MasukHari-hari di Kalimantan tak lagi sama. Entah sejak kapan, kehadiran Nadya mulai menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Jika sebelumnya Ricardo hanya mengandalkannya untuk urusan administrasi proyek, kini Nadya adalah teman mengobrol, tempat curhat saat tekanan kerja menumpuk, bahkan sesekali, jadi penawar sepi ketika malam datang terlalu cepat.
“Kopi pagi untuk Pak Ricardo,” ucap Nadya suatu pagi, meletakkan cangkir di atas meja kerjanya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan celana hitam rapi, tapi senyumnya selalu menjadi hal pertama yang Ricardo lihat tiap hari. Ricardo menatapnya, lalu mengambil cangkir itu. “Terima kasih, kamu selalu datang tepat waktu.” “Kebiasaan,” sahut Nadya. “Lagipula... saya suka ketemu Bapak di pagi hari.” Kalimat itu menggantung sejenak. Ricardo tak langsung menjawab, tapi ia tersenyum kecil. Ia tahu Nadya mulai menunjukkan perhatian lebih. Dan yang lebih mengganggu pikirannya: ia tak menolak. Beberapa minggu terakhir, mereka sering makan siang bersama. Kadang berbagi cerita pribadi. Nadya bercerita tentang keluarganya yang jauh, tentang hubungannya yang pernah gagal, dan bagaimana ia merasa hidupnya terlalu datar sebelum dipindahkan ke proyek ini. Ricardo pun mulai membuka diri—tentang kesulitannya menjaga hubungan jarak jauh, tentang rasa bersalah yang menggelayut sejak malam itu, dan betapa ia mulai takut kehilangan arah. Sore itu, hujan turun lagi. Mereka berdua terjebak di kantor karena jalanan tergenang. Ricardo menawarkan untuk mengantar Nadya pulang dengan mobil kantor. “Terima kasih, Pak. Kalau tidak, saya pasti basah kuyup,” kata Nadya sambil menyelipkan rambutnya yang sedikit basah ke balik telinga. Di dalam mobil, suasana hening tapi nyaman. Ricardo memutar lagu pelan dari radio, dan mereka larut dalam keheningan yang penuh makna. “Ricardo,” ucap Nadya pelan. “Boleh aku tanya sesuatu?” Ricardo melirik ke arahnya. “Tentu.” “Kalau suatu saat... Erica tahu semua ini. Kamu yakin bisa menjelaskan semuanya?” Ricardo menghela napas panjang. “Aku... masih berusaha menjaga semua tetap pada tempatnya, Nadya. Tapi jujur, aku sendiri mulai kehilangan arah.” Nadya menoleh padanya. “Aku nggak minta kamu milih. Aku cuma ingin tahu... apakah aku berarti sesuatu?” Ricardo terdiam. Hujan memukul kaca mobil dengan ritme yang tak beraturan. Ia menoleh, dan menatap mata Nadya lekat-lekat. “Aku nggak bisa jawab itu sekarang. Tapi aku tahu satu hal: aku merasa tenang saat kamu ada.” Nadya tersenyum tipis, lalu menunduk. “Itu cukup.” Hari-hari berlalu. Kedekatan mereka makin terlihat jelas di mata rekan kerja. Mereka seperti bayangan yang tak terpisah. Nadya jadi orang pertama yang Ricardo cari saat ada masalah di lapangan. Nadya juga satu-satunya orang yang bisa membuat Ricardo tertawa di sela-sela tekanan kerja yang berat. Satu malam, saat mereka lembur bersama, Nadya tertidur di sofa ruang kantor. Ricardo yang baru selesai menelepon klien memandanginya dalam diam. Wajah Nadya tampak tenang. Ada kedamaian di sana—sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya. Tanpa sadar, ia duduk di dekat sofa itu. Jemarinya nyaris menyentuh tangan Nadya, tapi ia menahan diri. “Kenapa kamu hadir di saat aku paling rapuh?” bisiknya lirih. “Kenapa kamu begitu... mudah membuatku goyah?” Nadya membuka matanya perlahan, ternyata belum sepenuhnya tertidur. “Mungkin karena kita sama-sama