LOGINBugh! Brak!
Aku jatuh ke lantai. Kepalaku terasa berdenging, tubuhku lemas. Aku mencoba bangkit, tetapi tenagaku terkuras habis. Latihan yang kupelajari tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pelatihan bertahun-tahun yang diterima Nico dari Golden Circle.Aku terkapar, kelelahan. Di sampingku, Rio dan Bagus juga terengah-engah, tidak berdaya. Kami bertiga kini hanya bisa melihat Nico.Nico berdiri di atasku. Dia tidak terlihat lelah sama sekali. Dia merapikan kerah kemejanya yang sedikit berantakan karena pukulan kejutan tadi. Itu adalah satu-satunya tanda bahwa aku berhasil memberinya perlawanan."Sudah selesai," kata Nico, suaranya kembali datar dan dominan. "Kalian membuktikan bahwa kalian punya keberanian, tapi bukan kecerdasan bertarung."Dia melirik ke pemantik yang masih ada di tangannya."Kalian membuatku membuang waktu. Sekarang, kalian akan membayar harganya."Tepat ketika Nico berjalan ke arah pintu dan mengBugh! Brak!Aku jatuh ke lantai. Kepalaku terasa berdenging, tubuhku lemas. Aku mencoba bangkit, tetapi tenagaku terkuras habis. Latihan yang kupelajari tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pelatihan bertahun-tahun yang diterima Nico dari Golden Circle.Aku terkapar, kelelahan. Di sampingku, Rio dan Bagus juga terengah-engah, tidak berdaya. Kami bertiga kini hanya bisa melihat Nico.Nico berdiri di atasku. Dia tidak terlihat lelah sama sekali. Dia merapikan kerah kemejanya yang sedikit berantakan karena pukulan kejutan tadi. Itu adalah satu-satunya tanda bahwa aku berhasil memberinya perlawanan."Sudah selesai," kata Nico, suaranya kembali datar dan dominan. "Kalian membuktikan bahwa kalian punya keberanian, tapi bukan kecerdasan bertarung."Dia melirik ke pemantik yang masih ada di tangannya."Kalian membuatku membuang waktu. Sekarang, kalian akan membayar harganya."Tepat ketika Nico berjalan ke arah pintu dan meng
Rio, dengan naluri bertarung yang kuat, memahami maksudku. Dia menyeret kursinya dan menggunakan tenaganya untuk menggesekkan tali yang mengikat pergelangan tangannya ke tepi kursi logam Bagus yang tajam. Bagus, dengan kecerdasannya, segera meniru gerakan itu.Aku merasakan tali di pergelangan tanganku mulai melonggar dan menipis. Bau bensin membuat pernapasan terasa berat, menambah tekanan pada upaya melarikan diri ini.Srett!Tali di pergelangan tangan Rio putus lebih dulu."Kita tidak lari keluar!" teriakku, sambil berdiri tegak. "Kita cari Nico! Dia yang tahu di mana kita!"Rio dan Bagus mengangguk. Mereka tahu ancaman di luar sana lebih besar daripada ancaman di ruangan ini. Rio segera mengambil pisau lipatnya dan menghampiri dua penjaga yang mencoba bangkit, Bagus mengambil kesempatan itu dan berlari ke pintu."Ikuti aku!" seru Bagus, yang sudah menganalisis tata letak ruangan itu. "Toilet adalah jebakan! Kita harus naik!"
