"Kenapa dia melakukan itu? Argh!" teriak Pen kesal.
Pen meremas ponsel Bambang. Satu-satunya teman Ana di sekolah. Siswa laki-laki paling pintar, namun paling gendut di sekolah.
"Loh, loh! Kok--," ucap Bambang terkejut ketika melihat sang sahabat membuang ponsel itu ke tempat sampah. "Wadew, berat ini." Bambang hanya menggeleng sambil menarik napas panjang.
“Ana, kamu itu kenapa sih?” Bambang menarik Pen dan mengajaknya duduk di kelas. “Untung Bapak aku Manajer perusahaan Mangkunegara dan gajinya besar. Jadi, aku gak susah beli ponsel,” gerutunya sembari menatap Pen yang menundukkan kepala dengan lemas. “Ana, kamu kesurupan?” lanjut Bambang spontan mengejutkan Pen.
“Apa kau tahu tadi itu apa?” tanya Pen dengan tatapan serius. “Ceritakan bagaimana kejadian tadi?” lanjutnya masih melotot tajam. Bambang menelan ludah dengan susah payah karena sang sahabat menarik kerah kemejanya, dan membuatnya tercekik. Dia tak pernah melihat Ana galak seperti itu.
“Aku ... aku gak tahu. Aku ya kaget saja. Kenapa ibumu sampai memeluk Raden itu?” balas Bambang gugup.
PLAK! PLAK!
Pen terkejut ada yang memukul kepala Ana dari belakang, sampai terjedut ujung meja hingga merah. Dia semakin melotot saat melihat tiga siswi dengan tertawa berada di hadapannya. Salah satunya mengunyah permen karet, lalu menempelkan permen itu di rambut Ana.
“Ternyata ibumu itu ... pelakor? Hahaha. Selama ini kau selalu membela ibumu adalah wanita hebat. Buktinya apa? Dia memeluk pamanku. Dasar pelakor!”
PLAK! PLAK!
Beberapa tamparan melayang di pipi Ana hingga membekas merah. Parahnya, Pen tak percaya ketika melihat bangku Ana. Banyak sekali kalimat tertulis mengejek dirinya. Pen yakin, itu semua adalah ulah semua siswa yang merudung Ana.
“Kurang ajar!” teriak Pen.
BRAK!
Dia menggebrak meja. Mengejutkan semua siswa yang berada di dalam. Tiga siswi yang masih saja membully Ana sangat marah karena terkejut. Salah satunya yang merupakan pemimpin dari mereka, mendekat dan menjambak rambut Ana.
“Kau tahu aku kan? Siswi tercantik dan terkaya di sini. Aku anak dari adik Raden Mangkunegara. Jangan pernah berani melakukan itu, karena aku akan menghabisimu!” Gadis itu yang bernama Amel, semakin meremas rambut Ana. Pen yang masih berada di dalam tubuh anaknya semakin geram. Keluarga Mangkunegara adalah musuhnya. Dia akan selalu mengingat perlakuan buruk yang dilakukan keluarga miliyuner itu kepadanya!
“Jangan pernah menyentuhku!” balas Pen. Dia menarik kuat tangan gadis itu yang masih meremas rambut Ana. Pen semakin menarik tangan gadis itu, dan kini dia yang menjambaknya. Siswa lain yang melihat hal itu tentu saja terkejut. Bambang spontan berdiri dan malah bertepuk tangan.
“Ana, habisi mereka!” teriaknya yang diikuti semua siswa.
Amel adalah gadis penguasa di sana. Gadis itu selalu membully Ana. Pen semakin menjambak, lalu mendorong gadis itu sampai tersungkur ke lantai.
“Kurang ajar!” Amel segera berdiri dibantu dua temannya. “Aku akan membalasmu!” Gadis itu tak menyerah. Dia mengambil buku di atas meja dan melemparkan ke arah Pen. Dengan sigap Pen menangkapnya. Pen akan membalasnya. Dia segera melempar kembali buku itu ke arah Amel. Namun, seorang pemuda super tampan menangkapnya.
