"Kamu jangan seperti itu, Zulfa. Bagaimanapun, Gibran itu anakku!" Handi berkata tegas.
Zulfa menggeleng. "Bukannya sudah aku bilang kalau aku mau bercerai?" Astaga! Farida sampai menoleh kanan-kiri. Pas sekali ini jam besuk pasien. Pertengkaran ini menjadi tontonan gratis pengunjung rumah sakit. "Sudah cukup kalian ini.." Farida berkata lembut. "Handi hanya ingin menjenguk anaknya. "Menafkahi saja nggak pernah. Sok-sok an mau menjenguk!" Ketus Zulfa. "Lagian tau dari mana kamu kalau Gibran dirawat? Sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah nanya-nanya soal anakmu!" "Adam yang ngasih tahu aku tadi." Jawab Handi. Yang disebut namanya langsung membuang muka. "Kamu!" Hardik Zulfa pada Adam. "Terserah kalau kalian mau bertengkar. Tapi, ingat! Ini rumah sakit. Nggak malu dari tadi dilihat orang." Ucap Adam jengah. Niatnya baik ingin mempertemukan ayah dan anak, eh malah ujungnya jadi ribut. Gibran yang tertidur sontak menangis terkejut atas keributan ini. Zulfa pun langsung memeluk anaknya dan menepis tangan Handi yang ingin menyentuh Gibran. "Aku mau memeluk dia, Zulfa!" Ucap Handi. "Nggak boleh!" Zulfa marah. Gibran semakin menangis karena ucapan Zulfa. "Kamu nggak bisa memisahkan aku dan Gibran! Kalau kamu mau pisah, oke! Aku terima. Tapi, Gibran itu darah dagingku." "Pergi kamu!" kata Zulfa tak mau kalah. Pertengkaran kecil berubah menjadi besar. Beberapa pengunjung bahkan terlihat berbisik-bisik. Pasien anak yang lain malah menangis karena keributan ini. "Cukup!!" Bentak Adam yang berhasil membuat semua terdiam. "Urusan pribadi selesaikan di rumah saja!" * Sesampainya di rumah sakit, Harum bersyukur anaknya tengah tertidur. Demam Shanum sudah mulai turun. Tadi pagi, dia mau makan dan minum. Hanya hasil darahnya saja yang jelek. Untunglah, ia punya tetangga pasien yang baik hati dan mau menunggui Hanum sementara ia pulang sebentar. "Alhamdulillah nggak rewel, mbak." ucap Ibu bernama Siti itu. Anaknya juga dirawat dengan penyakit yang sama. "Alhamdulillah.. makasih banyak ya mbak." Harum jadi terharu. Ada saja orang baik yang menolongnya di tengah hidupnya yang sedang sulit ini. "Oh iya, dokternya sudah datang?" "Belum, biasanya habis dzuhur baru datang." "Oh, begitu.." Kebetulan, dokter yang merawat anaknya dengan anak ibu Siti itu sama. Yaitu, dr. Rendra Saputra spesialis anak. Nama yang tak asing bagi Harum. Tapi, nama seperti itu banyak, kan? Bisa saja mirip dengan nama teman sekolahnya. Jam makan siang tiba. Harum sekali lagi bersyukur karena Shanum tidak kehilangan nafsu makan. Hanya tidak mau minum air putih saja. Katanya lidahnya pahit. "Mbak Harum.. ini." Lagi-lagi Harum dibuat terharu dengan kebaikan Siti. Wanita itu memberikan satu bungkus makanan untuknya. "Tadi ada keluarga yang jenguk terus bawa nasinya kebanyakan. Untuk mbak saja." Harum mengerjap menahan tangis. Kebetulan memang perutnya lapar. Dia belum makan apapun dari semalam. Bagaimana mau membeli makanan jika uang yang ia miliki saja pas-pasan. Uang gaji suaminya dikendalikan mertuanya. Setiap meminta uang dengan Adam, selalu saja ada alasan lelaki itu untuk menolak. "Terima kasih, mbak." ucap Harum merilih. Tanpa sungkan, Harum langsung menyantap makanan itu. Selang kemudian, pintu kamar rawat diketuk. Seorang perawat berbaju putih masuk ditemani seorang pria berjas dokter. Ternyata dokter Rendra sedang melakukan visitasi. Pertama, dokter tersebut mengunjungi anak bu Siti. Menanyakan keadaan pasien anak tersebut. Setelah selesai, barulah beralih kepada Shanum. "Halo, adik Shanum. Gimana kabarnya?" tanya dokter itu ramah. Harum yang sedang duduk membelakangi dokter tersebut lalu berbalik. Kemudian sepasang mata itu saling bertemu. Kedua dahi yang saling mengernyit seakan mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. "Ada keluhan apa hari ini?" Tanya Rendra menutupi keterkejutannya. "Demamnya masih?" "Nggak lagi, dok. Alhamdulillah sudah turun." Jawab Harum bersikap sama dengan Rendra. "Makan dan minumnya mau?" "Kalau makan mau, tapi minumnya agak kurang." "Duh, harus banyak minumnya ya, nak! Biar cepat sembuh." Rendra lalu menasehati anak kecil itu. "Kalau begitu kita observasi dulu sampai beberapa hari ke depan. Kalau trombositnya naik, baru bisa pulang." Sambung Rendra beralih pada Harum. Harum mengangguk. "Baik. Terima kasih banyak, dok." Rendra tersenyum pada Shanum lalu berpamitan keluar dari kamar rawat inap. Harum hanya bisa menatapi pria berjas dokter itu sampai keluar dari kamar. Sebuah ironi kehidupan. Rupanya, Harum tak salah mengenali. Rendra Saputra yang sudah menjadi dokter spesialis itu adalah teman masa kecilnya. Tepatnya di masa sekolah dasar hingga menengah pertama. Namun, ketika SMA keduanya bersekolah di tempat yang berbeda. Harum bersekolah di sekolah biasa dan Rendra di sekolah unggulan. Harum hanya bisa berdo'a. Semoga saja Rendra tak mengingatnya. Sungguh dia malu dengan keadaannya yang sekarang. Ketika temannya telah sukses, Harum masih terpuruk seperti ini. "Shanum, mau minum bu." Pinta Shanum membuyarkan lamunan Harum. "Iya, nak." Harum lalu mengambilkan minum untuk putrinya. * Bukan tempat yang tepat untuk membahas masalah perpisahan disini. Saat ini, kesehatan Gibran lebih penting. Apalagi anak ini tengah dalam observasi karena kejang. Suasana yang belum kondusif memaksa Adam untuk berdiam sementara di rumah sakit. Menenangkan Zulfa juga Gibran yang masih berkecamuk karena pertemuannya dengan Handi tadi. "Harusnya kamu nggak ngehubungin iparmu tadi." Gerutu Farida. "Ini semua karena kamu! Lihat Gibran histeris!" Timpal Zulfa. "Dia histeris karena pertengkaran orang dewasa." Sahut Adam tak mau kalah. Dia lalu bangkit dari duduknya. "Aku mau lihat Shanum dulu." Baik Zulfa maupun Farida tak menyahut. Mereka masih kesal. Gara-gara Adam, jadi ada pertengkaran orang dewasa di depan anak kecil. Bukannya Adam tak mau bergegas menemui anaknya. Sungguh, bukan seperti itu! Tapi karena keriwehan di rumah sakit sebelah yang membuatnya datang terlambat. Hari sudah menunjukkan pukul 9 malam. Adam sempat ditahan oleh security karena disangka akan membesuk. Tapi setelah dijelaskan kalau anaknya yang dirawat. Maka dia diizinkan naik ke lantai 5 tempat Shanum dirawat. Pintu kamar nomor 2 terbuka. Sesuai pesan yang dibalas istrinya, Shanum dirawat di lantai 5 kamar nomor 2. Ada tiga ranjang pasien disana. Dan dimana Shanum berada? Satu ranjang terlihat kosong. Satu lagi, Ah.. seperti ada suara pria. Tak mungkin itu Shanum. Langkah Adam lalu beralih ke ranjang pasien yang paling ujung. Dia sedikit menyibakkan tirai pembatas ruangan itu. Benar, ternyata Shanum sedang tertidur. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Tangannya sudah tertaut infus. Dan Harum, istri Adam ini tertidur di lantai yang beralaskan selimut tipis. Adam lalu duduk menyamakan posisinya dengan Harum yang tengah tertidur. "Rum.." Adam menyentuh kaki istrinya. Harum terbangun atas sentuhan itu. "Mas Adam?" Harum mengerjap. "Maaf, aku baru datang. Tadi...." "Nggak apa-apa. Shanum juga sudah tidur." Potong Harum. Dia tak berniat mendengar penjelasan suaminya. "Kamu sudah makan?" tanya Adam sambil melirik nakas yang terlihat kosong. Hanya ada satu botol air mineral disana. Harum berdeham. Untuk makan malam ini dia tadi makan makanan sisa milik Shanum. "Mau aku belikan makanan?" Tawarnya. Harum menggeleng. "Gimana keadaan Shanum? Dokter udah lihat?" "Sudah. Katanya tunggu beberapa hari lagi sampai trombositnya naik." Adam mengangguk mengerti. "Aku keluar dulu sebentar, ya. Mau beli buah, susu sama roti." Dahi Harum mengkerut. "Untuk apa, mas?" "Untuk Shanum sama kamu." "Nggak usah repot, mas. Hari sudah malam." ucap Harum serak sambil melirik jam. "Nggak apa. Sebentar aja. Sekalian ambil tikar di rumah. Aku tidur disini malam ini." Harum tersenyum mendengar ucapan suaminya. Adam akan menemaninya menjaga Shanum malam ini. "Ya sudah. Hati-hati di jalan." Adam tersenyum dan berpamitan kepada istrinya. Namun setelah dua jam kepergian Adam. Lelaki itu juga tak kembali. Pikiran Harum sudah melayang kemana-mana. Takut suaminya dibegal malam begini. Tapi, rupanya Adam bukan dibegal. Dia kembali ditahan oleh Farida dan Zulfa. Bahu Harum sampai merosot membaca pesan yang dikirim oleh Adam malam ini. Adam sungguh tak bisa diharapkan."Langsung pergi, nak?" Nani jadi merasa situasi menjadi canggung."Iya. Aku permisi dulu." Ucap Rendra tanpa membalas tatapan istrinya.Sontak saja Nani dan Harum saling melirik setelah kepergian Rendra."Apa dia mendengar kita tadi?""Mungkin aja." Jawab Harum jadi merasa bersalah. Jelas Rendra mendengarkan perbincangan dua wanita ini tadi.Malam tiba, Adam mengirim pesan pada Rendra yang mengabarkan bahwa dia ingin menghabiskan waktunya satu hari dengan Shanum."Adam ngabarin aku barusan." Ucap Rendra sambil merebahkan diri di sisi Harum. "Besok dia minta izin bertemu dengan Shanum.""Nggak masalah. Besok hari libur juga." Sahut Harum datar. Dia masih menyimak isi majalahnya."Kalau kamu mau ikut silahkan."Dahi Harum mengernyit, dia menatap Rendra yang kini berbalik memunggunginya."Untuk apa juga aku ikut?""Mungkin ada yang ingin kamu tanyakan pada mantan suamimu."Oh, Harum mengerti. Rendra pasti tengah marah sekarang. Segera saja dia melipat majalahnya dan bergeser sedikit mend
Mata Harum menatap mantan suaminya dengan penuh pertanyaan. Sementara, Adam menjadi salah tingkah."Bu, Adam.. Taksi kita sudah di depan." Sahut Zulfa memecah rasa canggung ini."Kami permisi dulu. Terima kasih Rendra, Harum." Ucap Adam segera mengambil alih kursi roda ibunya."Hati-hati di jalan." Rendra menimpali."Nanti aku hubungi. Aku minta izin ingin bertemu Shanum lagi.""Boleh saja. Nggak masalah." Rendra jelas tak mau memisahkan hubungan antara ayah dan anak.Selesai berpamitan dengan suaminya. Rendra memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya pulang. Namun, sepanjang perjalanan Harum hanya diam. Dia baru tahu jika Adam selama ini bekerja sebagai tukang ojek online."Kamu diam aja, sayang?" Rendra menegur."Nggak apa-apa." Sahut Harum segera memperbaiki sikapnya."Kamu mau ke toko atau pulang ke rumah?" Tawar Rendra. Kebetulan dia memang harus kembali praktek setelah ini."Aku mau ke rumah ibu aja. Udah lama nggak mampir.""Aku antar ke rumah ibu kalau begitu."Rendra memacu
"Kamu nggak mau besuk ibumu?""Kamu tadi sudah, kan?""Aku belum melihat. Tadi kan aku bilang cuma belikan obat." Jelas Rendra."Kamu aja, deh. Sampaikan salam kami untuk ibu Farida."Rendra menghela nafas. Ia ikut berbaring di samping istrinya."Kamu masih marah?" Rendra mengelus lengan istrinya."Marah dengan siapa?" Tanya Harum acuh."Sayang.. ibu Farida sedang kritis sekarang. Aku minta kamu mendo'akannya.""Iya. Nanti aku do'akan.""Sayang!"Terpaksa Harum meladeni suaminya, padahal dia sudah bersikap selayaknya walau rasa tak senang itu terlihat di wajahnya."Ikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu. Maafkan seluruh kesalahan orang-orang yang menyakitimu. Aku tahu luka di hatimu belum sembuh betul. Tapi kalau kamu belum bisa mengiklaskan semuanya, luka itu akan semakin sakit jika digores.""Aku cuma masih sedikit kecewa aja." Akhirnya Harum jujur. Sudah satu tahun lebih, tapi rasa marah, dongkol, kecewa akan perbuatan mantan suami serta keluarganya masih membekas di hati Harum.
