Di dalam kamar, di atas kasur, mataku terbuka tiba-tiba. Tak ada keributan yang membuat terjaga, tapi seolah ada yang membangunkanku dari mimpi. Tidurku tak nyenyak lantaran mimpi buruk yang tak jelas.
Hawa dingin masih terasa menyiksa di kulit, bahkan azan Subuh belum berkumandang.
Pertengkaran semalam dengan Kang Oded masih berbekas di jiwaku. Aku tak mengira Kang Oded bersikukuh tak mau menceraikan. Mengapa ia tak mau mengikhlaskan semua yang sudah terjadi agar kami dapat berpisah baik-baik?
Aku tak habis pikir dengan keinginan Kang Oded. Apakah ia tak memikirkan perasaanku sama sekali? Apakah ia tak sadar bahwa aku sudah membencinya, hingga tak mungkin aku melayaninya sebagai istri.
Masih segar dalam ingatan, mata merah Kang Oded saat mengatakan tak mau menceraikan aku.
“Buku nikah ada padaku, kamu nggak akan bisa cerai dariku!”
Astaga! Kang O
Bagaimana nasib Tisni? Bisakah ia bebas? Tunggu lanjutannya: Kejutan Buat Kang Oded
Sudah seminggu aku kembali dari rumah Tisni. Setiap hari pekerjaanku hanya murung dan menyalahkan diri. Rasanya semangat hidupku sudah pergi, sampai-sampai aku tak punya semangat lagi untuk menerima jahitan. Buat apa bekerja keras dan capai, bila tak ada istri yang bisa aku ajak berbagi susah dan senang.Ya Allah, aku patah hati!Untuk menghibur diri, aku sering mengunjungi Mang Beben di rumah kos yang diurusnya.“Lho, ini ada kamar kosong, Mang?” Mataku mengamati sebuah kamar terkunci di bagian depan, pintunya langsung terlihat jika seseorang melewati pagar.“Iya. Tadinya itu kamar Mirza, mahasiswa yang kuliah di politeknik sana. Seminggu yang lalu dia wisuda, lalu langsung pulang ke Aceh,” Mang Beben menerangkan tanpa memandang ke arahku.Tangannya sibuk menyirami tanaman seledri dan pakcoy milik Eyang Surti yang ditanam di belakang pagar, sedangka
Rasa-rasanya tulang sudah lolos semua dari tubuhku, karena lemasnya tubuh ini. Tak sanggup kakiku menopang tegaknya badan, hingga aku jatuh terduduk di atas pot bunga besar dari semen. Di depan rumah jahit Paman Andi, aku terhenyak selama beberapa waktu. Telepon dari Mang Beben membuat semangat hidupku rontok. Agaknya aku sudah tak menjejak di bumi, tapi melayang di awang-awang. Ingin rasa hatiku terbang ke rumah Tisni, lalu menanyakan kebenaran berita yang disampaikan Mang Beben. “Kang... Kang... “ Sayup-sayup sebuah suara terdengar, tapi aku abaikan. Tak ada lagi hal penting di dunia ini. Semuanya hanya ilusi. “Kang, Kang Oded.” Mengapa suara itu semakin keras? “Aduh!” Tanpa sadar aku menjerit, gara-gara lenganku ada yang mencubit. Akhirnya aku pandangi lengan yang memerah akibat cubitan itu, lalu aku dongakkan kepala ke arah si pencubit. Seraut
Aku sedang berkutat dengan lengan sebuah gaun, ketika laci meja jahit bergetar lantaran sebuah benda pipih di dalamnya. Ponselku. Aku tak segera menghiraukan panggilan ponsel, sebab jahitanku sedang tanggung. Selepas satu lengan terjahit sempurna, barulah aku hentikan tekanan kaki pada pedal dinamo mesin jahit.Tanganku menarik pelan laci meja mesin, lalu mengambil benda terpenting dalam hidupku itu. Ya, terpenting sebab hanya melalui benda pipih itu aku berkomunikasi dengan keluarga, juga... Mas Rudi.Layar ponsel berkedip-kedip menampakkan nama Bapak di permukaannya. Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Ada apakah?“Halo Bapak?... Alhamdulillah baik, Pak.” Aku menjawab pertanyaan Bapak tentang keadaanku.“Syukurlah, Nak. Oya, Bapak punya kabar gembira untukmu. Perceraianmu sudah diketuk palu oleh Pengadilan Agama. Sekarang kamu resmi bebas dari Oded,” kata Bapak di seber
