LOGINBeberapa bulan berlalu sejak Zola di ijinkan pulang dari rumah sakit, dia kembali beraktifitas seperti biasanya.
Bekerja.
Suatu hari, Zola hendak menyuapkan sesendok sup krim jamur itu ke mulutnya ketika tiba-tiba saja dia merasa perutnya bergejolak naik dan membuatnya mual. Aroma dari sup itu entah kenapa jadi terasa menjijikkan di hidungnya.
"Sayang? Kamu tidak apa-apa?" tanya Evan ketika melihat Zola terdiam dengan wajah pucat.
Zola tak segera menjawab, hanya saja matanya menatap panik pada Evan dan dia menutup mulutnya dengan tangan. Dan sebelum sempat Evan bicara lagi, Zola sudah bangkit berdiri dan melesat pergi menuju toilet yang ada di sudut restoran itu.
Evan yang melihat itu hanya melongo kaget, namun perlahan bibirnya tertarik berlawanan dan membentuk sebuah senyuman.
Sepertinya apa yang mereka tunggu sudah terjadi.
"Malam itu berhasil!" gumamnya dengan menahan tawa bahagia dan haru, dia pun segera berdiri untuk menyusul Zola.
Dan beberapa lama kemudian, keduanya sudah ada di hadapan seorang dokter kandungan. Zola meremas tangannya dengan gugup, dia berdebar menantikan hasil tes kehamilan yang tadi dia lakukan.
Evan mengerti dengan perasaan istrinya itu dan dia pun meraih tangan Zola lalu menggenggamnya dengan hangat.
"Bagaimana kalau itu hanya asam lambung saja, Mas?" tanya Zola tidak percaya diri, jujur saja dia takut jika ternyata hasilnya negatif dan mengecewakan Evan.
"Tak apa, artinya Allah belum mempercayakan itu pada kita!" ucap Evan tersenyum.
Meski jawaban Evan menyejukkan seperti itu, tetap saja Zola khawatir.
Dokter wanita itu menerima hasil tes kehamilan Zola dari perawatnya, dia lalu membukanya dan matanya merayapi setiap tulisan yang ada di dalamnya dengan seksama. Dan itu membuat suami istri yang ada di hadapannya itu semakin gugup dan tegang.
Kemudian dokter wanita itu tersenyum cerah dan menatap Evan dan Zola, dan seiring dengan persaan bahagia yang membuncah di dalam dada, dokter itu lalu berkata dengan suara riang dan jelas.
"Selamat, istri Anda hamil, Tuan."
Sontak saja Evan menoleh pada Zola dan memeluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia.
"Alhamdulillah, akhirnya!" serunya gembira.
Zola sendiri seolah tak tak percaya, dia menangis haru dan tak bisa berkata apapun. Perasaan ini begitu mengguncangnya, memikirkan andai saja dia menyadari kehamilannya yang pertama dan ...
"Terimakasih, Sayang! Terimakasih!" ucap Evan mencium kening Zola dengan penuh kasih sayang.
Zola tersenyum dan mengangguk dengan air mata bahagia berlinang di pipinya.
***
Dan tentu saja, sejak mengetahui kehamilan Zola, Evan pun semakin over protektif dan dengan tegas melarang Zola untuk bekerja.
"Hanya 1 minggu ini saja, Mas! Aku harus menyelesaikan semuanya dan menyiapkan Yana untuk tugasnya!" pinta Zola memohon pada Evan.
Evan menghela nafas kasar, dia lalu memandang istrinya itu dengan gamang.
"Aku cemas, Sayang! Aku tidak mau kamu kelelahan lagi!" kata Evan, gemas. Entah bagaimana lagi memberi pengertian pada Zola jika dia sangat mengkhawatirkan kesehatannya.
Zola mengangguk, "Aku tahu, Mas, tapi aku tidak bisa melepaskan semua begitu saja dengan tiba-tiba! Yana akan kewalahan dan mungkin dia membutuhkan bantuan nantinya!" katanya dengan suara lembut, berusaha agar Evan pun mengerti.