kesepian, Ric.” Ricardo menatap matanya dalam-dalam. Mereka diam sejenak—tak butuh banyak kata. Lalu, tiba-tiba, Ricardo membungkuk perlahan. Bibir mereka bersentuhan sekali lagi, seperti kejadian di malam lembur sebelumnya. Namun kali ini berbeda. Kali ini, Ricardo tidak menarik diri. Ciuman itu berlangsung lebih lama. Dalam. Lembut. Tapi juga penuh konflik. Jari-jarinya menelusuri pipi Nadya dengan hati-hati, seolah memastikan bahwa perempuan di depannya ini nyata. Nadya membalas ciuman itu dengan perlahan, ragu-ragu tapi tidak menolak. Ketika akhirnya Ricardo menarik diri, ia menghela napas berat. "Aku nggak tahu ini salah atau benar... tapi aku tahu kamu sudah mulai punya tempat di hati aku." Nadya menggenggam tangannya, menggigil kecil. “Kalau kamu menyesal besok pagi, aku akan berpura-pura ini tidak pernah terjadi.” Ricardo menggeleng. “Aku tidak akan berpura-pura. Aku tidak bisa.”Pagi itu, kamar kos Nadya terasa lebih sempit dari biasanya. Sinar matahari yang menyusup melalui jendela berdebu seakan mengejek kegelisahan yang menggunung di dadanya. Di atas meja kayu yang lapuk, tiga test pack berjejer—masing-masing dengan dua garis merah yang tegas, seperti penjara yang mengurung masa depannya."Aku hamil."Dua kata itu bergema dalam kepalanya, tapi tak bisa keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kaku, tenggorokannya serasa tersumbat oleh kenyataan pahit yang harus ditelannya sendiri.Dia mengingat malam itu dengan jelas. Ricardo datang dengan wajah lesu, membawa sebotol anggur dan segudang penyesalan. Mereka duduk di lantai, berbagi cerita tentang kesepian yang sama. Nadya, yang baru putus cinta. Ricardo, yang merasa hubungannya dengan Erica mulai retak. Dua jiwa yang tersesat, saling mencari kehangatan di tengah dinginnya Kalimantan."Kita berdua sama-sama bersalah," bisik Nadya pada bayangannya di cermin. Tapi kini, dia ha
Malam itu di Kalimantan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin malam berhembus pelan melalui jendela kamar Ricardo yang terbuka, membawa serta suara jangkrik yang seolah bersimfoni dalam kesendirian. Ricardo baru saja menutup laptopnya setelah video call dengan Erica, tapi senyumnya yang tadi masih mengembang tiba-tiba memudar.Dia mengambil ponselnya lagi, membuka pesan dari Nadya untuk kesekian kalinya. Dua kata itu masih terpampang di sana, sederhana namun menghancurkan.Nadya: "Aku hamil."Jari Ricardo gemetar. Pikirannya langsung melayang ke malam-malam kelam di Kalimantan, saat dirinya yang rapuh mencari pelarian di pelukan yang salah. Dia ingat betul malam itu—setelah pertengkaran sengit dengan Erica via telepon, dan Nadya yang kebetulan ada di sana, mendengarkan keluhannya dengan sabar."Aku harus melakukan sesuatu," bisik Ricardo pada dirinya sendiri. Tapi tubuhnya terasa lumpuh. Bagaimana mungkin dia bisa menghancurkan lagi semua yang s
Sejak kepulangan Ricardo ke Kalimantan, hubungan mereka berkembang dalam ritme yang berbeda. Jarak tak lagi menjadi jurang, melainkan jembatan yang menghubungkan dua hati yang sedang belajar percaya lagi. Setiap malam, pukul tujuh tepat, dunia mereka menyatu melalui layar ponsel.Malam itu, wajah Ricardo muncul dengan latar belakang kamar yang berantakan. "Maaf, hari ini lembur sampai sore," ujarnya sambil mengusap wajah yang tampak lelah. Tapi begitu melihat Erica, matanya langsung berbinar."Kamu kurusan," sahut Erica dengan suara lembut."Karena rindu itu berat,sayang. Aku harus angkat beban rindu setiap hari."Mereka tertawa. Percakapan mereka malam itu berlanjut ke topik yang lebih serius. Ricardo membuka dokumen berjudul "Rencana Masa Depan Kita" yang sudah ia siapkan selama seminggu terakhir."Aku sudah hitung-hitung," katanya serius. "Kalau aku kerja lembur dua hari seminggu, dalam enam bulan aku bisa kumpulkan cukup uang untuk DP ruma
