“Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”
Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.
“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”
“Masya Allah, cantiknya.”
Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.
“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”
“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”
“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”
“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.
Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.
“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berdua saja di dapur dengan Dika, menyiapkan piring gelas dan peralatan makan lainnya. Meskipun ada asisten rumah tangga, Mama Nia memang membiasakan anak-anaknya mengerjakan hal-hal kecil agar bisa mandiri ke depannya. Tetap saja, Dika sebagai anak terakhir tergolong manja.
“Banyak, tapi semuanya di luar kota. Hari ini Tante Mira sengaja datang, sekalian liburan anak-anak sekolah. Nanti mungkin Mas Rian juga pulang.”
“Mas Rian siapa? Kok aku baru denger namanya? Waktu lamaran, dia nggak ikut ya?”
“Iya.”
Dika menggaruk tengkuknya, sedikit salah tingkah. Sepertinya hubungan mereka tidak begitu baik.
“Dia jarang pulang. Udah punya usaha sendiri di Jakarta. Lebih sering di sana, paling sesekali pulang kalau Tante Mira pas ada di sini.”
“Ooh.”
Mulutku membulat, tapi tak berkomentar apa-apa. Sepertinya Dika tidak nyaman membicarakan topik itu, jadi lebih baik aku melewatkannya. Tanganku sigap menata piring bulat dan menelungkupkannya satu persatu di atas meja.
Sesaat sebelum makan malam dimulai, sebuah mobil berhenti di pelataran rumah. Semua orang menoleh ke arah pintu, termasuk aku. Tampak seorang pria dengan tubuh tegap memasuki rumah, mengucapkan salam dengan suara dingin dan dalam.
“Rian, alhamdulillah. Akhirnya Tante bisa ketemu kamu lagi. Apa kabar?”
Tante Mira berdiri dari kursinya, memeluk keponakan laki-lakinya seperti saat dia memelukku tadi. Mereka tampak akrab. Namun, pemandangan berbeda tampak jelas di wajah Mama Nia. Jangankan menyambutnya dengan gembira, menatap saja enggan rasanya.
“Ayo duduk, kita makan sama-sama.”
Pria dengan cambang tipis di dagunya duduk tepat di depanku. Kami sempat bertatap mata selama sepersekian detik, sebelum aku menundukkan kepala. Entah kenapa, tatapannya terlihat begitu tajam, seolah tidak suka dengan keberadaanku di sana.
“Sera, ini kakaknya Dika, namanya Adrian.” Tante Mira dengan senang hati memperkenalkan pria di sampingnya, membuatku mau tak mau kembali mengangkat kepala.
“Rian, itu calon adik ipar kamu, Sera. Cantik banget, ya?”
“Ekhm!” Papa Adli berdeham, menyudahi sesi ramah tamah kami berdua. Nada bicaranya terdengar dingin, seolah tidak suka dengan kehadiran salah satu putranya.
Makan malam berlangsung canggung, tak ada yang bersuara. Hanya denting sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring. Sisanya, tak ada obrolan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi sebenarnya? Siapa Adrian ini? Kenapa kedatangannya membawa suasana yang berbeda?
“Mas Rian, ini Sera.”
Dika membawaku menemui Adrian yang duduk santai di taman belakang. Tubuhnya yang semula bersandar pada bangku, segera ditegakkan. Rokok di tangannya dilempar ke tanah dan diinjak dengan sepatu untuk memadamkannya.
“Sera Adriana,” lirihku sambil mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. Saat di meja makan tadi, aku tidak memiliki kesempatan untuk menyapanya.
“Hmm,” gumam Rian sambil memindai penampilanku dari ujung kaki sampai kepala. Matanya begitu tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya.
“Bener kata Tante Mira, cantik,” pujinya dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak ada ketulusan di sana, sekadar sanjungan di bibir saja.
Pria itu berdiri. Lima detik berlalu, tapi tanganku masih belum bersambut. Sepertinya dia sama sekali tidak berniat membalas keramahanku. Kedua tangannya justru masuk ke dalam saku celana. Sebagai gantinya, dia mencondongkan tubuhnya ke arahku, membuat wajah kami hampir bersentuhan.
Seketika Dika menarik tubuhku untuk berlindung di balik punggungnya. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman berdekatan dengan pria itu. Terlebih seringai miring terlihat di sudut bibirnya.
“Kalau takut, kenapa dekat-dekat? Gimana kalau aku culik tunanganmu, kubawa ke Jakarta, hah?”
Kulihat Dika meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya. Dia gugup berbicara dengan kakaknya sendiri.
“Ini nggak ada hubungannya sama Sera. Aku cuma mau ngomong kalau kondisi kesehatan Papa memburuk. Kemarin dia batuk darah.”
Aku terkesiap, tidak tahu menahu informasi itu. Papa Aldi terlihat sehat.
“Apa urusannya sama aku? Kamu anak kesayangannya, kamulah yang harusnya urus pria itu sama kebun tehnya. Kenapa aku?”
“Mas—”
“Aku pulang karena kebetulan ada klien yang minta ketemu. Daripada tinggal di hotel, mending pulang. Irit ongkos. Bener kan, Se … ra?”
Pria bernama Adrian itu melongokkan kepala, berusaha melihat wajahku lebih dekat dan sengaja mengeja namaku di akhir kalimat. Entah apa maksudnya. Kurasakan genggaman Dika semakin erat. Dugaanku benar, hubungan mereka memang bermasalah. Dika mengajakku kemari untuk menemaninya menghadapi Adrian. Wajahku ikut tegang seketika.
Menyadari hal itu, Adrian tertawa dan melewati kami berdua. Namun, langkahnya terhenti di hitungan ketiga. Aku menolehkan kepala, saling bertatapan dengannya.
“Sera Adriana, semoga kamu nggak nyesel tunangan sama Dika,” ucapnya dengan nada mengejek, lengkap dengan seringai menyebalkan di bibirnya.
Sosok Adrian menjauh setelah mengatakannya, naik ke kamar di lantai dua yang terpisah dengan bangunan utama. Beberapa kamar di bawahnya ditempati asisten rumah tangga yang bekerja di sana. Bentuknya seperti kamar kontrakan di kota.
“Aneh,” batinku, merasa ada yang janggal. Sikap Adrian yang semena-mena, ketakutan Dika, juga peringatan semog aku tidak menyesal. Apa maksudnya?
“Bukan apa-apa.” Begitu jawaban Dika saat aku bertanya.
“Lain kali kamu jauh-jauh dari dia. Bahaya,” imbuhnya saat aku terus menuntut penjelasan.
“Kalian kenapa, sih? Emang nggak akur dari dulu?”
Dika menghentikan mobilnya di tepi jalan, menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca.
“Lebih baik kamu nggak tahu.”
“Kita udah tunangan, Sayang. Sebentar lagi aku jadi istri kamu, cerita aja masalahnya. Mungkin aku bisa bantu.”
Dika menggeleng.
“Rumit. Dua hari dua malam baru kelar kalau diceritain.”
“Astaga, Bagas Mahardika!” seruku kesal, “Tinggal cerita singkatnya aja kenapa, sih? Repot amat. Aku cuma penasaran, kenapa Papa sama Mama keliatannya nggak suka Mas Adrian pulang?”
Kulihat Dika menggigit bibir bawahnya, kebiasaan saat takut mengatakan sesuatu. Bola matanya bergerak gelisah, mencari penjelasan paling singkat yang bisa memuaskan rasa penasaranku.
“Dahlah, lupain aja."
Aku tidak tega melihat wajah tertekan Dika. Tangannya berkali-kali membenahi kacamata di atas hidungnya yang melorot.
“Jalan lagi, anterin aku pulang. Udah malem.”
Aku menatap jam mungil di pergelangan tangan kiriku yang menunjukkan pukul sembilan malam.
Sepanjang perjalanan, Dika terus bungkam. Berbagai hal pasti memenuhi kepalanya, sama seperti kepalaku yang dipadati berbagai prasangka. Aku bahkan tidak menyadari kalau mobil silver ini sudah berhenti di depan rumahku.
“Sayang,” Dika memanggil saat satu kakiku sudah melangkah turun dari mobil. Aku terpaksa menoleh kembali ke arahnya.
“Ya?”
“Aku bisa cerita sedikit tentang Mas Rian.”
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Dika mengambil napas dalam-dalam, sibuk merangkai kata yang akan keluar dari mulutnya. Dia gugup, terlihat dari keringat yang membasahi pelipis dan keningnya. Padahal, AC mobil menyala.
“Jangan dipaksa. Kamu cerita kalau udah siap aja.” Aku menepuk lengannya, tersenyum memaklumi kebiasaan buruknya yang sulit bicara saat gugup.
“Kata Mama, Mas Rian anak pembawa sial!”
Senyum di wajahku luruh seketika, bersama denyut jantung yang terasa tidak nyaman detik itu juga.
“Astaghfirullah. Apa maksudnya?”
"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun