แชร์

Bab 4

ผู้เขียน: Coco An
Begitu koperku tertutup rapat, kamar itu terasa sangat sunyi, hanya tersisa suara napasku sendiri.

Tiba-tiba ponsel bergetar, nama familiar yang muncul di layar membuat jariku sedikit bergetar.

Aku tetap menekan tombol jawab.

“Halo?” jawabku dengan serak.

Terdengar suara Jason dari balik telepon. Suaranya tak lagi lembut seperti sebelumnya, hanya ada nada dingin dan kemarahan.

“Selvy! Siska sudah masuk rumah sakit dan kamu masih belum muncul juga? Bahkan satu kata maaf pun nggak ada?!”

Nada suaranya seperti sebilah pisau, menutup rapat semua celah bagiku untuk menjelaskan.

Bibirku tertutup rapat dan terdiam sejenak. Kemudian, barulah aku berkata, “Jason, aku nggak mungkin main-main dengan nyawa orang.”

Namun, dia sama sekali tak mau mendengarku, suaranya pun semakin dingin.

“Jangan coba-coba mengelak lagi! Siska lebih nggak mungkin main-main dengan nyawanya sendiri!”

Aku menggenggam erat ponsel. Jari-jariku memutih, sementara rasa getir menyebar di dada.

Kenapa mereka bahkan tidak mau mendengarkan satu penjelasan pun?

Dari awal sampai akhir, mereka hanya butuh satu ‘tersangka’ untuk disalahkan.

Aku menarik napas dalam-dalam, suara tercekat di tenggorokan nyaris tak terdengar,

“Jason, kamu percaya padaku?”

Suara di balik telepon sunyi sejenak, lalu jawaban dinginnya seperti air es yang menyiramku.

“Aku hanya percaya pada fakta yang kulihat.”

Seketika, nada sibuk berdering.

Aku perlahan menurunkan ponsel, dadaku terasa seperti tertindih batu besar.

Aku lalu memejamkan mata dan kenangan selama bertahun-tahun ini bermunculan.

Saat kencan, dia selalu cepat membalas pesan Siska sambil tersenyum dan berkata, “Dia takut sendirian.”

Saat makan, dia tak pernah ingat alergiku, tapi bisa memesan dengan tepat semua makanan kesukaan Siska.

Setiap kali kami bertengkar, dia selalu menjawabku dengan kalimat yang sama, “Kamu yang terlalu banyak berpikir, aku hanya membantumu jaga adikmu.”

Bahkan keluargaku juga ikut membelanya, dengan mengatakan aku ‘terlalu posesif’ dan ‘jangan terlalu pelit’.

Aku pernah mengira dia itu penyelamatku, pernah mengira dia berbeda dari keluargaku.

Baru sekarang aku sadar, dia hanyalah bagian dari mereka.

Aku tidak lagi menjelaskan, hanya meninggalkan satu kalimat singkat.

“Aku yang bersalah padanya. Setelah dia pulang, aku akan meminta maaf.”

Lalu, aku langsung menutup telepon.

Aku membuka laci dan mengambil dokumen yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari.

Email dari dosen masih menyala di layar, surat penerimaan untuk program dokter lintas batas di Malut.

Visa, tiket pesawat, surat keterangan, semuanya sudah rapi di dalam koper.

Kali ini, aku benar-benar akan pergi.

Tepat saat aku menyeret koper ke pintu, terdengar suara Ayah dan Ibu dari ruang tamu.

Nada Ibu terdengar menyesal. “Kalau sejak awal tahu begini, seharusnya dulu kita biarkan Siska dan Jason bersama. Siska memang takdirnya menjadi istri bos mafia, sayang sekali pemimpinnya dulu masih Kakaknya, siapa yang sangka Kakaknya malah meninggal dan Jason yang jadi bosnya.”

Ayah menanggapi, nadanya terdengar lega, “Tapi bagus juga begini, keluarga mafia penuh dengan pertumpahan darah dan persaingan. Terlalu berbahaya kalau Siska yang menikah ke sana. Ancaman senjata, pengkhianatan, pembunuhan… mana ada yang nggak dihadapi istri bos mafia? Biar Selvy saja yang menjadi istri bos mafia. Bagaimanapun, Jason juga sangat baik pada Siska sekarang.”

