Share

Mengikuti Arman

Pagi ini mas Arman berangkat tergesa-gesa. Malam tadi ia tidur di sofa. Ia sangat marah, bahkan kali ini ia tak menyentuh masakanku sedikit pun.

"Mas, Sara—" ucapanku terjeda, saat ia menatap tajam.

"Gak perlu! Aku makan di luar aja." ucapnya ketus. Ya, dia punya banyak uang untuk dirinya sendiri. Mudah sekali baginya untuk makan di luar, karena pikirnya itu uang jerih payahnya sendiri.

"Tapi...," ucapanku terhenti, saat ia malah melangkah pergi tanpa salam dan kecupan di kening lagi. Ia embuat aku jengah karenanya. Harusnya aku yang marah, bukan dia.

Aku menyantap sarapan dengan santainya. Lalu, membereskan makanan dan memasukan ke dalam kulkas agar tak cepat basi.

Perkataan mas Arman yang tak masuk logikaku. Jika tidak begitu dekat, tidak mungkin mereka belanja bersama dan Anita begitu manja pada mas Arman.

Saat aku menyinggung soal teman satu selimut, ia bahkan hampir menamparku seolah tersinggung. Wanita mempunyai kepekaan yang tinggi. Aku tidak mungkin salah dengan dugaanku. Agh, aku merutuk diriku sendiri yang tidak tahu tentang perasaanku sendiri.

----

Ting

Suara pesan di ponsel terdengar olehku. Aku lihat sebuah pesan dari Desi—teman SMA sekaligus teman kuliahku.

[Hai, Nis. Apa kabar? Udah jadi ibu rumah tangga kok gak pernah gabung. Eh, tahu gak si Nita, sekarang dia punya suami kaya raya loh. Kamu tahu, kan? Dia itu udah cerai dari suami yang pertama., tapi aku gak tahu sih kapan cerai terus nikah lagi.] pesannya panjang lebar.

Dia malah mengajakku bergosip, padahal baru menghubungiku.

[Udah ah,! Jangan bikin gosip! Udah lama gak nongol giliran nongol malah bikin gosip,] balasku.

[Hehe, nanti reuni dateng ya!] pinta Desi pada pesannya.

Sebenarnya undangan reuni itu sudah lama, tapi aku mengabaikannya. Kali ini ada tujuan lain yang akan aku lakukan pada saat reuni itu. Tentu aku akan datang dengan senang hati.

[Ya deh, tapi jangan bilang aku mau dateng. Bilang aja aku sibuk jadi gak dateng.] balasku pada Desi.

[Lah kok gitu?] tanyanya. Mungkin ia heran dengan pesanku.

[Aku bikin kejutan buat mereka,] jawabku.

[Ok,] balasnya.

Aku tak membalas percakapan dan langsung menghapusnya begitu saja. Mereka yang aku maksud bukan teman-teman SMA-ku, tapi kedua sejoli itu. Aku hanya memastikan firasat ini benar atau salah karena pria itu menyangkal hubungannya dengan Anita.

———

Beberapa hari ini, aku membiarkan mas Arman. Ia sering pulang dan pergi begitu saja. Jika pulang pun ia pasti mengabaikanku. Mungkin, ia pikir aku akan menganggap perginya dirinya kali ini adalah karena marah seperti biasanya.

Aku berlari mencari ojeg dan dengan cepat mengikuti Mas Arman. 'Aku bukan istri bodoh yang tak berdaya lagi, Mas.' lirih batinku.

"Pak, ojeg!" seruku saat berada di dekat pangkalan.

"Kemana, Bu?" tanya salah satu dari mereka.

"Ikutin saja mobil itu, Pak!" pintaku, kemudian menaiki motornya.

Mobil mas Arman berhenti di sebuah Rumah Makan. Ia terlihat memesan makanan dan tak lama kembali masuk ke dalam mobilnya kemudian kendaraan itu melaju. Aku terus mengikuti mas Arman, sampai di sebuah komplek dan berhenti pelataran salah satu rumah.

Aku bahkan tidak mengenal komplek baru itu, karena seperti yang diketahui diri ini tidak banyak keluar rumah.

Mas Arman tampak menuju pintu rumah yang dituju. Terlihat, daun pintu dibuka oleh empunya. Betapa tercabiknya hatiku, saat aku tahu siapa yang benar di sini. Firasatku benar. Mas Arman begitu lembut pada wanita itu. Wanita yang sama saat aku memarahinya. Wanita yang sama yang menjadi sahabatku saat SMA.

