Home / Romansa / Aku Padamu, Gus! / Aku Tidak Setegar Itu

Share

Aku Tidak Setegar Itu

last update Huling Na-update: 2022-10-04 19:52:02

Aku meracau dan berteriak sekencang-kencangnya. Kulempar semua benda yang ada di dekatku. Bantal, guling, dan selimut sudah tidak ada di tempatnya lagi.

“Fia, yang sabar, Nak!” Bude Yuli mendekat. Dia adalah kakak pertama Ibuku. “Ayo keluar, kita doakan orang tuamu bersama-sama.”

“Fia, ikhlaskan mereka, Sayang.” Umi Hanifah memeluk dan mengelus rambutku. “Pakai jilbabmu, kita keluar bersama-sama. Orang tuamu sudah disucikan.”

Bude Siti mengambil jilbab dari almari pakaianku. Kuikat asal rambut dengan karet gelang yang masih bertengger di tangan. Namun, talinya putus hingga membuatku semakin frustrasi.

Ibu pernah mengajarkanku menggelung rambut, tetapi selalu gagal karena rambutku kurang panjang. Kini rambutku panjangnya sudah sepinggul, tetapi sudah tidak ada lagi Ibu yang akan membantu. Aku mengacak rambut dengan kasar.

“Sini Umi bantu, Fia.” Aku berhenti menangis kala Umi memegang rambutku.

Umi menyisir rambutku dengan jari kemudian menggelungnya. Aku memegang rambutku, bentuknya sama dengan gelungan tangan Ibu.

Umi tersenyum kemudian memakaikan jilbab instan warna merah jambu kepadaku. Beliau berdiri dan menuntunku keluar.

Beberapa orang memakai baju putih duduk dengan khidmat. Tidak ada yang berbicara, semuanya larut dalam bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Mataku kembali basah ketika pandanganku beralih menatap ke arah jenazah orang tuaku. Tangisku tak bisa lagi dibendung, rasanya dada ini sesak mengetahui orang yang selama ini melahirkan dan merawatku sudah terbujur kaku.

“استغفرالله العظيم، استغفرالله العظيم، استغفرالله العظيم، إن الله غفورالرحيم.

لااله الا الله، لااله الا الله، لااله الا الله محمد الرسول الله. "

Bacaan kalimat istighfar dan tahlil membuat dadaku semakin sesak. Dengan sekuat tenaga aku menahan agar air mata ini tidak luruh, tetapi gagal. Aku tidak setegar itu, hati ini bagai disayat-sayat belati.

Umi dan Bude Siti menuntunku mendekati jenazah kedua orang tuaku. Aku ingin membukanya, tetapi Umi menggeleng. “Kamu tidak akan kuat melihatnya, Fia.”

“Aku ingin melihat mereka untuk terakhir kalinya, Umi. Kumohon sekali ini saja!”

Umi dan Bude saling bertatapan, tetapi akhirnya mereka menyetujuinya. Entah mengapa aku sangat penasaran ingin melihat wajah kedua orang tuaku. Aku masih berharap jika polisi menemukan orang yang salah.

Aku mencoba menguatkan hatiku, bersiap jika mereka memang orang tuaku. Aku membuka jenazah pertama yang sudah tertutup kain kafan. Aku meringis mengalihkan pandangan. Wajah ayahku terlihat sangat pucat dan sedikit memar di pipi. Hatiku nyeri melihatnya. Aku tidak akan sanggup melihat wajah Ibu.

“Bacakan Yasin untuk mereka, Fia.” Bude memberikanku sebuah kitab kecil bergambar masjid.

Aku membacakan ayat suci dengan pelan. Sesekali aku berhenti ketika dadaku mulai sesak. Aku terlalu cengeng dan tidak bisa mengendalikan diri.

“Fia!” Nenek dan Kakek yang baru saja datang langsung memelukku.

Tangisku kembali pecah melihat mereka datang. Mereka pasti juga merasa sangat kehilangan Ibuku, anak terakhir mereka.