“Gadis bodoh!” Pemuda itu mendekati Pen dan menatap tajam. “Kau jangan berulah. Apa kau lupa saat berada di gudang? Jangan memaksa aku untuk mengulanginya.”
Ternyata Ana sangat sengsara di sekolah. Tanpa Pen sadar, sang anak mendapat perudungan yang sangat mengerikan.
“Sekarang minta maaf kepadanya.”
Pemuda itu menarik Pen dengan mendadak. Dengan kuat Pen menahannya. Dia semakin mengepalkan kedua tangannya. Pen tidak akan pernah memaafkan siapa pun melukai Ana.
“Aku tidak akan memaafkan kalian!"
Pen mengambil buku yang berada di atas meja tepat di sebelahnya. Menendang pemuda itu, lalu memukulkan buku tebal yang dia genggam mengarah kepala pemuda itu berkali-kali.
Saat pemuda itu akan membalas, spontan Pen menendangnya sekali lagi. Dia memukul pemuda itu seperti orang kesurupan.
Bambang dan lainnya semakin berteriak mendukung Pen menghabisi murid terkuat itu, "Ana kau hebat! Lanjutkan!"
“Apa-apa’an ini?” Seorang guru pria masuk ke dalam. Tak percaya melihat ruangan kelas sangat berantakan. Dia menarik Pen, namun justru mendapat tendangan Pen dan malah tersungkur.
“Aduh, wonder women,” gumam Bambang sembari menutup mulut dengan kelima jemarinya diikuti semua siswa yang terkejut melihat. "Gawat ini." Bambang segera mendekati Pen. Berusaha menahan sahabatnya itu dari amarah yang sudah meluap seperti gunung meletus.
“Ana, sudah. Kamu bisa kena hukuman. Gak lucu kalau ibumu dipanggil nanti. Kamu tahu kan, Mak Lampir kalau marah.” Bambang berhasil membuat Pen melepaskan pemuda itu.
“Mak Lampir?” tanya Pen melotot ke arah Bambang. Dia tak percaya Ana memberi julukan seperti itu kepadanya.
Napas Pen masih terengah-engah. Dia puas bisa menghajar semua siswa yang membully Ana. Tapi, Pen mendadak lemas. Dia merasa sangat bersalah. Perlahan Pen kembali duduk di bangku Ana, lalu menangis. Pen merasa gagal menjadi seorang ibu.
“Kalian semua ke kantor!” teriak guru laki-laki yang semula terkena pukulan Pen. Wajahnya sangat merah. Dengan melotot, dia menunjuk Pen, Amel, dan pemuda itu. Mereka akhirnya menuju kantor guru.
“Aku akan menghubungi orang tua kalian. Anak kok urakan seperti itu. Ana, kamu itu sudah gak pernah mengerjakan tugas, membolos, lha kok sekarang malah tawuran. Mau jadi apa kamu?” Guru bimbingan konseling itu menggeleng dengan kesal. Dia segera menghubungi ponsel Pen yang sekarang dipegang Ana. Sementara, pemuda di sebelah Pen malah menatapnya tanpa malu. Amel yang menaruh rasa kepada pemuda itu semakin geram.
“Kau, sangat seksi,” ucap pemuda itu tersenyum.
“Apa?” Pen semakin tak percaya melihat pemuda itu menatap dan bersemu.
**
Kehebohan di kantor Mangkunegara masih saja tidak bisa diredakan. Awak media masih meliput pertunjukan menarik di sana. Anggara semakin berdebar, ketika Pen wanita yang diam-diam selalu dirindukannya itu, masih saja memeluknya dengan erat dan menangis.
“Pen, apa ini benar-benar dirimu?” tanya Anggara membalas pelukan itu tak peduli semua orang mengabadikan dan merekam dirinya.
