Share

Bab 5

Author: Coco An
Stefano yang pertama bereaksi. Tatapannya tampak penuh tuduhan dan permusuhan, seperti sedang menghakimi seorang penjahat.

“Kamu mau kabur? Mau lepas tangan dari tanggung jawab karena sudah membuat Siska alergi?”

Ayah dan Ibu pun langsung mendekat, wajah mereka tampak kecewa dan menyalahkan.

Ibu berkata dengan nada dingin, “Selvy, kok kamu bisa begitu egois? Siska masih di rumah sakit, kamu malah berpikir untuk pergi?”

Ayah juga mengerutkan keningnya dan berkata, “Kamu nggak punya rasa tanggung jawab sama sekali.”

Aku memandang mereka, hatiku terasa dingin.

Ternyata di mata mereka, setiap tindakanku akan selalu diartikan sebagai keegoisan.

“Kabur?” Aku mengangkat sudut bibirku, senyumanku terasa pahit. “Sejak kapan aku bilang mau kabur?”

Aku mengambi ponselku, menghubungi Siska di depan mereka dan mengaktifkan pengeras suara.

Setelah beberapa kali dering, terdengar suaranya yang lemah, tapi tetap angkuh,

“Kakak? Kamu meneleponku untuk menyalahkanku?”

Siska mengira aku masih ingin mempermasalahkannya.

Dan melihat keluarga di depanku, seketika aku merasa semuanya sangat ironis.

“Siska, apapun penyebab alergimu, aku minta maaf padamu.”

Suaraku tenang, bahkan ada sedikit ketegasan yang dingin.

“Maafkan aku. Mulai hari ini, aku nggak akan menghalangi hidupmu lagi.”

Karena aku akan segera pergi...

Suara di balik telepon hening sejenak. Siska tampak terkejut, tidak tahu harus menjawab apa.

Dan aku tidak perlu lagi mendengarkannya.

Aku pun dengan lembut menutup panggilannya, lalu menatap kedua orang tua dan Kakakku.

“Sekarang, bolehkah aku pergi?”

Seketika, ekspresi mereka membeku, tatapan mereka dipenuhi keterkejutan.

Mereka seolah tidak pernah menyangka aku akan benar-benar berbalik dan pergi.

Aku tidak mengatakan sepatah kata pun lagi, lalu menarik koper dan selangkah demi selangkah keluar dari rumah yang dingin ini.

Saat pintu tertutup, aku seolah mendengar suara hatiku yang hancur.

Setibanya di bandara, ponselku kembali berdering.

Nama di layar membuat hatiku sedikit menegang.

Aku mengangkatnya.

Di balik telepon, terdengar suara Jason yang tergesa-gesa disertai nada cemas yang tertahan.

“Selvy, kamu ke mana? Kondisi Siska masih belum jelas, dia takut sendirian di rumah sakit. Aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.”

Nada suaranya tegas dan tergesa, seperti sedang berusaha keras menahan emosi.

Aku tersenyum getir.

Dalam kata-katanya, aku tidak pernah mendengar ‘kepedulian padaku’, yang ada selalu ‘Siska membutuhkannya’.

“Sudah sedewasa ini, masih saja main drama kabur dari rumah?”

Suaranya rendah, tapi bukan sepenuhnya tidak sabar, lebih seperti ketidakberdayaan.

Hanya saja bagiku, semua penjelasan, semua makna tersirat sudah tidak berarti lagi.

Aku teringat kata-kata orang tuaku, bahwa Jason memilihku karena kepentingan keluarga, padahal yang benar-benar disukainya selama ini adalah Siska.

“Jason,” panggilku.

Kemudian, dengan tenang dan tegas, aku berkata, “Kita putus.”

Seketika, balik telepon terasa hening.

Beberapa saat kemudian, Jason seolah merasa tertusuk dan bertanya pelan, “Apa kamu bilang?”

