Share

Aku Tidak Setegar Itu

Aku meracau dan berteriak sekencang-kencangnya. Kulempar semua benda yang ada di dekatku. Bantal, guling, dan selimut sudah tidak ada di tempatnya lagi.

“Fia, yang sabar, Nak!” Bude Yuli mendekat. Dia adalah kakak pertama Ibuku. “Ayo keluar, kita doakan orang tuamu bersama-sama.”

“Fia, ikhlaskan mereka, Sayang.” Umi Hanifah memeluk dan mengelus rambutku. “Pakai jilbabmu, kita keluar bersama-sama. Orang tuamu sudah disucikan.”

Bude Siti mengambil jilbab dari almari pakaianku. Kuikat asal rambut dengan karet gelang yang masih bertengger di tangan. Namun, talinya putus hingga membuatku semakin frustrasi.

Ibu pernah mengajarkanku menggelung rambut, tetapi selalu gagal karena rambutku kurang panjang. Kini rambutku panjangnya sudah sepinggul, tetapi sudah tidak ada lagi Ibu yang akan membantu. Aku mengacak rambut dengan kasar.

“Sini Umi bantu, Fia.” Aku berhenti menangis kala Umi memegang rambutku.

Umi menyisir rambutku dengan jari kemudian menggelungnya. Aku memegang rambutku, bentuknya sama dengan gelungan tangan Ibu.

Umi tersenyum kemudian memakaikan jilbab instan warna merah jambu kepadaku. Beliau berdiri dan menuntunku keluar.

Beberapa orang memakai baju putih duduk dengan khidmat. Tidak ada yang berbicara, semuanya larut dalam bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Mataku kembali basah ketika pandanganku beralih menatap ke arah jenazah orang tuaku. Tangisku tak bisa lagi dibendung, rasanya dada ini sesak mengetahui orang yang selama ini melahirkan dan merawatku sudah terbujur kaku.

“استغفرالله العظيم، استغفرالله العظيم، استغفرالله العظيم، إن الله غفورالرحيم.

لااله الا الله، لااله الا الله، لااله الا الله محمد الرسول الله. "

Bacaan kalimat istighfar dan tahlil membuat dadaku semakin sesak. Dengan sekuat tenaga aku menahan agar air mata ini tidak luruh, tetapi gagal. Aku tidak setegar itu, hati ini bagai disayat-sayat belati.

Umi dan Bude Siti menuntunku mendekati jenazah kedua orang tuaku. Aku ingin membukanya, tetapi Umi menggeleng. “Kamu tidak akan kuat melihatnya, Fia.”

“Aku ingin melihat mereka untuk terakhir kalinya, Umi. Kumohon sekali ini saja!”

Umi dan Bude saling bertatapan, tetapi akhirnya mereka menyetujuinya. Entah mengapa aku sangat penasaran ingin melihat wajah kedua orang tuaku. Aku masih berharap jika polisi menemukan orang yang salah.

Aku mencoba menguatkan hatiku, bersiap jika mereka memang orang tuaku. Aku membuka jenazah pertama yang sudah tertutup kain kafan. Aku meringis mengalihkan pandangan. Wajah ayahku terlihat sangat pucat dan sedikit memar di pipi. Hatiku nyeri melihatnya. Aku tidak akan sanggup melihat wajah Ibu.

“Bacakan Yasin untuk mereka, Fia.” Bude memberikanku sebuah kitab kecil bergambar masjid.

Aku membacakan ayat suci dengan pelan. Sesekali aku berhenti ketika dadaku mulai sesak. Aku terlalu cengeng dan tidak bisa mengendalikan diri.

“Fia!” Nenek dan Kakek yang baru saja datang langsung memelukku.

Tangisku kembali pecah melihat mereka datang. Mereka pasti juga merasa sangat kehilangan Ibuku, anak terakhir mereka.

“Ibu sudah pergi, Nek. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Nenek.”

