Share

Izin Pulang Kampung

Bab 4 Izin Pulang Kampung

"Iyaa ...," jawabku dengan suara lemah. Lantas berjalan ke arah gerobak yang tak jauh dari ku seraya menatap tajam ke arah Mas Indra yang malah ikut memerintah ku dan bukannya membantuku. 

Di momen itu, aku melihat jelas perubahan suamiku. Wajar, mungkin karena sekarang bukan aku lagi yang mengisi hatinya. Tak apa, toh, setelah ini aku akan berpisah dengannya. 

"Tunggu saja, Mas. Pernikahan keduamu ini adalah langkah awal menuju kesuksesanku."

Dengan perasaan yang harus dipaksa untuk kuat, aku mengantarkan pesanan untuk Tiyem dan lainnya. 

"Permisi, Mbak," ucapku seraya meletakkan satu per satu mangkok bergambar ayam jago di atas meja. 

"Makasih, ya, Na," balas Tiyem sambil mengembangkan senyumannya. Betul-betul merasa tak bersalah pada ku. 

Aku menyunggingkan senyumku. "Iya, Mbak."

"Oya, kamu gabung sekalian aja, soalnya kan aku mau bahas kerja sama antara salonku sama warungnya Bu Ria," ujar Tiyem yang membuatku terheran-heran. 

Kerja sama? kerja sama apa yang ia maksudkan? Dan, mengapa Mas Indra atau ibu mertuaku tak pernah mengatakan hal ini sebelumnya padaku. 

"Gak usah ngajakin dia, Yem. Nanti kalau ada pelanggan, malah repot gak cepet-cepet keurus," sahut Bu Ria sembari merapikan uang-uangnya, lalu memasukkannya ke dalam meja kasir. 

Bu Ria lantas berjalan ke arah di mana kami berada. Lalu duduk di bangku bersebelahan dengan anak lelakinya. 

"Ini tuh jam kerjanya Nana, jadi gak usah ngajakin dia. Lagian, kerja sama kita itu gak butuh persetujuan dari dia," papar Bu Ria. 

"Tapi, Bu ...." Tiyem menggantungkan ucapannya. Entah, alasan apa yang membuatnya seakan aku ingin tetap bersamanya. Ingin pamer kemesraan kah? 

"Bener kata ibu, Mbak. Aku gak usah ikut. Lagian kerja sama kayak gimana, emangnya aku bakal mudeng?" ujar ku sambil tertawa palsu. 

"Yaudah ...," balas Tiyem yang tampak agak kesal lantaran keinginannya tak tersampaikan. 

"Oya, Mas Indra." Mas Indra seketika menoleh ke arahku. "Besok aku izin, ya mau pulang kampung. Paling tiga hari lah di sana."

"Tiga hari?!" potong Bu Ria dengan mata terbelalak. Ia pun mendongakkan kepalanya ke arahku. Menatap marah padaku. "Kalau kamu pergi, terus siapa yang masak? Yang jualan?!" sergahnya. 

Mas Indra lantas berdiri dan melihat ke arahku. "Lagian kenapa harus pulang? Ibuk mu baik-baik aja, kan?" tanya Mas Indra. 

"Masalahnya itu, Mas. Ibuk minta aku cepet pulang karena beliau pengen ngurus tanah peninggalan bapak buat dibagi sama aku dan adikku, Bayu."

Tiba-tiba Bu Ria bangkit dari tempat duduknya. Wanita bertubuh gemuk itu lantas mendekatiku. 

"Ibuk mu sakit? Sakit apa? Terus kenapa kamu gak bilang sama Ibu? Biar bagaimanapun kan ibuk mu itu besannya Ibu," ucap Bu Ria yang kini nada bicaranya lebih menurun.

Benar. Setelah mendengar alasanku untuk pulang ke kampung, ibu mertuaku itu seketika merubah sikapnya padaku. Hal itu pasti didasari karena mereka mengira aku akan mendapatkan warisan dari mendiang bapakku. 

Di mana sebenarnya tanah yang dimiliki orang tuaku itu memang cukup luas. Yah, kalau dibangun rumah dengan 10x10 meter, pasti muat dengan tiga rumah. Dan tentu saja hal ini diketahui oleh suamiku dan ibunya itu. 

Aku juga percaya, karena ini lah yang lantas membuat ibu mertuaku itu mengizinkanku untuk segera pulang. Bahkan sampai menawarkan anak lelakinya untuk mengantarku. 

"Biasalah, Bu. Sakitnya orang tua," jawabku. 

"Besok biar diantar Indra pulang. Kalau perlu berangkat sekarang juga boleh," ujar Bu Ria yang terlihat lebih bersemangat. 

"Tapi, Bu," tukas Tiyem seraya beranjak dari bangkunya. Sontak yang lainnya pun menoleh ke arahnya. 

"Kalau Mas Indra pergi hari ini, terus kerja sama kita gimana?" tanya Tiyem. 

