Aku masih menunggu kedatangan mas Arman. Ia sepertinya sangat marah padaku. Namun, jika dipikir untuk apa aku menunggu pria itu pulang. Ia memang akan seperti itu, walau karena masalah sepele. Bisa dibilang, apa yang dilakukannya sudah menjadi rutinitas jika kami tengah bertengkar.
Aku menyendok nasi, sedikit demi sedikit. