Bulan berganti, kehidupan berjalan normal. Kanti duduk di sofa ruang TV, perutnya sudah tampak semakin besar, Tara yang duduk di sebelahnya hanya fokus pada artikel online yang sedang serius ia baca.
"Tara, aku mau lahiran secar nanti, ya." Kanti meraih telapak tangan Tara, ia tempelkan di perutnya.
"Kenapa nggak normal?" Tara menatap Kanti.
"Takut nyeri," jawabnya santai sambil terkekeh. Ibu yang berjalan dari arah dapur sambil membawa nampan berisi susu hamil untuk Kanti ikut berkomentar.
"Normal aja, Kanti, perempuan udah wayahnya lahiran normal. Kalau nggak normal tuh, kayak belum sempurna jadi seorang Ibu," sambung ibu. Kantin hanya tersenyum sambil meminum susu.
"Butik kamu gimana? Banyak artis yang datang, ya?" Wajah ibu begitu bersemangat. Kanti mengangguk, ia meletakkan gelas berisi susu yang masih setengah ke atas meja.
"Iya, Bu. Makany
Dena merapikan hijab yang ia kenakan, sementara Adim duduk sambil menatap pantulan diri istrinya pada cermin."Kenapa lihatinnya gitu?" Tatapan Dena bertemu dengan sorot mata suaminya. Ia memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Adim."Udah buncit perutnya." Bibir Adim melengkungkan senyuman."Belum, Mas, baru masuk sebelas minggu. Nanti kalau dicek USG juga belum kelihatan jelas." Dena lalu berjalan ke lemari, mengambil tas yang akan ia bawa."Cewek kayaknya, nih," tukas Adim sembari beranjak, ia lalu mengusap perut Dena. Tangan Dena mengusap rambut lurus lebat suaminya."Cewek cowok sama aja, yang penting sehat, sempurna, selamat," ucapan Dena membuat Adim b
Suara bayi begitu menangis kencang, membuat Tara yang baru terlelap sebentar harus bangun. Ia menoleh ke samping, Kanti pulas tertidur, mengabaikan tangis putranya yang tali pusarnya bahkan masih belum lepas.Decakan Tara tak berarti apa pun, seminggu sudah usia putra mereka, seminggu pula Tara harus bangun di tengah malam karena tangisan putranya yang haus. Ia berjalan ke box bayi, menatap wajah putranya yang memerah menangis kencang begitu kuat. Segera ia menggendong, mencoba menenangkan tapi tak kunjung reda tangisnya.Tara membawa keluar kamar, bayi bernama Ibnu itu masih menangis kencang. Pintu kamar orang tuanya terbuka, ibu terbangun, wajahnya begitu lelah karena membantu Kanti mencuci pakaian bayi, mereka tak pakai pembantu, karena Tara tak mampu membayar. Lho... kok bisa?
Yogyakarta.Pria dan wanita itu saling memeluk erat, keduanya menangis melepas rindu yang menggebu. "Jahat banget, ngilang nggak ada kabar," lirih Argi yang cengeng jika bersama Sera, kakak perempuan yang nomor tiga. Ia seorang polisi wanita, ditempatkan jauh dari kota, karena ia bertugas menjaga perbatasan. Satu-satunya wanita yang berani dalam mengambil resiko dalam pekerjaannya."Maaf, Gi, tau sendiri Kakak di daerah rawan konflik, tapi sekarang, nggak lagi, Kakak dipindahin ke sini, kita jadi bisa bareng," ucap Sera sembari menangkup wajah Argi yang sudah belerka. Terakhir Sera bertemu juga komunikasi, hampir tiga tahun lalu, bahkan saat pernikahan Tara dan Dena, ia tak hadir karena baru berangkat."Kakak mau sekolah lagi, kali ini mau coba untuk ikut tes bua
Tara dan Syifa kompak menyeka tubuh ibunya yang baru saja sadar setelah dua hari tak sadarkan diri, tapi masih tak bisa bergerak, sebelah kanan tubuhnya yang terkena stroke, dokter pun bilang, karena usia ibu sudah enam puluh tahunan, akan susah untuk kembali beraktifitas normal dan terapi jadi jalan satu-satunya selain obat penunjang. Kedua mata ibu terbuka, menatap bergantian dua anaknya itu. Bibir ibu masih terkatup, tak bisa bicara, butuh waktu untuk bisa kembali bicara tapi lagi-lagi, perlahan.Tangan Syifa diremas ibu dengan tangan kirinya. "Ibu cari siapa? Bapak?" tanya Syifa. Ibu mengangguk."Bapak sama Ibnu, Bu," jawab Tara. Ibu lalu menangis. Syifa akhirnya paham, ia meminta Tara yang berada di rumah sakit bersama Ibnu, dan bapak di sini bersama Syifa yang cuti kerja demi merawat ibunya.
