Share

Mengikuti Arman

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-08 16:36:22

Pagi ini mas Arman berangkat tergesa-gesa. Malam tadi ia tidur di sofa. Ia sangat marah, bahkan kali ini ia tak menyentuh masakanku sedikit pun.

"Mas, Sara—" ucapanku terjeda, saat ia menatap tajam.

"Gak perlu! Aku makan di luar aja." ucapnya ketus. Ya, dia punya banyak uang untuk dirinya sendiri. Mudah sekali baginya untuk makan di luar, karena pikirnya itu uang jerih payahnya sendiri.

"Tapi...," ucapanku terhenti, saat ia malah melangkah pergi tanpa salam dan kecupan di kening lagi. Ia embuat aku jengah karenanya. Harusnya aku yang marah, bukan dia.

Aku menyantap sarapan dengan santainya. Lalu, membereskan makanan dan memasukan ke dalam kulkas agar tak cepat basi.

Perkataan mas Arman yang tak masuk logikaku. Jika tidak begitu dekat, tidak mungkin mereka belanja bersama dan Anita begitu manja pada mas Arman.

Saat aku menyinggung soal teman satu selimut, ia bahkan hampir menamparku seolah tersinggung. Wanita mempunyai kepekaan yang tinggi. Aku tidak mungkin salah dengan dugaanku. Agh, aku merutuk diriku sendiri yang tidak tahu tentang perasaanku sendiri.

----

Ting

Suara pesan di ponsel terdengar olehku. Aku lihat sebuah pesan dari Desi—teman SMA sekaligus teman kuliahku.

[Hai, Nis. Apa kabar? Udah jadi ibu rumah tangga kok gak pernah gabung. Eh, tahu gak si Nita, sekarang dia punya suami kaya raya loh. Kamu tahu, kan? Dia itu udah cerai dari suami yang pertama., tapi aku gak tahu sih kapan cerai terus nikah lagi.] pesannya panjang lebar.

Dia malah mengajakku bergosip, padahal baru menghubungiku.

[Udah ah,! Jangan bikin gosip! Udah lama gak nongol giliran nongol malah bikin gosip,] balasku.

[Hehe, nanti reuni dateng ya!] pinta Desi pada pesannya.

Sebenarnya undangan reuni itu sudah lama, tapi aku mengabaikannya. Kali ini ada tujuan lain yang akan aku lakukan pada saat reuni itu. Tentu aku akan datang dengan senang hati.

[Ya deh, tapi jangan bilang aku mau dateng. Bilang aja aku sibuk jadi gak dateng.] balasku pada Desi.

[Lah kok gitu?] tanyanya. Mungkin ia heran dengan pesanku.

[Aku bikin kejutan buat mereka,] jawabku.

[Ok,] balasnya.

Aku tak membalas percakapan dan langsung menghapusnya begitu saja. Mereka yang aku maksud bukan teman-teman SMA-ku, tapi kedua sejoli itu. Aku hanya memastikan firasat ini benar atau salah karena pria itu menyangkal hubungannya dengan Anita.

———

Beberapa hari ini, aku membiarkan mas Arman. Ia sering pulang dan pergi begitu saja. Jika pulang pun ia pasti mengabaikanku. Mungkin, ia pikir aku akan menganggap perginya dirinya kali ini adalah karena marah seperti biasanya.

Aku berlari mencari ojeg dan dengan cepat mengikuti Mas Arman. 'Aku bukan istri bodoh yang tak berdaya lagi, Mas.' lirih batinku.

"Pak, ojeg!" seruku saat berada di dekat pangkalan.

"Kemana, Bu?" tanya salah satu dari mereka.

"Ikutin saja mobil itu, Pak!" pintaku, kemudian menaiki motornya.

Mobil mas Arman berhenti di sebuah Rumah Makan. Ia terlihat memesan makanan dan tak lama kembali masuk ke dalam mobilnya kemudian kendaraan itu melaju. Aku terus mengikuti mas Arman, sampai di sebuah komplek dan berhenti pelataran salah satu rumah.

Aku bahkan tidak mengenal komplek baru itu, karena seperti yang diketahui diri ini tidak banyak keluar rumah.

Mas Arman tampak menuju pintu rumah yang dituju. Terlihat, daun pintu dibuka oleh empunya. Betapa tercabiknya hatiku, saat aku tahu siapa yang benar di sini. Firasatku benar. Mas Arman begitu lembut pada wanita itu. Wanita yang sama saat aku memarahinya. Wanita yang sama yang menjadi sahabatku saat SMA.

'Apa yang kau lakukan, Mas?' batinku menjerit. Untuk kali ini aku tak ingin melabrak mereka, itu semua sia-sia saja.

"Kau pikir aku anak kecil yang mengganggap hubungan seperti ini adalah pertemanan," lirihku. Amarah telah kutahan, jangan sampai banyak kegaduhan yang membuat orang lain tak nyaman. Aku merogoh ponsel dalam tas dan mendekat untuk merekam mereka.

"Pak, kita kembali saja!" pintaku pada tukang ojeg itu.

"Loh, bukannya barusan ngejar mobil itu?" tanyanya.

"Udah, Pak. Gak penting. Jalan lagi aja!" imbuhku. Tukang ojeg itu pun tak lagi bertanya.

Aku berlalu meninggalkan tempat itu. Mulutku bungkam. Mata ini perih menahan cairan bening yang mengembun. 'Agh, sakit rasanya hatiku. Aku pikir dia mulai mencintaiku,' umpat batinku.

----

Perih! Hati siapa yang tidak perih saat pria yang di cintai berdusta dan lebih memilih wanita lain, hanya karena belum memiliki keturunanan atau mungkin ada alasan lain untuk hal itu.

Aku yang tak kuat dengan segera pergi meninggalkan tempat itu semalam. Akan tetapi, suatu saat aku akan kembali dengan bukti nyata tentang hubungan mereka. Apa yang aku pikirkan ternyata benar adanya. Hatiku luluh lantah karena harus menerima kenyataan bahwa, cinta ini telah bertepuk sebelah tangan. Mungkin mulai saat ini, tak akan ada lagi tempat untuk dirinya.

Bertahan dalam sebuah kebohongan dan selalu di kambing hitamkan dalam setiap masalah. Aku sudah mulai pada titik terendah dalam kesabaran.

Cintaku mulai menguap oleh waktu dan kebosanan. Itu semua karena perilaku suamiku sendiri, yang tega menduakan cinta dan menghancurkan kepercayaanku. Mungkin saja, ia juga tidak pernah menganggap aku ada selama satu tahun ini. Aku benar-benar salah menilai pria itu.

-----

Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab. 'Cukup kali ini yang terakhir. Aku tidak ingin menangis karenanya lagi.' batinku.

Aku selalu mencoba mengobati perihku sendiri, akibat ulahnya. Jadi, aku yakin bisa tanpa harus bersandar dan menangis di bahunya. Apalagi, sekarang ia telah membuat wanita lain bersandar pada dirinya.

Sebuah pesanan makanan datang. Cukup lama aku menunggu pesananku itu dan bergegas menuju pintu gerbang, untuk mengambil makanan yang ku pesan.

"Mbak Nisa, matanya merah. Abis nangis apa begadang tuh," goda Bu Salamah si tukang rumpi.

"Ini kecapekan," jawabku.

"Wah, mentang-mentang belum punya anak," celotehnya.

"Bukan sama suami." ketusku.

"Wah, jangan-jangan ada yang lain." celotehnya .

"Suami yang jarang pulang kan, pasti ada kesempatan buat yang lain masuk," sambungnya tersenyum sinis.

"Iya Bu. Ada yang lain," ucapku santai. Sepertinya wanita itu antusias dengan bahan gosip komplek.

"Wah, awas loh ketahuan warga lain, nanti digrebek." celotehnya.

"Biarin digrebek. Lah, saya begadang hitung bulu kucing," jawabku.

"Alamak, bulu kucing aja dihitung," cerocosnya.

"Daripada, gak ada kerjaan terus pengen tahu hidup orang," jawabku. Ia mendelik dan meninggalkanku.

Si mas kurir senyam-senyum sendiri melihat dramaku baru saja.

"Awas kesambet, Mas! Makasih udah dianterin, tepat pada saat perut saya keroncongan." celotehku datar.

"Eh, iya Mbak. Sama-sama." Jawabnya.

Si Mas, senyum lagi. Gak tahu apa diri ini sedang galau dan paling sensitif kalau ada yang mau tahu urusanku.

Dengan semangat, aku pun menyantap makanan yang kubeli. Galau memang galau, tapi perut keroncongan jangan dihalau. Selama ini aku berusaha berhemat untuk segala hal. Namun, semenjak ia mengecewakanku dengan bersama wanita lain dan memberi apapun yang diinginkannya. Maka, aku tidak peduli dengan dirinya lagi. Yang aku pikirkan saat ini adalah kesehatan dan kewarasanku agar tidak memilih jalan yang salah hanya karena pria tidak tahu diuntung itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Pernikahan Dania

    Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Tamu

    Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Pernikahan Bianca

    Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Merajuk

    Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Misteri Undangan

    Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Kado Terindah

    Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status