Ini tidak mungkin! Jiwa mereka tertukar? Mereka berdua masih bergeming kaku menatap cermin. Lalu, keduanya menoleh dan saling berpandangan. Masih saja diam, mengamati tubuh masing-masing.
“ARGH!”
Mereka kembali berteriak bersama-sama, sebelum akhirnya keluar dari kamar mandi dan menuju kamar Pen. Dalam keadaan panik, mereka berjalan mondar-mandir sambil memegang kepala, dan menghentikan langkah bersamaan. Saling menatap dan menggelengkan kepala masih tak percaya.
“Ini tidak mungkin. Kenapa jiwa kita bertukar?” tanya Pen sembari menarik napas berusaha menenangkan dirinya.
“Ah, dadaku besar. Pen, kau ternyata seksi.” Ana tersenyum memegang kedua aset Pen yang menggunung sambil menatap cermin di atas kaca rias. Pen melotot, lalu berjalan mendekati anaknya.
“Hentikan itu,” ucapnya sembari menampis tangan Ana.
Pen memikirkan sebuah cara untuk mengatasi hal ini. Selang beberapa menit, dia menuju almari dan mengambil pakaiannya. Setelan kemeja putih dan rok kain selutut berwarna hitam yang sering dia gunakan saat bekerja. Pen bekerja sebagai kepala marketing di sebuah perusahaan yang menjual kue dengan merk terkenal. Tanpa berpikir lagi, setelan itu segera dia berikan kepada Ana. “Pakai! Waktu kita sedikit,” ucapnya tegas.
“Santai aja kali,” balas Ana yang tidak dihiraukan Pen. Dia membantu Ana untuk memakai setelan itu.
“Pen, kamu mau apa?!” teriak Ana saat sang ibu menariknya menuju kursi di depan kaca rias dan mendudukkannya.
“Kau akan bekerja. Ibu tidak mau gagal, gara-gara masalah konyol ini. Yang terpenting, sekarang apa pun identitas kita, akan kita jalani."
Dia mengambil alat make up dan mendandani Ana seperti yang dia lakukan setiap hari. Gadis itu tak percaya ibunya sangat cantik setelah memberikan sedikit polesan di wajahnya. Dia gengsi untuk mengakui. Hatinya masih sangat marah karena Pen tidak juga membuka mulut tentang ayah kandungnya.
“Sudah,” ucap Pen masih dengan gemetar. “Ana, sekarang kau akan menjadi Ibu di tempat kerja. Nanti Tante Mawar yang akan menuntunmu. Bilang saja kau jatuh dan terbentur, lalu sedikit amnesia." Tentu saja hal itu yang harus Pen lakukan. Dia segera mengambil ponselnya, dan memberi pesan kepada Mawar sahabatnya.
“Jadi ... Ibu akan bersekolah?” Ana berkata dengan mengernyit. “Ah ... gawat,” imbuhnya sambil menghela napas. Dia khawatir Pen akan tahu bagaimana pergaulannya di sekolah.
“Kenapa? Ah, kau sangat nakal di sekolah. Ibu pasti akan sangat malu.” Pen keluar kamar sambil menggerutu. Ana mengikuti sang ibu, sampai mereka masuk ke dalam kamarnya. Pen segera membuka almari dan memakai seragam sekolah milik Ana.
“Jangan merusak reputasi Ibu di kantor. Lakukan tugas Ibu dengan baik,” lanjut Pen masih gemetar sambil menyerahkan ponselnya kepada Ana. “Kita akan bertukar ponsel,” imbuhnya.
“Ah, ini menyebalkan.” Dengan berat hati Ana juga memberikan ponselnya kepada Pen. Namun, selang beberapa menit, Ana mengingat sesuatu yang sangat penting.
“Hmm, ini suatu keberuntunganku. Memang ini takdir. Aku akan menanyakan tentang Ayah kepada Tante Mawar,” batin Ana dengan tersenyum. Pen mengerutkan kedua alisnya saat memandang ekspresi sang anak.
“Jangan pernah berpikiran macam-macam,” ucap Pen pelan dengan telunjuk mengarah tepat di wajah Ana. “Ayo,” lanjutnya sambil menarik lengan Ana.
Pen berjalan dengan kebingungan saat keluar dari apartemen diikuti Ana yang sangat santai berjalan. Mereka tinggal di lantai tiga. Pen masih tak percaya dengan semua yang terjadi.
“Ah, ini sangat buruk,” gumamnya sembari menggeleng kemudian masuk ke dalam mobil dan segera memasang sabuk pengaman.
Pen segera melaju kencang, hingga sampai dalam sekejap di tujuan. Pen berhenti di sebuah cafe yang terletak di seberang kantornya. Dia bersama Mawar harus bertemu klien yang akan memesan kue tart seharga ratusan juta untuk pernikahan akbar. Pen sangat cemas. Kepala Manajer mempercayakan hal besar itu kepadanya. Jika gagal, semuanya akan mempengaruhi karier Pen untuk naik jabatan sebagai wakil kepala Manajer.
