Share

Bab 2

Judul: Aku tak mau bercerai.

Part: 2

***

Pertahananku goyah, padanganku mulai buram, tubuh bergoncang hebat, kepala ini terasa berat.

Entah berapa lama aku pingsan. Hingga tersadar aku sudah ada di dalam kamar. Namun, ini bukan kamar di rumah suamiku.

Kutatap dengan jelas, ini adalah rumah Ayah, Ibu.

"Tik, sudah siuman?" tanya Ibu dengan sorot mata yang tajam.

"Kenapa aku ada di sini, Bu?" 

"Suamimu yang mengantar, maksud Ibu calon mantan suamimu."

Air mataku kembali jatuh. Disaat tak sadarkan diri, Mas Farhan malah memulangkan aku.

"Bu, aku tak mau bercerai."

"Kalau tidak mau dicerai harusnya kamu rawat penampilan kamu. Coba berkaca! Suami mana yang betah dengan bentuk kamu yang sangat tak nyaman dipandang mata," cibir Ibu.

"Ngomong apa toh, Bu? Anak sedang sedih, malah dibuat tambah sedih," sambung Ayah yang selalu membelaku.

"Ah, sudahlah! Ibu malas jika harus berdebat. Kita ini susah, Yah. Akan tambah susah kalau Tika kembali tinggal di sini. Farhan pasti tidak akan memberikan uang belanja bulanan untuk Ibu lagi."

Aku mematung, sementara Ayah menarik tangan Ibu keluar.

Kemana aku harus pergi? 

Aku tak bisa tinggal di rumah ini, dan menyusahkan Ibu.

Aku tak mau bercerai, karena aku tahu reaksi Ibu akan seperti ini.

Dan aku juga sangat mencintai Mas Farhan.

-

-

Hari berikutnya, aku bangun dengan wajah kusamku. Setelah mandi, aku menatap diri di depan cermin.

Berat badanku mencapai 75kg, dengan tinggi badan 160. Pipiku sangat bulat, leherku nyaris tak terlihat. 

Berputar-putar aku di hadapan cermin besar ini. Memang tak ada yang enak dilihat dari tubuhku. Aku saja enggan berkaca.

Perlahan aku keluar dari kamar. Perutku terasa lapar. 

"Tik, kamu cari kerja atau kamu usaha buat suamimu mau membatalkan perceraian kalian! Ibu tak sanggup memberimu makan. Hari ini kamu puasa saja! Itung-itung diet," ujar Ibuku.

"Bu, ini kan ada nasi dan telor," sahut Ayah.

"Itu untuk Adelia, sebentar lagi dia akan bangun. Adel kuliah tak boleh dengan perut yang kosong. Lagian Tika kan gendut, tidak makan tiga hari pun tak masalah."

Aku menelan ludah getir. Dengan senyum yang aku paksakan, aku pun berkata, "Iya, Yah. Ibu benar. Aku memang ingin diet. Nanti siang aku akan pergi ke butik Mirna. Siapa tahu ada lowongan kerja untukku di sana."

"Baguslah," ketus Ibu.

Detik berikutnya Adel menghampiri kami dengan penampilan yang sudah rapi.

"Bu, gimana? Cantikkan?" tanya Adel sambil memamerkan jam di tangannya.

"Wah, cantik sekali Nak. Gak sia-sia Ibu berhemat biar bisa beliin jam itu," sahut Ibu.

"Ya sudah, Ayah telat ini. Ayah jalan sekarang ya."

Kami semua mengangguk. 

Seperginya Ayah, tinggal kami bertiga.

"Eh, ada Kak Tika. Kapan datang? Kok Adel nggak tahu."

"Tadi malam, dipulangkan suaminya. Sekarang jadi beban lagi di rumah ini," ucap Ibu dengan sinis.

"Oh, wajar sih. Penampilan seperti Kak Tika sekarang ini mana pantas berdampingan dengan Mas Farhan yang tampannya kebangetan," papar Adel.

Aku semakin pilu saat berada di rumah. Tanpa ingin meladeni keluargaku, akhirnya aku bergegas keluar untuk mencari pekerjaan.

-

-

Sampai di butik Mirna. 

"Tik, kenapa cemberut gitu? Kamu sakit? Atau ada masalah? Ayo cerita!"

Mirna memang sahabatku satu-satunya yang sangat tulus padaku.

Tangisku pecah di pelukannya.

"Tik, jangan buat aku cemas gini. Ayo cerita!"

Kutarik napas dalam, sebisa mungkin aku mencoba menetralkan perasaan.

"Mas Farhan menceraikan aku, Mir."

"Apa?" 

Mirna dengan sigap mendorong tubuhku agar sedikit merenggang darinya.

Aku mengangguk sambil mengusap air mata.

"Apa alasannya, Tik? Selama ini kamu sudah jadi istri yang paling sabar untuknya."

"Karena aku gendut, aku tak cantik lagi, aku hanya membuatnya malu, Mir. Sekarang aku tak tahu harus ke mana. Ibu juga keberatan dengan adanya aku di rumah."

Mirna bergeming, air matanya juga ikut mengalir. Detik berikutnya kami saling berpelukan lagi.

Dalam penderitaan yang aku alami, tapi aku masih bersyukur karena memiliki teman berbagi sebaik Mirna.

"Ya, sudah. Kamu bisa membantuku di sini. Kita akan hadapi sama-sama masalah ini ya, Tik. Kamu tidak sendiri," ujar Mirna dengan tulus.

"Makasih, Mir. Sedari dulu cuma kamu yang paling mengerti aku."

"Ah, jangan lebay! Mending kita sarapan."

Aku memang lapar, akhirnya Mirna memesan tiga porsi lontong sayur. Tentu saja untukku dua, dan Mirna hanya satu.

-

-

Hari ini aku mulai bersemangat menjalani aktivitas baruku. Walaupun ada rasa sedih pula, ketika mengingat Mas Farhan.

Dia adalah cinta pertamaku. Bagaimana mungkin aku bisa move on darinya?

"Mbak tolong bungkusin dres ini! Totalin juga semua jumlahnya," ucap seorang wanita.

Aku cepat-cepat menghampiri, karena Mirna yang sedang melayani.

Langkahku terhenti di pembatas ruangan. Aku menatap dari balik sudut.

'Lia, itu kan Lia. Wanita yang merebut Mas Farhan dariku.' 

Setelah membayar, Lia berlalu. Aku mengatur kembali debaran di dadaku.

"Tik, ngapain bengong di situ?" tanya Mirna menyadarkan lamunanku.

"Eh, iya Mir." Aku mendekat.

"Kamu sepertinya membawa hoki di toko ini, Tik. Baru aja bentar di sini, udah ada pelanggan yang borong barangku," ucap Mirna antusias.

Aku membuang napas berat, dan berkata. "Dia wanita yang merebut suamiku, Mir."

Perlahan gerakan tubuh Mirna menghadap ke arahku. Ia menatap dengan tak enak hati.

"Serius, Tik? Tapi harus aku akui, dia sangat cantik dan seksi," puji Mirna.

Ah, itu semakin membuat aku sadar diri.

"Maksudku, kamu bukan kalah cantik. Cuma kalah penampilan. Gimana kalau kamu mulai perawatan dan diet, Tik. Masa iya primadona kampus jadi segendut dan sekusam ini."

Mirna memang ceplas-ceplos. Namun, dia tulus dan jujur. Aku tak pernah tersinggung dengan ucapannya, karena kami memang bersahabat sejak lama.

"Perawatan mbahmu, Mir. Untuk makan saja aku sekarang kebingungan," sanggahku.

"Ya sudah. Kalau begitu diet, masalah perawatan nanti aku sisihkan sebagian keuntungan dari butik ini untuk modal mengembalikan kecantikanmu."

Ah, Mirna. Harus dengan sebutan apa aku memuliakannya. Bahkan keluargaku saja tak ada yang sepeduli dia.

"Kau yang terbaik, Mir."

Mirna tersenyum merangkul pundakku. Detik berikutnya butik ini kedatangan pengunjung lagi. Mirna sangat antusias dan bahagia. Begitu pun aku.

-

-

Pulang dari butik, aku sangat ceria. Ibu menyambutku dengan wajah seperti tadi pagi.

"Udah dapat kerja?" tanya Ibu.

Aku mecium tangannya, takzim. Lalu duduk di sebelah Ibu.