20MENAGIH JANJI“Nonton. Kamu mau, kan?” Sahut Mas Rudi dari balik helm yang dikenakannya.Aku tersenyum dan mengangguk.Sepeda motor melaju membelah jalanan kota yang ramai. Dari atas jok, aku melihat geliat pemandangan sore menjelang malam di kota. Para pedagang kaki lima semakin ramai membuka lapak, pembeli tak kalah banyak. Penduduk kota ini memang terkenal royal dan doyan jajan. Tak heran bila kota ini dijuluki Kota Surganya Kuliner.Sore ini cerah dan indah. Matahari kemerahan menyemburatkan sinar jingga yang jatuh ke atas wajahku. Belum pernah aku merasa sesenang dan sebahagia ini sebelumnya, bahkan ketika masih bersama Kang Oded.Aku mengusapkan tangan ke wajah, berharap ingatan akan Kang Oded segera sirna. Buat apa lagi aku ingat lelaki tak peka itu. Boro-boro berharap Kang Oded mengambil inisiatif untuk pergi ke tempat bersuasana romantis, menonton f
Mas Rudi mengantarku pulang sampai ke mess. Akan tetapi, tak ada perpisahan manis seperti biasanya. Sepanjang mengenal Mas Rudi, ini malam terhambar yang pernah aku rasakan.Dewi dan Resti menoleh saat aku memasuki kamar dengan wajah cemberut.“Kusut amat mukamu, Tis. Lupa disetrika, ya?” Canda Resti.Aku tersenyum paksa. Rasa kesal di hatiku karena percakapan dengan Mas Rudi belum hilang. Perbincangan yang membuat acara kencan menjadi dingin dan tak menggairahkan, tak seperti biasanya. Semenjak dari food court, suasana hatiku buruk terus. Bujukan dan rayuan Mas Rudi tak mampu membuatku tersenyum ceria lagi.“Aku bertengkar dengan Mas Rudi,” kataku jujur, masih dengan raut wajah yang muram.Dewi dan Resti melebarkan sepasang mata mereka. Wajar mereka heran, karena aku hampir tak pernah ribut dengan Mas Rudi. Hubungan kami selama ini tenteram dan d
Sebuah lagu romantis mengalun dari ponselku. Itu nada dering yang aku setel khusus buat Mas Rudi, agar aku tahu bahwa dia yang menelepon setiap kali ada panggilan masuk.Aku yang sudah siap berdandan cantik dan berpakaian menarik sejak tadi, sigap menekan layar ponsel untuk menerima panggilan itu. Sudah satu jam aku menunggu kedatangan Mas Rudi ke mess, karena hari Sabtu ini aku akan kembali kencan.“Oh, sudah di depan, Mas? Aku keluar sekarang, ya. Muah!” Kataku tanpa malu di depan Dewi dan Resti. Toh kami hanya bertiga di dalam kamar ini. Sementara aku, Dewi, dan Resti sudah sangat dekat seperti saudara.Terhitung sudah setahun aku resmi bercerai dari Kang Oded, hubunganku dengan Mas Rudi kian dekat dan tanpa batas.“Tis, maaf sebelumnya. Aku mau jujur...” Tiba-tiba Dewi menahan tanganku yang hendak beranjak pergi.
Rindu. Siapa bilang rindu itu indah? Rindu itu berkah? Nyatanya, sakit dan nyeri yang aku rasakan kini. Rindu membuatku tak bisa tidur, karena teringat terus kepada Mas Rudi. Kehadiran malam selalu menjadi pembuka pintu siksaan baru bagiku.Berkali-kali aku ingin menghubunginya, menelepon sebentar saja. Cukuplah mendengar suaranya, demi menawar sakit rindu ini. Tapi berkali-kali juga aku batalkan niat, tepat ketika jemari siap memencet tombol maya di layar ponsel.Aku harus kuat. Aku harus teguh. Setiap kali teringat ultimatum yang aku berikan pada Mas Rudi, rasa sengsara kembali mendera. Aku sudah membuat pilihan, maka aku harus konsisten. Aku tak mau menghubunginya lebih dahulu, sehingga menjilat ludah sendiri.“Tis, Tis? Jangan melamun terus, dong...”Sebelah telapak tangan melambai tepat di depan wajahku, ketika aku terpekur di depan mesin jahit. Awalnya aku tidak peduli, lama-lama ko
“Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis.Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut.Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk.Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat.“Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali.Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan.“Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb