Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu .
“Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya.
Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert.
“Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya.
“Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil.
Suara serak Azura dari telepon sudah dapat diduga Albert habis menangis. Hujan yang turun membuat Albert mempercepat laju kemudinya. Kuatir bila Azura akan menunggu lebih lama.
Setiba di pemakaman Albert turun dari mobil menggunakan payung hitam. Jalan yang berlumpur karena hujan menjadikan Albert berhati-hati melangkah. Dari kejauhan tampak Azura basah kuyup di tengah derasnya hujan.
Azura memeluk gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rerumputan hijau. Air mata Azura melebur menjadi satu dengan air hujan yang terasa tawar. Hujan tidak menghalangi Azura untuk tetap meluapkan rindu di dadanya.
Azura menoleh ke belakang saat suara berat ciri khas Pak Tua terdengar. Tetesan hujan tak lagi menyentuh kulitnya karena Albert sudah memayungi Azura.
“Lebih baik kita pulang, Nak.” Albert mengangkat bahu Azura dengan sebelah tangan sedangkan tangan yang lain memayungi Azura. Hati Albert pedih melihat Azura terus menangis.
Azura berteriak melawan suara bising hujan yang mengalahkan suaranya yang kecil.
“Pak Tua, mengapa Tuhan tidak ikut mengambil nyawaku saat itu juga? Mengapa hanya dia yang di ambil? Apakah Tuhan tidak menyayangiku? hingga semua orang yang kusayangi pergi meninggalkan ku sendiri.” Tangis Azura di pundak Albert.
Azura merasa takdir kejam padanya merengut satu-satunya pemilik hatinya.
Albert menarik napas beratnya dengan pertanyaan Azura. Sulit untuk Albert menjelaskan kejadian yang terus bertubi-tubi mendera Azura. Albert sendiri belum mengalami hal buruk seperti Azura. Lalu apa yang harus Albert katakan? Tangis yang kian keras memilu.
“Nak, Tuhan itu Maha Adil. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Mungkin Tuhan punya rencana lain untuk kamu. Tidak baik kamu berprasangka buruk pada-Nya. k
Kasihan, Tuan Hanan di sana pasti Dia tidak tenang. Dia akan merasa bersalah telah meninggalkan kamu di sini. Nak, kamu tidak sendiri masih ada saya yang akan selalu melindungimu.” Albert menepuk lembut bahu Azura. Semoga ucapannya sedikit menenangkan Azura.
Albert juga merasa kehilangan sosok Hanan di sisinya. Perusahaan terasa sepi tanpa Hanan, rumah yang dulu penuh keceriaan kini suram tak berpenghuni. Sejak Hanan meninggal Azura tidak mau tinggal di sana lagi. Terlebih lagi setelah Azura menikah lagi. Rumah megah itu kini hanya sebuah raga tak berjiwa.
Azura mendongak menatap dalam Albert. Perkataan Albert bagai seorang ayah yang tengah memberi kekuatan pada putrinya. Sosok yang tidak pernah ia temui seumur hidupnya.
“Ayo, kita pulang.” Menuntun Azura melewati lumpur yang mengenang.
Azura mengangguk pelan, mengusap pipi chubbynya. Tangan Azura melipat di dada, telapak tangan menggosok ke dua bahunya yang bergetar.
Langkah kaki terasa berat meninggalkan tempat ini. Azura berpaling sebentar ada rasa tak rela meninggalkan tempat itu. Albert berhenti juga sebentar membiarkan Azura memandangi tempat terakhir Hanan.
“Ikhlas, Nyonya. Itu akan membuat hati Nyonya jauh lebih baik. Percaya lah," ucapan Albert yang tahu perasaan Azura.
Albert benar selama ini Azura belum benar-benar ikhlas atas kepergian Hanan. Azura sering mengutuk dirinya penyebab kematian suaminya. Sesungguhnya siapa sebenarnya jati diri Azura? sampai ada orang yang menginginkan Azura mati.
Semilir angin yang dibawa hujan menjadikan badan Azura mengigil kedinginan.
Albert melihat Azura kedinginan cepat menuntut Azura masuk ke dalam mobil. Melewati jalan tanah liat yang licin cukup bikin Albert kesulitan melangkah kakinya. Ia tidak mempedulikan lagi sepatu mahal basah dan kotor kena cipratan lumpur.
“Pak Tua, bagaimana cara membuat Aksha melunak dan mendapatkan kepercayaan dia?” tanya Azura yang duduk di samping Albert.
Albert tahu Azura pasti kesulitan mengendalikan Aksha yang kasar. Menaklukkan hati Aksha sangat penting untuk mencapai tujuan Azura. Berlindung di balik Aksha yang notabene seorang pengacara terkenal adalah rencana Azura sendiri. Apalagi ketika Albert mengetahui bahwa Dahlia salah satu dari mereka. Itu akan membuka jalan bagi Azura untuk mengetahui siapa mereka?
“Saya tidak tahu banyak tentang sifat Aksha. Tapi lebih baik Nyonya bersikap lembut karena keras di lawan keras tidak akan mengubah Aksha yang ada dia akan semakin kasar pada Nyonya. Biasanya laki-laki suka diperhatikan,” saran Albert sambil menyetir.
“Akan aku coba,” jawab Azura datar.
“Saya harapan, Nyonya jangan bertindak gegabah pada Dahlia. Kita belum tau pasti Dahlia salah satu dari mereka atau Dahlia hanya umpan mereka buat untuk menjebak Anda,” jelas Albert.
Azura mengangguk paham dengan ucapan Albert. Ia melepaskan kalung yang melingkari lehernya, diletakkan dalam genggamannya.
“Selidiki di mana kalung ini di buat. Aku menduga kalung ini milik kedua orang tuaku. Di lihat dari desain dan batu permata yang langka ini pasti dibuat khusus,” ucap Azura menyerahkan ke Albert.
Albert menoleh sekilas, menerima dengan tangan kiri. kalung yang berbentuk bulan sabit dengan permata biru di tengah.
"Ini memakan waktu yang lama," kata Albert.
"Aku tidak peduli selama bisa mendapatkan informasi penting. Aku bisa menunggu dengan sabar."
"Secepatnya akan saya kabari, Nyonya. Ngomong-ngomong apa sebaiknya kita mampir ke toko baju? saya lihat, nyonya kedinginan. Saya takut, Nyonya sakit." Perhatian Albert.
"Enggak usah, sebentar lagi aku sudah sampai," tolaknya.
“Turunkan aku di depan lorong itu,” pinta Azura menunjukkan tempat yang ia maksud.
"Baik."
Albert pun berhenti di depan lorong sesuai kemauan Azura. Albert tidak heran dengan Azura yang meminta turun di jalan. Ya, pasti tidak ingin dilihat Aksha.
Azura turun dari mobil dengan melihat kanan-kiri. Memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Mobil Albert pun melaju meninggalkan Azura yang masih menatap kepergian Albert.
Untung hujan sudah reda, tubuhnya mulai menggigil ketika angin menyapu badannya. Ia harus cepat sampai rumah. Sesampai di depan pagar yang tidak terkunci. Seingat Azura sebelum pergi ia sudah memastikan pagar terkunci. Apa Aksha sudah pulang dari kerja?
Tidak s
engaja Azura menabrak seseorang.
“Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,"
Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha. Bugh! “Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura. “Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah. “Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya. Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan. “Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis. “Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel. “Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk. “Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas. Azura
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk
Barak terdiam memikirkan perkataan Aksha barusan. Memang benar Barak menyukai Ivana namun, hanya sebatas mengagumi kecantikan yang dimiliki Ivana Mengingat wanita itu lebih tertarik pada Aksha. Barak pikir lebih baik mengalah dan tidak ingin bersaing dengan teman sendiri. Bertengkar karena memperebutkan seorang wanita bukanlah gaya Barak. “Bukankah dia lebih menyukai kamu, Aksha?” tanya Barak memperbaiki duduknya. Ia penasaran apakah Aksha juga sama menyukai Ivana. Aksha terkekeh mendengar itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Ivana. Ia tau Barak sedang mengali informasi tentang perasaannya. Pertama kali bertemu Ivana gara-gara tersandung kasus penipuan. Aksha yang menjadi pengacara buat Ivana dalam menindak lanjuti kasus itu. Aksha selalu bersikap profesional pada setiap kliennya. Tidak melibatkan emosional di sana. Ivana saja yang menganggap berlebihan atas sikap perhatian yang diberikan Aksha. Ia tidak membedakan setiap kliennya selalu diperlakukan sama tanpa memandang status
Ketika Hanan, tak ada lagi di sisi Azura terkadang air matanya jatuh begitu saja tanpa permisi. Teringat akan canda tawa yang pernah dilaluinya, memupuk semangat hari Azura. Asanya pernah terbang tinggi ke awan sampai ia sulit meraihnya kembali. Pernikahan yang diimpikan Azura sampai kematian menjemput, kini sebatas angan-angan. Pria yang paling dicintai pergi untuk selamanya, ia masih terkungkung di masa lalu. Satu masa di mana saat ini Azura tidak menginginkan ada pria lain menggantikan posisi Hanan. Azura kembali mengetuk pintu setelah tak mendapat sahutan dari dalam. Malam semakin dingin, angin kencang menerpa tiap helai rambut sebahu Azura. Tangannya melipat, memeluk, mencari kehangatan di dalam dirinya. Cukup lama menunggu barulah pintu dibuka. Wajah pucat Azura memandang kesal Aksha. “Ingat pulang,” sindir Aksha menatap tajam. Azura diam seribu bahasa ia malas berdebat dengan Aksha. Perdebatan panjang tak ada habisnya jika dilawan. Ia selalu ingat perkataan Albert, ‘Keras hat
Azura Angraeni memiliki nama asli yaitu Avantika Hadinata lahir dari pasangan Ruslan Hadinata dan Arumi Hadinata. Ruslan Hadinata adalah seorang pengusaha batu permata yang sukses di Jakarta. Kesuksesan tidak membuat Ruslan dan Arumi bahagia. Memilik rumah mewah dan aset triliunan tiada guna bila tak memiliki seorang anak. Pernikahan yang sudah hampir menginjak lima tahun belum ada pertanda kehamilan pada Arumi. Soraya merupakan sahabat karib dari Arumi. Melihat Arumi bergelimang harta dan memiliki suami yang tampan membuat Soraya iri hati. Soraya hanya seorang gadis biasa mempunyai kekasih yang selalu menyiksanya. Bahkan kerap kali memukul Soraya bila tak mendapatkan apa yang ia mau. Terkadang Soraya dijual oleh kekasihnya pada lelaki hidung belang untuk mendapatkan uang. Kekasih Soraya hobi berjudi hingga Soraya terpaksa menjual diri untuk membayar hutang sang kekasih. Hidup penuh tekanan merayu Soraya untuk merebut suami sahabat sendiri. Kala itu Soraya tanpa sengaja bertemu Rusla
“Zuraaa,” teriak histeris Aksha berlarian mendekati Azura. Walau sempat terjatuh, lutut yang berdarah tak dipedulikan Aksha. Ia terus berlari hingga berhenti melihat Azura yang sudah bersimbah darah.Azura pingsan, dia tak sadarkan diri dengan keadaan kepala berdarah. Luka-luka di berapa bagian tubuh lain. Akibat gesekan aspal.Aksha duduk dan memeluk tubuh Azura yang lemah tak berdaya. Mata yang tertutup, darah yang mengalir dari kepala istrinya. Berkali-kali Aksha menciumi kening Azura. Berdoa agar Azura baik-baik saja.“Apa yang terjadi?” tanya sayup Aksha pada tukang sayur yang mematung menatap Azura.“Neng, Azura tadi menyeberangi jalan. Mendadak mobil box putih dari arah kanan menabraknya,” tutur tukang sayur yang sudah gemetaran melihat darah.“Lalu ke mana perginya mobil itu? apa bapak mencatat nomor plat mobilnya?” tanya Aksha lagi.“Kabur ke arah jalan raya. Maaf saya tak sempat melihat plat mobilnya,” jawabnya tukang sayur menyesali kelalaiannya.Aksha tak henti memanggil A
Dokter itu tampak diam sejenak lalu menarik napasnya. Aksha yang mengamati mimik Dokter Herman menjadi harap cemas. Menunggu jawaban keluar dari mulut Dokter Herman yang mengatup rapat. “Pasien sudah sadar tapi ...,” ucap dokter Herman menahan perkataannya. “Tapi apa Dok?” tanya Aksha yang bingung dengan kediaman dokter ini. “Tidak ada yang serius hanya saja pasien sedikit linglung dengan yang terjadi. Jadi Bapak harap bersabar ya,” saran dokter Herman memberi angin segar untuk Aksha. Setidaknya Azura baik-baik saja dulu. Soal itu nanti ia pikirkan. “Apa pasien sudah boleh dikunjungi?” tanya Aksha lagi. “Sudah boleh. Silakan kalau bapak melihat istrinya.” Dokter Herman pergi setelah memperbolehkan Azura di jenguk. Sepeninggal Dokter Aksha menemui Azura yang sudah di pindahkan ke kamar pasien biasa. “Apa yang kamu rasakan?” tanya Aksha mengambil kursi di samping ranjang istrinya. “Pusing dan lemas,” jawab Azura datar. “Mungkin karena kamu kebanyakan tidur. Ntar perlahan-lahan p