Share

Bab 8

Penulis: Peachy
"Seseorang serendah aku?" Aku mengulang kata-katanya, suaraku pelan.

Para tamu di sekitar kami memperhatikan sembari berbisik-bisik.

"Bella, aku akan pergi besok." Aku mencoba menjelaskan. "Kontraknya… "

"Pergi?" Bella memotong, suaranya tajam. "Kamu pikir bisa kabur begitu saja?"

Bella menoleh ke sekeliling, memastikan ada penonton.

"Semuanya, apa kalian tahu? Nona Elian ini benaran pikir bisa menyaingiku, tunangan yang asli." Dia tertawa mengejek. "Seorang restorator yang naik status karena tidur dengan bos, sungguh mengira bisa jadi istrinya mafia?"

Para tamu bergumam, sebagian melempar tatapan menghina padaku.

"Yang lebih lucu," lanjut Bella, "Dia pikir Denis akan mengorbankan aliansi dua keluarga kami demi dia? Konyol!"

Aku merasakan tatapan hina mereka, tetapi aku sudah mati rasa.

"Kamu sudah selesai?" tanyaku tenang.

"Belum." Mata Bella berkilat jahat. "Aku ingin semua orang tahu posisi aslimu di hati Denis. Kamu nggak lebih berharga dari seekor anjing."

Aku berbalik dan keluar dari aula.

Tidak ada yang menghentikanku.

Bahkan Denis pun tidak.

Dua jam kemudian, aku berada di dalam taksi, menyaksikan lampu kota mengabur melewati jendelaku.

Koperku di kursi belakang, berisi seluruh barang milikku.

Tiket sekali jalan ke Kalifo ada di tanganku.

"Hampir sampai, Nona," kata sopir.

Namun, mobil tiba-tiba berbelok ke gang sepi.

"Ini bukan jalan ke bandara," kataku yang sontak waspada.

"Maaf, Nona." Suara sopir menajam. "Ada yang ingin bertemu denganmu."

Jantungku berdegup kencang.

Apa aku sedang diculik?

Mobil berhenti di depan apartemen tua.

Dua pria keluar dan membukakan pintuku.

"Turun," kata salah satunya.

Aku dibawa masuk ke sebuah apartemen. Sederhana, tapi bersih.

Sosok yang familier duduk di ruang tamu.

Denis.

Dia mengenakan kemeja hitam, tampak kelelahan.

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku dingin.

Dia berdiri dan berjalan ke arahku.

"Elian, kita perlu bicara."

"Nggak ada yang perlu dibicarakan." Aku berbalik pergi. "Lepasin aku."

Dia merengkuhku dari belakang, memeluk seperti dulu.

"Aku cuma lakukan hal yang harus kulakukan," gumam Denis di rambutku. Suaranya serak. Bukan permintaan maaf, melainkan fakta.

Aku meronta melepaskan diri dari Denis.

"Lepasin aku!"

"Dengarkan aku." Denis mengeratkan pelukannya. "Bella curiga pada kita. Kalau aku melindungimu, dia bakal kasih tahu ayahnya, terus aliansi akan batal."

"Terus apa?"

"Kamu nggak paham." Denis membalikku menghadapnya, cengkeramannya melukaiku. "Ini bukan tentang perasaan, ini tentang kekuasaan. Kalau aliansi putus, itu berarti perang. Anak buahku akan mati, keluarga mereka pun turut menderita."

Aku menatap mata Denis.

"Jadi kamu memilih mengorbankan aku."

"Bukan mengorbankan, tapi melindungi." Dia membelai pipiku. "Aku menemukan tiket pesawatmu. Kamu mau ke Kalifo?"

Hatiku jatuh.

"Itu kebebasanku."

"Nggak, Elian." Dia menggeleng. "Kamu boleh berhenti, tapi kamu nggak bisa meninggalkanku."

"Apa maksudnya?"

"Aku akan mengirimmu ke rumah di Pantai Barat," ucapnya dengan jari menelusuri bibirku. "Seperti yang kita bicarakan, kamu akan menungguku di sana."

"Aku nggak mau ke sana." Aku mendorongnya. "Aku nggak mencintaimu lagi. Aku mau pergi selamanya dan memulai hidup baru."

Ekspresi Denis seketika menjadi berbahaya.

"Kamu nggak mencintaiku lagi?" Dia mendekat. "Lalu kenapa kamu menangis saat Rolet Rusia?"

"Aku takut!"

"Nggak. Kamu menangis karena merasa dikhianati olehku." Dia menekanku ke dinding. "Kalau kamu nggak cinta sama aku, terus kenapa merasa dikhianati?"

Aku tidak bisa menjawab.

Bibirnya menubruk bibirku, membungkam protesku.

Ciuman yang familiar dan menuntut itu meruntuhkan tekadku.

"Jangan… " Aku mendorongnya, tapi tubuhku mengkhianatiku.

Dia mengangkatku dan membawaku ke kamar tidur.

"Denis, jangan lakukan ini… "

Namun, Denis tidak berhenti.

Dia membaringkanku di ranjang, matanya menyala dengan hasrat untuk memiliki.

"Kamu milikku, Elian," katanya sambil mulai menanggalkan pakaianku. "Selamanya milikku."

Aku mencoba melawan, tapi lima tahun sejarah dan sentuhan yang kukenal membuatku lemah.

Saat dia memasuki tubuhku, aku memejamkan mata.

Denis kasar, seolah melepaskan semua amarah dan ketakutannya.

Aku tahu ini bukan cinta, ini adalah kepemilikan.

Setelahnya, dia menggendongku ke kamar mandi.

Air hangat mengalir membasuh kami saat dia membersihkanku dengan lembut.

"Aku mencintaimu, Elian," bisiknya di telingaku. "Aku nggak bisa kehilanganmu."

Aku tidak menjawab.

Kembali di ranjang, dia mengambil sepasang borgol dari meja samping.

"Ngapain kamu?" tanyaku panik.

"Memastikan kamu nggak kabur." Dia memborgol pergelangan tangan kananku ke sandaran besi. "Aku sudah mengatur pesawat untuk membawamu ke Pantai Barat besok."

Aku menarik-narik borgol itu dengan marah.

"Kamu gila! Gimana kalau Bella tahu kita masih bertemu?"

"Dia nggak akan tahu," katanya sambil berbaring di sebelahku. "Rumah itu terpencil, aku bakal bilang padanya kamu sudah keluar negeri."

"Gimana kalau sampai dia tahu?"

Ekspresinya mengeras.

"Kalau begitu, kamu harus cukup cerdas supaya nggak menghancurkan aliansi keluarga kami."

Aku sampai tidak percaya dengan apa yang kudengar.

"Jadi itu rencanamu? Aku rahasia kotormu? Selingkuhanmu di sangkar emas?"

"Itu satu-satunya cara," katanya tegas. "Inilah realitas kita sekarang, Elian. Nggak ada pilihan lain."

"Bajingan!" Aku menampar dadanya dengan tangan yang bebas.

"Itu kenyataan." Dia menangkap tanganku.

Aku menatapnya, pria yang dulu sangat kucintai.

Dia ingin menyimpanku seperti burung kenari, terkunci di sangkar, tidak pernah melihat cahaya hari.

"Aku membencimu." Aku meludahinya.

"Aku tahu." Dia mencium keningku. "Tapi benci lebih baik daripada kehilangan kamu."

Denis dengan cepat tertidur.

Aku berbaring di sampingnya dengan tangan kananku yang dirantai.

Namun, aku bersumpah. Begitu sampai di Pantai Barat, aku akan kabur.

Tidak peduli apapun resikonya.

Atau mungkin... mungkin Anton bisa membantuku.

Keesokan paginya, Denis melepaskan borgolku.

"Pesawat lepas landas jam sembilan," katanya. "Anton akan pergi bersamamu."

Tentu saja Anton akan ikut.

Aku hanya diam.

Dua jam kemudian, aku sudah di jet pribadi milik Denis.

Aku menatap Anton yang duduk di seberangku, dan aku tersenyum.

