Home / Romansa / Aku Padamu, Gus! / Ini Bukan Mimpi

Share

Ini Bukan Mimpi

last update Last Updated: 2022-10-04 19:00:44

“Masya Allah, anak Ibu sudah besar.” Ibu memelukku erat saat kami bertemu. Beliau sampai menangis, padahal Ibu dan Ayah selalu mengunjungiku setiap satu bulan sekali.

“Alhamdulillah, Bu. Sebentar lagi Shafia lulus,” ucapku kemudian mencium punggung tangan Ayah dan Ibu bergantian.

Aku tinggal di pondok pesantren Al Falah semenjak lulus SD karena orang tuaku ingin aku menjadi anak yang mandiri saat dewasa nanti. Sebagai anak tunggal, mereka selalu memanjakanku dari kecil. Semua keinginanku selalu terpenuhi, hingga akhirnya mereka memasukkanku ke pesantren.

Aku merasa mereka sudah tidak sayang lagi padaku karena membuangku ke pesantren. Namun, setelah sampai di detik ini membuatku sadar betapa sayangnya mereka kepadaku.

“Gimana ujian kitabnya? Lancar?” tanya Ayah.

“Alhamdulillah lancar, Yah. Semua berkat doa dan dukungan dari Ayah dan Ibu.”

Kami berbincang cukup lama malam ini seolah esok sudah tidak bertemu lagi. Ibu membawakanku banyak makanan. Sebagian untuk Abah dan sebagian bisa kubagikan kepada teman-teman.

“Kamu makan yang banyak, ya! Kamu harus kuat menjalani hidup meski tanpa kami.” Ibu menyuapiku dengan potongan bolu pisang, makanan kesukaanku dari kecil.

“Kalau bukan sama kalian, aku mau hidup sama siapa lagi? Bahkan aku tidak memiliki saudara. Kenapa, sih, Ayah dan Ibu enggak bikinin aku adik? Kalian ‘kan masih muda,” ucapku merajuk.

“Anak itu rezeki, Fia. Kalau Allah belum memberikannya, berarti belum rezeki kita. Ayah dan Ibu sudah berusaha, selanjutnya Allah yang menentukan,” ujar Ayah kemudian memberikanku sebuah amplop, aku sudah tahu isinya, pasti uang untuk membayar muwadaah.

“Kamu belajar yang rajin, ya! Anak Ibu dan Ayah harus menjadi anak yang salihah.” Ayah selalu memberiku wejangan setiap kali datang. Berbeda dengan Ibu yang selalu mau menjadi tempatku berkeluh kesah.

“Baik, Yah. Fia akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya kalian bisa melihatku berdiri di panggung mendapatkan penghargaan.”

Aku selalu menjadi santri berprestasi. Setelah ini aku akan melanjutkan kuliah di kampus impian supaya bisa membanggakan Ayah dan Ibu. Menjadi seorang guru adalah impianku, tetapi jika hanya lulusan pondok pesantren sepertinya tidak berguna. Ijazah MA tidak diakui di zaman sekarang ini, minimal harus sarjana.

“Insya Allah kami akan datang, Nduk. Doakan saja Ibu dan Ayah diberi umur panjang supaya bisa melihat kesuksesanmu.” Ibu memelukku lagi.

Kurasakan ada yang berbeda dengan kedatangan mereka kali ini. Rasanya aku ingin selalu dalam dekapan Ibu. Aku ingin lebih lama lagi merasakan hangat sentuhannya.

“Ibu, jangan bicara seperti itu! Aku selalu mendoakan Ibu dan Ayah di setiap salatku. Kalian akan menemaniku sampai menjadi kakek dan nenek. Kalian tidak boleh meninggal sebelum aku memiliki suami dan anak,” ucapku manja. Aku duduk di antara mereka, merasakan hangatnya sebuah keluarga.

Menjadi anak tunggal membuatku selalu dimanja bagaikan tuan Putri. Meskipun demikian, Ibu selalu mengajariku soal urusan dapur. Setiap pulang ke rumah, beliau selalu mengajakku masak untuk Ayah.

“Jadi wanita itu, selain pintar juga harus bisa masak. Kita harus memanjakan lidah suami supaya tidak jajan di luar. Uangnya lumayan buat nambah beli gula, Fia.” Nasihat Ibu selalu kuingat sampai kapan pun.

Ayah memegang tanganku, “Insya Allah, Fia. Kami akan menyaksikanmu tumbuh menjadi gadis dewasa yang mandiri. Doakan kami semoga panjang umur. Ayah tidak tahu akan hidup berapa lama lagi karena rezeki, jodoh dan mati sudah ditulis di Lauhul Mahfuz.” Ayah mengeluarkan mauidho hasanahnya lagi.

Mereka memasukkanku ke pesantren supaya aku bisa menjadi anak yang mandiri. Tidak percuma mereka memasukkanku ke pesantren. Banyak sekali pelajaran yang kudapatkan di sini.

“Hush! Jangan bilang seperti itu, Yah.” Ibu menyenggol lengan Ayah. Namun, ayah malah tertawa.

“Sudah malam, kami pamit dulu, ya, Fia.” Ayah dan Ibu memelukku bergantian. Entah mengapa rasanya begitu berat berpisah dengan mereka.

Pukul delapan malam, orang tuaku berpamitan. Sesuai pesannya, aku memberikan sayuran yang dipetik dari hasil panen di kebun Ayah kepada Umi. Selebihnya aku membawa makanan dan jajanan untuk makan bersama teman-teman.

“Nad, nanti tolong bagikan makanan ini ke kamar sebelah, ya!”

Aku meminta tolong kepada Nadia untuk membagikan makanan yang dibawakan Ibu. Aku tidak akan mampu menghabiskannya sendirian, apalagi bolu pisang tidak bisa bertahan lama.

Aku mengambil pisau cutter yang kusimpan di atas almari. Ibu pasti lupa membawakan pisau di dalam kotak bolu pisang. Aku sengaja menyembunyikannya di tempat yang aman supaya tidak ketahuan saat ada razia benda berbahaya.

“Aw!” Jariku terkena mata pisau saat memotong bolu pisang. Darah segar mengalir hingga membasahi kardus.

“Kamu, kok, nggak hati-hati, Fia. Sini aku bantu!” Nadia membantuku memotong bolu menjadi beberapa bagian kemudian memasukkannya ke dalam plastik.

“Kamu obati saja lukamu!” ujar Nadia sebelum keluar kamar.

Aku membersihkan lukaku dengan tisu, kemudian menempelkan plester di jari telunjuk. Setelah merasa lebih baik, aku membereskan kamar dan bersiap hafalan kitab Aqidatul Awam. Namun, dari jauh terdengar suara sirene polisi. Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar.

Perlahan kubuka mata, pemandangan ini tidak asing bagiku. Aku berada di kamarku sendiri, di rumahku. Pakaianku sudah kering dan berganti baju tidur.

“Kamu sudah bangun, Fia?” tanya Umi Hanifah.

Di ruangan bernuansa biru ini sudah ada bude-budeku. Mereka semua memakai pakaian serba putih. Dari luar terdengar beberapa orang membacakan surat Yasin. Seketika tangisku pecah. Ini bukan mimpi, semua ini nyata. Orang tuaku telah pergi.

“Ayah, Ibu ... jangan tinggalkan Fia sendirian, Fia janji akan jadi anak yang mandiri. Kumohon jangan pergi!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Ternyata....Orang tua Shafia sudah mempunyai firasat ...
goodnovel comment avatar
Ainun Fauziah
mewek... aq jd sedih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status