Share

Tiga

***

Seminggu telah berlalu, sikap yang ditunjukkan Mas Arif semakin berubah. Setiap hari dia berangkat ke kantor lebih awal dan tidak tahu apa alasannya. Namun, hari ini aku ingin menanyakan kenapa dirinya terlihat buru-buru setiap pagi.

“Kenapa kamu terkesan buru-buru, Mas?” tanyaku ingin tahu saat ia menyeruput teh buatanku.

“Mau ngantar Rifa ke sekolah.” Dia menyebutkan nama yamg tak lain adalah anaknya.

“Harus kamu yang ngantar, Mas?”

“Wajar, dong, aku papanya.”

“Tapi sebelumnya bukan kamu yang melakukan tugas ini.”

“Udah, ah, Sayang. Kenapa harus mempermasalahkan hal seperti ini? Kamu nggak akan ngerti apa yang kurasakan.”

“Maksud kamu apa, Mas?”

“Apa kamu bisa merasakan apa yang ada di dalam hatiku saat ini? Mungkin tidak. Rifa adalah anak kandung dan juga darah dagingku, wajar kalau aku sangat menyayanginya.”

“Jadi, kamu berpikir kalau aku nggak akan bisa mengerti perasaan seperti itu karena aku tidak bisa memiliki anak?”

“Kamu ngomongnya, kok, gitu?”

“Aku sangat tahu arah dari pembicaraanmu, Mas.”

“Aku lagi nggak ingin bahas sesuatu yang nggak penting, aku mau berangkat sekarang.”

Sebelum Mas Arif beranjak, seperti biasanya aku mencium punggung tangannya. Namun, hari ini dia melupakan rutinitas yang selalu dilakukan setiap pagi. Dia tidak lagi mendaratkan ciuman di dahiku. Sungguh, hati ini terasa sakit dan pilu.

Perhatian suami yang kucintai benar-benar telah berubah, dia bukan lagi sosok yang berusaha melimpahkan kasih sayang layaknya seorang pasangan terhadap istri. Mas Arif juga kini sering berbicara tanpa memikirkan perasaanku terlebih dahulu.

Hampir setiap hari dia pulang terlambat dari tempat kerja. Dia selalu memberikan alasan bahwa putranya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang darinya. Setelah kembali dari kantor, dia bilang harus menyempatkan diri untuk bertemu dengan buah hatinya.

Seperti hari ini Mas Arif tiba di rumah setelah Magrib, aku melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya. Dia menghempaskan tubuh di atas sofa ruang TV. Aku mendekat dan duduk di samping kanannya dan mencoba menanyakan kenapa dirinya pulang saat di luar sudah gelap.

“Kamu dari mana, Mas?” tanyaku sambil melepaskan dasi dari kerah kemeja yang dikenakan.

“Kamu pasti udah tahu jawabannya, Sayang. Aku mampir ke rumah Alexa.” Dia menyebutkan nama wanita yang tidak ingin kudengar.

“Tapi kenapa sampai selama ini baru pulang?”

“Rifa menahanku untuk tidak pulang cepat, katanya masih kangen sama papanya.” Mas Arif kembali menjadikan anak sebagai alasan.

“Jangan bohong kamu, Mas.”

“Bohong? Apa maksud kamu?”

“Sebenarnya kamu juga ingin selalu bersama ibunya, ‘kan?”

“Akhir-akhir ini kamu sering nuduh aku, ya.”

“Apa salah jika aku cemburu, Mas?”

“Cemburumu nggak berasalan.”

“Jelas sangat beralasan. Bagaimana mungkin aku bisa tenang di rumah saat suamiku sedang bersama wanita masa lalunya di luar sana? Dia juga ibu dari anak hasil hubungan tidak sahnya.”

“Stop! Aku nggak mau kamu bicara seperti itu. Wajar kalau aku menyayanginya, karena dia sudah melahirkan anak untukku.”

“Kamu benar-benar berubah, Mas. Selalu berusaha menyakiti dan melukai perasaanku.”

Mas Arif tidak menghiraukanku, dia beranjak lalu berjalan memasuki kamar meninggalkan aku tanpa sepatah kata pun. Suamiku bukan yang dulu lagi, yang selalu memeluk tubuh ini saat sudah tiba di rumah setelah pulang dari kantor.

Dia sudah berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal. Kasih sayang dan perhatian yang selama ini diberikan telah terlupakan. Mas Arif lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Setelah selesai melaksanakan kegiatan rutinitas sertiap hari, dia lebih memilih bersama anak dan wanita masa lalunya.

Saat dia berada di rumah, waktunya juga tersita untuk memandangi layar ponsel miliknya. Kebiasaan kami saling berbincang dan bersenda gurau di ruang TV sudah terabaikan. Mas Arif tidak pernah lagi menceritakan tentang kegiatannya di kantor.

Aku merasa seperti orang asing yang harus hidup bersama laki-laki yang tidak peduli lagi akan kebutuhan yang kudambakan. Mas Arif bertindak seolah-olah kalau aku tidak membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Dia selalu menegaskan bahwa anaknya harus lebih sering bersama sang ayah.

“Tolong ngerti, dong, Sayang. Rifa jauh lebih membutuhkan aku dari siapa pun,” ungkapnya dua hari yang lalu.

“Tapi kamu tidak adil, Mas. Kamu sekarang tidak peduli lagi padaku.”

“Jangan manja, ah.”

“Apa, Mas? Kamu bilang aku manja?Mana janjimu yang ingin berusaha untuk adil. Kenyataannya waktumu lebih banyak untuk wanita masa lalu daripada pasangan halalmu.”

“Aku hanya ingin memberikan kasih sayang untuk anakku. Aku harap kamu bisa ngerti.”

Hampir setiap hari perdebatan terjadi, selalu anak yang dijadikan alasan. Padahal aku tidak tahu apa yang Mas Arif lakukan di luar sana. Bagaimana mungkin aku bisa tenang membiarkan suami yang kucintai harus bertemu dengan cinta pertamanya?

Rasanya tidak percaya jika mereka tetap biasa saja kalau sudah sering bertemu, tidak menutup kemungkinan bahwa rasa yang pernah ada akan hidup kembali. Aku tidak akan mungkin terima jika hal itu benar terjadi. Aku tidak kuat kalau harus berbagi cinta dengan wanita lain yang juga merupakan ibu dari anak Mas Arif.

Aku ingin mengetahui seperti apa wanita yang mampu membuat Mas Arif melakukan hubungan tidak pantas di masa lalu. Padahal saat kami masih berstatus sebagai kekasih, dia tidak pernah menginginkan sesuatu yang terlarang. Dia bahkan berusaha menjaga kehormatanku hingga kami resmi menjadi sepasang suami-istri.

***

Sudah sebulan lamanya aku dan Mas Arif merahasiakan tentang keberadaan wanita masa lalu dan putranya dari keluarga. Pernah suatu hari, dia ingin jujur dan mengatakan kebenaran pada orang tua, tapi aku melarang karena tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Aku harus jujur ke Mama dan juga Papa. Mereka harus tahu kalau aku memiliki anak kandung. Aku juga ingin menyampaikan bahwa Rifa adalah alasan kenapa aku tidak bersedia mengadopsi anak.” Hatiku sakit saat Mas Arif mengutarakan niatnya.

“Tapi aku belum siap, Mas. Aku takut jika orang tuamu memikirkan sesuatu yang tidak kuharapkan.”

“Aku nggak ngerti maksud kamu.”

“Tapi aku mohon jangan sekarang, Mas.”

“Ya, udah … terserah kamu aja.”

Aku tidak tahu apakah Mas Arif mengetahui apa yang ada dalam pikiran saat ini. Aku merasakan sesuatu yang mungkin terjadi jika keluarga mengetahui kebenaran. Aku masih belum nampu untuk berbagi dengan wanita lain. Memikirkannya saja rasanya sangat takut.