Denis tidak tahu bahwa Anton adalah agen rahasia keluarga saingan, yaitu Keluarga Toro.

Saat aku memutuskan untuk pergi selamanya, Anton mendatangiku.

Anton berjanji bisa membantuku menghilang dengan identitas baru, dan aku bisa melanjutkan pekerjaanku di bawah perlindungan mereka.

Sudah waktunya Anton menepati janji itu.

Dalam satu jam, Denis akan mendapat kabar.

Kecelakaan dahsyat, tidak ada yang selamat.

Aku menatap keluar jendela dari pesawat lain, menuju arah yang berbeda.

Lalu, untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku tersenyum.

Senyum yang sesungguhnya.

Utangku sudah lunas...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 21

    Sudut pandang Elian.Enam bulan kemudian, hari pernikahanku di Prasa.Aku mengenakan gaun yang Julian bantu rancang. Renda sederhana, dihiasi mutiara kecil seperti embun pagi.Sebelum upacara, satu paket anonim lagi tiba.Di dalamnya ada desain perhiasan asli oleh maestro Art Nouveau, Alphonse Mucha. Satu set alexandrite, itu semua tidak ternilai harganya.Alexandrite berubah warna dalam cahaya yang berbeda: Zamrud di siang hari, rubi di malam hari, simbol kehidupan ganda dan rekonsiliasi pada akhirnya.Kartu itu berisi satu baris dalam tulisan tangannya yang tajam dan familier, [Untuk wanita yang sejak awal seharusnya menjadi diri sendiri.]Aku tahu itu adalah salam perpisahan terakhir dari Denis.Aku menutup kotak itu dan meletakkannya ke samping. Lalu, aku mengenakan kalung bunga matahari sederhana yang diukir Julian untukku.Harta sejatiku, jenis yang tidak membutuhkan kegelapan untuk bersinar.Di dalam gereja, aku berjalan di pelaminan bersama ibuku, menuju Julian di altar.Saat p

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 20

    Sudut pandang Elian.Dua bulan kemudian, aku dan Julian berada di bandara.Kami akan pindah ke Prasa untuk memulai hidup baru sepenuhnya.Kota di Origo itu indah, tetapi kemunculan Denis bagaikan setetes tinta yang mengotori seluruh lautan.Aku butuh awal yang benar-benar baru.Denis tidak pernah muncul lagi setelah malam itu.Namun, "hadiah" penebusannya tidak pernah berhenti.Sketsa desain yang kupikir sudah lama hancur sudah direstorasi.Dokumen untuk yayasan seni yang didirikan atas namaku.Bahkan sertifikat kepemilikan Hotel Makmur di Cangga.Setiap hadiah adalah rantai lain yang mencoba menarikku kembali ke masa lalu.Aku mengembalikan semuanya tanpa dibuka, dengan satu catatan terlampir:[Aku tidak menginginkan apa pun darimu. Rasa bersalahmu adalah bebanmu sendiri, biarkan aku hidup tenang.]Sebelum naik pesawat, Julian memeriksa bagasi kami, aku duduk sendirian di ruang tunggu.Dari kejauhan, aku melihatnya.Denis berdiri di sisi lain pos pemeriksaan keamanan, mengenakan mante

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 19

    Sudut pandang Denis.Sebuah kota pesisir di Origo.Selama tiga hari, aku menjadi hantu dalam kehidupan baru Elian. Pengintai dari bayangan, kelaparan hanya untuk sekilas melihatnya.Aku melihatnya. Rambutnya kini pendek dan rapi. Dia mengenakan kemeja putih sederhana.Sinar matahari sore menyelimuti wajahnya yang fokus, membingkainya dengan cahaya keemasan.Dia bukan lagi gadis yang selalu tegang di sisiku, dia bersinar.Aku melihat seorang pria baik datang menjemputnya setiap sore.Pria itu akan mengambil tas peralatannya, lalu menggenggam tangannya.Dia akan mengaitkan jarinya dengan jari pria itu, begitu alami.Aku melihat mereka berbelanja di supermarket, bercanda sambil berdebat tentang merek susu.Setiap senyum yang Elian tunjukkan pada pria itu seperti pisau panas yang menusuk perutku.Kecemburuan adalah sulur beracun, mencekik hatiku hingga aku nyaris tidak bisa bernapas.Namun di saat yang sama, rasa kepuasan yang menyakitkan membanjiriku.Elian baik-baik saja, bahagia dan hid

