MasukSeolah dejavu, Evan berlari turun dari mobil dengan membawa Zola di tangannya. Berteriak dan meminta petugas medis untuk segera menolong istrinya itu.
"Baik, Pak! Serahkan semuanya pada kami!" kata perawat itu berusaha menghalau Evan yang hendak ikut masuk ke dalam ruang tindakan.
Evan akhirnya berhenti di ambang pintu memandangi kepergian Zola yang terbaring di atas brankar. Dan wajahnya yang kesakitan itu menatap ke arahnya dengan mata menyorot penuh sesal dan kesedihan.
Evan meremas rambutnya dengan marah.
Ya. Kali ini dia benar-benar marah dengan kejadian ini, tapi dia tak tahu bagaimana mengungkapkan kemarahannnya itu. Dan pada akhirnya menjadi sesuatu yang mengganjal di dadanya dan membuatnya sesak.
"Evan, bagaimana Zola?" Surendra datang dengan tergopoh-gopoh ditemani Awan di belakangnya.
Evan mengangkat wajahnya dan memandang mertuanya itu, ingin sekali rasanya dia berteriak dan mengatakan semuanya pada Surendra. Tapi dia masih memiliki akal sehat dan etika, maka yang dia lakukan hanya menggeleng lemas menjawab pertanyaan Surendra.
Surendra duduk terhenyak di samping Evan. Kepalanya pun penuh dengan berbagai hal, dia merasa takut jika Evan akan murka dengan kejadian ini. Bagaimana menantunya itu mewanti-wanti Zola untuk berhenti bekerja, namun putrinya itu tetap keras kepala.
"Evan—"
"Dia akan baik-baik saja, Pa! Jangan khawatir!" potong Evan cepat tanpa menoleh.
Surendra terdiam, dia bisa menangkap kemarahan Evan, dan dia tahu menantunya itu mungkin sedang menahan amarah.
"Baik, kita berdoa semoga mereka berdua selamat!" ucap Surendra pelan.
Evan terpaku mendengarnya, kata-kata Surendra seolah menyentil hatinya. Dimana dia hanya memikirkan Zola dan sudah berputus asa, dia mengambil kesimpulan jika calon bayi mereka akan kembali gugur untuk kedua kalinya. Semua itu karena dia diliputi amarah dan berburuk sangka pada semuanya.
"Astaghfirullah hal 'adziim!" hembusnya lirih dan mengusap wajahnya. Memohon ampun dalam hati pada Yang Maha Kuasa karena berani mendahului ketentuan-Nya.
"Maafkan aku, Pa!" ucapnya dengan sedih, "aku marah pada Zola dan aku sendiri yang tak becus menjaga dia," lanjutnya dengan suara mengecil.
Surendra menatapnya, merasakan bagaimana dilemanya Evan dan perasaannya menghadapi semua ini. Laki-laki mana yang tak kecewa jika anak yang sekian lama ditunggu tak jua datang, dan harus berakhir gugur seperti ini untuk kedua kalinya.
"Maafkan Papa juga, Nak, Papa kurang tegas pada Zola sehingga dia tak menuruti kamu sebagai suaminya," kata Surendra.
Tapi Evan menggeleng, "Aku tidak menyalahkan Zola, Pa! Aku hanya kecewa pada diri sendiri karena tidak mampu mengarahkan dia," ucapnya.
"Zola hanya berusaha menjadi istri yang baik dan tetap menjalani peran sebagai anak yang berbakti, dan tidak seharusnya aku menyalahkan dia begitu saja."
"Karena aku tahu dia pun pasti akan sangat terpukul dan merasa bersalah atas semua ini." Kareem meremas tangannya, terbayang akan sorot mata istrinya itu saat hendak memasuki ruang IGD.
Surendra terdiam.
Memang, untuk saat ini mereka harus berpikir tenang dan jernih, jangan terbawa suasana dan menuruti amarah yang hanya akan memperburuk keadaan. Tapi dia sendiri paham, tentu Evan sangat menyesalkan kejadian ini.