Aku tidak sanggup membayangkan nasib ini akan seperti apa kalau kedua mertua mengetahui bahwa mereka memiliki cucu kandung dari wanita lain. Apa yang terjadi selanjutnya padaku? Bagaimana kalau kasih sayang mereka juga akan terbagi seperti Mas Arif. Sungguh, aku tidak kuat jika sampai hal itu terjadi.

Perhatian dan waktu Mas Arif benar-benar sudah tidak adil. Seperti yang ia lakukan hari ini, dia dengan mudahnya memenuhi permintaan wanita itu agar menemani dia dan putranya ke tempat bermain. Mereka berencana menghabiskan waktu akhir pekan ke pantai. Aku tidak mampu berbuat apa-apa karena Mas Arif seperti biasa menjadikan anak sebagai alasan.

Aku tidak menyia-nyiakan waktu tersebut, dengan sengaja diriku akan mengikuti perjalanan mereka tanpa sepengetahuan Mas Arif. Ingin rasanya mengetahui sedekat apa sekarang hubungan yang terjalin antara suamiku dan mantan kekasihnya.

Setelah tiba di tempat tujuan, mata ini terbelalak melihat sesuatu yang tidak kuharapkan. Mas Arif menggandeng tangan wanita itu dengan mesra dan membelai rambutnya. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang bahagia. Aku tidak melihat anak kecil di sekitar mereka.

Aku mengakui bahwa cinta pertama Mas Arif lebih menawan walaupun kenyataannya usianya lebih tua dua tahun dariku. Tubuhnya terlihat menarik dengan wajah berparas cantik. Sekarang aku baru tahu kenapa dulu Mas Arif mengatakan sangat sulit melupakan sang mantan kekasih.

Alexa, nama yang sangat pantas untuk menggambarkan kecantikan yang dimilikinya. Saat ini dengan sengaja sedang bermanja dan menyandarkan kepala di bahu laki-laki yang bukan suaminya. Aku tidak kuat melihat pemandangan yang tidak kuharapkan ini.

Tidak berpikir dua kali, akhirnya aku menghampiri dua insan itu. Mas Arif sangat terkejut melihat keberadaanku, sangat jelas terlihat dari wajahnya. Alexa memandang ke arahku dengan tatapan tidak senang.

“Ternyata ini yang kamu lakukan di belakangku, Mas. Kamu jadikan anak sebagai alasan, ternyata ingin berduaan dengan wanita ini!” Aku menaikkan suara satu oktaf sambil menunjuk ke arah Alexa.

“Dia siapa, Sayang?” tanya Alexa menatap sinis padaku. Aku tidak kuat mendengarkan panggilan yang ditujukan wanita itu pada Mas Arif.

“Dia Aliyah, istriku,” jawab Mas Arif.

“Ooo … ini istri yang tidak mampu memberikan kamu anak.” Aku tidak percaya mendengarkan kalimat yang keluar dari bibir wanita itu.

Mas Arif tidak tinggal diam, dia langsung berpindah lalu meraih tanganku. “Jangan pernah bicara seperti itu pada Aliyah, walau bagaimanapun dia adalah istri pilihanku.” Mas Arif ternyata memberikan pembelaan atas diriku.

Walau terasa sakit karena merasa telah dibohongi oleh Mas Arif, tapi hati ini bahagia mendengarkan pembelaan suamiku. Ternyata laki-laki yang telah menghalalkanku masih tetap ingat bahwa aku adalah wanita yang telah bersedia menjadi istri yang akan selalu mendampingi hidupnya.

=================

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
tolol jadi perempuan !!!!!
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sadar diri aliyah, kamu g sempurna sekarang. klu g kuat bertahan maka pergi. gimanapun suami mu butuh keturunan. jgn hanya mengingat janji yg lalu, cari kedibukan dan jgn jadi benalu dan ngebabu terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status