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 18

    Sudut Pandang Denis.Tanganku mengendur.Revolver berlapis emas yang akan menentukan nasib Bella jatuh beradu ke lantai.Bella menerjang ke arahku seperti tali penyelamat.Dia merangkak, memeluk kakiku, wajahnya penuh air mata dan ingus. "Denis! Denis, dengarkan aku! Aku tahu di mana dia! Aku tahu di mana dia!"Aku perlahan menatap wanita menyedihkan di kakiku, mataku membeku."Ulangi ucapanmu.""Aku tahu di mana dia!" Bella mengira dia telah menemukan kartu negosiasi, kepalanya terangkat dengan penuh semangat. "Orang-orangku menemukannya sebelum orang-orangmu! Sebuah kota kecil di pesisir Origo. Dia mengganti namanya menjadi Elena Kumala dan membuka studio desain! Denis, aku tahu segalanya!"Sebuah tangan tak kasat mata mencengkeram jantungku, menekannya hingga nyaris berhenti.Bella tidak hanya menemukan Elian.Dari ekspresi Bella, tampaknya jauh lebih dari itu."Apa yang kamu lakukan padanya?" Suaraku rendah, setiap kata bak batu berat siap menghancurkannya.Mata Bella bergerak geli

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 17

    Sudut pandang Denis.Aku telah menghabiskan dua tahun merajut jaring besar untuk menjebak Keluarga Rosana di dalamnya.Aku memutus semua kesepakatan mereka, mendanai musuh-musuh mereka dan membiarkan mereka mati perlahan dalam penderitaan.Aku pikir semua itu kulakukan demi harga diriku, demi nama Keluarga Sanggu.Sampai Luki meletakkan laporan penyelidikan berdebu berusia dua tahun di depanku."Pak Denis, menurut temuan terbaru kami... kebocoran foto di upacara hotel dan permainan Rolet Rusia... semuanya bukan kebetulan."Aku menatap ke atas, kebingungan sekilas muncul di mataku.Luki menelan ludah dengan susah payah, suaranya tegang. "Semuanya ulah Bella, Pak Denis. Dia menyuap kru teknis untuk mempermalukan Nona Elian di depan umum. Dia bersekongkol sama Mario untuk mengatur permainan itu, dia mempermainkanmu. Kamu adalah senjata yang dia gunakan untuk menyiksa dan mungkin membunuh... Elian."PRANG.Gelas wiski di tanganku pecah.Pecahan kaca menusuk telapak tanganku. Darah bercampu

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 16

    Sudut pandang Denis.Dua bulan lalu, telepon internal di kantorku berdering."Pak Denis." Suara Luki terdengar ragu. "Kami menemukan seseorang di Orom... seseorang yang seharusnya sudah mati."Seolah ada kepalan tangan yang mencengkeram jantungku, darah di nadiku membeku."Siapa?" Suaraku terdengar jauh, seakan bukan milikku."Anton Raga."Tiga hari kemudian, di sebuah rumah aman tanpa jendela di pinggiran Nawa Yok, aku melihat Anton.Dua pengawal menyeretnya masuk. Tubuhnya kurus kering... tapi matanya masih menyala dengan perlawanan. Dia tampak seperti pria yang sudah terima kematiannya.Aku memberi isyarat agar para pengawal keluar, kami berdua sendirian di ruang beton besar itu.Aku tidak bicara, hanya mengitarinya seperti predator menilai mangsanya. Udara terasa begitu tegang hingga bisa meledak.Pistolku tergeletak di atas meja, logam dinginnya memantulkan cahaya putih lampu bohlam di atas kepala."Di pesawat… " Akhirnya aku bersuara, serak. "Apa dia ketakutan?"Anton menatapku,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status