“Vita …! Ini kamu, Sayang? Dan itu adek Tampan?” Arfan sontak berdiri, lalu berjalan menyongsong sang keponakan. Tubuh mungil Vita tenggelam di dalam pelukannya.“Iya, Paman. Ini Vita. Itu adek Tampan. Paman di sini? Bibik juga?” Wajah cantik Vita terlihat semringah menoleh ke arah Rosa.Sudah sangat lama dia merindukan keluarga dari pihak ibunya. Setiap dia utarakan keingiannya, sang nenek tak pernah meluluskan. Kali ini, tanpa dia duga-duga mereka bisa bertemu juga. Meskipun wajah sang Bibik tak pernah sedap untuk dia pandang, namun tertutupi dengan limpahan kasih sayang dan perhatian dari sang paman.“Vita mau salim sama Bibik dulu, Paman!” pintanya seraya meloloskan diri dari pelukan Arfan.“Iya, Sayang!” Arfan melepas pelukan, lalu menyambut Tampan yang berada di dalam gendongan Alva. Sementara Vita menyalam dan mencium punggung tangan Rosa.“Bibik! Bibik juga mau ketemu Mama Vita, kan? Mama Vita di dalam, kan? Dokter obatin Mama Vita, kan, Bik?” tanyanya memastikan kalimat yan
“Maaf, Pak! Tolong tunggu di luar saja! Pasien sedang sangat gawat! Jangan ganggu konsentrasi Dokter, ya! Apalagi ini bawa anak-anak segala!” Seorang perawat langsung menghadang saat Alva membuka pintu ruangan. Wajahnya terlihat sangat masam. “Dokter sedang berjuang, keluarga dimohon bantu doa, bukan malah mengganggu!” omelnya.“Bocah-bocah ini adalah anak Bu Elma! Mereka ingin bertemu ibunya dalam keadaan hidup untuk yang terakhir kalinya, harap Suster paham!” tegas Alva menerobos masuk.“Tapi, Pak! Dokter bisa marah dan mengganggu konsentrasi mereka, tolong ….”“Biarkan saja Suster!”Seorang Dokter yang paling sepuh berteriak. Sang perawat mengalah.“Mama …!” Vita melepaskan tangannya dari pegangan Alva, lalu berlari ke arah ranjang pasien.“Ma … ma … mama … mama ….” Tampan ikut melorotkan tubuhnya dari gendongan Alva lalu berlari menyusul kakaknya.“Tuh, kan, mereka pada ngurusuhi!” perawat langsung mengejar hendak menghalangi kedua bocah itu mendekati Elma.“Biarkan saja, Suster!
“Berhenti!” teriak Alva tiba-tiba.Bu Risda, Rosa dan Binsar menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Alva. Alva berjalan menyusul mereka. Sementara Arfan dan Andre hanya bisa terpana. Belum juga sempat mereka menanyakan di mana tadi Alva menemukan anak-anak Elma. Suasana begitu tegang sedari tadi. Tak ada waktu buat berbincang.“Apa hakmu menghentikan kami, hah!” Binsar yang menyahut pertama kali. Risda terlihat tegang. Rosa mencibir merendahkan Alva.“Maaf, aku baru saja membawa anak-anak dari ruangan Bu Elma. Bu Elma hampir kehilangan nyawanya. Karena sentuhan jemari putri Anda, dan belaian tangan mungil jagoan Anda di pipinya, istri Anda menolak ajakan malaikat maut yang hendak membawanya. Oh, iya satu lagi. Istri anda tidak mau mati mungkin juga karena putra Anda merengek minta nenen di dadannya!” tutur Alva tanpa sara sungkan sedikit pun.“Jaga mulutmu! Sopan kalau bicara!” Binsar meletakkan Tampan dengan kasar lalu mengejar Alva dengan tangan yang sudah mengepal. Secepatnya
“Baik, tapi kita tunggu Elma dipindahkan ke ruang perawatan dulu, ya! Baru kita pulang. Biar Binsar yang berjaga di sini!” Arfan terkecoh juga. Lelah, letih, jiwa dan raga karena semua peristiwa menyangkut Elma hari ini membuatnya memutuskan itu. Tidak ada salahnya dia istirahat beberapa jam di rumah Elma. Besok pagi-pagi sekali akan kembali ke sini, begitu pikirnya.Tak ada yang melihat senyum samar penuh kelegaan di sudut bibir Binsar.“Maaf, keluarga Bu Elma!” Seorang perawat membuka pintu ruangan.“Ya, Suster!” Binsar gegas menghampiri.“Pasien akan kita pindahkan ke ruangan rawat, ya! Maaf, apakah administrasinya tadi sudah diurus, soalnya malam-malam begini bagian administrasi sudah tutup. Kami hanya memastikan saja kepada keluarga?”“Sudah Suster, saya yang mengurusnya tadi! Semua sudah beres. Saya meminta ruang rawat VIP buat Bu Elma.” Andre menengahi.“Iya, Pak, benar. Saya sudah mengeceknya. Saya hanya memastikan kepada keluarga saja. Kami akan memindahkan pasien ke sana! K
