Share

Ada yang Berbeda

“Astaghfirullah, Fia. Maaf Nenek mengagetkanmu.” Wanita yang rambutnya sudah didominasi oleh rambut putih itu mendekat. Dia tampak khawatir melihat jari telunjukku berdarah.

“Nggak apa-apa, Nek. Ini hanya luka kecil. Aku punya plester di kamar.”

“Sudah malam, Fia. Kamu harus istirahat. Kalau kamu kecapekan, nanti malah jadi sakit.” Nenek menuntunku ke kamar dan meminta untuk segera mengobati luka di jariku.

“Nenek temenin Fia tidur, ya! Fia masih keinget sama Ayah dan Ibu.”

“Tidurlah, Nenek mau bicara sama Kakek dulu. Nanti Nenek temani tidur.”

“Nenek boleh pergi, tetapi nunggu aku dah tidur, ya!”

Aku bukannya takut tidur sendiri, tetapi setiap kali mengingat Ayah dan Ibu rasanya aku tidak sanggup menahan air mata. Bukannya tidur, yang ada aku bakal menangis terus. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Kehilangan orang tua secara tiba-tiba membuatku belum siap untuk melakukan semuanya sendirian.

“Baiklah, Nenek akan menemanimu lebih dahulu.”

“Makasih, Nek!” Kutarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh. Namun, aku tetap tidak bisa tidur meski ingin.

Aku terbangun ketika mendengar qiro’ah di masjid. Mataku terasa sembap. Semalaman tidurku tidak nyenyak. Meskipun Nenek menemaniku sepanjang malam, tetapi aku tidak bisa memejamkan mata. Aku hanya tertidur beberapa saat lalu terbangun dan berulang hingga pagi tiba.

Aku merasakan ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Aku berjalan keluar dan melihat Kakek tidur di sofa depan televisi. Di ruang tamu tidak ada siapa-siapa, hanya karpet yang digulung asal.

Aku membuka kamar orang tuaku yang terletak tepat di samping kamarku. Ruangannya masih tertata rapi. Ibu tidak menyukai rumah yang berantakan. Sajadah dan mukena terlipat rapi di atas kasur. Aku mengambil dan memeluknya, aroma wangi Ibu masih melekat di sana.

“Fia! Kamu di mana, Nak?”

Aku menoleh ke arah pintu, ternyata Nenek sudah bangun dan mencariku.

“Kamu di sini, Sayang? Kamu nggak tidur?” tanya Nenek.

“Fia baru saja bangun, Nek. Fia mau salat di kamar Ibu.”

Nenek tersenyum dan mengelus rambutku. “Kamu yang kuat, ya! Jangan menangis lagi. Salat dan doakan mereka supaya masuk surga. Jadilah kebanggaan orang tuamu meski mereka telah tiada.

Nenek tidak bisa menemanimu terus-menerus. Kakek masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan, tetapi untuk satu minggu ke depan semua tugas sudah diserahkan kepada pakdemu.”

Kakek mempunyai toko pakan burung di rumah. Beliau suka memelihara ayam, bebek dan sejenisnya. Awalnya Kakek hanya menyediakan pakan untuk binatang peliharaannya saja, tetapi lama-kelamaan banyak tetangga yang ikut memesan dan membeli pakan pada Kakek.

Uang yang dihasilkan memang tidak seberapa, tetapi Kakek tetap menjalankan usahanya. Lumayan hasilnya bisa digunakan untuk jajan dengan Nenek. Dari ketiga anaknya, Nenek dan Kakek sudah mendapat jatah setiap bulannya. Namun, kini orang tuaku sudah tidak bisa memberikan uang lagi kepada mereka. Mampukah aku menggantikan Ayah dan Ibuku?

“Fia ke kamar mandi dulu, Nek.”

“Mau Nenek masakin apa? Kamu pasti lapar,” tanya Nenek.

“Tidak usah masak, Nek. Nanti biar Fia beli nasi di warung.” Aku masih memiliki sedikit uang simpanan di rumah. Aku tidak tega jika membiarkan Nenek memasak. Seharusnya aku yang memasak untuk mereka. Namun, aku tidak tahu ada bahan atau tidak di kulkas, lebih baik membeli sarapan di warung.

Aku bergegas mandi dan melaksanakan salat Subuh. Sudah menjadi kebiasaanku semenjak tinggal di pondok pesantren, bangun pagi dan mandi sebelum subuh.

Usai salat, aku melipat kembali mukena milik Ibu. Entah mengapa aku ingin berlama-lama memakainya. Aku seperti mendapatkan kekuatan dan semangat untuk tetap melangkah maju meski tanpa mereka.

Biasanya di pagi hari seperti ini, aku dan Nadia pergi ke dapur membantu memasak supaya bisa melihat Gus Anam. Dapur umum letaknya tidak jauh dari rumah Abah sehingga kami sering curi pandang dengan Gus Anam.

Gus Anam satu-satunya anak Abah yang sering tinggal di dalem. Sedangkan kakaknya, Gus Azam mengajar di pondok lain, dia jarang di rumah dan sedikit ketus. Bahkan tadi malam dia acuh tanpa ada ekspresi, sangat kaku.

“Alhamdulillah, Nenek lega lihat kamu senyum-senyum sendiri.” Aku melihat ke arah asal suara, ternyata Nenek.

“Sejak kapan Nenek di sana?”

“Sebelum kamu salam,” jawab Nenek.

Aku tersenyum malu. Pasti Nenek melihatku tersenyum sendiri saat membayangkan Gus Anam.

“Fia, mulai hari ini, budemu akan bergantian menginap di sini sampai tujuh hari.”

“Benarkah itu, Nek?”

“Tadi Bude Siti telepon Kakek, kamu tenang aja. Semua akan baik-baik saja.”

“Alhamdulillah, Fia tidak akan kesepian, Nek. Apalagi jika Nurun dan Siha ikut menginap di sini.” Mereka adalah saudara sepupu yang seusia denganku. Tahun ini kami akan mendaftar kuliah bersama-sama jika Allah menghendaki.

“Mereka sudah mendaftar kuliah, Fia. Kamu jadi kuliah?” tanya Nenek khawatir.

Bulan depan aku baru muwadaah. Semua administrasi sudah lunas. Namun, bagaimana kuliahku nanti?

Ayah dan Ibu hanya pedagang di pasar tradisional. Mereka menjual sembako dan berbagai macam bahan pembuat kue. Mungkin aku bisa melanjutkan kuliah sambil berdagang melanjutkan usaha orang tuaku.

“Insya Allah, Nek. Fia akan coba ikut jalur beasiswa.”

“Apa kamu tidak sebaiknya menikah saja?”

“Apa? Menikah?” Aku terlonjak mendengar pertanyaan Nenek.

Tidak terbesit dalam benakku jika aku akan menikah muda. Aku ingin melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-cita dahulu. Setelah itu baru cinta. Aku tidak ingin waktuku terbuang percuma hanya demi cinta yang semu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Sang Nenek menyarankan Shafia untuk menikah setelah tamat sekolah Apakah Shafia mau?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status