Dan Awan yang mendengarkan mereka pun hanya bisa diam sembari berdoa, berharap semuanya baik-baik saja, terlebih Zola dan janinnya.
***
Zola dipindah ke ruang perawatan. Evan menepis perasaan Dejavu yang melingkupi pikirannya. Seolah dia mengerti alur dari semua yang terjadi, hanya dengan 2 kejadian ini saja.
Ya, kali ini mereka pun kehilangan janinnya.
Evan berusaha tetap tenang dan berkepala dingin, tapi rasa kecewa dan amarah terlanjur menguasai pikirannya. Dan dia tak bisa mengungkapkan semua pada Zola yang masih terbaring lemah di atas brankar.
Maka, dia pergi ke mushola dan melakukan shalat sunnah.
"Ya Allah, maafkan aku, karena memiliki perasaan kecewa ini terhadap istriku, tolong jangan buat ini menjadi suatu penghalang dia untuk meraih keridhoan-Mu." Evan mengangkat kedua tangannya, mengadukan semua kegelisahan dan keluh kesahnya pada Sang Pencipta.
"Aku tahu ini sudah menjadi ketentuan-Mu, maka aku mohon tolong redam kemarahanku ini dan berikan kami kesabaran lebih untuk menerima takdir dari-Mu."
"Berikan aku keteguhan hati untuk semua ini. Aamiin Yaa Robbal 'Aalamiin."
Evan mengusap wajahnya dan menghela nafas dalam-dalam, beban di hatinya sedikit berkurang dan itu membuatnya lega.
Dan ketika dia kembali ke ruang perawatan Zola, dia mampu memandang wanita itu sedikit lebih ringan tanpa harus menahan amarah.
"Mas," ucap Zola dengan suara lemah, tangannya menggapai meminta pada Evan.
"Aku di sini, Sayang!" kata Evan mendekat dan menyambut tangan istrinya itu, lalu duduk di dekatnya dan meraih kepala Zola ke dalam pelukannya.
Zola tergugu, dia menangis tersedu-sedu dengan perlakuan Evan padanya.
"Maafkan aku, Mas, maafkan aku!" isaknya, "aku lalai dan ceroboh, tak menurutimu! Tolong maafkanlah aku!"
Evan diam, dia tak menjawab. Bibirnya bergetar menahan semua rasa kecewa yang ingin diungkapkannya pada Zola. Matanya pun berkaca-kaca tapi masih mampu dia tahan.
Zola semakin menjadi-jadi dengan bungkamnya Evan. Dia takut, sungguh takut! Dia sadar akan kesalahannya memang sangat fatal, sifatnya yang keras kepala sudah membuat janin mereka kembali gugur untuk kali kedua.
Evan hanya diam memeluknya, tangannya digenggam erat oleh Zola. Dia pun merasakan ketakutan istrinya itu, namun untuk saat ini dirinya tak mampu berkata apapun. Karena jika dia membuka mulut, hanya kata-kata kecewa dan amarah yang akan keluar.
Dan tentunya itu akan menyakiti hati Zola dan kehidupan rumah tangga mereka tidak akan sama lagi.
***
Beberapa hari dirawat, Zola akhirnya pulang kembali ke rumah. Wanita itu tampak pasrah saja dan menuruti apapun yang Evan katakan.
"Istirahatlah!" kata Evan sebentar mengusap kepala Zola lalu kembali beranjak dari tempat tidur itu. Dia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum shalat ashar.
Zola termangu melihatnya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dari suaminya itu.
"Tak apa, mungkin dia kelelahan setelah menungguiku di rumah sakit," tepis Zola ketika pikiran buruk merundung pikirannya.
Namun dia tak memungkiri, hatinya gundah. Menyadari sorot kecewa di manik teduh Evan, yang tak bisa dia abaikan begitu saja.
