Aku Menyelamatkan Pujaan Hati Suamiku

Saat aku sadar diriku telah terlahir kembali, pesawat sudah mulai berguncang hebat.

Di sampingku, para kru sedang membagikan parasut, tapi ketika sampai ke aku dan Paula, mereka menemukan salah satu parasut rusak.

Setelah beberapa saat ragu, akhirnya Steve menyerahkan parasut terakhir itu padaku.

“Silvia, parasut ini untukmu.”

Melihat ekspresi penuh rasa sakit di wajah Steve saat memberikan parasut itu padaku, aku justru mundur selangkah dan menolak dengan tegas.

“Nggak perlu.”

“Steve, selamatkan Paula dulu saja.”

Kali ini, aku tak ingin memikul nyawa orang lain. Aku ingin hidup demi diriku sendiri!

Mendengar itu, Steve langsung menghela napas lega.

Dia menatapku dalam-dalam, lalu kerutan di dahinya pun perlahan mengendur, bahkan suaranya terdengar agak senang.

Tanpa banyak pikir, dia langsung menarik Paula ke sisinya dan mengenakan parasut terakhir itu ke badannya.

“Silvia, kamu itu tunanganku, seharusnya aku menyelamatkanmu dulu. Tapi, karena kamu sendiri yang memintaku menyelamatkan Paula, tentu saja aku nggak akan mengecewakan permintaanmu!”

Usai bicara, dia langsung melompat keluar dari pesawat bersama Paula.

Bahkan tak melirikku sedikit pun, seolah takut aku akan berubah pikiran.

Lucu sekali. Apa dia pikir semua orang seegois dirinya?

Jelas-jelas pilihannya sendiri, tapi malah menyesalinya setelah selamat.

Di kehidupan sebelumnya pun sama. Steve memberikan parasut terakhir padaku, lalu setelah aku terjun, dia terus mendampingi dan menjagaku dengan sepenuh hati, sementara Paula dibiarkan tetap di pesawat.

Meski kami segera menghubungi tim penyelamat setelah mendarat dengan selamat, dalam kecelakaan udara dari ketinggian puluhan ribu meter itu, Paula tetap tak bisa diselamatkan.

Jasadnya bahkan tak ditemukan.

Awalnya, saat mendengar kabar kematiannya, Steve tampak tenang-tenang saja. Bahkan saat bicara denganku, dia hanya berkata datar,

“Hanya orang yang nggak ada hubungannya.”

Dia bahkan bisa mengurus urusan pemakaman Paula seorang diri, tanpa menunjukkan kesedihan sedikit pun.

Dia hanya meminta satu permintaan waktu itu.

Hanya tidak tega memakamkan Paula sendirian, karena kebetulan masih ada sebidang tanah kosong di makam keluarganya.

Tentu saja aku menyetujuinya. Bahkan dengan pengertian, aku sempat bertanya apakah dia ingin menunda pernikahan kami.

Namun, apa jawabannya?

Dia menggenggam tanganku dengan penuh perasaan dan berkata,

“Silvia, menikah denganmu adalah satu-satunya impian dalam hidupku. Masa kamu tega menunda pernikahan kita hanya demi orang luar yang tak penting?”

Namun, belakangan aku baru tahu, justru demi orang luar yang tak penting itulah dia ingin buru-buru menikahiku.

Agar bisa menyiksaku seumur hidup dan membuatku menebus dosa atas kematian Paula.

Padahal, aku tak memaksanya membuat pilihan waku itu.

Apa aku yang memaksanya untuk menolongku?

Tidak.

Jadi, apa hubungan kematiannya dengan diriku?

Maka dari itu, di kehidupan ini, aku berikan kesempatan hidup itu pada orang yang paling dia cintai. Seharusnya Steve berterima kasih padaku.