***
Keenan berdiri di lantai dua, menatap ke bawah dengan pandangan tenang. Dari sana, ia melihat Alea tertawa riang bersama teman temannya saat berjalan menuju kelas. Tawa itu ringan, tulus, dan entah kenapa membuat dadanya terasa hangat. Di sampingnya, Raiden dan Farel ikut memperhatikan, tapi hanya Keenan yang diam lebih lama, seolah tak ingin kehilangan momen itu. Raiden meliriknya, sudut bibirnya terangkat nakal. "Serius banget liatnya, bro. Itu cewek yang suka menyendiri di perpustakaan kan" godanya pelan. Keenan tak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada gadis itu yang kini berhenti sebentar di depan kelas, tertawa lagi karena sesuatu yang dikatakan Clarissa. Rambutnya tertiup angin, dan sejenak waktu seperti melambat. "Cantik"sahut Farel santai sambil menyandarkan tubuh ke pagar besi. Keenan akhirnya mengalihkan pandangannya, menarik napas pelan. "gebet aja kalau suka" farel tertawa pelan. "Ya udah, kalo gitu jangan salahin gue kalo nanti gue duluan deketin" Keenan hanya melirik sekilas tanpa ekspresi, tapi sorot matanya tajam, cukup untuk membuat Raiden terkekeh canggung. "Gue bercanda, bro…" katanya cepat, mengangkat kedua tangan. Sementara itu, di bawah sana, Alea menoleh ke arah lantai dua tanpa alasan jelas dan pandangan mereka bertemu sepersekian detik. Keenan terdiam. Waktu seperti berhenti. Sampai akhirnya Alea tersenyum kecil, lalu kembali menoleh ke temannya. Dan entah kenapa, senyum itu masih tertinggal di benak Keenan bahkan setelah gadis itu menghilang di balik pintu kelas. *** Begitu Alea melangkah masuk ke kelas, suasana langsung terasa ramai. Clarissa sudah lebih dulu duduk di bangku dekat jendela, sibuk mengeluarkan buku dari tasnya. Alea dan Nayla menyusul, duduk sebangku di belakangnya. Alea menatap keluar jendela, pandangannya kosong menembus halaman sekolah yang mulai ramai oleh suara tawa dan langkah kaki. Perlahan, ia menghela napas panjang. "Keenan… tunggu aku" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Nayla yang sedang membuka buku menoleh heran. "Apa, Lea? Kamu ngomong apa barusan?" Alea tersentak kecil, buru-buru tersenyum. "Hah? Nggak kok, nggak ngomong apa-apa" "Oh, kirain kamu manggil siapa gitu" jawab Nayla santai sebelum kembali sibuk dengan bukunya. *** Begitu bel istirahat berbunyi, Alea langsung berdiri dari kursinya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil ponselnya dan bergegas keluar kelas. Clarissa yang baru saja membuka bekal menatap heran. "Eh, Alea mau ke mana?" Alea menoleh sebentar, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku ada urusan sebentar" jawabnya singkat sebelum melangkah cepat meninggalkan kelas. Nayla dan Clarissa saling pandang, sama sama bingung. "Urusan apaan sih? Tiba-tiba banget" gumam Nayla. Sementara itu, Alea sudah berlari menyusuri koridor, matanya terus menelusuri setiap kelas yang ia lewati. Ia mencari sosok itu Keenan. Tapi di kelasnya kosong, tak ada siapa pun di dalam. "Kemana si sialan itu…” gumam Alea pelan, matanya terus menelusuri koridor kosong. "Aku sialan yang kamu cari, ya?" suara tenang tapi dingin terdengar dari belakang. Alea tersentak, berbalik cepat. Dan benar Keenan berdiri di sana, bersandar di dinding dengan tangan di saku, menatapnya datar. Tatapan itu cukup untuk membuat jantung Alea berdetak lebih cepat. Tapi dalam benaknya, potongan ingatan