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengulanginya lagi, “Kita putus saja.”

Usai bicara, aku menutup telepon tanpa ragu dan mematikan ponsel.

Aku berbalik, menyeret koper dan berjalan menuju gerbang keberangkatan.

Pesawat akan segera lepas landas.

Kali ini bukan pelarian, melainkan kelahiran kembali.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 9

    Mendengar akhir nasib Siska, Jason dan Stefano, anehnya aku tidak merasakan kegembiraan balas dendam yang kubayangkan, juga tidak ada rasa puas karena berhasil membalas sakit hati.Yang tersisa hanya sebersit rasa getir.Bagaimanapun hidup mereka, itu sudah tidak ada hubungannya denganku.Aku mencurahkan seluruh energi dan fokusku pada pekerjaan dan putriku. Hidupku sangat damai dan tenang.Saat putriku berusia tiga tahun, berkat hasil penelitianku yang unggul, aku pun kembali ke dalam negeri dan menjadi tulang punggung di pusat medis nasional.Selain bekerja, waktuku kuhabiskan untuk menemani putriku setiap hari.Dia cerdas, lincah dan menggemaskan. Dia adalah hadiah paling berharga dalam hidupku.Ayah, Ibu dan Stefano melalui berbagai cara, akhirnya mengetahui kabarku dan mencoba menghubungiku.Hari ini, aku sedang sibuk di laboratorium saat asisten terburu-buru masuk."Bu Selvy, ada yang mencarimu di bawah."Aku mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?""Mereka bilang mereka keluarg

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 8

    "Semuanya sudah berlalu," ujarku pelan, nadaku sangat tenang, seolah sedang membicarakan urusan orang lain.Aku berbalik dan hendak naik ke lantai atas, tapi pergelangan tanganku ditahan kuat oleh Stefano."Selvy, kamu benar-benar nggak mau pulang bersama kami?"Suaranya penuh kecemasan, seolah kepergianku adalah kesalahan fatal yang tak bisa diperbaiki.Pada saat itu juga, tiba-tiba emosiku runtuh."Pulang?"Aku membalikkan badanku dengan cepat. Dengan mata berkaca-kaca, aku menatap mereka dan berkata, "Kalian pikir hanya dengan satu kata maaf, penderitaanku bertahun-tahun ini bisa terhapus begitu saja?""Aku yang dikorbankan! Tapi sejak kecil sampai sekarang, yang menikmati kasih sayang Ayah dan Ibu itu Siska!""Aku yang diabaikan, aku yang dikhianati Jason! Atas dasar apa kalian berpikir hanya dengan permintaan maaf yang begitu ringkas, aku harus memaafkan semuanya?""Hidupku di keluarga ini selama ini begitu menyakitkan! Kenapa sekarang kalian datang dengan kata maaf dan mengharapk

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 7

    Aku pikir penolakanku sudah cukup jelas, tapi ternyata mereka malah datang mencariku.Hari ini, aku kembali dari rumah sakit ke apartemen. Begitu tiba di lantai bawah, aku pun terdiam.Ayah, Ibu, Stefano dan Jason, keempatnya sudah menunggu di depan pintu apartemenku dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda.Begitu melihatku, mereka langsung mengerumuniku.Baru saja Stefano mau berbicara, Jason sudah mendesak maju di depanku.Matanya tampak berkaca-kaca. Beberapa hari tidak bertemu, dia terlihat jauh lebih kurus.“Selvy, lama nggak bertemu,” ujarnya dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Aku tahu, kamu hanya sedang mengambek, kita nggak akan putus.”Aku menatapnya, tapi tidak ada gejolak apapun di hatiku.“Jason, putus itu nggak perlu persetujuan darimu.”Ucapanku tenang, tapi tegas.Jason terdiam. Dia sepertinya tidak percaya, aku yang dulu begitu mencintainya, kini bisa menjadi sedingin ini.Aku berpaling menatap keluargaku.Ekspresi mereka bermacam-macam, tapi di mata mereka terp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 6