"Aku sadar akan kesalahanku, Mas, maafkan aku!" bisik Zola sambil menghapus air mata yang bergulir di pipinya.
Selama itu menunggu untuk kehadiran buah hati, harus kembali kandas oleh karena sifat keras kepalanya. Zola mulai merasa rendah diri dan terpuruk, merasa jika dia tak bisa menjadi istri yang baik dan menurut apa kata suami.
Meski Evan masih saja tersenyum dan memperlakukannya dengan lembut seperti biasanya, namun jauh di dalam lubuk hatinya tentu dia memendam kekecewaan yang mendalam pada Zola.
"Aku bukan malaikat yang selalu berbuat baik dan berlaku tanpa cela, Zola, aku juga bisa kecewa dan marah seperti iblis," bisik Evan lirih, dibawah guyuran air di atas kepalanya.
"Maafkan aku, Sayang, aku kecewa sama kamu!"
***
Abraham mengumpulkan semua bawahan dan anak buahnya di aula kediamannya yang luas. Jika ada orang biasa yang melihat mereka, mungkin dia akan terkesima dengan banyaknya orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.Abraham duduk di depan sana, di atas kursi kebesarannya, didampingi oleh jajaran para tangan kanan dan juga asistennya. Yang mana semuanya memiliki visual yang tidak main-main, hanya saja semuanya tampak berwajah dingin dan kejam.Mungkin anak buahnya hanya sebagian yang datang dari berbagai perwakilan mereka, dan itu semua sudah berjumlah ratusan. Tidak terbayang jika semuanya hadir, mungkin akan menimbulkan kepanikan tersendiri bagi masyarakat yang melihat.Suasana terasa dingin dan hening, tidak ada yang berani bersuara atau bahkan bergerak dari tempat mereka berdiri.Abraham melayangkan pandangan ke seluruh ruangan."Aku mengumpulkan kalian semua di sini dengan tujuan yang pastinya sudah kalian dengar sebelumnya," ucapnya membuka pertemuan itu. Suara tenang dan dala
Kevin terkejut dengan perkataan Abraham."Apa maksudmu?" tanyanya dengan mata menatap lurus pada ayah mertuanya itu.Abraham menarik nafas panjang, "Kevin, aku sadar jika duniaku ini tidak tepat dimasuki oleh Nathan, buktinya sudah jelas. Aku membahayakannya dan sekali aku mendengar namanya disebut oleh musuhku, aku tidak bisa tinggal diam!" ucapnya.Kevin mengeratkan rahangnya, "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sedikit emosi."Hal yang seharusnya sudah menjadi sangat wajar bagi kami, tapi untuk sekarang itu menjadi hal yang fatal bagiku!" ucap Abraham menatap kosong ke arah lantai."Mereka mengancam akan mengusik cucuku jika kami tidak berhenti ikut campur dengan urusan perebutan wilayah yang terjadi kemarin," tuturnya.Kevin pun sontak naik pitam, tangannya mengepal dengan erat."Lalu sekarang di mana anakku?" geramnya, kecemasan seketika merayapi pikirannya.Abraham tersenyum, "Tidak usah khawatir, Nathan sudah berada di tempat yang aman, aku mengan
Abraham menghela nafas panjang, perlahan tangannya bergerak mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah segar. Matanya menatap dengan dingin pada mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya. Suasana hening yang menegangkan itu selesai, hanya saja di depan sana, Mark masih asik menginjak-injak wajah orang yang disebut sebagai pimpinan musuh. Orang itu bahkan sudah menjadi mayat dengan puluhan peluru di tubuhnya, tapi Mark masih saja menyiksanya. Dan yang lebih menyeramkan adalah ekspresi wajahnya yang dingin dan kosong."Mark, sudah!" kata Abraham dengan suaranya yang dalam. Laki-laki yang menjadi tangan kanannya itu memang memiliki sedikit kelebihan mengenai emosi dan nafsu membunuhnya.Mark yang mendengar suara Abraham seolah tersadar. Bak anak anjing yang menuruti perintah majikannya, dia menghentikan perbuatannya dan kembali berjalan mendekati Abraham. Anak buah yang menjadi bawahannya tampak ngeri dan menelan saliva melihat sisi gelap laki-laki itu, tak terbayang jika mereka m