Evan tak menjawab, dia kehabisan kata-kata dan tak ingin memperpanjang perdebatan menjadi semakin meruncing. Dia menggelengkan kepala dan menghembuskan nafas lelah.
"Baiklah," ucapnya, "tapi dengan satu syarat, kamu tidak boleh membawa mobil sendiri dan mengurangi jam kerja!" tambah Evan mengacungkan telunjuknya.
"Dan hanya satu minggu!" jelasnya lagi untuk mempertegas kalimatnya.
Zola mengangguk dan tersenyum riang, dipeluknyan lengan Evan dengan lega.
"Terimakasih, Mas! Kamu memang yang terbaik!" sanjungnya yang membuat Evan hanya bisa mendesah pasrah karenanya.
Beberapa hari kemudian ...
Evan menghela nafas panjang, meredam rasa kesal di dalam hatinya. Zola masih saja sibuk dengan pekerjaannya dan dia sendiri tak tega jika harus mengungkapkan kemarahannya. Dan yang dia bisa hanyalah mengawasi dan mengingatkannya untuk berhati-hati selama bekerja.
"Ya Allah, beri aku kesabaran lebih!" hembus Kareem lelah. Berharap Zola akan baik-baik saja.
Sementara itu, di kantor Zola ...
Wanita itu masih berkutat dengan pekerjaan seperti biasa, meski janjinya pada Evan akan melepaskan semua pekerjaan satu demi satu, tapi nyatanya memang tidak semudah itu. Ada saja kendala yang membuat dia harus turun tangan sendiri.
"Mulai minggu depan kamu harus bisa menangani semuanya sendiri di kantor, Yana, karena aku akan bekerja dari rumah saja selama trimester pertama seperti sekarang," jelas Zola pada Yana. Gadis itu mengangguk patuh dan mendengarkan dengan baik semua arahan Zola.
Sampai akhirnya sore tiba, Zola pun pulang. Seperti biasa, dia mampir ke rumah Surendra.
"Kamu jangan capek-capek terus, Nak, jaga kandungannya!" tegur Surendra, bagaimanapun dia juga khawatir dengan Zola yang bersikeras bekerja.
Zola tersenyum, "Iya, Pa! Aku sudah minta izin mas Evan untuk seminggu ini menyiapkan asistenku di kantor, jadi habis ini aku kerja dari rumah," jelasnya sambil menggandeng Surendra berjalan masuk ke dalam rumah.
Surendra menghela nafas panjang, dia bisa mengerti jika menantunya pun mulai jengah dengan Zola yang keras kepala. Dan itulah hal kedua yang dia cemaskan.
"Patuhi suami kamu, Nak, jangan buat Evan kesal! Dia juga begitu karena saking sayangnya sama kamu!" kata Surendra, tak habis-habis dia juga mengingatkan putrinya.
Zola tersenyum, mengerti jika ayahnya itu pun mencemaskan dirinya.
"Baik, Papa! Aku akan berhenti bekerja lusa nanti!" tukas Zola, sekedar ingin meredakan kekesalan ayahnya itu sekarang.
Surendra pun barulah bernafas lega mendengarnya.
***
Menjelang Maghrib, Zola baru sampai di rumahnya. Dan dia terkejut karena Evan sudah ada di rumah terlebih dahulu.
"Mas, sudah pulang?" sapanya sedikit kikuk melihat wajah lelah Evan. Dengan kaku dia mencium tangan suaminya itu.
"Ya, baru juga sampai!" jawab Evan tersenyum letih.
"Maaf, tadi aku mampir ke rumah Papa dulu," ucap Zola mengulas senyum tipis.
"Tak apa, sebaiknya kamu segera mandi, kita makan sama-sama!" kata Evan cepat mengalihkan pembicaraan.
Zola mengangguk meski hatinya mulai tak enak karenanya.
Mereka pun menaiki tangga bersama-sama dan Evan menggandeng tangan Zola seraya mulutnya tak bosan memperingatkan istrinya itu untuk melangkah hati-hati.
Dan ketika mereka baru saja sampai di kamar, tiba-tiba saja Zola meringis memegangi perutnya.
