Share

6. Kalau Jalan Pakai Mata

Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu .

“Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya.

Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert.

“Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya.

“Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil.

Suara serak Azura dari telepon sudah dapat diduga Albert habis menangis. Hujan yang turun membuat Albert mempercepat laju kemudinya. Kuatir bila Azura akan menunggu lebih lama.

Setiba di pemakaman Albert turun dari mobil menggunakan payung hitam. Jalan yang berlumpur karena hujan menjadikan Albert berhati-hati melangkah. Dari kejauhan tampak Azura basah kuyup di tengah derasnya hujan.

Azura memeluk gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rerumputan hijau. Air mata Azura melebur menjadi satu dengan air hujan yang terasa tawar. Hujan tidak menghalangi Azura untuk tetap meluapkan rindu di dadanya.

Azura menoleh ke belakang saat suara berat ciri khas Pak Tua terdengar. Tetesan hujan tak lagi menyentuh kulitnya karena Albert sudah memayungi Azura.

“Lebih baik kita pulang, Nak.” Albert mengangkat bahu Azura dengan sebelah tangan sedangkan tangan yang lain memayungi Azura. Hati Albert pedih melihat Azura terus menangis.

Azura berteriak melawan suara bising hujan yang mengalahkan suaranya yang kecil.

“Pak Tua, mengapa Tuhan tidak ikut mengambil nyawaku saat itu juga? Mengapa hanya dia yang di ambil? Apakah Tuhan tidak menyayangiku? hingga semua orang yang kusayangi pergi meninggalkan ku sendiri.” Tangis Azura di pundak Albert.

Azura merasa takdir kejam padanya merengut satu-satunya pemilik hatinya.

Albert menarik napas beratnya dengan pertanyaan Azura. Sulit untuk Albert menjelaskan kejadian yang terus bertubi-tubi mendera Azura. Albert sendiri belum mengalami hal buruk seperti Azura. Lalu apa yang harus Albert katakan? Tangis yang kian keras memilu.

“Nak, Tuhan itu Maha Adil. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Mungkin Tuhan punya rencana lain untuk kamu. Tidak baik kamu berprasangka buruk pada-Nya. k

Kasihan, Tuan Hanan di sana pasti Dia tidak tenang. Dia akan merasa bersalah telah meninggalkan kamu di sini. Nak, kamu tidak sendiri masih ada saya yang akan selalu melindungimu.” Albert menepuk lembut bahu Azura. Semoga ucapannya sedikit menenangkan Azura.

Albert juga merasa kehilangan sosok Hanan di sisinya. Perusahaan terasa sepi tanpa Hanan, rumah yang dulu penuh keceriaan kini suram tak berpenghuni. Sejak Hanan meninggal Azura tidak mau tinggal di sana lagi. Terlebih lagi setelah Azura menikah lagi. Rumah megah itu kini hanya sebuah raga tak berjiwa.

Azura mendongak menatap dalam Albert. Perkataan Albert bagai seorang ayah yang tengah memberi kekuatan pada putrinya. Sosok yang tidak pernah ia temui seumur hidupnya.

“Ayo, kita pulang.” Menuntun Azura melewati lumpur yang mengenang.

Azura mengangguk pelan, mengusap pipi chubbynya. Tangan Azura melipat di dada, telapak tangan menggosok ke dua bahunya yang bergetar.

Langkah kaki terasa berat meninggalkan tempat ini. Azura berpaling sebentar ada rasa tak rela meninggalkan tempat itu. Albert berhenti juga sebentar membiarkan Azura memandangi tempat terakhir Hanan.

“Ikhlas, Nyonya. Itu akan membuat hati Nyonya jauh lebih baik. Percaya lah," ucapan Albert yang tahu perasaan Azura.

Albert benar selama ini Azura belum benar-benar ikhlas atas kepergian Hanan. Azura sering mengutuk dirinya penyebab kematian suaminya. Sesungguhnya siapa sebenarnya jati diri Azura? sampai ada orang yang menginginkan Azura mati. 

Semilir angin yang dibawa hujan menjadikan badan Azura mengigil kedinginan.

Albert melihat Azura kedinginan cepat menuntut Azura masuk ke dalam mobil. Melewati jalan tanah liat yang licin cukup bikin Albert kesulitan melangkah kakinya. Ia tidak mempedulikan lagi sepatu mahal basah dan kotor kena cipratan lumpur.

“Pak Tua, bagaimana cara membuat Aksha melunak dan mendapatkan kepercayaan dia?” tanya Azura yang duduk di samping Albert.

Albert tahu Azura pasti kesulitan mengendalikan Aksha yang kasar. Menaklukkan hati Aksha sangat penting untuk mencapai tujuan Azura. Berlindung di balik Aksha yang notabene seorang pengacara terkenal adalah rencana Azura sendiri. Apalagi ketika Albert mengetahui bahwa Dahlia salah satu dari mereka. Itu akan membuka jalan bagi Azura untuk mengetahui siapa mereka?

“Saya tidak tahu banyak tentang sifat Aksha. Tapi lebih baik Nyonya bersikap lembut karena keras di lawan keras tidak akan mengubah Aksha yang ada dia akan semakin kasar pada Nyonya. Biasanya laki-laki suka diperhatikan,” saran Albert sambil menyetir.

“Akan aku coba,” jawab Azura datar.

“Saya harapan, Nyonya jangan bertindak gegabah pada Dahlia. Kita belum tau pasti Dahlia salah satu dari mereka atau Dahlia hanya umpan mereka buat untuk menjebak Anda,” jelas Albert.

Azura mengangguk paham dengan ucapan Albert. Ia melepaskan kalung yang melingkari lehernya, diletakkan dalam genggamannya.

“Selidiki di mana kalung ini di buat. Aku menduga kalung ini milik kedua orang tuaku. Di lihat dari desain dan batu permata yang langka ini pasti dibuat khusus,” ucap Azura menyerahkan ke Albert.

Albert menoleh sekilas, menerima dengan tangan kiri. kalung yang berbentuk bulan sabit dengan permata biru di tengah.

"Ini memakan waktu yang lama," kata Albert.

"Aku tidak peduli selama bisa mendapatkan informasi penting. Aku bisa menunggu dengan sabar."

"Secepatnya akan saya kabari, Nyonya. Ngomong-ngomong apa sebaiknya kita mampir ke toko baju? saya lihat, nyonya kedinginan. Saya takut, Nyonya sakit." Perhatian Albert.

"Enggak usah, sebentar lagi aku sudah sampai," tolaknya.

“Turunkan aku di depan lorong itu,” pinta Azura menunjukkan tempat yang ia maksud.

"Baik."

Albert pun berhenti di depan lorong sesuai kemauan Azura. Albert tidak heran dengan Azura yang meminta turun di jalan. Ya, pasti tidak ingin dilihat Aksha.

Azura turun dari mobil dengan melihat kanan-kiri. Memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Mobil Albert pun melaju meninggalkan Azura yang masih menatap kepergian Albert.

Untung hujan sudah reda, tubuhnya mulai menggigil ketika angin menyapu badannya. Ia harus cepat sampai rumah. Sesampai di depan pagar yang tidak terkunci. Seingat Azura sebelum pergi ia sudah memastikan pagar terkunci. Apa Aksha sudah pulang dari kerja?

Tidak s

engaja Azura menabrak seseorang.

“Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status