“Aku akan hancur jika gagal,” gumamnya lemas. Dia mengatur hati, sebelum akhirnya menatap Ana yang masih memandang sekitar. “Aku sangat mengandalkanmu, Ana. Kau diam saja, dan ikuti Tante Mawar. Apa kau mengerti?” lanjut Pen dengan pandangan tegas.
“Ya, aku mengerti. Bisakah aku turun?” Ana membuka pintu saat Pen menganggukkan kepala. Dia hanya ingin bertemu Mawar dan menanyakan tentang ayahnya.
“Ana!” teriak Pen menghentikan langkah anaknya. “Bantu ibumu.” Pen menatap sayu, lalu segera pergi dari sana saat tahu Mawar melotot melihatnya mengemudi.
“Pen, kok Ana mengemudi? Dia kan, belum punya sim,” ucap Mawar masih menunjuk mobil Pen sampai berlalu.
“Halo, Tante. Lama gak ketemu.”
Mawar semakin tidak mengerti. Sang sahabat memanggilnya Tante? Dia segera mendekati Ana yang masih berada di dalam tubuh Pen, kemudian menepuk jidatnya.
“Kamu gak panas. Tapi, apa memang amnesia?" ucapnya dengan kedua alis mengerut dalam.
Ana menelan ludah dengan susah payah. Dia lupa, jika dirinya adalah Pen!
“Maafkan aku. Ya, aku sangat lelah. Baiklah, kita masuk saja,” balas Ana dengan gugup. Dia segera masuk ke dalam cafe itu dengan terburu-buru. Namun, langkahnya terhenti. Ana kebingungan harus duduk di mana. Dengan meringis, dia menatap Mawar yang seketika mengernyitkan kedua alisnya. “Kita duduk di mana?”
“Jangan katakan, kau juga lupa di mana tempat duduk yang sudah kau pesan khusus.” Mawar menatap sambil bersedekap. Sementara, Ana meringis dan menganggukkan kepala.
Mawar menarik napas panjang, kemudian menggeleng, “sudah aku duga.” Mawar melangkah cepat menuju meja tepat di sebelah jendela. Dia duduk, masih mengawasi sahabatnya yang tiba-tiba berubah.
“Tante, eh ... maksud aku, Mawar. Aku langsung saja, ya. Karena, ini membuatku sangat penasaran. Siapa ayah anakku?”
Spontan Mawar semakin melotot. Mengangkat kedua tangannya sambil menganga saking terkejutnya. Dia sangat heran. Pen tidak akan pernah lupa dengan lelaki yang sudah dia tinggalkan itu. Tapi, kenapa sekarang seakan lupa?
“Kau ... sangat gila,” ucapnya kembali menggeleng. Mawar mencondongkan wajahnya tepat ke arah Ana yang masih menunggu dia mengatakan sebuah nama.
“Kenapa kau lupa dengan mantan suamimu yang berengsek itu? Padahal, setiap hari kau selalu memakinya,” lanjutnya kemudian berdiri sambil berkacak pinggang. “Raden Anggara Mangkunegara ... sangat ... berengsek. Aku akan menghabisinya. Ya, itu yang selalu kau katakan setiap hari. Dan ... sekarang kau lupa?” Mawar semakin menatap sang sahabat sambil mengangkat salah satu alisnya.
Bagai tersambar petir di siang bolong. Ana menatap kaku Mawar saat mendengar nama sosok yang ternyata ayahnya. Sebuah nama yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, walau dalam mimpi.
“Jadi ...,” balas Ana dengan napas yang tiba-tiba sesak. Dia tak percaya dengan kenyataan yang dia dengar barusan. Jantungnya berdetak lebih hebat dari sebelumnya.
“Aku, adalah ... anak kandung lelaki miliyuner yang memiliki kekayaan tanpa batas itu? Yang sering aku lihat di televisi, pewaris utama keturunan bangsawan keraton?” tanya Ana memastikan, seraya menatap Mawar yang bergeming kaku mendengar pertanyaannya.
“Jadi ... aku anak dari lelaki yang memiliki puluhan perusahaan terbesar di negara ini?” lanjut Ana spontan berdiri. Dia masih tidak bisa bergerak, hingga selang beberapa detik, “argh!” teriaknya keras menggelegar, mengejutkan semua pelanggan!
“Aku pewaris utama?!”
“Kau sudah gila, Pen!”