“Jangan berkata seperti itu, Fia. Kamu masih punya kami. Kamu masih punya Allah. Ingat, إن الله معنا."

Aku membaca istighfar berkali-kali hingga sedikit tenang. Aku harus mengikhlaskan kedua orang tuaku.

Pemakaman tetap dilanjutkan malam ini. Pukul sepuluh malam kedua jenazah orang tuaku dikebumikan. Aku tetap ikut meski banyak yang melarang. Ditemani Kakek dan Nenek, aku membawa sekeranjang bunga untuk ditaburkan di atas makam.

Mereka benar-benar sudah pergi. Menangis pun tidak ada gunanya. Mulai sekarang aku harus menjadi anak yang kuat, tegar, dan mandiri.

“Sudah malam, Fia. Ayo pulang!” ajak Umi Hanifah. Aku bahkan sampai melupakan keberadaannya.

Orang-orang yang ikut mengantarkan jenazah sudah mulai berkurang. Tinggal aku, Kakek dan Nenek, Bude Yuli, dan Umi di sampingku.

“Fia, kasihan Umimu.” Nenek mencoba mengingatkanku. Sekali lagi aku beristighfar. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepadanya.

Aku segera berdiri dan pergi meninggalkan pusara orang tuaku. Sesekali aku menoleh ke belakang, mereka pasti sudah tenang di sana.

Sesampainya di rumah, tinggal kedua budeku dan keluarganya yang tinggal. Saudara sepupu dari ayah juga sudah tidak ada.

“Fia, kami pulang dulu, ya! Besok kami akan ke sini lagi. Anak-anak harus sekolah.” Bude Siti dan yang lainnya berpamitan. Kujawab dengan anggukan pelan.

Aku tidak bisa memaksa mereka untuk tetap tinggal. Mereka tidak begitu dekat denganku. Tinggal di pondok semenjak lulus sekolah dasar membuatku tidak terlalu akrab dengan saudara. Hanya Nenek dan Kakek yang beberapa kali ikut menjengukku di pesantren.

“Umi, sudah selesai?” Gus Azam menghampiri Umi.

Lelaki itu sepertinya tidak merasakan kasihan padaku. Dia masih saja seperti kanebo kering di saat seseorang sedang berduka. Entah terbuat dari apa hatinya. Atau jangan-jangan dia tidak memiliki hati?

“Umi juga mau pulang, Nak. Maaf Umi tidak bisa berlama-lama karena banyak sekali pekerjaan yang harus Umi selesaikan di pondok.

Kamu tidak perlu banyak pikiran, tenangkan hatimu. Kamu bisa kembali ke pondok ketika muwadaah. Ujianmu sudah selesai semua, kamu bisa beristirahat dulu,” ucap Umi sambil mengelus kepalaku yang terbalut jilbab.

Aku mencium tangannya sebelum beliau benar-benar pergi. Semua orang sudah pergi, tidak ada yang mau menemaniku selain Kakek dan Nenek. Entah bagaimana nasibku kalau mereka ikut pulang juga.

Aku duduk di ruang tengah. Tempat di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Kuambil bingkai foto yang terletak di meja. Potret kebersamaan kami ketika liburan semester lalu. Wajah orang tuaku terlihat sangat bahagia. Aku tidak menyangka jika itu adalah liburan kami yang terakhir.

“Tidurlah, Fia. Kamu harus istirahat!” ucapan Nenek mengagetkanku hingga membuat figura yang kupegang jatuh.

Pyar!

“Jangan diambil, Nak. Nanti tanganmu terkena pecahan kaca!”

“Aw!” Terlambat sudah, aku meringis saat melihat jariku berdarah. Tanpa sengaja aku menyenggol pecahan kaca saat mengambil foto kami.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Shafia berusaha tegar ketika mengantarkan kedua orang tuanya ke peristirahatan terakhir....
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status