"Alhamdulillah sudah, Bu."

"Oh, baguslah. Berapa gajihnya? Bisa diambil dimuka gak uangnya? Ibu butuh biaya tambahan buat Adelia."

Aku berdehem pelan. Bagaimana mungkin aku meminta bayaran diawal? Sudah bekerja saja aku sangat bersyukur. 

"Nanti aku coba bicarakan sama Mirna, Bu."

"Harus dong! Mirna kan temen kamu, masa iya gak bisa bantu."

Pikiranku terperas saat di rumah. Aku benar-benar tak berarti bagi Ibu. Sejak dulu hingga kini, hanya Adelia yang mendapat perhatian Ibu.

Terkadang aku merasa seperti bukan anak kandung di rumah ini.

-

-

Hari berganti, aku berangkat jalan kaki menuju butik.

Jaraknya tidak terlalu jauh, juga tidak terlalu dekat. Lumayan untuk membakar kalori di tubuhku. 

Keringatku bercucuran, berat badan yang berlebihan ini membuat aku cepat lelah.

Seketika langit pagi menjadi gelap, sepertinya akan turun hujan.

Dan benar. Aku kebasahan, ingin menepi tapi sebentar lagi sampai. Akhirnya aku berlari.

Suara klakson mobil mengejutkanku, tiba-tiba cipratan air mengenai bajuku.

Ah, kotor semua.

Mataku membulat saat melihat mobil yang sengaja mengotori pakaianku itu adalah milik Mas Farhan.

"Mau hujan-hujanan seperti film India, Mbak?" cibir Lia.

Oh, ternyata wanita itu yang sedang menggunakan mobil Mas Farhan.

Aku tak meresponnya, tak ada guna berdebat dengan wanita yang tak memiliki hati seperti Lia.

-

-

Aku sampai di butik dengan keadaan yang sudah berantakkan. Dari ujung rambut hingga ujung kaki basah kuyup. 

"Tik, kamu kok main hujan-hujanan?" Mirna menahan tawa melihat penampilanku.

"Kehujanan, Mir. Bukan main hujan," ujarku kesal.

"Oh, sorry. Itu baju kenapa kotor?"

"Ada ular yang menyemburkan kotorannya padaku."

Mirna terdiam, sedangkan aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. 

Aku berganti pakaian. Baju yang diberikan Mirna sangat ketat, hingga membuat lekukan tubuhku jelas terlihat.

Aku berkaca, ini sangat ketat. Aku tampak semakin gendut.

"Mir, gak ada baju lain?" tanyaku sambil menghampirinya.

Mirna melotot melihatku, sedangkan di sebelahnya ada dua orang laki-laki.

Aku mengenal salah satunya.

"Tik, ini kamu Tika Pramita kan?" Angga menatap tak percaya.

"Iya. Kamu masih mengenalku rupanya," ucapku acuh tak acuh.

Angga pasti akan membuli penampilanku sekarang.

"Primadona kampus jadi segendut ini?"

"Ssstt, tapi pagi ini Tika terlihat seksi, bukan?" Mirna menyambung.

"I-iya, sayang. Tapi ...."

"Sudahlah! Ayo duduk dulu."

Sayang?

Mirna dan Angga?

Aku duduk bersama mereka. Dengan sedikit memaksa, Mirna meminta Angga untuk mengenalkan temannya padaku.

"Sayang, Tika sebentar lagi menjanda. Kenalin temanmu itu!"

"Oya? Sepertinya kalian memang berjodoh. Tik, ini Ruben Anak dari pemilik lima perusahaan terbesar di kota ini," papar Angga.

Aku menatap sekilas, kemudian menundukkan pandangan. Mana berani aku berlama-lama bertatapan dengan orang sesempurna dia.

"Hey! Nanti malam kamu sibuk? Saya baru di kota ini, dan ingin berkeliling. Jika tidak keberatan, maukah menemani saya?" tanya-nya.

Mataku terbelalak, mulutku setengah terbuka. Mirna menyenggol lenganku untuk menyadarkan ekspresi konyol ini.

"Eh, a--aku ...."

Belum selesai aku bicara. Mirna langsung memotongnya. "Tika bisa. Dia tidak punya kesibukan."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status