Sekarang, hanya aku yang tersisa. Sosok ketiga bergerak mendekatiku. Aku tahu melawan secara fisik adalah hal yang bodoh. Aku mencoba melarikan diri, tapi koridor itu terasa seperti perangkap. Tangan bersarung tangan meraih lenganku, dan aku merasakan sensasi menusuk yang tajam. Dunia mulai berputar, suara-suara menjadi kabur.Hal terakhir yang kulihat sebelum kegelapan merenggutku adalah wajah dingin salah satu penculik. Mereka membawa kami pergi, satu per satu, tanpa meninggalkan jejak.Aku membuka mata. Kepalaku pusing dan badanku terasa kaku. Cahaya samar dari sebuah lampu tunggal di langit-langit menyambutku. Kami berada di sebuah ruangan beton kosong yang dingin. Rio dan Bagus sudah ada di sana, terikat di kursi logam yang berbeda, tampak sama bingungnya denganku.Tepat di depan kami, duduk dengan tenang di atas meja kayu, adalah Nico. Dia tidak memakai seragam sekolah. Dia mengenakan kemeja gelap yang rapi. Di tangannya, dia memegang selembar kertas
"Tepat," balasku, lalu menoleh ke Bagus. "Aku butuh analisismu, Bagus. Kau yang paling ahli dalam strategi. Saat kau lihat Nico menyerang Rio, apa yang kau pelajari?"Bagus mengangguk. "Serangannya cepat, brutal, dan efisien. Tapi ada yang lebih penting: Dia tidak bertarung untuk melukai, dia bertarung untuk membaca. Dia mengukur kekuatan dan kelemahan Rio hanya dengan satu pukulan. Dia tahu di mana kelemahan emosional Rio, dan dia mengeksploitasinya. Dia adalah petarung yang menggunakan otaknya sebagai senjata utamanya.""Maka kita harus menyerang kelemahannya yang sesungguhnya," kataku, memandang mereka berdua. "Bagus, strateginya kuserahkan padamu. Kita tidak bisa menghadapinya sendirian. Kita harus menyerang Golden Circle, orang-orang di balik Nico, dan merusak image sempurna yang dia bangun."Bagus menyipitkan mata. "Serangan pada reputasi? Itu bisa jadi bumerang.""Kita harus ambil risiko," ujarku dingin. "Kita punya Rio sebagai kekuatan fis
Aku tahu, aku tidak bisa membiarkan Rio dan Bagus terus beradu ego di depan Nico. Setiap detik kami berdiri di sana, Nico mendapatkan lebih banyak informasi tentang kelemahan kami. Rio sudah terdiam, malu dan marah, setelah dihantam kata-kata Nico. Bagus hanya menatapku, menunggu. Fira, di sampingku, terlihat tegang tapi juga penasaran.Aku melangkah maju, menempatkan diriku di antara Rio dan Nico. Aku menatap Nico, matanya yang dingin dan datar."Kami tidak mau apa-apa," kataku, suaraku diatur agar terdengar tenang, menyembunyikan kekesalan yang mendidih. "Kami hanya lewat. Tapi sekarang, karena kau sudah repot-repot menyambut kami... sebaiknya kami pergi."Nico tidak bereaksi. Dia hanya menatapku.Aku berbalik, Aku bilang pada Rio dan Bagus. "Kita pulang," kataku tegas. "Sekarang."Rio protes pelan, tapi Bagus menatapku sekilas dengan ekspresi yang sulit diartikan—mungkin sedikit rasa hormat karena aku mengambil alih. Kami berempat berj
Aku berjalan, tapi pikiranku masih dipenuhi dengan Nico. Dia tidak seperti yang terlihat. Dia adalah seorang manipulator ulung. Dia adalah seorang pejuang yang berbahaya. Dan dia memiliki hubungan dengan organisasi rahasia.Siapa dia? gumamku dalam hati. Apa yang dia sembunyikan?Aku berjalan menuju toilet, pikiranku masih dipenuhi dengan Nico dan misterinya. Aku tahu, ini adalah pertarungan yang sesungguhnya. Aku tidak bisa mengalahkannya dengan kekuatan. Aku harus mengalahkannya dengan kecerdasan. Aku harus membuat rencana yang jauh lebih matang.Tiba-tiba, pintu toilet terbuka. Nico keluar dari sana. Ia tidak terlihat terkejut atau takut. Ia hanya menatapku, matanya datar, lalu berjalan melewatiku.Aku terdiam, tidak bisa berkata-kata. Pikiranku kacau. Ia tidak melihatku? Ia tidak tahu aku ada di sini? Atau ia hanya berpura-pura tidak melihatku? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, ia adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berbahaya.







