"Diminum teh hangatnya, Mas." Kuberikan secangkir teh hangat pada Mas Adam. Tak butuh waktu lama teh di dalam cangkir tinggal setelahnya.
"Buka mulutnya Mas!" Kuberikan sendok yang berisi nasi dan telur dadar.
"Gak mau makan, nanti kamu racunin lagi!"ucapnya menyilangkan kedua tangan di dada.
Kumasukan sendok ke mulut, segera ku kunyah dan kutelan.
"Puas Mas?"
"Ha..." Kumasukan nasi ke dalam mulutnya yang sedang terbuka lebar, tak perduli Mas Adam mau bilang apa.
"Buruan telan dan habiskan, setelah itu minum obat. Pakai air putih ya, jangan teh."
Tanpa protes dan banyak bicara Mas Adam menghabiskan makanan. Sekali-sekali anteng, kan tambah cakep Mas.
Ups...!"Buat istirahat Mas," Kubawa piring dan gelas ke lantai bawah.
"Ais..."Kutoleh ke belakang. Mas Adam menatapku. Tatapannya membuat jantungku berdebar, kaki ku gerak-gerakkan karena salah tingkah.
"Terima kasih." Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Senyum ketulusan.
****
Tok... Tok... Tok....
"Sebentar..." Aku berjalan cepat menuju pintu depan. Penasaran siapa yang datang menjelang magrib begini?
Kubuka pintu, seorang lelaki berdiri tepat di depan pintu. Apa ini teman Mas Adam? Tak lama seorang wanita yang tak asing keluar dari mobil dan berjalan mendekati kami.
"Aisyah...," sapa Jesica yang telah berdiri di depanku.
"Mbak Jesica, silahkan masuk." Jesica dan lelaki itu berjalan melewatiku.
Kutarik napas dan kukeluarkan secara perlahan. Aku harus mengendalikan diriku. Sabar, sabar, Aisyah!
"Siapa yang datang Ais...?" tanya Mas Adam yang sedang asyik menonton TV di ruang keluarga.
"Sayang...." Mbak Jesica bergelayut manja di di tangan Mas Adam.
Sungguh ini pemandangan yang sangat menyiksa,ingin sekali kukatakan kebenarannya. Dan apakah dia masih bisa bermesraan setelah tahu aku istri kekasihnya? Tapi kata-kata Mas Adam kemarin kembali terngiang jelas di telingaku.
"Silahkan di minum mbak dan mas." Kuletakkan tiga cangkir teh hangat dan cemilan di atas meja.
"Duduk dulu Aisyah," ucap Mbak Jesica saat aku mulai melangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga.
Mau tak mau aku pun duduk di sebelah Mbak Jesica, karena disinilah sofa terdekat.
"Siapa ini Dam? Boleh dong dikenalin aku!" ucap teman Mas Adam yang sedari tadi melihatku.
Risih rasahnya di lihat seperti itu, harusnya aku pergi saja dari tempat ini. Sungguh menyebalkan!
"Aisyah ini teman aku, Daniel."
"Daniel..." ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Aisyah..." kusatukan kedua tangan dan menempelkannya di dada. Karena haram hukumnya memegang tangan lawan jenis yang bukan mahramnya.
"Maaf, maaf." Daniel menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Terlihat sekali dia salah tingkah.
"Kamu tinggal di sini Aisyah?" netranya menatapku,penasaran mungkin.
"I-iya mbak." jawabku terbata.
Ya, jelaslah mbak aku tinggal di sini, di rumah suamiku.
"Mas Adam kok gak cerita sih ... ih nyebelin!"bucapnya manja sambil menempelkan kepalanya di dada bidang Mas Adam.
Jujur aku tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan ini. Suamiku bermesraan dengan kekasihnya didepan mata kepalaku. Dari sini jelas terlihat Mas Adam dan Jesica saling mencintai, dan akulah orang ketiga dalam hubungan mereka.
Apa aku sanggup terus menerus ada di tengah-tengah mereka?
Bergelar istri tapi tak pernah dianggap istri."Aisyah sementara tinggal di sini sayang, mau cari kerja di daerah sini. Iya kan Ais?" Mas Adam melirik ku.
Sementara?
Apa benar, dia akan mengakhiri hubungan ini? Dan hanya menginginkan aku tinggal sementara di sini, di rumah ini.Astaghfirullah...
Kuelus dada yang mulai bergemuruh. Sesak, dada ini terasa terhimpit beban berat. Ya Allah... Beginikah suratan takdirku? Tanpa terasa mata ini mulai berkaca-kaca, tinggal menunggu waktu saja air mata ini akan terjun bebas."Aisyah..." Daniel memanggilku.
"O, iya Mas maaf, maaf jadi melamun,"ku hembuskan nafas perlahan.
"Saya memang sementara akan tinggal di sini sampai saya mendapatkan kontrakan." ucapku penuh penekanan.
Kulihat raut wajah Mas Adam menegang, seperti merasa ketakutan.
Bukankah ini yang kamu mau dengar dari mulutku Mas Adam? Kenapa kamu seperti ketakutan begini? Lucu kamu Mas. Teruskan saja kebohongan yang kamu ciptakan.
"Kebetulan kakakku butuh asisten untuk butik apakah kamu berminat Aisyah?" tawar Daniel.
"Oh, boleh besok saya akan siapkan lamarannya. Terima kasih sebelumnya Mas."
"Sama-sama Aisyah..." Daniel tersipu malu saat ku tatap wajahnya.
"Sudah adzan, saya permisi dulu." Kulangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga.
****
"Aisyah...Aisyah." panggil Mas Adam dari luar kamar.
Kulihat benda bulat yang menempel di dinding kamar. Pukul sebelas malam, aku ketiduran setelah shalat isya. Mukenahpun masih menempel di badan.
Aku ingat setelah shalat isya aku mencurahkan keluh kesahku pada Illahi Robbi hingga bulir-bulir bening mengalir begitu derasnya.Sampai tak terasa terlelap tidur di atas sajadah.
"Aisyah, kamu sudah tidur?Aisyah."
"Sebentar Mas."
Segera kulihat mukenah dan sajadah. Meletakkannya di atas nakas dekat ranjang.
"Ada apa Mas?" tanyaku datar
"Mas ingin bicara soal yang tadi. Em..."Mas Adam terlihat berfikir sejenak.
"Soal yang mana Mas? Yang aku hanya menumpang di sini?" tanyaku ketus.
Mas Adam menelan saliva yang menempel di tenggorokan. Tangannya saling meremas ujung kaos yang digunakan. Bingung kata apa yang akan dikeluarkan.
"Aku cuman bercanda soal itu Aisyah, tolong jangan di masukkan ke hati. Kalau kamu pergi dan umi tahu,bagaimana? Aku tak ingin mengecewakan umi dan abi. Tapi aku juga tak mencintai kamu. Aku sangat mencintai Jesica. Tolong mengertilah."
Kuatur emosi yang sudah di ubun-ubun. Rasanya ingin kuledakkan sekarang juga. Tanpa menjawab, kututup kembali pintu kamar. Malas menatap wajah lelaki yang hanya mementingkan keinginannya sendiri tanpa perduli kalau tindakannya menyakiti hati orang lain.
Sudah jelas, kalau aku benar-benar tak ada harganya di mata suamiku.
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini