Sudah satu bulan tinggal bersama. Harum semakin tidak nyaman saja dibuatnya. Apalagi mertuanya ini malah condong untuk selalu mengikuti kemauan dari anak sulung serta cucu laki-lakinya.
Bukannya Harum tak tahu kalau ada sosis dan nugget di dalam freezer. Tapi dia enggan untuk menyentuh walau anaknya ini terus mendesak. "Ayolah buu.. mau makan sosis goreng." Pinta Shanum memelas. "Itu punya Gibran, sayang." "Minta sedikit aja.." Mau tak mau Harum jadi meminta izin pada Zulfa untuk membagi sosis milik Gibran untuk anaknya. "Ambil aja nggak papa. Itu ibu yang beli kok." Bahu Harum merosot. Dia pikir Zulfa yang membeli. Rupanya, malah mertuanya. Itu artinya, yang dipakai adalah uang suaminya. Kalau begitu Harum tak sungkan lagi. Baru saja mau nikmat makan sosis, Farida sudah menegur. "Jangan banyak-banyak. Itu punya Gibran. Kasian dia lagi susah makan." "Iya, bu." Jawab Harum seadanya. Dalam hati ingin memprotes tapi tak bisa. Ia merasa tak punya hak di rumah ini. Hari minggu tiba, pagi sekali Zulfa, Gibran dan Farida sudah bersiap-siap pergi ke pasar pagi. "Mau jalan sebentar ngelepas penat." Ucap Zulfa. "Ya, hati-hati di jalan." Ucap Adam tanpa menoleh. Dia sibuk merokok di teras depan. "Bagi uang, dam. Kasihan keponakanmu nanti mau jajan di luar." Adam melirik Farida. "Kenapa melirik ibu?" Farida jadi heran. Adam hanya menggeleng. Tapi tangannya tepat mengambil dompet dari dalam kantong celananya dan menyerahkan uang 20 ribu. "Ya ampun 20 ribu dapet apaan?" Zulfa memprotes. "Memang siapa sih yang mau jajan? Gibran apa mama sama neneknya?" "Kamu ini pelit banget sama saudara!" "Astaga!" Adam berdecak. Dia lalu menukar uang tadi dengan lima puluh ribu. "Sudah! Habis uangku." Zulfa tersenyum senang mendapatkan uang jajan dari Adam. Dia bersama ibu dan anaknya berpamitan pergi. Sementara, Harum hanya mengamati. "Mas.." tegur Harum. Adam berdeham. "Hari ini sibuk apa?" Harum ikut duduk di sebelah suaminya. "Nggak ada. Ini hari libur, kan?" Tanya Adam balik. "Kita jalan-jalan ajak Shanum, yuk. Bosan di rumah terus." "Mau kemana?" Tanya Adam malas. "Jalan ke taman yang di belakang boleh juga." "Aku belum beli bensin motor." "Kita beli sekalian jalan." Ucap Harum sambil tersenyum Adam langsung menoleh ke istrinya. Benar-benar tidak mengerti kode. "Aku nggak punya uang. Pasti disana Shanum mau jajan." "Nggak usah jajan, mas. Jalan-jalan aja.. kita cari udara segar. Udah lama banget kita nggak jalan.." Adam menggeleng. "Nggak, ah. Mau istirahat." Adam main pergi saja setelah menolak ajakan Harum. Melihat respon suaminya, Harum merasa sedih. Padahal dia hanya ingin quality time. Tapi suaminya malah menolak. * Harum sedikit bersyukur karena lauk makanan sudah ada kemajuan. Menu ikan asin paling muncul dua minggu sekali. Sisanya hanya ada ayam goreng, daging dan ikan sungai lainnya yang diolah begitu enak. Siapa lagi yang memasak kalau bukan ibu mertuanya. Itu karena, Zulfa dan Gibran yang begitu pemilih. Namun, Harum selalu mendengar gerutuan suaminya. Masalahnya, uang gaji yang biasa habis dalam satu bulan. Kini hanya bertahan dua minggu. Apalagi Gibran ini doyan jajan. Sedikit-sedikit minta pada Adam. Kalau Adam mengomel, maka Farida akan mengungkit jasa Zulfa dalam hidupnya. Zulfa sendiri enggan meminta nafkah dari suaminya. Sepertinya Handi ini satu tipe dengan Adam. Sama-sama lupa akan tanggung jawabnya kepada istri dan anaknya. "Mas.. Shanum minta uang jajan." Pinta Harum lembut. Biasanya, Adam akan memberi uang mingguan untuk uang saku Shanum dan disanalah Harum bisa mengatur untuk kepentingannya juga. "Nih!" Adam menyodorkan. "Kok segini, mas? Uang jajannya dikurangin?" Tanya Harum bingung. "Ya. Lagian dia masih kelas 1 SD. Nggak usah jajan sembarangan, nanti sakit. Bawain bekal aja. Kulihat di freezer ada sosis sama nugget." "Itu punya Gibran." Jawab Harum pelan. "Nggak, ah! Itu punya sama-sama." Adam jadi bangkit dari duduknya dan memanggil Farida. "Kenapa?" Farida muncul dari dalam kamar setelah namanya dipanggil. "Siapa yang nyetok makanan frozen di freezer?" Tanya Adam. "Ibu. Untuk Gibran." "Pakai uang siapa belinya?" Adam mulai lagi. "Pakai gaji kamu, lah. Pakai uang siapa lagi?" "Nah, denger Rum. Itu artinya Shanum juga boleh makannya. Bawa itu aja untuk bekalnya di sekolah." Sambung Adam pada Harum. "Apa?" Farida terkejut. "Nanti cepat habis, dong. Kasihan Gibran. Dia itu makannya pemilih, dam." "Kalau habis ya tinggal beli. Apa susahnya sih, bu?" "Terus uangnya darimana? Kamu dimintain uang tambahan aja ngedumel." Kilah Farida. "Berarti Gibrannya diajarin jangan terlalu pemilih, bu. Setiap hari kan ibu udah masak ayam goreng. Cobalah bujuk dia makan itu." Adam berusaha bijak. "Kamu ini nggak ngerti karena kamu nggak ngerasain susahnya ngasih makan Gibran, dam!" Seru Farida tak mau kalah. "Ya kalau kita ngikutin maunya. Ya begitu terus jadinya. Uang jadi cepat habis karena selalu jajan di luar." "Kamu!" Farida berdecak. Dia jadi tersinggung. "Jadi maksudmu ibu boros begitu?" "Ya Tuhan.. bukan begitu maksudnya." Suara Adam penuh penekanan. "Bulan depan suruh istrimu aja yang pegang uang gajimu. Jangan ibu!" Farida langsung masuk ke kamar dan membanting pintu. Dia jadi sakit hati akan ucapan Adam. Walau Adam tak bermaksud begitu. Adam dan Harum jadi saling melirik. Ditambah Harum yang jadi tak enak hati. Awalnya karena uang saku anaknya, eh malah menjalar ke masalah gaji. Gajian tiba. Farida tak mau menerima uang bulanan dari Adam. Jadilah, Harum yang memegang kendali. Harum membagi semuanya, untuk biaya listrik dan air. Membeli sembako bulanan dan sayur-sayuran per tiga hari. Tak lupa ia sisihkan untuk dirinya juga Shanum. Apalagi bulan ini, Shanum akan pergi ikut study di luar bersama teman sekelasnya. Mau tapi malu. Farida akhirnya meminta uang pada Adam atas desakan Zulfa. Alasannya untuk membeli susu Gibran. "Uang gajiku masih ada?" Tanya Adam pada istrinya. "Masih, mas." "Sisa berapa?" "Masih ada satu juta. Kenapa mas?" Harum jadi was-was. "Mas minta untuk kebutuhan Gibran beli susu." "Memangnya mas Handi nggak ngirim uang untuk anaknya?" Tanya Harum polos. Adam tersentak. Benar juga kata istrinya. Dia lalu beralih lagi pada Farida. Baru saja bertanya, Zulfa jadi emosi. "Kenapa jadi marah, mbak? Aku kan nanya baik-baik. Memang suamimu nggak ngirim uang?" "Asal kamu tahu, dam. Semasa kamu kuliah, mbak nggak pernah perhitungan sama kamu. Tapi ini.. mbak cuma minta dibelikan susu untuk Gibran aja kamu perhitungan." "Bukan perhitungan.." "Apa istrimu yang nggak kasih uang? Jahat sekali kalian ini sama saudara sendiri." Potong Zulfa sambil menangis. Terpaksa Farida menenangkan anak perempuan semata