" M

  • Aku Dan Pengkhianatan Suamiku   Nana Ketahuan

    Bab 15 Nana KetahuanBelum sempat aku membalas perkataan Bu Ria, tiba-tiba adik iparku si Jamilah datang dengan hebohnya."Ibuuuu!!!" teriak Jamilah."Kenapa sih kamu?" tanya Bu Ria."Ibu harus liat ini. Ternyata ada pengkhianat di warung kita, Bu," ucap Jamilah cepat.Mendengar kata pengkhianat, spontan aku sadar diri. Jangan-jangan Jamilah ....Aku semakin deg-degan ketika Jamilah menunjukkan layar hp nya ke hadapan ibunya. Saat itu aku teringat dengan postinganku yang ada di facebook mengenai promosi yang aku lakukan untuk usahaku.Dan benar saja, Bu Mirna langsung membelalakkan kedua matanya ketika melihat apa yang ada di layar ponsel Jamilah. Dengan raut wajah yang siap menerkam, ibu mertuaku itu lantas menghampiriku yang berada tak jauh darinya.Plakk!!Dengan keras Bu Ria melayangkan tangannya ke pipiku yang membuatku tertegun seketika.Perang antara mertua dan menantu kembali dimulai!"Mantu kurang aj*r kamu, ya! bisa-bisanya nusuk ibu mertuamu sendiri!" sergah Bu Ria sambil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status