Home / Romansa / Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu / Bab 9 - Batas Yang Menipis

Share

Bab 9 - Batas Yang Menipis

Author: Sang pemimpi
last update Last Updated: 2025-07-26 23:30:25

Hari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.

“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari.

Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.”

“Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.”

Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak.

Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersama. Kadang berbagi cerita pribadi. Nadya bercerita tentang keluarganya yang jauh, tentang hubungannya yang pernah gagal, dan bagaimana ia merasa hidupnya terlalu datar sebelum dipindahkan ke proyek ini. Ricardo pun mulai membuka diri—tentang kesulitannya menjaga hubungan jarak jauh, tentang rasa bersalah yang menggelayut sejak malam itu, dan betapa ia mulai takut kehilangan arah.

Sore itu, hujan turun lagi. Mereka berdua terjebak di kantor karena jalanan tergenang. Ricardo menawarkan untuk mengantar Nadya pulang dengan mobil kantor.

“Terima kasih, Pak. Kalau tidak, saya pasti basah kuyup,” kata Nadya sambil menyelipkan rambutnya yang sedikit basah ke balik telinga.

Di dalam mobil, suasana hening tapi nyaman. Ricardo memutar lagu pelan dari radio, dan mereka larut dalam keheningan yang penuh makna.

“Ricardo,” ucap Nadya pelan. “Boleh aku tanya sesuatu?”

Ricardo melirik ke arahnya. “Tentu.”

“Kalau suatu saat... Erica tahu semua ini. Kamu yakin bisa menjelaskan semuanya?”

Ricardo menghela napas panjang. “Aku... masih berusaha menjaga semua tetap pada tempatnya, Nadya. Tapi jujur, aku sendiri mulai kehilangan arah.”

Nadya menoleh padanya. “Aku nggak minta kamu milih. Aku cuma ingin tahu... apakah aku berarti sesuatu?”

Ricardo terdiam. Hujan memukul kaca mobil dengan ritme yang tak beraturan. Ia menoleh, dan menatap mata Nadya lekat-lekat. “Aku nggak bisa jawab itu sekarang. Tapi aku tahu satu hal: aku merasa tenang saat kamu ada.”

Nadya tersenyum tipis, lalu menunduk. “Itu cukup.”

Hari-hari berlalu. Kedekatan mereka makin terlihat jelas di mata rekan kerja. Mereka seperti bayangan yang tak terpisah. Nadya jadi orang pertama yang Ricardo cari saat ada masalah di lapangan. Nadya juga satu-satunya orang yang bisa membuat Ricardo tertawa di sela-sela tekanan kerja yang berat.

Satu malam, saat mereka lembur bersama, Nadya tertidur di sofa ruang kantor. Ricardo yang baru selesai menelepon klien memandanginya dalam diam. Wajah Nadya tampak tenang. Ada kedamaian di sana—sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya.

Tanpa sadar, ia duduk di dekat sofa itu. Jemarinya nyaris menyentuh tangan Nadya, tapi ia menahan diri.

“Kenapa kamu hadir di saat aku paling rapuh?” bisiknya lirih. “Kenapa kamu begitu... mudah membuatku goyah?”

Nadya membuka matanya perlahan, ternyata belum sepenuhnya tertidur. “Mungkin karena kita sama-sama kesepian, Ric.”

Ricardo menatap matanya dalam-dalam. Mereka diam sejenak—tak butuh banyak kata. Lalu, tiba-tiba, Ricardo membungkuk perlahan. Bibir mereka bersentuhan sekali lagi, seperti kejadian di malam lembur sebelumnya.

Namun kali ini berbeda. Kali ini, Ricardo tidak menarik diri.

Ciuman itu berlangsung lebih lama. Dalam. Lembut. Tapi juga penuh konflik. Jari-jarinya menelusuri pipi Nadya dengan hati-hati, seolah memastikan bahwa perempuan di depannya ini nyata. Nadya membalas ciuman itu dengan perlahan, ragu-ragu tapi tidak menolak.

Ketika akhirnya Ricardo menarik diri, ia menghela napas berat. "Aku nggak tahu ini salah atau benar... tapi aku tahu kamu sudah mulai punya tempat di hati aku."

Nadya menggenggam tangannya, menggigil kecil. “Kalau kamu menyesal besok pagi, aku akan berpura-pura ini tidak pernah terjadi.”

Ricardo menggeleng. “Aku tidak akan berpura-pura. Aku tidak bisa.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 12 - Dua Dunia yang Berjalan Seiring

    Ricardo masih mengingat jelas isi pesan Erica semalam. Kata-kata yang menusuk itu terus berputar dalam pikirannya sepanjang hari. Namun, entah bagaimana, ia tetap memilih untuk memulai pagi seperti biasa, dengan secangkir kopi dan tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Nadya sudah tiba di kantor lebih dulu, duduk di meja kerjanya yang terletak tak jauh dari ruang kerja Ricardo. Ia terlihat tenang, seperti tak ada yang terjadi semalam—padahal mereka baru saja melewati batas yang tak seharusnya dilanggar. "Pagi, Pak Ricardo," sapa Nadya saat pria itu melintas di depannya. Suaranya hangat, namun tak berlebihan. Tapi senyum di wajahnya... menyiratkan lebih dari sekadar profesionalitas. Ricardo mengangguk singkat. "Pagi, Nadya. Ada agenda rapat pagi ini?" "Ada, jam sepuluh. Saya sudah siapkan materi presentasinya." "Baik. Terima kasih." Seketika itu juga, Ricardo kembali larut dalam rutinitas. Tapi pikirannya terus melayang ke arah Nadya. Semalam mereka tak hanya bicara lama—mereka