"Mas," rintihnya meremas lengan kemeja Evan.
Evan yang melihat itu pun melotot kaget, pikiran buruk pun langsung menghinggapinya.
"Zola, Sayang! Kenapa? Apa yang sakit?" tanyanya mulai panik.
Zola tak menjawab, hanya saja matanya menatap Evan dengan air mata berlinang.
"Tolong aku, Mas! Tolong!" erangnya berpegangan pada Evan.
"Ya Allah!" gumam Evan dengan berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya.
Zola mengerang kesakitan merasakan perutnya yang seolah diremas kuat-kuat, dan dia hampir terjatuh jika saja Evan tidak sigap menahannya.
Tak ingin hanya menunggu saja, Evan segera mengangkat tubuh Zola dan membawanya keluar dari kamar.
"Siapkan mobil! SEKARANG!" teriaknya sejak dari ujung atas tangga.
Semua yang mendengar itu pun terkejut dan semakin terbelalak ketika melihat Zola ada dalam gendongan Evan.
Dan begitu mobil siap di depan teras, segera saja Evan masuk membawa Zola dan mengemudikan sendiri kendaraan itu menuju rumah sakit.
"Tidak-tidak! Ini tidak boleh terjadi lagi!"
***
Abraham mengumpulkan semua bawahan dan anak buahnya di aula kediamannya yang luas. Jika ada orang biasa yang melihat mereka, mungkin dia akan terkesima dengan banyaknya orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.Abraham duduk di depan sana, di atas kursi kebesarannya, didampingi oleh jajaran para tangan kanan dan juga asistennya. Yang mana semuanya memiliki visual yang tidak main-main, hanya saja semuanya tampak berwajah dingin dan kejam.Mungkin anak buahnya hanya sebagian yang datang dari berbagai perwakilan mereka, dan itu semua sudah berjumlah ratusan. Tidak terbayang jika semuanya hadir, mungkin akan menimbulkan kepanikan tersendiri bagi masyarakat yang melihat.Suasana terasa dingin dan hening, tidak ada yang berani bersuara atau bahkan bergerak dari tempat mereka berdiri.Abraham melayangkan pandangan ke seluruh ruangan."Aku mengumpulkan kalian semua di sini dengan tujuan yang pastinya sudah kalian dengar sebelumnya," ucapnya membuka pertemuan itu. Suara tenang dan dala
Kevin terkejut dengan perkataan Abraham."Apa maksudmu?" tanyanya dengan mata menatap lurus pada ayah mertuanya itu.Abraham menarik nafas panjang, "Kevin, aku sadar jika duniaku ini tidak tepat dimasuki oleh Nathan, buktinya sudah jelas. Aku membahayakannya dan sekali aku mendengar namanya disebut oleh musuhku, aku tidak bisa tinggal diam!" ucapnya.Kevin mengeratkan rahangnya, "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sedikit emosi."Hal yang seharusnya sudah menjadi sangat wajar bagi kami, tapi untuk sekarang itu menjadi hal yang fatal bagiku!" ucap Abraham menatap kosong ke arah lantai."Mereka mengancam akan mengusik cucuku jika kami tidak berhenti ikut campur dengan urusan perebutan wilayah yang terjadi kemarin," tuturnya.Kevin pun sontak naik pitam, tangannya mengepal dengan erat."Lalu sekarang di mana anakku?" geramnya, kecemasan seketika merayapi pikirannya.Abraham tersenyum, "Tidak usah khawatir, Nathan sudah berada di tempat yang aman, aku mengan
Abraham menghela nafas panjang, perlahan tangannya bergerak mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah segar. Matanya menatap dengan dingin pada mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya. Suasana hening yang menegangkan itu selesai, hanya saja di depan sana, Mark masih asik menginjak-injak wajah orang yang disebut sebagai pimpinan musuh. Orang itu bahkan sudah menjadi mayat dengan puluhan peluru di tubuhnya, tapi Mark masih saja menyiksanya. Dan yang lebih menyeramkan adalah ekspresi wajahnya yang dingin dan kosong."Mark, sudah!" kata Abraham dengan suaranya yang dalam. Laki-laki yang menjadi tangan kanannya itu memang memiliki sedikit kelebihan mengenai emosi dan nafsu membunuhnya.Mark yang mendengar suara Abraham seolah tersadar. Bak anak anjing yang menuruti perintah majikannya, dia menghentikan perbuatannya dan kembali berjalan mendekati Abraham. Anak buah yang menjadi bawahannya tampak ngeri dan menelan saliva melihat sisi gelap laki-laki itu, tak terbayang jika mereka m
