***
“Kamu berani bela dia di depan aku, Sayang?” tanya Alexa pada Mas Arif.
“Maaf, tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Dia istri yang kuinginkan.” Mas Arif dengan tegas kembali mengucapkan kalimat itu.
Aku tidak suka dengan panggilan Alexa pada Mas Arif, dia sangat berani. “Kenapa wanita itu memanggilmu dengan sebutan ‘Sayang’, Mas?” tanyaku pada Mas Arif sambil melihat ke arah Alexa.
“Apa urusanmu? Dia ayah dari anakku!” Justru Alexa yang menjawab pertanyaanku.
“Mana anak yang kamu maksud?” Aku ingin tahu anak yang pernah kulihat di ponsel Mas Arif.
“Dia bersama neneknya di rumah.” Hatiku memanas mendengarkan pengakuan perempuan yang ada di depanku.
Ternyata suamiku kembali menjadikan anaknya sebagai alasan agar dia dapat berduaan dengan sang mantan kekasih. Sungguh aku tidak mengerti kenapa Mas Arif tega membohongi seorang istri yang jelas-jelas sangat mencintainya hanya demi masa lalu.
Rasanya tidak kuasa menahan amarah di depan Mas Arif dan wanita itu, aku melepaskan tangan dari genggaman laki-laki tersebut. Aku merasa seperti seseorang yang dipermainkan oleh pendamping hidup yang mengaku sangat menginginkan diriku.
Laki-laki yang kuhargai dan hormati telah berani menyampaikan kebohongan demi wanita yang berstatus sebagai ibu dari anaknya. Dia mengatakan ingin memanjakan buah hati mereka dengan mengajak Rifa ke pantai.
Namun, ternyata semua itu bohong, karena kenyataan yang kusaksikan saat ini tidak sesuai dengan yang telah disampaikan Mas Arif. Dia sengaja menggunakan waktu libur untuk berduaan dengan wanita yang dulu telah meninggalkannya.
“Ternyata kamu bohong, Mas. Tujuanmu hanya ingin berduaan dengan dia.” Aku menunjuk ke arah Alexa.
“Sayang … kita bahas ini di rumah, ya, nggak enak dilihat orang.” Mas Arif kembali meraih tanganku tapi aku tepiskan.
“Kenapa? Kamu malu kalau orang-orang tahu kalau kamu bermesraan dengan wanita yang bukan istrimu?” Aku menaikkan suara.
“Pelankan suaramu, Sayang, aku mohon.” Mas Arif berusaha menenangkanku.
Tiba-tiba Alexa meraih tangan suamiku lalu berkata, “Ngapain, sih, harus memohon ke dia? Wajar, dong, kamu ingin berduaan dengan wanita yang memberikanmu anak.”
“Tapi kamu bukan istrinya! Anak yang kamu maksud adalah hasil dari hubungan terlarang kalian. Apa kamu nggak merasa malu bermesraan dengan suami orang?” Aku dengan tegas menyadarkan status wanita itu.
“Tapi kenyataan, aku yang berhasil memberikan anak untuk suamimu. Bukan kamu yang berstatus sebagai istrinya.” Alexa ternyata wanita yang sangat egois.
“Kenapa kamu yakin kalau anak itu adalah darah daging suamiku?” Aku akhirnya berhasil mengeluarkan kalimat yang sudah lama ingin kusampaikan.
“Apa maksud kamu?” tanya Alexa.
“Tidak menutup kemungkinan, dong, jika kamu juga melakukan hubungan terlarang dengan laki-laki lain.”
“Berhenti!” Mas Arif membuka suara. “Apa maksud kamu berbicara seperti itu pada Alexa?” tanya laki-laki itu padaku.
“Itu pertanyaan wajar untuk mengetahui kebenaran,” jawabku dengan yakin.
“Rifa benar anakku, kami sudah melakukan tes DNA. Kamu juga melihat dia hanya di dalam ponsel. Seandainya sudah ketemu dia, kamu akan sangat yakin setelah melihat kemiripan kami.” Aku tidak kuat mendengarkan penjelasan Mas Arif.
Ternyata anak yang dilahirkan Alexa adalah benar darah daging suamiku. Dia mengaku telah membuktikannya melalui tes DNA. Pupus sudah harapan yang kuinginkan, aku merasa menjadi orang asing di antara mereka berdua. Terlihat jelas senyuman yang diberikan wanita itu membuat diri ini seperti tidak berarti.