dari dunia novel kembali berputar tentang Alea versi asli yang gagal mengajak Keenan ke acara ulang tahun perusahaan, dan akibatnya… Keenan dikurung semalaman. Ia mengepalkan tangan. Aku nggak boleh mengulang kesalahan itu. "Ayo, kita bicara" kata Alea akhirnya, berusaha terdengar tegas. Keenan menaikkan satu alis. "Bicara di sini aja, kenapa harus ngajak segala?" nada suaranya terdengar dingin, tapi matanya jelas menyorot rasa jengkel. "Dan jangan panggil aku ‘sialan’, Alea" Alea menelan ludah, merasa malu sekaligus kesal pada dirinya sendiri. "Oke, maaf. Tapi ini penting" Keenan menatapnya beberapa detik tanpa bicara, lalu akhirnya menghela napas pelan. "Baiklah. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" Alea menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan. Ia menatap Keenan lekat lekat, berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Tolong…" suaranya terdengar ragu di awal, lalu mengeras sedikit. "Temani aku ke acara ulang tahun perusahaan" Keenan hanya diam beberapa detik. Pandangannya datar, nyaris tak menunjukkan emosi apa pun. Lalu tanpa berpikir lama, ia menjawab singkat. "Enggak mau" Kata kata itu jatuh begitu saja, dingin dan tanpa jeda. Alea tertegun. "Kenapa?" Keenan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. "Aku nggak suka tempat ramai. Lagipula, kenapa harus aku?" Alea menggigit bibir bawahnya. Ia tahu jawaban itu akan keluar, tapi tetap saja rasanya sesak. Kalau dia menolak lagi seperti di cerita aslinya… segalanya akan terulang. "Karena kamu tunangan aku" ucap Alea akhirnya, suaranya tegas meski nada kesal jelas terdengar di ujung kalimatnya. Keenan mengangkat alis, ekspresinya datar. "Orang tuaku udah datang ke acara itu, kan? Jadi kenapa aku juga harus datang?" katanya santai, seolah hal itu bukan masalah besar. "Lagian, itu cuma acara perusahaan. Nggak ada hubungannya sama tunangan kita" Alea terdiam sejenak, mencoba menahan diri. Tapi semakin lama menatap wajah tenang Keenan, semakin besar keinginan untuk melempar sesuatu ke arahnya. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah yang mendidih. Sok polos banget sih, dia! "Kamu beneran nggak paham, atau pura-pura nggak paham, Keenan?" suaranya mulai meninggi, tapi matanya tetap menatap lurus. "Itu acara penting. Dan sebagai tunanganku, kamu seharusnya ada di sana. Bareng aku" Keenan menatapnya, mata abu-abu dinginnya sedikit berkilat. Tapi alih-alih menjawab, dia justru menunduk sebentar, lalu berkata pelan, "Aku nggak suka tempat yang penuh basa-basi" Alea menarik napas panjang, menahan emosi yang hampir meledak. "Ya ampun, Keenan…" gumamnya pelan, antara frustrasi dan pasrah. "Wah, apaan nih?" ucap farel. Alea memiringkan kepala, menatap mereka heran. Tiba-tiba Farel sama Raiden datang bareng gini Ia menyipit curiga sambil menyilangkan tangan di dada. "Perlu dicurigai nih, jangan jangan ada sesuatu?" "udah yu, orang gila tu" ucap Keenan sambil melengos. Alea kesal Keenan melengos begitu saja. *** Begitu bel pulang berbunyi, suasana di parkiran sekolah mulai ramai. Siswa siswi berlarian, beberapa sibuk mencari ojek, sementara sebagian lain menuju mobil masing masing. Keenan baru saja membuka pintu mobilnya ketika seseorang tiba tiba menyelinap masuk ke kursi penumpang depan. Ia terperanjat. "Apa-apaan kamu, Alea?" Alea memasang sabuk pengaman dengan wajah tanpa