Bu Ria menatap bingung ke arahku dan bergantian ke arah menantu barunya itu. Wanita tua ini pasti dibuat bimbang lantaran harus bersikap bagaimana. 

Sebab, jika ia menuruti perkataan Tiyem, itu artinya ia akan kehilangan diriku, yang mana menurut mereka sebentar lagi akan mendapatkan harta warisan. 

Dan aku yakin pasti kalau Tiyem, si wanita berambut panjang itu juga merasa cemburu jika suaminya pergi bersamaku. Ah, dasar pelakor! Padahal, Mas Indra sendiri masih berstatus suamiku. 

"Gak usah, Bu. Nana pergi sendiri aja besok. Lagian Mas Indra kan harus masuk kerja. Nanti kalau bolos, kasihan, uang gajinya kepotong," tolak ku sambil sedikit tersenyum.

Mas Indra berjalan mendekat ku. Tepat di hadapanku, pria yang menikahi ku beberapa tahun yang lalu itu hendak meraih tanganku. Namun, lekas aku menepisnya lantaran aku tak sudi lagi disentuhnya. 

"Maaf, Mas. Aku beresin gerobak dulu." Aku melengos begitu saja tanpa memedulikan Mas Indra. 

Aku terus menyibukkan diriku di depan gerobak. Berpura-pura membereskan tempat yang dijadikan pusat pembuatan mie bertopingkan daging ayam dan kawan-kawannya itu. 

Hingga tiba-tiba datanglah dua orang pelanggan yang akan memesan mie ayam. 

"Mbak, dua ya. Makan di sini," pesan salah seorang yang baru saja datang. 

"Iya, Mbak. Minumnya apa, nggih?" tanyaku. 

"Es teh aja, dua," balas seorang yang lain. 

"Baik, Mbak." 

Dua orang tersebut lantas berjalan menuju meja pelanggan yang kebetulan bersebelahan dengan tempat Mas Indra juga Tiyem membahas yang katanya kerja sama. Padahal, sesekali aku menengok kedua pengkhianat itu sedang menunjukkan kemesraannya. 

"Bik! Es teh dua!" teriakku memberitahu Bik Inah yang berada di dapur warung. 

"Iyaaa!!" balas bik Inah yang juga berteriak. 

Di saat diriku sedang mempersiapkan pesanan, tiba-tiba Bu Ria menepuk pundak ku yang membuatku terkejut. 

"Kenapa, sih, Bu?" tanyaku kesal. 

"Kenapa, kenapa? Jangan teriak-teriak kalau lagi ada pelanggan. Gak sopan!" peringat Bu Ria setengah berbisik. Lalu kembali ke tempatnya tanpa menunggu balasanku. 

Tak ku hiraukan lah peringatan yang baru saja diberikan oleh ibu mertuaku itu. Toh, teriakan semacam ini memang aku sengaja supaya menciptakan image buruk untuk usahanya. 

Seperti biasa, setelah pesanan telah diselesaikan, itu artinya saatnya aku  mengantarkannya pada pembeli. Dan di momen itu, aku memaksimalkan fungsi dari telingaku untuk mencuri obrolan antara orang-orang licik di meja sebelah. 

"Permisi, Mbak," ucapku ramah sembari meletakkan pesanan mie ayam pada dua wanita berhijab tersebut. 

"Terima kasih, Mbak ...."

Aku tersenyum ramah, lalu secara perlahan membalikkan badan dan kembali ke depan. 

"Ck! Kok pas pada makan, sih!" gerutu ku karena tak mendapatkan informasi apapun dari obrolan Mas Indra dan Tiyem.

Padahal, aku sangat penasaran dengan kerja sama yang mereka maksudkan. Yang mana menurutku agak tak masuk akal, lantaran salon dan warung mie ayam yang saling bekerja sama.

"Ah, masa iya, selesai dari salon lalu dapat mie ayam gratis?" pikirku. 

***

Beberapa saat kemudian, ketika warung sudah mendekati jam tutup, aku yang masih beberes kembali dikejutkan dengan pertanyaan dari ibu mertuaku. 

"Nana, Bik Inah bilang kamu ada berita seru dari Bu Intan. Berita apaan?" tanya Bu Ria penasaran. 

"Eee, anu, Bu ... itu ...."

"Anu apa?!" 

"Kata Bu Intan, ruko sebelah tokonya beliau bakal di buka warung mie ayam juga. Malah ada baksonya," kataku. 

Dan sesuai dengan perkiraan ku, ibu mertuaku itu seketika terkejut setengah mati. 

"Serius kamu?" tanya Bu Ria memastikan. 

Dengan cepat aku mengangguk. "Iya, Bu. Serius."

Tanpa berkata lagi, Bu Ria lantas meninggalkan ku. Jelas sekali raut wajahnya tampak kesal sekaligus khawatir. Sebab, dengan apa yang barusan aku sampaikan, hal itu pasti membuat Bu Ria takut lantaran akan ada orang yang menyaingi usahanya. 

"Ini baru awal, Bu," batinku. Menatap ibu mertuaku yang dilanda kegelisahan. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status