Langkahku terhenti, dadaku serasa ditusuk sesuatu yang tajam dan dingin.

Ternyata bagi mereka, pernikahanku, masa depanku, bahkan seluruh hidupku hanyalah pion untuk melindungi Siska...

Aku mencengkeram erat gagang koper, ujung jariku memutih karena gegaman erat.

Sebuah tekad yang belum pernah kurasakan sebelumnya perlahan tumbuh di dalam hati.

Aku menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu dengan keras.

Suara Ayah dan Ibu terhenti tiba-tiba. Mereka mendongak dengan terkejut, sepertinya tidak menyangka aku akan muncul saat ini.

“Selvy, kamu mau ke mana?”

Aku menatap mereka.

Jari-jariku perlahan menggenggam erat pegangan koper, untuk pertama kalinya tidak ada lagi harapan dalam tatapanku.
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 9

    Mendengar akhir nasib Siska, Jason dan Stefano, anehnya aku tidak merasakan kegembiraan balas dendam yang kubayangkan, juga tidak ada rasa puas karena berhasil membalas sakit hati.Yang tersisa hanya sebersit rasa getir.Bagaimanapun hidup mereka, itu sudah tidak ada hubungannya denganku.Aku mencurahkan seluruh energi dan fokusku pada pekerjaan dan putriku. Hidupku sangat damai dan tenang.Saat putriku berusia tiga tahun, berkat hasil penelitianku yang unggul, aku pun kembali ke dalam negeri dan menjadi tulang punggung di pusat medis nasional.Selain bekerja, waktuku kuhabiskan untuk menemani putriku setiap hari.Dia cerdas, lincah dan menggemaskan. Dia adalah hadiah paling berharga dalam hidupku.Ayah, Ibu dan Stefano melalui berbagai cara, akhirnya mengetahui kabarku dan mencoba menghubungiku.Hari ini, aku sedang sibuk di laboratorium saat asisten terburu-buru masuk."Bu Selvy, ada yang mencarimu di bawah."Aku mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?""Mereka bilang mereka keluarg

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 8

    "Semuanya sudah berlalu," ujarku pelan, nadaku sangat tenang, seolah sedang membicarakan urusan orang lain.Aku berbalik dan hendak naik ke lantai atas, tapi pergelangan tanganku ditahan kuat oleh Stefano."Selvy, kamu benar-benar nggak mau pulang bersama kami?"Suaranya penuh kecemasan, seolah kepergianku adalah kesalahan fatal yang tak bisa diperbaiki.Pada saat itu juga, tiba-tiba emosiku runtuh."Pulang?"Aku membalikkan badanku dengan cepat. Dengan mata berkaca-kaca, aku menatap mereka dan berkata, "Kalian pikir hanya dengan satu kata maaf, penderitaanku bertahun-tahun ini bisa terhapus begitu saja?""Aku yang dikorbankan! Tapi sejak kecil sampai sekarang, yang menikmati kasih sayang Ayah dan Ibu itu Siska!""Aku yang diabaikan, aku yang dikhianati Jason! Atas dasar apa kalian berpikir hanya dengan permintaan maaf yang begitu ringkas, aku harus memaafkan semuanya?""Hidupku di keluarga ini selama ini begitu menyakitkan! Kenapa sekarang kalian datang dengan kata maaf dan mengharapk

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 7

    Aku pikir penolakanku sudah cukup jelas, tapi ternyata mereka malah datang mencariku.Hari ini, aku kembali dari rumah sakit ke apartemen. Begitu tiba di lantai bawah, aku pun terdiam.Ayah, Ibu, Stefano dan Jason, keempatnya sudah menunggu di depan pintu apartemenku dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda.Begitu melihatku, mereka langsung mengerumuniku.Baru saja Stefano mau berbicara, Jason sudah mendesak maju di depanku.Matanya tampak berkaca-kaca. Beberapa hari tidak bertemu, dia terlihat jauh lebih kurus.“Selvy, lama nggak bertemu,” ujarnya dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Aku tahu, kamu hanya sedang mengambek, kita nggak akan putus.”Aku menatapnya, tapi tidak ada gejolak apapun di hatiku.“Jason, putus itu nggak perlu persetujuan darimu.”Ucapanku tenang, tapi tegas.Jason terdiam. Dia sepertinya tidak percaya, aku yang dulu begitu mencintainya, kini bisa menjadi sedingin ini.Aku berpaling menatap keluargaku.Ekspresi mereka bermacam-macam, tapi di mata mereka terp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 6

    Begitu menutup telepon, rasanya seperti beban di dadaku akhirnya terangkat.Di sisi lain, Jason sempat terdiam beberapa detik, lalu terdengar suara lembut Siska,“Kak Jason, mungkin suasana hati Kakak lagi nggak baik dan butuh waktu sendiri.”“Kamu juga jangan terlalu khawatir. Dia begitu menyukaimu, mana mungkin benar-benar pergi. Bukannya dia paling suka main tarik ulur? Seperti yang dia lakukan sebelumnya.”Jason terdiam beberapa saat, sepertinya menerima penjelasannya.“Kamu benar, mungkin dia hanya sedang mengambek.”“Siska, kamu paling mengerti dia.”Yang tidak kuketahui, setelah kepergianku, semuanya tidak berjalan seperti yang Jason dan Siska bayangkan.Awalnya, mereka mengira aku hanya mengambek dan akan kembali dalam beberapa hari.Namun, seiring hari berlalu, hati orang tuaku dan Jason semakin tidak enak.Jason melihat nomor kontakku yang sudah lama senyap dan samar-samar merasa seperti telah kehilangan sesuatu.Siska sendiri tidak peduli. Dia dengan terang-terangan menikmat

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 5

    Stefano yang pertama bereaksi. Tatapannya tampak penuh tuduhan dan permusuhan, seperti sedang menghakimi seorang penjahat.“Kamu mau kabur? Mau lepas tangan dari tanggung jawab karena sudah membuat Siska alergi?”Ayah dan Ibu pun langsung mendekat, wajah mereka tampak kecewa dan menyalahkan.Ibu berkata dengan nada dingin, “Selvy, kok kamu bisa begitu egois? Siska masih di rumah sakit, kamu malah berpikir untuk pergi?”Ayah juga mengerutkan keningnya dan berkata, “Kamu nggak punya rasa tanggung jawab sama sekali.” Aku memandang mereka, hatiku terasa dingin.Ternyata di mata mereka, setiap tindakanku akan selalu diartikan sebagai keegoisan.“Kabur?” Aku mengangkat sudut bibirku, senyumanku terasa pahit. “Sejak kapan aku bilang mau kabur?”Aku mengambi ponselku, menghubungi Siska di depan mereka dan mengaktifkan pengeras suara.Setelah beberapa kali dering, terdengar suaranya yang lemah, tapi tetap angkuh,“Kakak? Kamu meneleponku untuk menyalahkanku?”Siska mengira aku masih ingin memp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 4

    Begitu koperku tertutup rapat, kamar itu terasa sangat sunyi, hanya tersisa suara napasku sendiri.Tiba-tiba ponsel bergetar, nama familiar yang muncul di layar membuat jariku sedikit bergetar.Aku tetap menekan tombol jawab.“Halo?” jawabku dengan serak.Terdengar suara Jason dari balik telepon. Suaranya tak lagi lembut seperti sebelumnya, hanya ada nada dingin dan kemarahan.“Selvy! Siska sudah masuk rumah sakit dan kamu masih belum muncul juga? Bahkan satu kata maaf pun nggak ada?!”Nada suaranya seperti sebilah pisau, menutup rapat semua celah bagiku untuk menjelaskan.Bibirku tertutup rapat dan terdiam sejenak. Kemudian, barulah aku berkata, “Jason, aku nggak mungkin main-main dengan nyawa orang.”Namun, dia sama sekali tak mau mendengarku, suaranya pun semakin dingin. “Jangan coba-coba mengelak lagi! Siska lebih nggak mungkin main-main dengan nyawanya sendiri!”Aku menggenggam erat ponsel. Jari-jariku memutih, sementara rasa getir menyebar di dada.Kenapa mereka bahkan tidak mau

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status