“Aku sangat merindukanmu,” balas Ana masih menangis.
“Aku ... aku juga.” Anggara tersenyum sembari menahan debaran ketika mendengar perkataan Ana barusan yang dia pikir Pen.
Sepanjang tahun Anggara tak pernah melupakan sosok Pen. Satu-satunya wanita yang sangat dia cintai. Namun, karena sebuah surat dan rekaman yang saat itu Pen terima, hubungan mereka berubah menjadi sangat buruk.
Pelukan itu mendadak terurai saat Ana terkejut ponsel Pen berdering. Dia segera merogoh ponsel itu di kantong roknya sebelah kanan dan menerimanya. Ana terkejut melihat gurunya tiba-tiba menghubungi. Ana segera menerimanya.
“Halo, saya Ibu Ana,” ucapnya sambil meringis ke arah ayahnya. “Apa? Baik, saya ke sana.” Ana buru-buru menutup ponsel saat mendengar dia harus ke sekolah karena Pen menghajar murid terkuat di sana.
“Maaf, aku harus pergi.”
“Pen!” Anggara menarik lengan Ana saat akan meninggalkannya. Ana menghentikan langkah dan terkejut. “Apa ini ada hubungannya dengan anak kita? Aku bapaknya dan ini tidak akan aku sembunyikan lagi. Jangan menghalangiku, Pen.”
Ana terdiam kaku saat mendengar ucapan ayahnya. Ternyata selama ini keberadaannya dirahasiakan? Ana masih menatap ayahnya dan berpikir. Hingga selang beberapa menit, dia tersenyum dan, “aku akan menjadi sangat terkenal kalau semua anak menyebalkan itu mengetahui aku adalah anak miliyuner,” batinnya sembari meringis.
“Hmm, ternyata ayahku super tajir melintir. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan semua ini,” batinnya masih tersenyum. “Pen, aku mau ke sana. Biarkan aku ikut mengurus anak kita,” bisiknya pelan. Anggara masih berhati-hati mengungkap itu semua. “Baiklah, kau kan bapaknya. Kita akan ke sana bersama. Bagaimana?” tanya Ana selalu tersenyum di depan Anggara yang masih saja terpaku. Oh Tuhan! Penelope sama sekali tidak pernah menganggapnya. Walaupun kadang ... Anggara sebenarnya memaksa bertemu diam-diam, namun Pen masih saja tidak akan pernah mengakui lelaki itu lagi, apalagi masa lalu mereka sangat buruk. “Pen? Kau tidak bercanda, bukan?” tanya Anggara semakin mendekat. Dia menundukkan kepala, menatap wajah wanita yang hanya sebatas pundaknya itu. Yang selalu dia bayangkan sepanjang malam. “Kalau kau tersenyum, sangat menggemaskan,” lanjut Anggara pelan dengan semringah. “Tentu saja aku sangat cantik. Baiklah, kita akan pergi,” balas Ana. Mawar yang masih berdiri tegang menatap sem
Ana mendekati Pen, lalu meringis. Sang ibu semakin melotot ke arahnya. Pen masih shock melihat lelaki itu yang sudah diberi sumpah olehnya, “dalam keadaan apa pun, jangan pernah menemui aku. Bersumpahlah,” ucapnya saat terakhir bertemu dengan Anggara. Hingga sekarang Ana membuat sumpah itu dilanggar. Walaupun saat itu Anggara memang tidak mengiyakan sumpah itu.“Ana, maafkan ibumu. Ibu harap, kau bisa menerima ayahmu kembali,” ucap Ana lalu memeluk Pen. Sang ibu mengeratkan pelukannya sampai Ana tidak bisa bernapas. Sementara, para siswa tidak segera masuk ke dalam kelas dan tetap melihat drama menghebohkan itu. Padahal, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Semua guru pun dan Kepala Sekolah masih terpaku dan penasaran. Ini benar-benar sebuah hal besar, di luar dugaan mereka.“Ana, ibumu tidak bisa bernapas,” lanjut Ana segera melerai pelukannya.“Kau!” tunjuk Pen ke arah Ana. “Kenapa kau melakukan hal itu? Sekarang juga kita harus pulang!” lanjutnya semakin berteriak.“Ana, yang sopa