“Sekarang kamu pulang, nanti kami menyusul.” Mas Arif tega mengatakan kalimat itu padaku.
“Apa, Mas? Kamu tega memintaku pergi dari sini agar tetap dapat bersama dia?” tanyaku tidak percaya.
“Kamu ke sini bawa kendaraan sendiri, sedangkan Alexa nggak. Dia harus tetap pulang bersamaku.” Alexa kembali tersenyum mendengarkan ucapan Mas Arif.
Aku tidak sanggup lagi berada di antara mereka, tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa laki-laki yang telah menjadikanku sebagai istri dengan sangat tega lebih memilih membela wanita lain. Kehadiran Alexa telah merubah sikap suami yang kucintai.
Wanita itu telah berhasil merebut perhatian laki-laki yang bukan suaminya. Anak yang telah dilahirkan olehnya menjadi alasan untuk Mas Arif agar kembali dapat berduaan, hingga tega membohongi istri yang selama ini sangat percaya padanya.
***
Apa yang tidak kuharapkan dan inginkan, akhirnya terjadi. Setelah sebulan kemudian, Mas Arif mengaku telah mengatakan keberadaan Rifa pada keluarganya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah orang tua dari suamiku mengetahui hal itu.
“Kamu tega, Mas,” ucapku di dalam kamar.
“Kenapa kamu bilang tega?”
“Tanpa sepengetahuanku, kamu menyampaikan hal itu pada keluargamu. Selama ini kalau ada sesuatu hal penting, kamu terlebih dahulu pasti membicarakannya denganku.”
“Kamu selalu menghalangiku jika aku ingin mengatakan kebenaran itu pada keluarga. Kamu tidak tahu betapa bahagianya Papa dan Mama setelah mengetahui keberadaan Rifa.”
“Kamu benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kupikirkan.”
“Bagaimana aku bisa mengerti jika kamu tidak mengatakannya.”
“Kamu sudah berubah, Mas. Kamu bukan lagi Mas Arif yang kukenal, selalu mengerti dan tahu apa yang diingkan istri.”
“Aku tidak mengerti arah dari pembicaraanmu, Sayang. Maksud kamu apa?”
“Sudahlah, Mas. Terserah kamu aja.”
Tiba-tiba Mas Arif kembali membuat hati ini berdebar. “Ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan padamu. Ini juga permintaan semua anggota keluargaku.” Perasaanku mulai merasa tidak keruan. Apa yang ingin Mas Arif sampaikan?
“Ada apa, Mas?” tanyaku ingin tahu.
“Mereka memintaku untuk menikahi Alexa.” Dadaku tiba-tiba terasa sesak mendengarkan sesuatu yang tidak pernah aku inginkan.
“Apa, Mas? Itu tidak mungkin!”
“Ini demi kebaikan Rifa. Dia membutuhkan aku, tapi dia juga butuh Alexa. Dia tidak bisa lepas dari papa dan mamanya. Dia butuh kasih sayang penuh.”
“Apa harus dengan cara menikahinya?”
“Iya, Sayang. Aku juga tidak ingin terhanyut dalam dosa.”
“Maksud kamu apa, Mas?”
“Aku juga masih sangat mencintainya. Aku sudah berusaha menepiskan rasa itu tapi tidak berhasil. Aku dan dia tetap menjalin hubungan menjadi sepasang kekasih tanpa sepengetahuan kamu.” Hatiku kembali hancur mendengarkan kejujuran Mas Arif.
Apa yang tidak kuinginkan akhirnya kini menjadi kenyataan. Suamiku ingin menikahi wanita lain dengan statusnya yang sudah memiliki istri. Dia berkata bahwa keluarga juga yang memintanya untuk melaksanakan niat itu.
Pupus sudah harapan menjadi istri satu-satunya untuk suamiku. Keinginan untuk mengadopsi anak dan hidup bahagia di dalam istana cinta milik kami tidak akan pernah terjadi. Mas Arif telah mendapatkan apa yang diinginkan selama ini, seorang anak yang menjadi pelengkap hidupnya.