dosa. "Tenang aja, aku cuma numpang sebentar" "Numpang apanya? Turun" Nada Keenan terdengar tegas, matanya menatap tajam. "Gak mau" jawab Alea santai, menatap lurus ke depan. "Sampai kamu janji bakal pergi malam ini sama aku" Keenan mendengus tidak percaya. "Kamu masih aja ngotot, ya? Aku udah bilang enggak, Alea. Sekali enggak, tetep enggak" Alea bersedekap, mencondongkan tubuh sedikit ke arah kaca jendela. "Ya udah" katanya datar, tapi nadanya menantang. "Kalau gitu aku juga gak mau turun" Keenan menatapnya tak percaya. "Kamu serius?" Alea mengangkat dagu, menatapnya balik dengan ekspresi keras kepala. "Serius banget" Beberapa detik keheningan tercipta. Hanya suara mesin mobil yang belum sempat dinyalakan. Keenan memijit pelipisnya pelan, jelas mulai kehilangan kesabaran. "terserah" ucap Keenan sambil menyalakan mobilnya dan melaju kencang di jalan raya.*** Luna langsung dikerubungi oleh beberapa siswa yang penasaran. "Luna, aku dengar kamu sekolah di sini karena beasiswa, ya?" tanya salah satu murid dengan nada setengah ingin tahu, setengah menyelidik. Luna hanya diam. Tatapannya tenang, tapi jelas terlihat ia tak nyaman dengan perhatian berlebihan itu. "Wah, berarti kamu pintar dong!" seru murid lain dengan nada riang. Namun, ucapan itu segera disusul komentar yang membuat suasana berubah dingin. "Ya, lumayanlah. Setidaknya ada gunanya juga. Daripada miskin, bodoh lagi" Beberapa siswa terkekeh pelan. Luna menunduk, berusaha menahan perasaannya. "Oh, jadi kamu miskin?" suara lembut tapi tajam itu datang dari belakang. Alea sontak menoleh, Clarissa. Gadis itu berjalan mendekat dengan senyum samar di bibirnya, namun matanya jelas menyiratkan sesuatu yang berbeda. Alea terbelalak. Kenapa Clarissa ikut campur? pikirnya cemas. "kok bisa si orang miskin sekolah di si....." Belum sempat Clarissa menyelesaikan kalima
*** Bel tanda masuk berbunyi, memecah kekakuan suasana. Siswa siswa yang tadi menonton mulai berbisik bisik, membicarakan kejadian itu dengan antusias. Pemeran utama wanita tampak masih gugup, sementara Keenan hanya melangkah pergi begitu saja tanpa banyak bicara, diikuti dua temannya. Alea berdiri mematung, matanya terus mengikuti punggung Keenan yang menjauh. Ada sesuatu di dadanya yang terasa aneh campuran antara panik dan rasa tak percaya. Kenapa dia menatapku seperti itu? pikir Alea. Seharusnya dia fokus pada pemeran utama, bukan aku. Jangan bilang… keberadaanku mulai mengubah jalan ceritanya. "apa aku akan selamat pada akhirnya" pikir Alea. Suara Clarissa yang tiba tiba memanggil namanya membuat Alea tersadar. "Alea! Ngapain bengong di situ?" seru Clarissa sambil menghampiri. "Oh, nggak... nggak apa-apa," jawab Alea cepat, berusaha menormalkan ekspresinya. "aku kaget, tahu tahu kamu lari keluar" kata Clarissa heran. "Kamu kenal sama anak baru itu?" tanya Nayla
*** Keenan menoleh sekilas ke arah Farel, ekspresinya tetap datar seperti biasa. "Kenapa? Ada masalah kalau dia anak Marvelle?" suaranya terdengar tenang, tapi mengandung nada peringatan halus. Raiden dan Farel saling pandang, menahan tawa. "Enggak, cuma aneh aja. Bukannya keluarga Marvelle gak punya anak cewek?" tanya Farel penasaran. Keenan menghela napas pelan. "Main lu kurang jauh" ujarnya santai. "Dia jarang dipublikasikan aja" tambahnya kemudian, nada suaranya kembali tenang tapi tegas. "lu beneran suka sama