wayangnya. Mendengar itu, Adam hanya mengurut dada. Dia lalu kembali ke kamar menemui istrinya. Rupanya, Harum mendengar semuanya. Tak ingin dicap sebagai menantu dan ipar yang jahat, ia memberikan semua sisa gaji suaminya. "Biar ibu aja yang pegang, mas. Nanti kalau butuh apa-apa aku bisa minta ke kamu." Ucap Harum tersendat."Langsung pergi, nak?" Nani jadi merasa situasi menjadi canggung."Iya. Aku permisi dulu." Ucap Rendra tanpa membalas tatapan istrinya.Sontak saja Nani dan Harum saling melirik setelah kepergian Rendra."Apa dia mendengar kita tadi?""Mungkin aja." Jawab Harum jadi merasa bersalah. Jelas Rendra mendengarkan perbincangan dua wanita ini tadi.Malam tiba, Adam mengirim pesan pada Rendra yang mengabarkan bahwa dia ingin menghabiskan waktunya satu hari dengan Shanum."Adam ngabarin aku barusan." Ucap Rendra sambil merebahkan diri di sisi Harum. "Besok dia minta izin bertemu dengan Shanum.""Nggak masalah. Besok hari libur juga." Sahut Harum datar. Dia masih menyimak isi majalahnya."Kalau kamu mau ikut silahkan."Dahi Harum mengernyit, dia menatap Rendra yang kini berbalik memunggunginya."Untuk apa juga aku ikut?""Mungkin ada yang ingin kamu tanyakan pada mantan suamimu."Oh, Harum mengerti. Rendra pasti tengah marah sekarang. Segera saja dia melipat majalahnya dan bergeser sedikit mend
Mata Harum menatap mantan suaminya dengan penuh pertanyaan. Sementara, Adam menjadi salah tingkah."Bu, Adam.. Taksi kita sudah di depan." Sahut Zulfa memecah rasa canggung ini."Kami permisi dulu. Terima kasih Rendra, Harum." Ucap Adam segera mengambil alih kursi roda ibunya."Hati-hati di jalan." Rendra menimpali."Nanti aku hubungi. Aku minta izin ingin bertemu Shanum lagi.""Boleh saja. Nggak masalah." Rendra jelas tak mau memisahkan hubungan antara ayah dan anak.Selesai berpamitan dengan suaminya. Rendra memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya pulang. Namun, sepanjang perjalanan Harum hanya diam. Dia baru tahu jika Adam selama ini bekerja sebagai tukang ojek online."Kamu diam aja, sayang?" Rendra menegur."Nggak apa-apa." Sahut Harum segera memperbaiki sikapnya."Kamu mau ke toko atau pulang ke rumah?" Tawar Rendra. Kebetulan dia memang harus kembali praktek setelah ini."Aku mau ke rumah ibu aja. Udah lama nggak mampir.""Aku antar ke rumah ibu kalau begitu."Rendra memacu
"Kamu nggak mau besuk ibumu?""Kamu tadi sudah, kan?""Aku belum melihat. Tadi kan aku bilang cuma belikan obat." Jelas Rendra."Kamu aja, deh. Sampaikan salam kami untuk ibu Farida."Rendra menghela nafas. Ia ikut berbaring di samping istrinya."Kamu masih marah?" Rendra mengelus lengan istrinya."Marah dengan siapa?" Tanya Harum acuh."Sayang.. ibu Farida sedang kritis sekarang. Aku minta kamu mendo'akannya.""Iya. Nanti aku do'akan.""Sayang!"Terpaksa Harum meladeni suaminya, padahal dia sudah bersikap selayaknya walau rasa tak senang itu terlihat di wajahnya."Ikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu. Maafkan seluruh kesalahan orang-orang yang menyakitimu. Aku tahu luka di hatimu belum sembuh betul. Tapi kalau kamu belum bisa mengiklaskan semuanya, luka itu akan semakin sakit jika digores.""Aku cuma masih sedikit kecewa aja." Akhirnya Harum jujur. Sudah satu tahun lebih, tapi rasa marah, dongkol, kecewa akan perbuatan mantan suami serta keluarganya masih membekas di hati Harum.
"Mbak Zulfa!" Terengah-engah Adam menghapiri Zulfa yang tengah melamun di ruang tunggu. Farida kini sudah terbaring lemah di ruang intensif."Adam!" Air mata Zulfa tumpah ruah ketika melihat adiknya datang. Sudah satu tahun, Adam tidak pulang ke kota. Selama itu juga Adam tak tahu penyakit berat apa yang menimpa Farida karena wanita itu tak mau membebani Adam yang tengah berjuang disana."Apa yang terjadi mbak?""Ibu tiba-tiba sesak tadi. Sekarang masuk ICU.""Sakit apa ibu?""Gagal ginjal..""Astaghfirullah." Kepala Adam menjadi sakit, ia seperti di hantam benda berat."Maaf, Adam.." lirih Zulfa. "Selama ini kami menyembunyikan kebenarannya darimu.""Jadi ibu sudah lama sakit begini? Kenapa baru kasih tahu aku, mbak?" Teriak Adam sedih."Kami nggak mau merepotkanmu.""Astaga! Tapi ibu itu juga ibuku. Aku berhak tahu." Adam meremas rambutnya dengan frustasi. "Jadi sekarang bagaimana kata dokter?""Ibu harus cuci darah, tapi tekanan darahnya masih rendah. Belum lagi.." Zulfa memberikan
Malam ini Shanum menginap di rumah neneknya setelah menghabiskan waktu seharian dengan Adam di luar. Ayah Shanum ini mengajaknya pergi ke taman bermain dan juga tempat lain yang dulu suka sekali mereka singgahi. Tak lupa makan bakso langganan yang menjadi kesukaan Shanum."Kamu senang sekolah di tempat barumu?" Tanya Farida."Senang, nek.""Disana pasti cuma orang-orang kaya yang bisa masuk. Nenek dengar biaya masuknya aja mahal.""Nggak tahu juga, nek." Untung saja Shanum tak perduli dengan hal seperti itu. Masih bisa bersekolah saja dia bersyukur."Nanti bilang sama ibumu, kalau lebaran mampir kesini ya.""Iya, nek."Shanum menjawab sembari bermain dengan Gibran. Anak kecil itu juga sudah masuk usia 4 tahun, tengah aktif-aktifnya."Shanum.. sini dulu."Shanum akhirnya menghentikan aktivitas bermainnya dan mendekat kepada Farida."Kenapa, nek?""Kamu nggak kangen sama nenek? Dari datang tadi kamu cuma main sama Gibran.""Kangen, nek.""Kenapa nggak meluk?"Sekejap Shanum tampak berpi
Anggaplah, Rendra saat ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Nani. Sekarang tinggal bertanya pada ibunya sendiri. Takutnya perbedaan status ini membuat Suryani tak menyetujui hubungannya dengan Harum."Jadi kamu mau kepikiran untuk nikah? Mama nggak salah dengar, kan?" Suryani memastikan."Ya. Tapi wanita yang kusuka.. mungkin nggak sesuai ekspektasi mama.""Maksudmu? Dia bukan istri orang, kan?""Bukanlah, ma." Rendra tertawa pelan. "Tapi pernah jadi istri orang.""Janda maksudmu?"Mendengar intonasi suara Suryani, Rendra tiba-tiba jadi keringat dingin."Harum?""Eh!" Rendra terlonjak kaget. "Main nyebutin nama aja.. padahal aku belum kasih inisial ini loh.""Ya siapa lagi wanita yang buat kamu nggak bisa move on? Memang kamu pikir mama nggak curiga saat pertama kamu datang ke mama minta pekerjaan buat Harum? Terus kamu bilang minta mama untuk ajarin Harum jadi wanita mandiri?""Tapi saat itu aku belum ada rasa, ma. Koreksi. Harum masih jadi istri orang lain. Jadi aku nggak mau berh