Pen menginjak kaki salah satu pengawal. Membuat cengkeraman mereka terlepas. Dia segera mendekati Anggara, dan menarik jasnya.“Aku melihat sendiri persidangan itu. Kau benar-benar bercerai.”Anggara semakin tidak mengerti. Saat itu Pen masih mengandung Ana. Bagaimana mungkin Ana menanyakan itu? Dia mengangkat salah satu alisnya, semakin memandang kedua mata Ana. Anggara sangat mengenal tatapan tajam itu.“Ana ... bukankah kau saat itu belum lahir? Bagaimana kau ...”“Ah, hahaha,” sela Ana kembali menarik lengan Anggara. “Aku sudah menceritakan kepadanya. Mana mungkin ada rahasia Ibu dan anak,” lanjutnya sambil melotot tajam ke arah Pen yang kini semakin lemas.“Betul. Aku sekarang lega. Tidak ada lagi rahasia di antara kita. Pen ...,” ucap Anggara kembali menatap Ana dan memegang kedua pundaknya. “Katakan kepada anak kita kalau kita sering bertemu diam-diam,” lanjutnya membuat Ana spontan menatap Pen yang menunduk dan mengurut pelipisnya.“Tunggu!” Ana menatap Anggara sambil bersedek
Pen hanya bisa pasrah. Apa yang bisa dia lakukan melawan Anggara? Apalagi, Ana melompat kegirangan saat mendengar. Dengan lemas Pen berjalan masuk ke dalam loby. “Hah?” Dia semakin terkejut saat melihat puluhan pengawal Raden berada di dalam dan menundukkan kepala.“Aku lupa sudah berhubungan dengan Bos, dari semua Bos yang ada,” gumamnya pelan sembari melihat Ana sangat mesra bergandengan tangan dengan Anggara saat memasuki apartemen. “Ini sangat kacau. Aku harus berubah kembali menjadi diriku. Tapi, bagaimana caranya?”Pen yang semula menatap kaku, tiba-tiba tersenyum ketika melihat Anggara sangat mesra dengan dirinya yang masih dihuni Ana. Dia mengingat masa lalu yang sangat indah walaupun hanya sejenak saja.“Tidak! Aku tidak akan pernah lengah.” Pen menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya lagi. Dia segera mendekati Anggara dan menampis tangan lelaki itu yang masih mencengkeram tangan Ana.“Anakku, kau tidak bisa begitu dengan ayahmu,” ucap Ana sembari meringis.“Kau!” tu
Ana tertegun melihat Anggara keluar dengan menggunakan jas mahal. Dia selama ini tidak pernah membayangkan akan bertemu ayahnya. Ternyata seorang pria gagah dan super tajir. Sangat berwibawa sekali. Ana sebenarnya hanya ingin sosok ayah yang bisa membuatnya hangat. Bisa melindunginya. Kehidupan keras membuat dia tidak tahan dengan keadaan. Apalagi sang ibu harus berjuang sendiri menghidupinya. Hingga kini dia sangat lega, sang ayah mau menerimanya. Yang paling penting, masih mencintai ibunya.Selama ini Ana hanya bisa melihat Anggara berada di media sosial dengan semua kekayaan dan aset yang dimilikinya. Kini Ana bisa tersenyum melihat sosok ayahnya dengan jelas. Anggara pun menatap Ana yang masih dia kira Pen. Membelai pipi Pen yang selama ini dia rindukan. "Pen, kau cantik sekali," ucap Aggara pelan.Ana menerima belaian itu, karena dia selama ini tidak pernah menerima kehangatan sosok ayah. Tapi, wajah Anggara semakin mendekat seperti sebelumnya.DEG!"Adew, gak lucu Ayah menciumk