    Begitu menutup telepon, rasanya seperti beban di dadaku akhirnya terangkat.Di sisi lain, Jason sempat terdiam beberapa detik, lalu terdengar suara lembut Siska,“Kak Jason, mungkin suasana hati Kakak lagi nggak baik dan butuh waktu sendiri.”“Kamu juga jangan terlalu khawatir. Dia begitu menyukaimu, mana mungkin benar-benar pergi. Bukannya dia paling suka main tarik ulur? Seperti yang dia lakukan sebelumnya.”Jason terdiam beberapa saat, sepertinya menerima penjelasannya.“Kamu benar, mungkin dia hanya sedang mengambek.”“Siska, kamu paling mengerti dia.”Yang tidak kuketahui, setelah kepergianku, semuanya tidak berjalan seperti yang Jason dan Siska bayangkan.Awalnya, mereka mengira aku hanya mengambek dan akan kembali dalam beberapa hari.Namun, seiring hari berlalu, hati orang tuaku dan Jason semakin tidak enak.Jason melihat nomor kontakku yang sudah lama senyap dan samar-samar merasa seperti telah kehilangan sesuatu.Siska sendiri tidak peduli. Dia dengan terang-terangan menikmat

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 5

    Stefano yang pertama bereaksi. Tatapannya tampak penuh tuduhan dan permusuhan, seperti sedang menghakimi seorang penjahat.“Kamu mau kabur? Mau lepas tangan dari tanggung jawab karena sudah membuat Siska alergi?”Ayah dan Ibu pun langsung mendekat, wajah mereka tampak kecewa dan menyalahkan.Ibu berkata dengan nada dingin, “Selvy, kok kamu bisa begitu egois? Siska masih di rumah sakit, kamu malah berpikir untuk pergi?”Ayah juga mengerutkan keningnya dan berkata, “Kamu nggak punya rasa tanggung jawab sama sekali.” Aku memandang mereka, hatiku terasa dingin.Ternyata di mata mereka, setiap tindakanku akan selalu diartikan sebagai keegoisan.“Kabur?” Aku mengangkat sudut bibirku, senyumanku terasa pahit. “Sejak kapan aku bilang mau kabur?”Aku mengambi ponselku, menghubungi Siska di depan mereka dan mengaktifkan pengeras suara.Setelah beberapa kali dering, terdengar suaranya yang lemah, tapi tetap angkuh,“Kakak? Kamu meneleponku untuk menyalahkanku?”Siska mengira aku masih ingin memp

  • Aku Pemenang Dalam Hidupku   Bab 4

    Begitu koperku tertutup rapat, kamar itu terasa sangat sunyi, hanya tersisa suara napasku sendiri.Tiba-tiba ponsel bergetar, nama familiar yang muncul di layar membuat jariku sedikit bergetar.Aku tetap menekan tombol jawab.“Halo?” jawabku dengan serak.Terdengar suara Jason dari balik telepon. Suaranya tak lagi lembut seperti sebelumnya, hanya ada nada dingin dan kemarahan.“Selvy! Siska sudah masuk rumah sakit dan kamu masih belum muncul juga? Bahkan satu kata maaf pun nggak ada?!”Nada suaranya seperti sebilah pisau, menutup rapat semua celah bagiku untuk menjelaskan.Bibirku tertutup rapat dan terdiam sejenak. Kemudian, barulah aku berkata, “Jason, aku nggak mungkin main-main dengan nyawa orang.”Namun, dia sama sekali tak mau mendengarku, suaranya pun semakin dingin. “Jangan coba-coba mengelak lagi! Siska lebih nggak mungkin main-main dengan nyawanya sendiri!”Aku menggenggam erat ponsel. Jari-jariku memutih, sementara rasa getir menyebar di dada.Kenapa mereka bahkan tidak mau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status