Home / Romansa / Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu / Bab 10 - Ada yang berubah..

Share

Bab 10 - Ada yang berubah..

Author: Sang pemimpi
last update Last Updated: 2025-08-01 00:46:48

Erica duduk di meja makan dengan secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Jam dinding menunjukkan pukul 21.17—Ricardo biasanya sudah mengirim kabar sejak satu jam yang lalu, sekadar bilang dia sudah pulang, atau bertanya apakah Erica sudah makan malam. Tapi malam ini, tidak ada satu pesan pun.

Ponselnya diletakkan di atas meja. Dipelototi. Diteteskan harapan. Tetap hening.

Erica menghela napas, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai mengetuk. Ia menatap langit malam dari jendela apartemennya, dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak menjalin hubungan jarak jauh dengan Ricardo, ada perasaan tidak tenang menyusup ke dalam pikirannya.

“Ricardo, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” gumamnya lirih.

Sejak tiga minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda. Jika dulu Ricardo selalu antusias meneleponnya dan bercerita panjang tentang proyek, sekarang ia hanya mengabari seperlunya. Suaranya terdengar lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan—lelah karena menjaga jarak. Lelah karena menyimpan sesuatu.

Dan Erica bukan perempuan yang mudah buta oleh cinta. Ia bisa membaca perubahan.

Suatu malam, saat mereka melakukan video call, Erica memperhatikan cara Ricardo menjawab dengan singkat. Ekspresi wajahnya datar, bahkan senyumnya pun terasa dipaksakan.

“Ric, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Erica saat itu.

Ricardo terdiam sepersekian detik sebelum menjawab, “Aku baik, cuma capek aja.”

Jawaban yang klasik. Tapi ada nada gugup yang tak biasa. Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam lima bulan terakhir, mereka mengakhiri panggilan tanpa ucapan “I love you.”

Sejak malam itu, Erica mulai mencatat dalam diam: berapa kali Ricardo tak membalas pesannya dengan cepat, berapa banyak video call yang dibatalkan sepihak, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan pria itu untuk hanya sekadar mengucapkan, “Aku kangen kamu.”

Dan hari ini, ketidakhadiran kabar dari Ricardo terasa seperti pukulan yang telak di ulu hati.

Pikiran Erica mulai melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin ia akui. Apakah Ricardo sudah bosan? Apakah jarak ini terlalu melelahkan baginya? Ataukah… ada orang lain yang kini lebih sering menemani harinya?

Di kantor pusat tempat Erica bekerja, ia jadi lebih sering melamun. Teman sekantornya, Sinta, sampai harus menepuk bahunya dua kali saat Erica tidak merespons panggilan.

“Kamu kenapa, Ric nggak ngabarin ya?” tanya Sinta setengah bercanda.

Erica tersenyum samar. “Iya... akhir-akhir ini dia kayak bukan dia.”

Sinta memiringkan kepala. “Maksudmu?”

“Dia beda. Lebih dingin. Lebih jauh.” Erica menunduk. “Aku tahu dia bilang ini karena capek kerja, tapi... aku perempuan, Sin. Aku bisa ngerasain kalau ada orang ketiga.”

Sinta terdiam. Ucapan Erica bukan sekadar prasangka. Nada suaranya mengandung kebenaran yang belum terbukti, tapi terasa.

“Kamu udah tanya langsung?” gumam Sinta pelan.

Erica mengangguk. “Tapi dia selalu bilang, ‘Kamu pikiranku ke mana-mana.’ Tapi justru karena aku mikirin dia, aku bisa ngerasain kalau semuanya nggak lagi sama.”

Malam itu, Erica nekat menelepon Ricardo, berharap dia akan menjawab dengan tawa dan menyapanya seperti dulu. Tapi nada sambung panjang itu diakhiri suara kotak pesan.

Ia mencoba lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya ia berhenti mencoba, dan hanya mengirim pesan:

“Ricardo, aku cuma mau tahu... kamu masih mencintaiku seperti dulu? Atau aku harus berhenti berharap pada seseorang yang mulai berubah?”

