Share

Munculnya Mala

last update Huling Na-update: 2022-06-08 16:42:19

Aku mendengar suara langkah kaki dengan sepatu hak tinggi. Langkah itu terdengar terburu-buru dan berhenti seketika, hingga aku pun bergegas untuk menghampiri dan membuka daun pintu. Terlihat wajah mama mertua yang sangat tidak senang. Beliau langsung masuk tanpa bicara.

"Mama, kok mendadak kesininya? Kalau Mama nelpon Nisa, mungkin Nisa masak buat Mama." imbuhku. Dari raut wajah mama mertua aku yakin ada yang diadukan oleh suamiku itu.

"Gak perlu," jawab Beliau ketus.

"Ma, sebenarnya ada apa?" tanyaku melembutkan suara.

"Mama gak terima, ya. Kamu main hakimi anak Mama di tempat umum," cecarnya, "Mama lebih tahu anak Mama. Jangan main nuduh sembarangan! Kamu itu malah buat masalah terus," sambungnya.

"Ma, Nisa...," ucapanku terhenti. Selalu saja seperti ini. Beliau tidak pernah mau mendengar alasan yang kubuat.

"Ingat Nisa! Kamu itu istrinya. Harusnya jadi istri, jaga nama baik suami!" tukasnya. Padahal aku belum juga selesai bicara tapi mama malah menyela ucapanku.

"Iya, Ma." Jawabku menundukan kepala.

"Kalau Mama dengar kamu berulah lagi, Mama gak bakal maafin kamu." ancamnya. Padahal aku berhak menegur suamiku itu. Anak mami pasti selalu ngadu ke mamanya tiap ada masalah dan semakin lama hal itu membuat aku semakin jengah.

"Baik, Ma," jawabku lirih. Aku mengiyakan agar urusannya tak panjang. Nanti ucapannya malah menyinggung kembali soal anak.

Mama mertua pamit dan pergi begitu saja. Entah apa yang diadukan oleh mas Arman pada ibunya. Sebegitu salahkah aku? Aku yang tak mengerti dengan sikap mas Arman, membuatku pusing sendiri.

-------

Malam yang dingin, berselimut cahaya rembulan. Mas Arman jarang sekali pulang. Bahkan untuk kebutuhan rumah yang kurang ia tak peduli, dengan terpaksa aku berhemat. Listrik dan yang lainnya, harus aku bayar sendiri.

Saat aku menuju jendela, terlihat secarik kertas terselip di sebuah tas yang tergantung di dekat lemari. Tas yang sudah lama tak dipakai olehnya.

Aku mencoba melihat kertas apa itu, jantungku berdebar cepat. Wajah ini tiba-tiba panas melihat isi dari kertas kecil itu. Bukti transfer enam bulan yang lalu dan orang yang ditransfer itu adalah Anita.

'Benar-benar tega kamu, Mas. Aku yang menjadi istrimu saja harus berhemat dengan uang yang kau beri, tapi wanita itu,' umpatku dalam hati.

Harusnya aku curiga tentang nafkah yang selalu tidak sesuai itu. Aku hanya menurut tanpa melawan, bahkan selalu mengalah. Ternyata, hal itulah yang membuat suamiku semakin berani menyakitiku.

———

Sebuah notifikasi masuk membuat aku tertegun saat membuka pesan.

[Hai, apa kabar? Kenapa jarang nongol di sosial media, sih?] Mala memberi pesan padaku. Ia adalah sahabatku sejak SMA dan kami pun pernah kuliah bersama.

[Mal, tumben,] balasku.

[Ya tumben lah, wong aku jarang banget ngehubungi amu. Nisa, Kamu jarang buka si biru, kan? Coba buka deh! Aku ngerasa ada yang janggal sama postingan si Anita. Aku kan pernah liat kamu jalan sama cowo dan pernah nanya di pesan. Kamu jawab itu suami kamu, kan?] pesannya lagi.

[Lah, emang ada apa sih?] tanyaku heran.

[Kamu tahu gak? Privasinya hanya dibagi ke teman, loh. Yang lain gak ngeh sama dia yang kayaknya nge-𝑢𝑛𝑓𝑟𝑖𝑒𝑛𝑑 kamu.] celotehnya lagi.

[Masak sih? Aku lupa kata sandinya,] balasku yang memang lupa dengan akunku yang dulu.

[Bikin lagi pake akun yang palsu. Nanti, kamu 𝑎𝑑𝑑 dia,] sarannya.

[𝑇ℎ𝑎𝑛𝑘𝑠 , Mal!] balasku lagi.

Mala benar, siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku jadikan bukti agar tidak ada yang menyalahkanku lagi.