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 11 - Pesan yang menghantam hati

    Ricardo terduduk diam di balkon kamar hotel yang disediakan perusahaan. Malam di Kalimantan tak pernah seramai ibukota, tapi entah kenapa malam ini terasa bising—oleh suara pikirannya sendiri. Suasana senyap di luar, disertai suara rintik hujan yang jatuh pelan di atap seng, justru memperjelas kekacauan dalam hatinya.Ponselnya tergeletak di meja kecil di sebelah cangkir kopi yang sudah dingin. Layar menyala—pesan dari Erica.Ia menatapnya lama, jantungnya berdetak tak karuan. Ada rasa bersalah yang mengendap, mendesak untuk diakui. Ia ulurkan tangan, lalu membuka pesan itu dengan jari yang gemetar."Ricardo... kamu baik-baik saja, kan? Aku cuma merasa kita mulai jauh. Aku rindu, dan mungkin... kamu sudah tak merindukanku lagi?"Seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menohok langsung ke pusat kesadarannya. Di luar, hujan mulai turun lebih deras, seirama dengan dentuman jantungnya yang kini terdengar memekakkan telinga.Ricardo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya te

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 10 - Ada yang berubah..

    Erica duduk di meja makan dengan secangkir teh yang kini hanya tinggal setengah. Jam dinding menunjukkan pukul 21.17—Ricardo biasanya sudah mengirim kabar sejak satu jam yang lalu, sekadar bilang dia sudah pulang, atau bertanya apakah Erica sudah makan malam. Tapi malam ini, tidak ada satu pesan pun.Ponselnya diletakkan di atas meja. Dipelototi. Diteteskan harapan. Tetap hening.Erica menghela napas, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai mengetuk. Ia menatap langit malam dari jendela apartemennya, dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak menjalin hubungan jarak jauh dengan Ricardo, ada perasaan tidak tenang menyusup ke dalam pikirannya.“Ricardo, kamu kenapa sih akhir-akhir ini?” gumamnya lirih.Sejak tiga minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang terasa berbeda. Jika dulu Ricardo selalu antusias meneleponnya dan bercerita panjang tentang proyek, sekarang ia hanya mengabari seperlunya. Suaranya terdengar lelah. Tapi bukan lelah karena pekerjaan—lelah karena menjaga jarak. Lela

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 9 - Batas Yang Menipis

    Hari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari.Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.”“Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.”Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak.Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersa

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 8 - Yang Tak Pernah Ia Niatkan

    Ricardo menatap bayangan dirinya di cermin kamar hotel. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan matanya... lelah. Tapi bukan karena pekerjaan. Bukan juga karena kurang tidur. Ada sesuatu yang lebih berat dari itu—beban yang mengendap diam-diam di dadanya.Ia menatap dirinya lebih dalam. Seseorang yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana : Apa yang sebenrnya kamu rasakan?Ciuman itu kembali berputar dikepalanya. Tak disengaja, begitu cepat, begitu tiba-tiba. Namun, meninggalkan jejk yang nyata. Tapi juga tak bisa dihapus. Bukan karena Nadya. Tapi karena dirinya.Ia yang diam. Ia yang tak langsung menarik diri. Ia yang membiarkan detik itu berlama-lama tinggal di antara kesunyian dan kilat dari luar jendela. Dan sekarang, ia tk bisa berpura-pura lupa.Ia belum bercerita pada Erica. Dan justru itu yang mengusiknya paling dalam. Jika tak ada apa-apa, kenapa ia menyembunyikannya?Ponselnya berdering. Nama Erica muncul di layar. Ia menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya

  • Aku Pulang, Tapi Bukan Padamu   Bab 7 - Antara Hujan Dan Pengakuan

    Hujan masih merintik perlahan di luar jendela. Suara titik - titik air yang jatuh di atap kantor memberi irama lembut yang menenangkan, namun sekaligus mengusik. Kantor itu sudah lama sepi. Mayoritas karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kantor itu hanya diterangi lampu redup dari meja Ricardo dan bias temaram dari lampu lorong yang menerobos celah pintu. Di antara dua gelas kopi yang mulai kehilangan uapnya, Ricardo dan Nadya duduk dalam diam.Dua cangkir kopi yang mulai mendingin di atas meja menjadi saksi bisu percakapan yang tak banyak kata. Ricardo duduk bersandar, tangannya memainkan pena tanpa arah, Nadya, yang duduk di seberangnya menatap keluar jendela dengan pandangan jauh.Tak canggung. Hanya... hening.“Kadang, saya suka aroma hujan begini,” ujar Nadya pelan, memecah sunyi. Ia tak menoleh ke Ricardo. Matanya masih menatap bulir hujan yang membekas si kaca jendela. “Rasanya... damai. Seolah dunia berhenti sebentar”Ricardo mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi hujan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status