Ana spontan menutup kedua matanya. Tamparan keras akan melayang ke pipinya. Namun, kenapa dia tidak merasakan apa pun? Kedua mata Ana yang semula memejam sangat kuat, kini perlahan terbuka. Dia semakin tak percaya. Anggara dengan cepat menampis tangan Gracia yang semula akan menampar ke arahnya, malah mendarat di pipi Joko. Gracia adalah anak seorang Walikota. Dia sangat kaya. Keluarganya disegani semua orang. Namun, justru itu semua membuat Gracia berbesar kepala. Wanita sangat angkuh dan ingin selalu menjadi yang terbaik. Tidak pernah menghargai orang lain. Tapi, siapa yang berani kepadanya. Semua orang hanya terdiam ketika mendapatkan amarahnya yang sewenang-wenang. Tujuh belas tahun lalu, dia ketika itu masih sangat remaja, menyukai Anggara saat pertama kali bertemu di acara perayaan ulang tahun Romo ayah kandung Anggara. Ayahnya adalah sahabat dekat Romo. Gracia sejak itu berusaha keras, ingin merebut hati Anggara. Hingga dia terkejut Anggara mengalami kejadian malam tak terdug
Joko semakin menatap Ana dengan tajam. Dia tidak mengerti dengan semuanya. Tapi, dia sangat penasaran. "Sebentar. Kamu tadi manggil dirimu sendiri, Ana. Lalu, manggil Raden, ayahku. Kenopo iki? Aku kok bingung." Joko segera mengunci pintu ruangan. Dia bergegas duduk kembali di hadapan Ana. Joko selama ini selalu mendampingi Anggara sejak Raden itu remaja. Joko adalah adik dari Kepala Manajer perusahaan ayah Bambang sahabat Ana. Dia mendapatkan tawaran untuk menjaga Anggara setelah menjadi lulusan terbaik di salah satu universitas Jakarta dengan bayaran sangat mahal. Apalagi, Joko sangat pintar, yang mengajarkan Anggara semuanya sampai Raden bisa hebat seperti ini. Anggara tidak bisa hidup tanpa Joko. Dia sangat menyayangi Anggara seperti adiknya sendiri. Hingga Anggara harus menjalani masalah rumit tujuh belas tahun lalu. Joko sebagai saksi semua rahasia Anggara dan Pen. Sepanjang malam Ana memang sudah memikirkan ini dengan sangat matang. Hanya Joko yang bisa membantunya. "Kamu t
Ana semakin panik. Pen berteriak keras saat menghubunginya. Tapi, Ana malah melompat kegirangan. Dia tertawa sambil membayangkan semua temannya pasti akan menganggap dia keren. "Ah, pasti Amel si genit dan kemayu itu terkaget-kaget. Ana, kau kurang ajar sekali. Hahaha," batinnya sambil menirukan gaya bicara Amel. Ana tidak sadar semua yang masuk ke dalam toilet memperhatikannya. Dia meringis sambil merapikan rambutnya. Keluar sambil berjalan dengan percaya diri. Dia lupa jika Gracia masih mengejarnya."Kau!" tunjuk Gracia segera mendekati Ana."Ah, aku lupa ama mahkluk satu ini," gumamnya semakin membuat Gracia geram. Wanita itu seperti biasanya akan menampar Ana. Plak!"Rasakan," ucap Gracia puas. "Kau belum tahu berhadapan dengan siapa, wanita murahan," lanjut Gracia tersenyum puas. Dia berkacak pinggang sambil menginjak tubuh Pen yang tersungkur di lantai."Gracia!" teriak Anggara keras. Wanita itu mendadak menolehkan pandangan ke belakang. Tangan yang semula ada di pinggang rampin