"Mbak Zulfa!" Terengah-engah Adam menghapiri Zulfa yang tengah melamun di ruang tunggu. Farida kini sudah terbaring lemah di ruang intensif."Adam!" Air mata Zulfa tumpah ruah ketika melihat adiknya datang. Sudah satu tahun, Adam tidak pulang ke kota. Selama itu juga Adam tak tahu penyakit berat apa yang menimpa Farida karena wanita itu tak mau membebani Adam yang tengah berjuang disana."Apa yang terjadi mbak?""Ibu tiba-tiba sesak tadi. Sekarang masuk ICU.""Sakit apa ibu?""Gagal ginjal..""Astaghfirullah." Kepala Adam menjadi sakit, ia seperti di hantam benda berat."Maaf, Adam.." lirih Zulfa. "Selama ini kami menyembunyikan kebenarannya darimu.""Jadi ibu sudah lama sakit begini? Kenapa baru kasih tahu aku, mbak?" Teriak Adam sedih."Kami nggak mau merepotkanmu.""Astaga! Tapi ibu itu juga ibuku. Aku berhak tahu." Adam meremas rambutnya dengan frustasi. "Jadi sekarang bagaimana kata dokter?""Ibu harus cuci darah, tapi tekanan darahnya masih rendah. Belum lagi.." Zulfa memberikan
Malam ini Shanum menginap di rumah neneknya setelah menghabiskan waktu seharian dengan Adam di luar. Ayah Shanum ini mengajaknya pergi ke taman bermain dan juga tempat lain yang dulu suka sekali mereka singgahi. Tak lupa makan bakso langganan yang menjadi kesukaan Shanum."Kamu senang sekolah di tempat barumu?" Tanya Farida."Senang, nek.""Disana pasti cuma orang-orang kaya yang bisa masuk. Nenek dengar biaya masuknya aja mahal.""Nggak tahu juga, nek." Untung saja Shanum tak perduli dengan hal seperti itu. Masih bisa bersekolah saja dia bersyukur."Nanti bilang sama ibumu, kalau lebaran mampir kesini ya.""Iya, nek."Shanum menjawab sembari bermain dengan Gibran. Anak kecil itu juga sudah masuk usia 4 tahun, tengah aktif-aktifnya."Shanum.. sini dulu."Shanum akhirnya menghentikan aktivitas bermainnya dan mendekat kepada Farida."Kenapa, nek?""Kamu nggak kangen sama nenek? Dari datang tadi kamu cuma main sama Gibran.""Kangen, nek.""Kenapa nggak meluk?"Sekejap Shanum tampak berpi
Anggaplah, Rendra saat ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Nani. Sekarang tinggal bertanya pada ibunya sendiri. Takutnya perbedaan status ini membuat Suryani tak menyetujui hubungannya dengan Harum."Jadi kamu mau kepikiran untuk nikah? Mama nggak salah dengar, kan?" Suryani memastikan."Ya. Tapi wanita yang kusuka.. mungkin nggak sesuai ekspektasi mama.""Maksudmu? Dia bukan istri orang, kan?""Bukanlah, ma." Rendra tertawa pelan. "Tapi pernah jadi istri orang.""Janda maksudmu?"Mendengar intonasi suara Suryani, Rendra tiba-tiba jadi keringat dingin."Harum?""Eh!" Rendra terlonjak kaget. "Main nyebutin nama aja.. padahal aku belum kasih inisial ini loh.""Ya siapa lagi wanita yang buat kamu nggak bisa move on? Memang kamu pikir mama nggak curiga saat pertama kamu datang ke mama minta pekerjaan buat Harum? Terus kamu bilang minta mama untuk ajarin Harum jadi wanita mandiri?""Tapi saat itu aku belum ada rasa, ma. Koreksi. Harum masih jadi istri orang lain. Jadi aku nggak mau berh