“Duduk di sini, Om akan pesankan susu buat kalian!” titah Alva meletakkan Tampan di sebuah kursi. Terpaksa dia menggunakan meja paling sudut, karena semua meja sudah terisi penuh di warung kopi yang tak pernah sepi itu. Pada umumnya pengunjung di warung itu adalah para keluarga pasien yang rawat inap. Itu sebabnya warung itu buka selama dua puluh empat jam.“Om, belikan buat mama juga, ya! Kita bawa masuk ke kamar mama nanti! Boleh, ya, Om! Mama kurus banget tadi, kasian Mama. Vita akan suruh Mama minum susu, biar gendut kayak adek, iya, kan, Om?” celoteh Vita dengan wajah serius. Mata jernihnya tampak penuh permohonan.“Mama belum boleh minum susu dari luar! Semua makanan dan minumannya masih di bawah pengawasan Dokter! Nanti, kalau sudah keluar dari rumah sakit, baru kita belikan mama kalian susu satu gallon, ok?” Alva menjentik lembut hidung gadis kecil itu. Vita menatapnya bingung.“Memangnya boleh beli susu satu gallon, Om?” tanyanya dengan kening berkerut.“Boleh, Om yang
“Aku tidak punya cara untuk itu, Al! Lagi pula, aku bayari biaya operasi Bu Alma, itu untuk menebus kesalahanmu karena telah menculiknya! Bukan apa-apa!”“Ok, stop, aku malas berdebat denganmu!! Sekarang, kau bawa anak-anak ini pulang ke rumah! Suruh Bibik mengurus mereka! Nih, gendong si Tampan!”Alva berdiri lalu menyerahkan Tampan yang masih tertidur ke dalam gendongan Andre.“Om, Oom mau ke mana?” Vita sontak bangkit dan memegangi tangan Alva.“Oom akan menolong mama kalian dulu, ya, Sayang! Ada masalah gawat. Vita tolong ikuti arahan Om! Ok, Vita anak yang baik! Jangan cengeng! Om tidak suka anak yang cengeng!”“Kita mau ke kamar Mama, Om!” Gadis kecil itu mulai menangis. Perasaannya terllau muda untuk memahami situasi ini. Baginya, Alva telah berbohong. Alva mengingkari janji yang tadi dia ucap. “Tadi, Om bilang, setelah minum susu kita ke akmar Mama! Kalau gitu, kita mau sama Nenek saja, Om! Nenek ….”“Ssst! Diam, ya! Dengarkan Om baik-baik! Bisa diam!” Alva meninggikan suaran
“Hallo …. Apakah tidak ada yang menjaga pasien? Hallo, selamat malam …. Bu Elma, Anda sendirian, tidak ada yang menjaga Ibu, ya?” Alva sengaja berteriak dengan kencang.Binsar sontak melepaskan mulut Riris yang sempat menyatu dengan mulutnya. Tangan dia lepas dari bagian tertentu di tubuh wanita itu. Keduanya tersentak kaget. Tatapan tajam Binsar sangat menyalahkan Riris. Wanita itu terlihat pucat dan kebingunganSementara di luar Alva sengaja memancing keduanya agar keluar. Dia yakin sekarang bahwa ada sesuatu di antara suami Elma dan Riris. Alva harus menangkap basah mereka.“Aaaus, miiinum ….”Alva tersentak, repleks menoleh ke ranjang pasien. Mata perempuan kurus itu terpejam rapat, namun bibirnya bergerak pelan, seperti merintih kehausan.“Bu Elma? Anda haus? Ibu mau minum?” tanya Alva memastikan pendengarannya barusan.“Minuum, tolong ….” rintih Elma pelan, nyaris tak terdengar.“Sebentar, suami Ibu ke mana? Kenapa Ibu sendirian?” Alva sengaja pura-pura tidak tahu keberada
“Hah, aku terjerat lagi! Tadi anak-anaknya, sekarang ibunya! Kenapa aku tak bisa lepas dari mereka!” keluh Alva meremas kasar rambut gondrongnya. Sementara Binsar dan Riris sudah hilang di ujung lorong.“Auus, to … long …!” Rintihan Elma kembali terdengar.“Astaga, Bu Elma?” Sontak Alva berbalik lalu setengah berlari mendekati ranjang pasien.“Maaf, Bu Elma, saya lupa. Suami Anda baru saja pergi. Saya sampai lupa kalau tadi Anda minta minum,” ucapnya seraya meraih gelas berisi air putih yang tak lagi hangat di atas nakas. Membuka pipet yang masih berbungkus, lalu mendekatkan gelas ke arah mulut Elma.“Ini minumnya, Bu! Coba buka mulutnya!”Elma menggerakkan bibir, lalu membukanya perlahan. Sepertinya begitu kesulitan.“Sedikit lagi buka bibir, Ibu! Semuatnya pipet ini saja!” titah Alva memasukkan ujung pipet di antara celah bibir kering dan terkelupas milik Elma. Wanita itu menurut. Matanya masih saja terpejam.“Ya, berhasil, sekarang hisap pelan pipetnya, ya, Bu! Pelan-pelan saja!