Anak itu tidak dapat aku lahirkan dari rahim ini, tapi wanita lain yang telah memberikannya untuk sang suami. Hati istri mana yang akan sanggup menerima kenyataan kalau pendamping hidupnya memperoleh keturunan dari rahim perempuan lain? Aku merasa menjadi orang yang tidak berguna dan tidak diharapkan di dalam keluarga Mas Arif. Hati ini sangat sakit dan juga terluka setelah mengetahui niat keluarga laki-laki yang ada di sampingku.
“Tolong izinkan aku untuk menikahi Alexa, Sayang. Aku mohon. Kamu dan dia sama pentingnya bagiku.” Mas Arif memohon padaku.
“Kenapa kamu tidak menceraikan aku saja, Mas?” Walaupun kenyataan bahwa aku tidak ingin berpisah dari suamiku.
“Itu tidak mungkin. Aku tidak dapat memilih di antara kalian. Aku mencintaimu dan juga dia.”
“Kamu egois, Mas. Apa kamu tidak dapat memahami apa yang kurasakan? Aku juga tidak menyangka secepat itu keluargamu memberikan keputusan. Mereka seolah-olah sengaja ingin menghancurkan hatiku.”
“Tapi ini adalah jalan terbaik untuk aku, kamu, dan Alexa.”
“Terbaik untukmu, tapi tidak denganku. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu. Kamu sudah dibutakan oleh nafsumu sendiri.”
“Tapi aku tidak mampu melepaskan perasaan ini. Aku mencintainya, kamu juga sangat tahu kalau dia ibu dari anakku.”
“Sudah tidak diragukan lagi, selalu anak yang kamu jadikan sebagai alasan. Padahal kenyataannya kamu tidak bisa melupakan kenangan bersama dia.”
“Terserah seperti apa kamu menilaiku. Yang pasti aku harus menikahi Alexa.”
“Kalau kamu memang tetap akan melakukan niat itu, kenapa kamu harus meminta izin padaku? Toh, keluargamu juga tidak mengerti perasaanku. Aku tidak berarti di mata kalian. Kasih sayang yang dulu ada akhirnya sirna karena aku tidak mampu memberikan keturunan.” Bulir bening ini tidak mampu aku hentikan agar tidak jatuh.
“Aku mohon jangan seperti ini, Sayang, jangan menangis. Kamu harus tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu. Kamu adalah wanita pertama yang telah berhasil membuatku menjadi seorang suami. Kamu selalu menghormati dan menghargaiku.”
“Tapi aku juga yang tidak dapat memberikanmu keturunan hingga kamu berniat untuk membagi cintaku dengan wanita yang mampu melahirkan anak untukmu. Aku sudah pasrah, Mas … lakukan apa yang terbaik untukmu dan keluarga.”
Bibir ini mengatakan pasrah tapi tidak dengan hati. Wanita mana yang akan sanggup jika harus berbagi suami dengan orang lain? Aku berusaha mencoba untuk ikhlas demi suami yang sangat aku cintai. Semua ini kulakukan agar ia mendapatkan kebahagiaan.
Ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi, walaupun terasa pahit tapi aku harus berusaha untuk kuat dan tegar. Aku tidak kuasa menolak kemauan suami tercinta, karena walaupun mencoba bertahan untuk tidak setuju, semuanya tetap sia-sia.
Aku melihat besarnya cinta di mata Mas Arif untuk wanita yang telah melahirkan putranya. Semua itu dapat kurasakan dari sikapnya yang lebih mengutamakan wanita itu dan anak mereka. Aku rela dimadu agar orang-orang yang suamiku sayangi mendapatkan hak yang diharapkan.
Mulai saat ini, aku akan belajar untuk menyadari bahwa Mas Arif bukan lagi milikku seutuhnya. Cinta dan kasih sayang yang dulu ia berikan penuh hanya untuk diri ini, akan terbagi untuk orang lain. Kebahagiaannya akan menjadi kekuatan bagiku dalam menjalani kenyataan ini.