Hari-hari setelah kepergian Ricardo kembali ke Kalimantan terasa seperti luka yang mulai mengering—masih ada bekasnya, tapi tak lagi menganga lebar. Erica masih sering terbangun di tengah malam, tangannya meraih ponsel untuk memeriksa pesan dari Ricardo. Bedanya kini, ia tak lagi menemukan layar yang kosong.Setiap malam, pukul sembilan tepat, ponselnya berdering. Wajah Ricardo muncul di layar dengan latar belakang yang berbeda-beda—kadang di kamarnya yang berantakan, kadang di dermaga dengan langit jingga senja."Malam ini aku masak sop buntut," kata Erica suatu malam, mengangkat mangkuk ke kamera.Ricardo tersenyum, tapi matanya menyimpan kerinduan. "Aku di sini cuma makan nasi bungkus lagi. Kok bisa ya dulu aku memilih makan nasi bungkus sendirian daripada pulang ke kamu?"Diam sejenak. Lalu Erica berkata pelan, "Kita semua pernah membuat pilihan bodoh."Minggu-minggu berlalu dengan ritme yang sama. Pagi diawali pesan "selamat pagi", malam diakhiri dengan "tidur yang nyenyak". Tapi
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai, menyinari wajah Erica yang masih bercucuran air mata. Ini hari keenam—besok Ricardo akan kembali ke Kalimantan. Waktu terasa begitu kejam, memberi mereka hanya sisa-sisa hari yang tak cukup untuk menyembuhkan semua luka. Tapi pagi itu, dengan hati yang masih berdarah, Erica memutuskan untuk memberikan satu hari terakhir—untuk mengenang, dan mungkin, untuk melepaskan.Ricardo sudah menunggu di depan rumah dengan mobil sewa yang sama sejak ia tiba seminggu lalu. Saat Erica keluar dengan mata sembap dan senyum getir, dadanya sesak. Perempuan ini—yang dulu selalu menyambutnya dengan pelukan hangat—kini berdiri dengan jarak yang terasa menyiksa."Mau kita mulai dari mana?" tanya Ricardo suara serak."Taman kota dulu,"jawab Erica pendek.Di taman yang dulu menjadi saksi bisu cinta mereka, Ricardo membeli dua gelas kopi dari kedai langganan. Tapi kali ini, rasanya pahit—seperti hubungan mereka yang tak lagi manis."Kamu Masih ingat waktu kita
Ricardo duduk di bangku taman yang sama, menunggu. Tangan yang menggenggam buku puisi kecil itu basah oleh keringat dingin. Setiap detik terasa seperti abadi. Ketika Erica akhirnya muncul, wajahnya pucat bagai mayat berjalan."Mau kubuang bukumu itu," bisik Erica dengan suara hampa, tanpa menatapnya. "Tapi setiap kali mau kulempar, tanganku lumpuh."Ricardo menunduk dalam-dalam. "Aku tak akan mengelak. Aku pantas menerima itu. Bahkan lebih dari itu.""Malam-malam ini," suara Erica tiba-tiba pecah, "aku masih terbangun menjerit. Masih merasakan sakitnya pengkhianatanmu seperti pisau yang terus mengoyak-ngoyak dadaku."Dia akhirnya menatap Ricardo, dan di matanya terbaca penderitaan yang tak tertahankan. "Kau tahu apa yang paling menyedihkan dari pengkhianatan ini? Aku masih mencintaimu. Dan itu membuatku semakin membenci diriku sendiri. Karna itu adalah hal terbodoh yang masih melekat di dalam diriku. Mencintai manusia yang tak pernah tau arti dari kesetiaan. Ck.. Bodoh!!!!"Ricardo te







