LOGINAlea berdiri di depan rumah keluarga Marvelle. Keraguan jelas terpancar di wajahnya, langkahnya tertahan cukup lama di depan gerbang megah itu. Setelah menimbang nimbang beberapa saat, ia akhirnya menguatkan diri dan melangkah masuk. Satpam yang sudah mengenali Alea tidak menghalanginya. Ia justru membuka gerbang dan mempersilahkannya dengan sopan. Begitu masuk, Alea menghampiri salah satu pembantu rumah tangga yang sedang melintas. "Maaf, Kak Raihan ada?” tanya Alea pelan. Pembantu itu menggeleng. "Den Raihan sudah lama nggak pulang, Non Alea. Katanya beliau sekarang tinggal di apartemennya" Alea tercekat mendengar jawaban itu. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Tanpa banyak bertanya lagi, Alea berpamitan dan segera meninggalkan rumah keluarga Marvelle. Di dalam perjalanan menuju apartemen Raihan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Sejak beberapa hari terakhir, Raihan memang sulit dihubungi. Pesan pesannya jarang dibalas, teleponnya sering ta
Luna melambaikan tangan begitu matanya menangkap sosok Nolan. Senyum lebar langsung terbit di wajahnya. Nolan pun membalas lambaian itu, tampak sama antusiasnya. "Udah lama nunggu?" tanya Luna sambil menghampirinya. "Baru sampai juga," jawab Nolan ringan. Luna menoleh ke sekeliling. "Kita mau ke mana?" "Cari makan aja, yuk," ajak Luna ceria. Nolan mengangguk. "Ayo. Mau makan apa?" "Yang paling enak, pokoknya," ucap Luna sambil tertawa kecil. Nolan tersenyum tipis, lalu mengajak Luna berjalan berdampingan menuju area parkir. Langkah mereka pelan, seolah tak terburu oleh waktu. "Kalau yang paling enak itu relatif," ujar Nolan sambil melirik Luna. "Tergantung makannya sama siapa" Luna menoleh, sedikit terkejut, lalu terkekeh. "Berarti hari ini harusnya enak, dong" Nolan tak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil untuk Luna, gestur sederhana yang membuat Luna tersenyum lebih lama dari seharusnya. Di dalam mobil, suasana hening sesaat, namun bukan hening yang cangg
*** Alea, Clarissa, dan Nayla berjalan menyusuri pusat perbelanjaan. Namun sejak tadi, langkah mereka terasa kaku. Keenan dan Raiden terus mengikuti dari belakang, membuat suasana menjadi canggung. Sesekali Alea menoleh ke belakang. Tatapannya bertemu dengan Keenan yang langsung menghentikan langkahnya, tampak salah tingkah sebelum pura pura melihat ke arah lain. Beberapa saat kemudian, mereka kembali berjalan. Keheningan itu akhirnya pecah oleh bisikan Clarissa. "Kenapa sih mereka ngikutin kita?" bisiknya, nadanya kesal bercampur bingung. "Aku juga nggak tahu," jawab Alea pelan, tanpa menoleh lagi. Di belakang mereka berhenti mendadak. "Keenan, kita ngapain si?" bisiknya pelan sambil mencondongkan badan ke arah Keenan. Keenan terbatuk kecil, wajahnya sedikit memerah. "Ya… ngikutin aja?" "Ngikutin ke mana?" Raiden menggaruk tengkuknya sendiri. "gak tau, ikut mereka aja" ucap Keenan. "lu sadar gak kita gak di harapkan" ucap Raiden. keenan menunduk, menghindar
*** Sepulang sekolah, Alea, Clarissa, dan Nayla berada di butik langganan Clarissa. Rak rak pakaian berderet rapi, dipenuhi gaun mahal yang berkilau di bawah sorot lampu. Clarissa dan Nayla tampak begitu antusias memilih pakaian. Tawa kecil dan komentar kagum sesekali terdengar dari mereka. Berbeda dengan Alea yang hanya berdiri sedikit menjauh, matanya menelusuri pakaian pakaian itu tanpa benar benar berniat memilih. Bukan karena ia tak menyukai pakaian pakaian indah itu. Alea sadar betul posisinya sebagai anak angkat yang kerap terabaikan, ia tak memiliki uang sebanyak mereka untuk berbelanja sesuka hati. Seharusnya aku mengumpulkan uang lebih banyak waktu masuk ke sini, batinnya. "Alea, gimana? Bagus nggak?" tanya Nayla sambil menghampirinya, memperlihatkan sebuah gaun. Alea tersenyum tipis dan mengangguk setuju. "Bagus" “Kalau gitu kamu juga pilih dong,” ajak Nayla ceria. Alea terdiam sejenak, jemarinya saling menggenggam gugup. “Aku… aku nggak punya uang sebanya
Alea menarik perlahan tangannya dari genggaman Clarissa. "Aku tidak marah," jawab Alea singkat. "Aku hanya tidak suka keributan yang tidak perlu" Clarissa mengerucutkan bibir, jelas tak puas dengan jawaban itu. Ia berjalan di samping Alea, berusaha menyamakan langkah, senyumnya kembali terpasang manis, tapi penuh perhitungan. "Justru karena itu aku mengajakmu belanja" katanya ringan. "Kita kan pasti terlibat dalam acara itu, Penampilan juga bagian dari citra, bukan?" Alea tidak langsung menjawab. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya tertinggal beberapa langkah di belakang pada Luna yang barusan lewat dengan kepala tegak dan mata setenang permukaan danau. Citra. Kata itu berputar di kepalanya. "Clarissa," ucap Alea akhirnya, nadanya datar. "Kami terlalu sibuk memikirkan siapa yang pantas dan tidak pantas" Clarissa tertawa kecil. "Itu realita, Alea. Dunia ini memang seperti itu, Kamu sendiri tahu" Alea berhenti melangkah. Clarissa refleks ikut berhenti, mena
Keesokan harinya, seluruh siswa berkumpul di depan papan pengumuman utama sekolah. Sebuah pengumuman besar terpampang jelas di sana acara tahunan perayaan berdirinya sekolah akan diselenggarakan pada minggu depan. Nama acara itu tercetak dengan huruf emas yang mencolok, dikelilingi lambang sekolah yang megah. Seketika, bisik bisik memenuhi udara. Wajah wajah penuh antusias bercampur dengan rasa penasaran, karena semua tahu perayaan ini bukan sekadar seremoni biasa. Perayaan berdirinya sekolah selalu menjadi acara paling di tunggu setiap tahunnya. Para pewaris keluarga konglomerat, bangsawan, dan tokoh berpengaruh akan hadir. Aula utama akan diubah menjadi ballroom mewah, dan setiap kelas diwajibkan berpartisipasi dalam rangkaian acara yang telah di siapkan oleh pihak sekolah. Di bagian bawah pengumuman, tercantum kalimat yang membuat suasana semakin riuh "Pemilihan perwakilan siswa dan pasangan kehormatan akan diumumkan tiga hari lagi" Beberapa siswa menahan napas, s