================
*** Hari ini adalah pernikahan kedua untuk laki-laki yang sangat aku cintai dan hormati. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang menjadi pengantin wanitanya. Namun, sekarang perempuan lain yang berada di posisi itu. Dia adalah masa lalu suamiku dan juga merupakan ibu dari anaknya. Hati ini sungguh tidak kuat menyaksikan acara pernikahan mereka, aku memilih menenangkan diri di rumah orang tua. Papa dan Mama berusaha menguatkan putri yang sangat mereka sayangi. Sementara, kakak laki-laki tertua di rumah tidak terima dengan apa yang terjadi. “Kenapa kamu tetap bertahan, Al? Apa yang kamu harapkan?" Aku hanya terdiam mendengarkan pertanyaan dari kakakku. Kak Radit adalah anak sulung dari orang tuaku, dia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Istrinya bernama Kak Ayu, dan Arya merupakan buah hati tercinta mereka. Sekarang, usianya baru lima tahun, seumuran dengan putra dari Mas Arif bersama Alexa. Kak Radit sengaja berkunjung ke rumah Papa dan Mama
*** Waktu sudah menunjukkan pukul 22.50 WIB, tapi Mas Arif belum kunjung pulang. Aku tidak tahu apakah dia akan menginap di rumah istri keduanya atau di istana cinta kami. Padahal tadi laki-laki itu sudah berjanji akan tidur bersamaku malam ini. Aku tidak dapat memejamkan mata karena masih terus menunggu kedatangan suami tercinta. Aku masih tetap berharap bahwa ia akan mengingat janjinya dan berusaha untuk adil antara diriku dan istri kedua. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi suami yang kutunggu-tunggu masih belum menunjukkan batang hidungnya. Aku tidak sabar lagi untuk menunggu adanya sebuah kepastian. Aku ingin mendengar langsung dari bibir Mas Arif, kenapa ia tidak berusaha menghubungi istri yang sejak tadi mengharapkannya? Aku meraih benda bentuk pipih milikku dari atas meja rias, lalu mencari nama suami di layar. Segera kutekan tombol telepon berwarna hijau dan terdengar nada bahwa panggilan yang kulakukan ternyata masuk. Sungguh, ini tidak pernah terbayangkan bahwa aku menden
*** Aku kembali mengingat kenangan saat pertama kali berkunjung ke rumah nenek. Saat itu liburan kelulusan Sekolah Dasar (SD). Nenek meminta agar aku melanjutkan sekolah di sana, tapi orang tua tidak memberikan izin karena diriki merupakan anak bungsu. Mama mengatakan bahwa beliau tidak sanggup harus tinggal berjauhan dengan putri bungsunya. Padahal aku sangat suka kalau harus menemani kakek dan nenek di kampung. Mereka hanya tinggal berdua semenjak Mama menikah dengan Papa. Kurang lebih sebulan lamanya aku tinggal di rumah wanita yang telah melahirkan Mama. Banyak kenangan yang kudapatkan di sana. Anak-anak yang rumahnya berada tidak jauh dari rumah nenek menjadi sangat akrab denganku. Tidak terkecuali dengan Arif, salah satu teman yang baru kukenal kala itu. Tempat tinggalnya tidak jauh dari masjid yang ada di desa tersebut. Hampir setiap hari kami bertemu, karena dia melaksanakan salat di masjid. Namanya persis seperti laki-laki yang telah menikahiku. Kakek dan nenek selalu rut
*** Aku beranjak dan meninggalkan taman belakang, sepanjang perjalanan menuju kamar, diriku tidak melihat lagi wujud Mas Arif di ruang TV. Dia benar-benar telah berubah, tidak berusaha mengejar saat aku tadi berlari ke taman belakang. Laki-laki itu tidak tahu bahwa seorang istri dapat luluh apabila suaminya berusaha membujuk dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukan. Kembali kumelangkah dan memasuki kamar dan ternyata Mas Arif juga tidak ada. Aku sudah pasrah. Terserah dirinya akan berbuat apa sekarang. Saat ini tetap fokus dengan rencana yang telah terpikirkan, aku mulai membenahi barang-barang yang akan diperlukan di rumah nenek. Sudah tidak sabar rasanya agar segera tiba di rumah yang penuh dengan kenyamanan. Malam telah larut, tapi Mas Arif tidak kunjung pulang, padahal malam ini adalah waktunya tidur di rumah ini. Namun, aku tidak peduli lagi dengan apa yang ingin ia lakukan. Terserah padanya jika memang tidak ingin kembali. Aku berusaha untuk bersikap tenang, dan memejam