Zola berlari menyambut kedatangan Nathan dengan gembira, kedua tangannya terbuka lebar tak sabar ingin segera memeluk anak itu. Dan begitu keduanya bertemu, langsung saja dia memeluknya."Assalaamu'alaikum, Bunda!" kata Nathan seraya tertawa riang melihat sambutan ibu angkatnya itu."Waalaikum salaam, Nak!" balas Zola mencium kepala Nathan dengan penuh rindu. Evan dan dan Surendra ikut tertawa melihatnya, begitu juga dengan Abraham."Kamu apa kabar? Kamu sehat 'kan?" tanya Zola seraya memutar tubuh Nathan melihat keadaanya."Alhamdulillah sehat, Bunda!" jawab Nathan tak berhenti tertawa geli dengan perlakuan Zola.Menyadari kelakuannya, Zola pun kemudian tertawa geli sendiri, lalu merangkul Nathan dengan lebih kalem."Maaf, Bunda sudah sangat rindu sama kamu soalnya!" ujarnya terkekeh.Nathan tersenyum, "Bunda sendiri bagaimana kabarnya?" tanyanya."Alhamdulillah kami juga sehat," jawab Zola dengan raut wajah terlihat cerah.Nathan lalu menyalami Evan dan Surendra."Hanya beberapa min
Pagi menjelang, suasana rumah Abraham terlihat tenang. Para pelayan dan penjaga bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.Mark, tangan kanan Abraham baru saja tiba di sana. Dia mencari keberadaan bosnya itu di kamar, namun dia tidak mendapati Abraham di sana. Mark pun terlihat kebingungan lalu keluar dari kamar untuk mencari Abraham.Saat dia menyusuri lorong, alisnya terangkat ketika melihat melihat Abraham keluar dari kamar Nathan bersama anak itu.Mark pun segera menghampirinya dengan wajah cemas."Bos!" sapanya seraya mengangguk hormat, matanya menyorot dengan penuh tanda tanya menatap Abraham dan Nathan.Abraham menoleh pada Mark lalu tersenyum ringan, "Apa kamu mencariku? Maaf semalam kami ketiduran setelah shalat," tutur Abraham seraya merangkul bahu Nathan.Nathan tersenyum tipis mengiyakan.Mark yang mendengar itu semakin terheran-heran, dia merasa asing dengan apa yang dilakukan oleh Abraham. Tapi untuk saat ini dia tidak berani bertanya, biarlah.Karena nanti Abraham ju
Malam pun turun dengan lambat, angin berdesir pelan menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Sepertinya malam ini akan turun hujan karena langit pun tampak gelap gulita.Zola keluar dari kamar si kembar, dia baru saja menidurkan mereka. "Mereka sudah tidur?" tanya Evan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.Zola pun melompat kaget karenanya, dia menoleh dengan wajah cemberut."Bisa nggak jangan membuat aku kaget begitu, Mas!" ujarnya menggerutu pelan.Evan terkekeh merasa gemas melihat wajah Zola yang terlihat terkejut barusan."Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan mu!" katanya seraya merangkul bahu Zola. Zola pun hanya menarik sudut bibirnya, kemudian mereka berjalan bersama menuju ke ruangan belakang untuk bersantai sejenak di sana. Tampak Surendra pun masih duduk di sana seraya membaca sebuah buku hadits di tangannya, dengan kacamata baca bertengger di hidungnya."Papa belum tidur?" sapa Zola seraya duduk di samping Surendra, menggelayut manja di bahu ayahnya itu.Sejenak S