Selama beberapa bulan ini, sikap mas Arman berubah drastis. Ternyata bukan karena kami belum punya keturunan saja, tapi karena wanita lain bernama Anita itu.

Sebegitu cepatkah dia berubah? Padahal, dulu ia berusaha mendapatkan hatiku. Sehingga aku bisa menerima hubungan kami. Namun, saat ini keadaan telah membuat semua berubah dengan mudahnya. Mungkinkah kebaikan yang ia berikan hanyalah topeng belaka?

Aku berusaha menata hati yang hancur. Aku hanya ingin kuat disaat luka itu tertoreh di hati. Aku hanya berharap dapat menghadapi semuanya.

Kesunyian malam meyempurnakan hatiku yang sunyi. Aku memiliki suami, tapi seakan tak memilikinya. Rasa ini pun seperti hilang seiringnya waktu. Terkadang aku menyesal karena pernah mencintai pria itu dan malah diabaikan saat aku berusaha untuk selalu mencintainya. Namun, untuk apa juga aku berjuang sendiri?

Aku masih menimang keputusan dan memikirkan cara yang baik untuk membuat mas Arman benar-benar tidak mengelak hubungan mereka.

Aku pun masih belum mengambil keputusan mengenai ucapan Mala tempo hari, tapi mengingat bayangan saat pria itu begitu mesra pada Anita membuat aku harus memberanikan diri untuk melakukan apapun demi membuktikan bahwa ia benar-benar selingkuh. Soal uang yang katanya ia simpan untuk anak kami pun aku rasa itu hanya akal-akalannya saja.

Tiba-tiba aku merindukan ibuku dan adikku. Haruskah aku mengatakan pada ibuku tentang masalahku? Namun, aku tidak bisa membuat ia merasa bersalah padaku. Ya, pernikahan ini bukanlah yang aku inginkan. Butuh waktu bagiku untuk menerimanya demi orangtuaku. Namun, setelah aku menerima hubungan ini yang ada aku malah terluka teramat dalam.

Aku pun menelpon ibuku dengan ragu.

[Assalamu'alaikum, Nak!] terdengar suara Ibuku di sebrang sana.

"W*'alaikum salam, Bu." Jawabku.

"Bagaimana kabarnya?"

[Baik, Nak. Adik kamu juga sehat.]

"Bu...,"

[Ada apa, Nak?] tanya Beliau.

Aku berpikir sejenak, tapi aku tak bisa jika harus mengatakan masalahku saat ini.

"Tidak ada apa-apa, Bu. Semoga sebentar lagi Nisa bisa pulang ya! Ibu jaga kesehatan! Jangan lupa makan!" Aku mengurungkan niatku untuk mengatakannya pada Ibuku.

Dengan cepat aku memilih untuk berpamitan agar ibu tidak lagi bertanya apapun. Tak tega rasanya jika harus mengadu dan menjadi beban pikiran untuk ibuku. Mungkin aku akan mengatakannya saat kembali ke Desa.

Aku menghempas kasar tubuh ini ke atas ranjang. Mencoba untuk memejamkan mata yang terus terjaga akibat pikiranku ini. Meski aku selalu berharap ini hanyalah mimpi. Nyatanya saat aku terbangun, semua ini benar-benar terjadi.

Keesokan harinya. Mataku begitu berat untuk terbuka. Aku baru ingat kalau aku tidur pukul dua pagi. Terkadang aku berpikir untuk apa memikirkan orang yang sudah tidak peduli padaku, bahkan aku pun tidak lagi ada dalam pikirannya. Harusnya aku pun sadar dengan sikapnya dan tidak terus mengalah untuk kesalahan yang tidak ku perbuat. Hanya saja, aku tidak bisa juga menyakiti ayah mas Arman. Beliau sangatlah baik padaku, tapi kenapa anaknya begitu menyebalkan dan perhitungan pada istrinya sendiri.

Secangkir teh tawar untuk saat ini. Aku meminta tolong lagi pada Mala disaat aku tidak lagi bisa membuka internet karena tidak diberi jatah untuk membeli kuota. Aku yang selalu menyisihkan uang belanja. Kali ini tidak bisa menyisihkannya karena pria itu tidak juga pulang. Nasib tergantung pada pemberian orang lain, padahal aku pun bisa bekerja. Itu semua karena mas Arman tidak mengizinkanku keluar rumah kecuali untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Winwin Tri Winwin
terlalu bertele tele
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Pernikahan Dania

    Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Tamu

    Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Pernikahan Bianca

    Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Merajuk

    Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Misteri Undangan

    Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.

  • Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi   Kado Terindah

    Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status