Wanita tua itu hanya bisa diam sambil menatap semua anaknya berkumpul, termasuk Sofia. Ruang rawat kelas 1 rumah sakit khusus otak itu terisi keluarga mereka. Stroke yang diderita ibu membuat tubuh sebelah kanannya tak bisa digerakan. Pun, masih belum bisa bicara lancar, atau jadi pelo istilah awamnya. Bapak mengusap kepala istrinya, tanpa senyuman, hanya tatapan lekat yang jelas sekali ibu tau apa arti tatapan itu.Sofia duduk di kursi yang ia letakkan tepat di sebelag ranjang. "Sofia... akan cerai, sama Mas Beny, Bu," ucapannya memecah keheningan. Air mata ibu tumpah, Tara yang setelah rapat segera kembali ke rumah sakit, hanya bisa berdecak sebal.'Bisa-bisanya Kak Sofia bilang hal itu sekarang. Gimana nih orang.' geram Tara dalam hati."Sofia. Harusnya jangan sekaran
Tara diam, mendengar lagi suara Dena membuatnya membeku di tempat. Ia begitu merindukan suara itu, dakam lubuk hati terdalamnya, penyesal tumbuh subur dan itu sangat menyiksa."Dena, terima kasih untuk kirimannya, Argi udah sampaikan ke aku." Telapak tangan Tara berkeringat, ia grogi."Oh, iya, sama-sama. Semoga Ibu cepat pulih. Maaf, aku harus tutup teleponnya, assalamualaikum," ujar Dena buru-buru."Waalaikumsalam," balas Tara. Ia mengetuk tanda merah di layar ponsel, kemudian duduk perlahan di kursi. Syifa mengusap bahu Tara, tampak sekali adiknya begitu tak bisa berkata-kata apa pun lagi.***Ningsih--ibu--hanya bisa tergeletak lemah di atas ranjang. Baru saja bapak selesai memberikan makanan melalui selang yang didorong dengan suntikan besar tak berjarum. Beberapa kali ibu menolak makan, hingga Tara membujuk dan akhirnya ibu mau. Lagi pula, ma
Dena dan Adim duduk di sofa ruang tamu. Keduanya datang karena ingin menjenguk Ningsih, kebetulan Dena dan Adim baru cek kehamilan di rumah sakit sebelum mereka ke kantor lagi memutuskan mampir ke rumah keluarga Tara."Dena dan Mas Adim sebentar aja, Pak, mau ke kantor habis ini," tukas Dena. Bapak mengangguk, Adim baru saja melarang bapak untuk membuatkan suguhan. Dena menggendong Ibnu, tak ada kecanggungan, karena anak bayi itu tak berdosa. Hanya saja Adim tampak sedikit BT, dengan melirik sesekali ke Dena yang gemas dengan Ibnu. Namun, hal itu justru membuat Dena ingin tertawa dan jail ke suaminya, ia menyodorkan Ibnu ke arah Adim yang tersenyum memaksa. Anak bayi aja dicemburuin, Dim."Kita... mau ke Ibu, boleh, Pak?" Adim meminta izin. Bapak mengangguk. Ibnu diletakkan Dena ke box bayi, di dalam kamar Sofia tampak panik, ia bingung harus bersikap apa saat tadi mendengar suara Dena, ia tak keluar kamar ibu.
Tara kembali cerai, iya, cerai lagi, duda lagi, yasudah lah, ya... semua ada resiko dan sebab akibatnya. Maka dari itu, sebagai manusia yang dikasih hati juga akal pikiran, sebelum melakukan sesuatu dipikir berkali-kali.Ia duduk menatap kedua mata Ibnu yang sudah mulai Mpasi, bubur bayi yang ia beli dipenjual dekat rumah menjadi piliham simple untuk ia dan bapak supaya tak repot masak, stok susu dan pampers juga banyak, uang dari kedua orang tua Kanti dibelanjakan kebutuhan putranya itu.Tatapannya mendadak sendu, Ibnu tak mendapatkan pelukan hangat seorang ibu, hatinya nyeri seperti diremas. "Jangan jadi kayak Papa ya, Nak, Papa gagal jadi laki-laki bertanggung jawab untuk seorang wanita. Ibnu harus jadi laki-laki yang sayang dan hormati istri," ucapnya sembari menyuapi Ibnu makan di teras rumah sambil ia pangku."Nyesel, kan? Makanya apa-apa dipikirin," suara itu membuat Tara menoleh. Argi pulang, berasam