'Apa yang kau lakukan, Mas?' batinku menjerit. Untuk kali ini aku tak ingin melabrak mereka, itu semua sia-sia saja.

"Kau pikir aku anak kecil yang mengganggap hubungan seperti ini adalah pertemanan," lirihku. Amarah telah kutahan, jangan sampai banyak kegaduhan yang membuat orang lain tak nyaman. Aku merogoh ponsel dalam tas dan mendekat untuk merekam mereka.

"Pak, kita kembali saja!" pintaku pada tukang ojeg itu.

"Loh, bukannya barusan ngejar mobil itu?" tanyanya.

"Udah, Pak. Gak penting. Jalan lagi aja!" imbuhku. Tukang ojeg itu pun tak lagi bertanya.

Aku berlalu meninggalkan tempat itu. Mulutku bungkam. Mata ini perih menahan cairan bening yang mengembun. 'Agh, sakit rasanya hatiku. Aku pikir dia mulai mencintaiku,' umpat batinku.

----

Perih! Hati siapa yang tidak perih saat pria yang di cintai berdusta dan lebih memilih wanita lain, hanya karena belum memiliki keturunanan atau mungkin ada alasan lain untuk hal itu.

Aku yang tak kuat dengan segera pergi meninggalkan tempat itu semalam. Akan tetapi, suatu saat aku akan kembali dengan bukti nyata tentang hubungan mereka. Apa yang aku pikirkan ternyata benar adanya. Hatiku luluh lantah karena harus menerima kenyataan bahwa, cinta ini telah bertepuk sebelah tangan. Mungkin mulai saat ini, tak akan ada lagi tempat untuk dirinya.

Bertahan dalam sebuah kebohongan dan selalu di kambing hitamkan dalam setiap masalah. Aku sudah mulai pada titik terendah dalam kesabaran.

Cintaku mulai menguap oleh waktu dan kebosanan. Itu semua karena perilaku suamiku sendiri, yang tega menduakan cinta dan menghancurkan kepercayaanku. Mungkin saja, ia juga tidak pernah menganggap aku ada selama satu tahun ini. Aku benar-benar salah menilai pria itu.

-----

Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab. 'Cukup kali ini yang terakhir. Aku tidak ingin menangis karenanya lagi.' batinku.

Aku selalu mencoba mengobati perihku sendiri, akibat ulahnya. Jadi, aku yakin bisa tanpa harus bersandar dan menangis di bahunya. Apalagi, sekarang ia telah membuat wanita lain bersandar pada dirinya.

Sebuah pesanan makanan datang. Cukup lama aku menunggu pesananku itu dan bergegas menuju pintu gerbang, untuk mengambil makanan yang ku pesan.

"Mbak Nisa, matanya merah. Abis nangis apa begadang tuh," goda Bu Salamah si tukang rumpi.

"Ini kecapekan," jawabku.

"Wah, mentang-mentang belum punya anak," celotehnya.

"Bukan sama suami." ketusku.

"Wah, jangan-jangan ada yang lain." celotehnya .

"Suami yang jarang pulang kan, pasti ada kesempatan buat yang lain masuk," sambungnya tersenyum sinis.

"Iya Bu. Ada yang lain," ucapku santai. Sepertinya wanita itu antusias dengan bahan gosip komplek.

"Wah, awas loh ketahuan warga lain, nanti digrebek." celotehnya.

"Biarin digrebek. Lah, saya begadang hitung bulu kucing," jawabku.

"Alamak, bulu kucing aja dihitung," cerocosnya.

"Daripada, gak ada kerjaan terus pengen tahu hidup orang," jawabku. Ia mendelik dan meninggalkanku.

Si mas kurir senyam-senyum sendiri melihat dramaku baru saja.

"Awas kesambet, Mas! Makasih udah dianterin, tepat pada saat perut saya keroncongan." celotehku datar.

"Eh, iya Mbak. Sama-sama." Jawabnya.

Si Mas, senyum lagi. Gak tahu apa diri ini sedang galau dan paling sensitif kalau ada yang mau tahu urusanku.

Dengan semangat, aku pun menyantap makanan yang kubeli. Galau memang galau, tapi perut keroncongan jangan dihalau. Selama ini aku berusaha berhemat untuk segala hal. Namun, semenjak ia mengecewakanku dengan bersama wanita lain dan memberi apapun yang diinginkannya. Maka, aku tidak peduli dengan dirinya lagi. Yang aku pikirkan saat ini adalah kesehatan dan kewarasanku agar tidak memilih jalan yang salah hanya karena pria tidak tahu diuntung itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status