“Ibu sudah pergi, Nek. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Nenek.”

“Jangan berkata seperti itu, Fia. Kamu masih punya kami. Kamu masih punya Allah. Ingat, إن الله معنا."

Aku membaca istighfar berkali-kali hingga sedikit tenang. Aku harus mengikhlaskan kedua orang tuaku.

Pemakaman tetap dilanjutkan malam ini. Pukul sepuluh malam kedua jenazah orang tuaku dikebumikan. Aku tetap ikut meski banyak yang melarang. Ditemani Kakek dan Nenek, aku membawa sekeranjang bunga untuk ditaburkan di atas makam.

Mereka benar-benar sudah pergi. Menangis pun tidak ada gunanya. Mulai sekarang aku harus menjadi anak yang kuat, tegar, dan mandiri.

“Sudah malam, Fia. Ayo pulang!” ajak Umi Hanifah. Aku bahkan sampai melupakan keberadaannya.

Orang-orang yang ikut mengantarkan jenazah sudah mulai berkurang. Tinggal aku, Kakek dan Nenek, Bude Yuli, dan Umi di sampingku.

“Fia, kasihan Umimu.” Nenek mencoba mengingatkanku. Sekali lagi aku beristighfar. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepadanya.

Aku segera berdiri dan pergi meninggalkan pusara orang tuaku. Sesekali aku menoleh ke belakang, mereka pasti sudah tenang di sana.

Sesampainya di rumah, tinggal kedua budeku dan keluarganya yang tinggal. Saudara sepupu dari ayah juga sudah tidak ada.

“Fia, kami pulang dulu, ya! Besok kami akan ke sini lagi. Anak-anak harus sekolah.” Bude Siti dan yang lainnya berpamitan. Kujawab dengan anggukan pelan.

Aku tidak bisa memaksa mereka untuk tetap tinggal. Mereka tidak begitu dekat denganku. Tinggal di pondok semenjak lulus sekolah dasar membuatku tidak terlalu akrab dengan saudara. Hanya Nenek dan Kakek yang beberapa kali ikut menjengukku di pesantren.

“Umi, sudah selesai?” Gus Azam menghampiri Umi.

Lelaki itu sepertinya tidak merasakan kasihan padaku. Dia masih saja seperti kanebo kering di saat seseorang sedang berduka. Entah terbuat dari apa hatinya. Atau jangan-jangan dia tidak memiliki hati?

“Umi juga mau pulang, Nak. Maaf Umi tidak bisa berlama-lama karena banyak sekali pekerjaan yang harus Umi selesaikan di pondok.

Kamu tidak perlu banyak pikiran, tenangkan hatimu. Kamu bisa kembali ke pondok ketika muwadaah. Ujianmu sudah selesai semua, kamu bisa beristirahat dulu,” ucap Umi sambil mengelus kepalaku yang terbalut jilbab.

Aku mencium tangannya sebelum beliau benar-benar pergi. Semua orang sudah pergi, tidak ada yang mau menemaniku selain Kakek dan Nenek. Entah bagaimana nasibku kalau mereka ikut pulang juga.

Aku duduk di ruang tengah. Tempat di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Kuambil bingkai foto yang terletak di meja. Potret kebersamaan kami ketika liburan semester lalu. Wajah orang tuaku terlihat sangat bahagia. Aku tidak menyangka jika itu adalah liburan kami yang terakhir.

“Tidurlah, Fia. Kamu harus istirahat!” ucapan Nenek mengagetkanku hingga membuat figura yang kupegang jatuh.

Pyar!

“Jangan diambil, Nak. Nanti tanganmu terkena pecahan kaca!”

“Aw!” Terlambat sudah, aku meringis saat melihat jariku berdarah. Tanpa sengaja aku menyenggol pecahan kaca saat mengambil foto kami.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Shafia berusaha tegar ketika mengantarkan kedua orang tuanya ke peristirahatan terakhir....
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status