Erica mematikan layar ponsel dan menatap langit-langit kamar. Matanya mulai berkaca-kaca. Mungkin bukan karena ia tak percaya pada Ricardo, tapi karena ia merasa... dicintai secara perlahan saja pun sudah tak lagi.

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke balkon apartemennya yang menghadap ke jalan raya. Lampu-lampu kendaraan melintas cepat, seperti hidup orang-orang yang terus berjalan tanpa menunggu. Sementara ia... merasa tertinggal.

Pikirannya menari-nari ke kenangan manis: cara Ricardo dulu mengecup puncak kepalanya di stasiun sebelum pergi dinas luar kota. Cara dia mengirim voice note hanya untuk mengatakan, “Aku rindu banget bau shampoo kamu.” Atau cara dia bilang, “Kalau kamu sedih, bilang ya. Aku pengen jadi rumahmu.”

Kini rumah itu seperti tak berpenghuni. Sunyi.

Erica memeluk dirinya sendiri, mencoba menghangatkan tubuhnya yang menggigil bukan karena udara malam, tapi karena rasa kehilangan yang belum sempat diumumkan.

Beberapa jam kemudian, pesan dari Ricardo masuk. Tapi bukan pesan yang ia harapkan.

“Maaf, tadi ada rapat mendadak dan aku ketiduran. Besok aku hubungi ya.”

Pendek. Datar. Tanpa tanda baca. Tanpa emosi.

Erica hanya memandangi layar itu beberapa detik sebelum mengunci ponsel.

Bukan isi pesannya yang menyakitkan. Tapi tidak adanya “Sayang”, tidak ada “Maaf ya, aku kangen.” Tidak ada penyesalan dalam nadanya. Tidak ada rasa memiliki.

Ia tahu, cinta tak mati seketika. Ia mati perlahan, dari hal-hal kecil: percakapan yang dipersingkat, panggilan yang tak dijawab, pelukan yang tak lagi dijanjikan. Cinta mati saat orang yang kita tunggu, tak lagi merasa penting untuk segera datang.

Erica meraih jurnal kecilnya, menuliskan satu kalimat yang muncul di kepalanya:

“Terkadang, lebih menyakitkan mencintai seseorang yang masih ada, tapi hatinya entah di mana.”

Ia menutup jurnal itu dengan pelan, lalu menatap langit malam yang kini mulai berawan.

Ada yang berubah. Bukan hanya pada Ricardo. Tapi juga pada hatinya sendiri.

Ia mulai merasa… ingin menyerah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 12 - Dua Dunia yang Berjalan Seiring

    Ricardo masih mengingat jelas isi pesan Erica semalam. Kata-kata yang menusuk itu terus berputar dalam pikirannya sepanjang hari. Namun, entah bagaimana, ia tetap memilih untuk memulai pagi seperti biasa, dengan secangkir kopi dan tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Nadya sudah tiba di kantor lebih dulu, duduk di meja kerjanya yang terletak tak jauh dari ruang kerja Ricardo. Ia terlihat tenang, seperti tak ada yang terjadi semalam—padahal mereka baru saja melewati batas yang tak seharusnya dilanggar. "Pagi, Pak Ricardo," sapa Nadya saat pria itu melintas di depannya. Suaranya hangat, namun tak berlebihan. Tapi senyum di wajahnya... menyiratkan lebih dari sekadar profesionalitas. Ricardo mengangguk singkat. "Pagi, Nadya. Ada agenda rapat pagi ini?" "Ada, jam sepuluh. Saya sudah siapkan materi presentasinya." "Baik. Terima kasih." Seketika itu juga, Ricardo kembali larut dalam rutinitas. Tapi pikirannya terus melayang ke arah Nadya. Semalam mereka tak hanya bicara lama—mereka

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 11 - Pesan yang menghantam hati