*** Aku berjalan menuju teras dan sejenak menoleh ke arah belakang. Tidak sengaja netra ini melihat sosok seorang laki-laki sedang mengendarai sepeda motor. Dia juga melirik hingga mata kami saling berpandangan. Sepertinya dia tidak asing bagiku, wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal. Aku berpikir bahwa itu hanya perasaanku saja, aku kembali melangkah lalu mengetuk pintu rumah Nenek yang tertutup. Hatiku sangat tenang setelah menginjakkan kaki di tempat ini, padahal tadi aku masih merasakan kesedihan yang sangat pilu sebelum sampai. “Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam. Tidak menunggu lama, akhirnya terdengar balasan salam dari dalam. Suara itu sudah pasti milik Nenek yang selalu terngiang di telinga. “Wa’alaikumsalam.” Pintu pun terbuka, lalu berdiri sosok wanita yang aku sayangi, beliau adalah perempuan yang telah melahirkan Mama. Aku sangat bangga dan bersyukur memiliki nenek seperti beliau. Tanpa menunggu lama, aku langsung mencium punggung tangan lalu mem
*** Kadang cinta itu susah untuk dimengerti, tiba-tiba hadir di saat keadaan tidak memungkinkan. Ketika kita sudah terikat dengan hubungan yang sakral, kenapa perasaan yang menggetarkan hati harus muncul kembali? Ini waktu yang tidak tepat menurutku. Apakah ini yang dirasakan oleh Mas Arif pada cinta masa lalu yang sekarang menjadi pendamping hidupnya? Dia pasti sadar bahwa dirinya sudah memiliki seorang istri, tapi setelah bertemu dengan mantan kekasih, laki-laki itu justru jujur mengatakan bahwa ia masih mencintai perempuan tersebut. Apakah aku harus ikhlas dan memaafkan apa yang telah Mas Arif lakukan setelah hati ini merasa sakit dan menderita? Namun, tindakannya sudah melampaui batas, dia tidak hanya berbagi cinta dan sayang, tapi juga sudah berani melakukan kekerasan. Mungkin jika laki-laki itu tidak betindak kasar dan mampu berbuat adil, aku masih berusaha mencoba untuk ikhlas. Ternyata harapan tidak seindah kenyataan, karena yang terjadi sungguh tidak dapat diterima oleh ak
*** “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Pernikahanku baik-baik aja dan aku bahagia hidup bersama suami. Kami saling mencintai.” Aku tetap menutupi apa yang terjadi di depan Arif. “Al, Al … ternyata ketabahanmu lebih dari yang aku kira.” Saat Arif mencoba mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tanggaku, tiba-tiba mobil laki-laki yang telah menikahiku memasuki halaman rumah nenek. Kenapa dia menyusul ke desa? Siapa yang telah memberitahukan keberadaanku padanya? Laki-laki itu memarkirkan kendaraan roda empat miliknya lalu turun. Dia melangkah dan pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang sedang bersamaku saat ini. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya sekarang. “Ngapain kamu ke sini, Mas?” Aku langsung melontarkan pertanyaan itu. Ternyata aku tiba-tiba lupa kalau Arif ada di antara kami. “Kenapa? Kamu nggak suka aku ke sini, Sayang …karena ada dia?” Suamiku menunjuk ke arah Arif. “Kamu apa-apaan, sih, Mas. Baru datang langsung nuduh gitu.” “Kamu ya
*** “Kakek dan Nenek pasti membelanya, itu sudah pasti.” Mas Arif justru memberikan balasan dari ucapan Kakek. “Dia pantas dibela karena telah disakiti oleh suaminya sendiri.” Aku terharu mendengarkan penuturan Nenek. “Tapi dia istri saya.” “Karena statusnya sebagai istrimu, kau merasa bebas untuk menyakitinya?” Kakek berjalan ke arahku dan Mas Arif. “Hanya karena satu tamparan, Kakek merasa kalau saya menyakitinya?” Aku tidak percaya mendengarkan apa yang disampaikan Mas Arif. Dia tega mengatakan kata hanya atas kekerasan yang ia lakukan. “Kau bilang hanya? Saya sampai detik ini tidak pernah berbuat kasar atau menyakiti istri saya, neneknya Aliyah. Paham! Laki-laki tidak tahu diri!” Kakek tiba-tiba mendaratkan tamparan di pipi kiri Mas Arif. Laki-laki yang telah menikahiku tersebut seketika terdiam sambil memegang pipi kirinya. Aku tidak pernah menyangka sebesar ini pembelaan seorang kakek terhadap cucunya. Ternyata Kakek juga bisa berubah menjadi seseorang yang tegas. Selama i