Zola berlari menyambut kedatangan Nathan dengan gembira, kedua tangannya terbuka lebar tak sabar ingin segera memeluk anak itu. Dan begitu keduanya bertemu, langsung saja dia memeluknya."Assalaamu'alaikum, Bunda!" kata Nathan seraya tertawa riang melihat sambutan ibu angkatnya itu."Waalaikum salaam, Nak!" balas Zola mencium kepala Nathan dengan penuh rindu. Evan dan dan Surendra ikut tertawa melihatnya, begitu juga dengan Abraham."Kamu apa kabar? Kamu sehat 'kan?" tanya Zola seraya memutar tubuh Nathan melihat keadaanya."Alhamdulillah sehat, Bunda!" jawab Nathan tak berhenti tertawa geli dengan perlakuan Zola.Menyadari kelakuannya, Zola pun kemudian tertawa geli sendiri, lalu merangkul Nathan dengan lebih kalem."Maaf, Bunda sudah sangat rindu sama kamu soalnya!" ujarnya terkekeh.Nathan tersenyum, "Bunda sendiri bagaimana kabarnya?" tanyanya."Alhamdulillah kami juga sehat," jawab Zola dengan raut wajah terlihat cerah.Nathan lalu menyalami Evan dan Surendra."Hanya beberapa min
Pagi menjelang, suasana rumah Abraham terlihat tenang. Para pelayan dan penjaga bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.Mark, tangan kanan Abraham baru saja tiba di sana. Dia mencari keberadaan bosnya itu di kamar, namun dia tidak mendapati Abraham di sana. Mark pun terlihat kebingungan lalu keluar dari kamar untuk mencari Abraham.Saat dia menyusuri lorong, alisnya terangkat ketika melihat melihat Abraham keluar dari kamar Nathan bersama anak itu.Mark pun segera menghampirinya dengan wajah cemas."Bos!" sapanya seraya mengangguk hormat, matanya menyorot dengan penuh tanda tanya menatap Abraham dan Nathan.Abraham menoleh pada Mark lalu tersenyum ringan, "Apa kamu mencariku? Maaf semalam kami ketiduran setelah shalat," tutur Abraham seraya merangkul bahu Nathan.Nathan tersenyum tipis mengiyakan.Mark yang mendengar itu semakin terheran-heran, dia merasa asing dengan apa yang dilakukan oleh Abraham. Tapi untuk saat ini dia tidak berani bertanya, biarlah.Karena nanti Abraham ju
Malam pun turun dengan lambat, angin berdesir pelan menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Sepertinya malam ini akan turun hujan karena langit pun tampak gelap gulita.Zola keluar dari kamar si kembar, dia baru saja menidurkan mereka. "Mereka sudah tidur?" tanya Evan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.Zola pun melompat kaget karenanya, dia menoleh dengan wajah cemberut."Bisa nggak jangan membuat aku kaget begitu, Mas!" ujarnya menggerutu pelan.Evan terkekeh merasa gemas melihat wajah Zola yang terlihat terkejut barusan."Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan mu!" katanya seraya merangkul bahu Zola. Zola pun hanya menarik sudut bibirnya, kemudian mereka berjalan bersama menuju ke ruangan belakang untuk bersantai sejenak di sana. Tampak Surendra pun masih duduk di sana seraya membaca sebuah buku hadits di tangannya, dengan kacamata baca bertengger di hidungnya."Papa belum tidur?" sapa Zola seraya duduk di samping Surendra, menggelayut manja di bahu ayahnya itu.Sejenak S