    Ricardo terduduk diam di balkon kamar hotel yang disediakan perusahaan. Malam di Kalimantan tak pernah seramai ibukota, tapi entah kenapa malam ini terasa bising—oleh suara pikirannya sendiri. Suasana senyap di luar, disertai suara rintik hujan yang jatuh pelan di atap seng, justru memperjelas kekacauan dalam hatinya.Ponselnya tergeletak di meja kecil di sebelah cangkir kopi yang sudah dingin. Layar menyala—pesan dari Erica.Ia menatapnya lama, jantungnya berdetak tak karuan. Ada rasa bersalah yang mengendap, mendesak untuk diakui. Ia ulurkan tangan, lalu membuka pesan itu dengan jari yang gemetar."Ricardo... kamu baik-baik saja, kan? Aku cuma merasa kita mulai jauh. Aku rindu, dan mungkin... kamu sudah tak merindukanku lagi?"Seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menohok langsung ke pusat kesadarannya. Di luar, hujan mulai turun lebih deras, seirama dengan dentuman jantungnya yang kini terdengar memekakkan telinga.Ricardo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya te

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 10 - Ada yang berubah..

    Erica duduk di meja makan dengan secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Jam dinding menunjukkan pukul 21.17—Ricardo biasanya sudah mengirim kabar sejak satu jam yang lalu, sekadar bilang dia sudah pulang, atau bertanya apakah Erica sudah makan malam. Tapi malam ini, tidak ada satu pesan pun.Ponselnya diletakkan di atas meja. Dipelototi. Diteteskan harapan. Tetap hening.Erica menghela napas, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai mengetuk. Ia menatap langit malam dari jendela apartemennya, dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak menjalin hubungan jarak jauh dengan Ricardo, ada perasaan tidak tenang menyusup ke dalam pikirannya.“Ricardo, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” gumamnya lirih.Sejak tiga minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda. Jika dulu Ricardo selalu antusias meneleponnya dan bercerita panjang tentang proyek, sekarang ia hanya mengabari seperlunya. Suaranya terdengar lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan—lelah karena menjaga jarak. Lela

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 9 - Batas Yang Menipis

    Hari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari.Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.”“Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.”Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak.Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersa

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 8 - Yang Tak Pernah Ia Niatkan

    Ricardo menatap bayangan dirinya di cermin kamar hotel. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan matanya... lelah. Tapi bukan karena pekerjaan. Bukan juga karena kurang tidur. Ada sesuatu yang lebih berat dari itu—beban yang mengendap diam-diam di dadanya.Ia menatap dirinya lebih dalam. Seseorang yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana : Apa yang sebenrnya kamu rasakan?Ciuman itu kembali berputar dikepalanya. Tak disengaja, begitu cepat, begitu tiba-tiba. Namun, meninggalkan jejk yang nyata. Tapi juga tak bisa dihapus. Bukan karena Nadya. Tapi karena dirinya.Ia yang diam. Ia yang tak langsung menarik diri. Ia yang membiarkan detik itu berlama-lama tinggal di antara kesunyian dan kilat dari luar jendela. Dan sekarang, ia tk bisa berpura-pura lupa.Ia belum bercerita pada Erica. Dan justru itu yang mengusiknya paling dalam. Jika tak ada apa-apa, kenapa ia menyembunyikannya?Ponselnya berdering. Nama Erica muncul di layar. Ia menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 7 - Antara Hujan Dan Pengakuan

    Hujan masih merintik perlahan di luar jendela. Suara titik - titik air yang jatuh di atap kantor memberi irama lembut yang menenangkan, namun sekaligus mengusik. Kantor itu sudah lama sepi. Mayoritas karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kantor itu hanya diterangi lampu redup dari meja Ricardo dan bias temaram dari lampu lorong yang menerobos celah pintu. Di antara dua gelas kopi yang mulai kehilangan uapnya, Ricardo dan Nadya duduk dalam diam.Dua cangkir kopi yang mulai mendingin di atas meja menjadi saksi bisu percakapan yang tak banyak kata. Ricardo duduk bersandar, tangannya memainkan pena tanpa arah, Nadya, yang duduk di seberangnya menatap keluar jendela dengan pandangan jauh.Tak canggung. Hanya... hening.“Kadang, saya suka aroma hujan begini,” ujar Nadya pelan, memecah sunyi. Ia tak menoleh ke Ricardo. Matanya masih menatap bulir hujan yang membekas si kaca jendela. “Rasanya... damai. Seolah dunia berhenti sebentar”Ricardo mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi hujan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status