Mawar panik! Dia meringis ke semua pelanggan yang menatapnya kesal. Dia bergegas mendekati Ana dan mendudukkannya sebelum manajer cafe mendekat. Namun, wajahnya semakin gugup ketika ada yang datang dan mengamatinya dengan tajam. Lelaki memakai jas dengan rambut klimis dan berkaca mata. “Pak Joko, silakan.” Mawar menjawab dengan menelan ludah. Pandangan tajam itu masih menyorot ke arahnya. “Pagi-pagi sudah bikin ribut saja. Memalukan,” balas lelaki itu sambil membetulkan kaca matanya yang sedikit turun ke bawah. Dia adalah asisten Anggara yang selalu mengurusi semua keperluan Raden miliyuner itu. “Pen, kamu gak marah kan? Hehe. Sebenarnya ... ini pernikahan Anggara. Aku sudah mau ngomong kemarin. Cuman ... lebih baik kamu lihat sendiri.” Mawar berbicara sangat pelan dengan perasaan cemas. Sehari sebelumnya, Kepala Manajer menemui Mawar dan mengatakan semuanya. Awalnya Mawar sangat terkejut. Apalagi, dia tahu masa lalu Pen dengan Anggara. Tapi, dia memutuskan untuk tidak mengatakan
"Kenapa dia melakukan itu? Argh!" teriak Pen kesal.Pen meremas ponsel Bambang. Satu-satunya teman Ana di sekolah. Siswa laki-laki paling pintar, namun paling gendut di sekolah."Loh, loh! Kok--," ucap Bambang terkejut ketika melihat sang sahabat membuang ponsel itu ke tempat sampah. "Wadew, berat ini." Bambang hanya menggeleng sambil menarik napas panjang.“Ana, kamu itu kenapa sih?” Bambang menarik Pen dan mengajaknya duduk di kelas. “Untung Bapak aku Manajer perusahaan Mangkunegara dan gajinya besar. Jadi, aku gak susah beli ponsel,” gerutunya sembari menatap Pen yang menundukkan kepala dengan lemas. “Ana, kamu kesurupan?” lanjut Bambang spontan mengejutkan Pen.“Apa kau tahu tadi itu apa?” tanya Pen dengan tatapan serius. “Ceritakan bagaimana kejadian tadi?” lanjutnya masih melotot tajam. Bambang menelan ludah dengan susah payah karena sang sahabat menarik kerah kemejanya, dan membuatnya tercekik. Dia tak pernah melihat Ana galak seperti itu.“Aku ... aku gak tahu. Aku ya kaget
“Hmm, ternyata ayahku super tajir melintir. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan semua ini,” batinnya masih tersenyum. “Pen, aku mau ke sana. Biarkan aku ikut mengurus anak kita,” bisiknya pelan. Anggara masih berhati-hati mengungkap itu semua. “Baiklah, kau kan bapaknya. Kita akan ke sana bersama. Bagaimana?” tanya Ana selalu tersenyum di depan Anggara yang masih saja terpaku. Oh Tuhan! Penelope sama sekali tidak pernah menganggapnya. Walaupun kadang ... Anggara sebenarnya memaksa bertemu diam-diam, namun Pen masih saja tidak akan pernah mengakui lelaki itu lagi, apalagi masa lalu mereka sangat buruk. “Pen? Kau tidak bercanda, bukan?” tanya Anggara semakin mendekat. Dia menundukkan kepala, menatap wajah wanita yang hanya sebatas pundaknya itu. Yang selalu dia bayangkan sepanjang malam. “Kalau kau tersenyum, sangat menggemaskan,” lanjut Anggara pelan dengan semringah. “Tentu saja aku sangat cantik. Baiklah, kita akan pergi,” balas Ana. Mawar yang masih berdiri tegang menatap sem
Ana mendekati Pen, lalu meringis. Sang ibu semakin melotot ke arahnya. Pen masih shock melihat lelaki itu yang sudah diberi sumpah olehnya, “dalam keadaan apa pun, jangan pernah menemui aku. Bersumpahlah,” ucapnya saat terakhir bertemu dengan Anggara. Hingga sekarang Ana membuat sumpah itu dilanggar. Walaupun saat itu Anggara memang tidak mengiyakan sumpah itu.“Ana, maafkan ibumu. Ibu harap, kau bisa menerima ayahmu kembali,” ucap Ana lalu memeluk Pen. Sang ibu mengeratkan pelukannya sampai Ana tidak bisa bernapas. Sementara, para siswa tidak segera masuk ke dalam kelas dan tetap melihat drama menghebohkan itu. Padahal, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Semua guru pun dan Kepala Sekolah masih terpaku dan penasaran. Ini benar-benar sebuah hal besar, di luar dugaan mereka.“Ana, ibumu tidak bisa bernapas,” lanjut Ana segera melerai pelukannya.“Kau!” tunjuk Pen ke arah Ana. “Kenapa kau melakukan hal itu? Sekarang juga kita harus pulang!” lanjutnya semakin berteriak.“Ana, yang sopa
Pen menginjak kaki salah satu pengawal. Membuat cengkeraman mereka terlepas. Dia segera mendekati Anggara, dan menarik jasnya.“Aku melihat sendiri persidangan itu. Kau benar-benar bercerai.”Anggara semakin tidak mengerti. Saat itu Pen masih mengandung Ana. Bagaimana mungkin Ana menanyakan itu? Dia mengangkat salah satu alisnya, semakin memandang kedua mata Ana. Anggara sangat mengenal tatapan tajam itu.“Ana ... bukankah kau saat itu belum lahir? Bagaimana kau ...”“Ah, hahaha,” sela Ana kembali menarik lengan Anggara. “Aku sudah menceritakan kepadanya. Mana mungkin ada rahasia Ibu dan anak,” lanjutnya sambil melotot tajam ke arah Pen yang kini semakin lemas.“Betul. Aku sekarang lega. Tidak ada lagi rahasia di antara kita. Pen ...,” ucap Anggara kembali menatap Ana dan memegang kedua pundaknya. “Katakan kepada anak kita kalau kita sering bertemu diam-diam,” lanjutnya membuat Ana spontan menatap Pen yang menunduk dan mengurut pelipisnya.“Tunggu!” Ana menatap Anggara sambil bersedek
Pen hanya bisa pasrah. Apa yang bisa dia lakukan melawan Anggara? Apalagi, Ana melompat kegirangan saat mendengar. Dengan lemas Pen berjalan masuk ke dalam loby. “Hah?” Dia semakin terkejut saat melihat puluhan pengawal Raden berada di dalam dan menundukkan kepala.“Aku lupa sudah berhubungan dengan Bos, dari semua Bos yang ada,” gumamnya pelan sembari melihat Ana sangat mesra bergandengan tangan dengan Anggara saat memasuki apartemen. “Ini sangat kacau. Aku harus berubah kembali menjadi diriku. Tapi, bagaimana caranya?”Pen yang semula menatap kaku, tiba-tiba tersenyum ketika melihat Anggara sangat mesra dengan dirinya yang masih dihuni Ana. Dia mengingat masa lalu yang sangat indah walaupun hanya sejenak saja.“Tidak! Aku tidak akan pernah lengah.” Pen menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya lagi. Dia segera mendekati Anggara dan menampis tangan lelaki itu yang masih mencengkeram tangan Ana.“Anakku, kau tidak bisa begitu dengan ayahmu,” ucap Ana sembari meringis.“Kau!” tu
Ana tertegun melihat Anggara keluar dengan menggunakan jas mahal. Dia selama ini tidak pernah membayangkan akan bertemu ayahnya. Ternyata seorang pria gagah dan super tajir. Sangat berwibawa sekali. Ana sebenarnya hanya ingin sosok ayah yang bisa membuatnya hangat. Bisa melindunginya. Kehidupan keras membuat dia tidak tahan dengan keadaan. Apalagi sang ibu harus berjuang sendiri menghidupinya. Hingga kini dia sangat lega, sang ayah mau menerimanya. Yang paling penting, masih mencintai ibunya.Selama ini Ana hanya bisa melihat Anggara berada di media sosial dengan semua kekayaan dan aset yang dimilikinya. Kini Ana bisa tersenyum melihat sosok ayahnya dengan jelas. Anggara pun menatap Ana yang masih dia kira Pen. Membelai pipi Pen yang selama ini dia rindukan. "Pen, kau cantik sekali," ucap Aggara pelan.Ana menerima belaian itu, karena dia selama ini tidak pernah menerima kehangatan sosok ayah. Tapi, wajah Anggara semakin mendekat seperti sebelumnya.DEG!"Adew, gak lucu Ayah menciumk
Ana spontan menutup kedua matanya. Tamparan keras akan melayang ke pipinya. Namun, kenapa dia tidak merasakan apa pun? Kedua mata Ana yang semula memejam sangat kuat, kini perlahan terbuka. Dia semakin tak percaya. Anggara dengan cepat menampis tangan Gracia yang semula akan menampar ke arahnya, malah mendarat di pipi Joko. Gracia adalah anak seorang Walikota. Dia sangat kaya. Keluarganya disegani semua orang. Namun, justru itu semua membuat Gracia berbesar kepala. Wanita sangat angkuh dan ingin selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah menghargai orang lain. Tapi, siapa yang berani kepadanya. Semua orang hanya terdiam ketika mendapatkan amarahnya yang sewenang-wenang. Tujuh belas tahun lalu, dia ketika itu masih sangat remaja, menyukai Anggara saat pertama kali bertemu di acara perayaan ulang tahun Romo ayah kandung Anggara. Ayahnya adalah sahabat dekat Romo. Gracia sejak itu berusaha keras, ingin merebut hati Anggara. Hingga dia terkejut Anggara mengalami kejadian malam tak terdug