dia" tanya farel penasaran. Keenan menatap farel tegas. "yang bilang suka sama dia siapa, memangnya gue bisa apa tentang pertunangan ini" ucap Keenan. Raiden mengangkat alis, senyum jahilnya langsung muncul. "Wih, berarti emang dijodohin dong?" godanya sambil menepuk bahu Keenan. Keenan menatapnya datar, tatapan dingin khasnya cukup untuk membuat Raiden langsung terdiam. "Kurang lebih" jawabnya singkat. Farel mencondongkan badan ke depan, nada sua
*** Bel tanda masuk baru saja berbunyi ketika Alea, Clarissa, dan Nayla melangkah menuju kelas, Matahari sudah cukup tinggi, menyinari halaman sekolah yang mulai dipenuhi murid murid dengan berbagai ekspresi dan obrolan pagi. Namun kali ini, Alea bisa merasakan sesuatu yang berbeda tatapan. Setiap langkah yang ia ambil terasa diperhatikan. Beberapa siswa yang duduk di taman depan menoleh ke arahnya, lalu berbisik bisik dengan ekspresi heran, bahkan tak sedikit yang tersenyum penuh arti. Alea menegakkan tubuhnya, mencoba bersikap seolah tak terjadi apa apa. Tapi dalam hati, ia bisa merasakan gelombang rasa canggung yang makin lama makin kuat. "Kayaknya gosipnya udah nyebar ke seluruh sekolah" bisik Nayla pelan, menatap sekelompok siswa yang menatap mereka dari jauh. Clarissa mengangkat alis. "Ya jelas. Semalam aja satu kota tahu, apalagi anak sekolah" Alea hanya mengangguk pelan. Ia memang sudah memperkirakan ini akan terjadi. Tapi tetap saja, berada di tengah sorotan sepert
*** Tubuh Alea seketika menegang, tetapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, mobil sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba tiba terasa terlalu cepat. "Menyebalkan?" ulangnya pelan, masih mengingat nada dingin dava beberapa detik lalu. "Kenapa?" Tidak ada jawaban. Hanya suara mesin yang perlahan mati, terdengar lebih nyaring dari biasanya seolah menegaskan akhir dari percakapan yang menggantung di udara. Alea turun dari mobil, dan sesaat kemudian mobil itu melaju pergi, meninggalkannya yang masih berdiri dalam kebingungan. Beberapa detik ia hanya terpaku di tempat, hingga suara langkah cepat mendekat dari arah samping membuatnya menoleh. Dua sosok tiba tiba muncul di hadapannya membuatnya terlonjak kaget. "Ya ampun! Kalian bikin kaget aja" serunya sambil menepuk dadanya pelan. Namun, bukannya tertawa seperti biasa, kedua temannya justru diam dengan wajah cemberut. Alea mengerutkan kening, merasa ada
*** Pagi itu suasana di kediaman keluarga Marvelle terasa hangat dan ceria. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan yang sudah tertata rapi. Alea menuruni tangga dengan langkah ringan, mengenakan seragam sekolah yang sudah rapi disetrika. Rambutnya dikuncir sederhana, membuat wajahnya tampak segar pagi itu. Alea duduk di meja makan, tepat berhadapan dengan Dava. Suasana mendadak terasa mencekam. Tatapan tajam Dava menembusnya seperti bilah pisau yang siap menusuk kapan saja. Alea menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut perlahan merambati seluruh tubuhnya setiap kali mata mereka hampir bertemu. Nyonya Marvelle tersenyum puas sambil menatap suaminya. "Acara ulang tahun perusahaan semalam benar benar sukses besar" ujarnya penuh semangat. "Semua tamu tampak terkesan, terutama setelah Keenan dan Alea datang bersama, Banyak yang memuji citra keluarga kita" Tuan Marvelle hanya mengangguk kecil sambil melipat surat kab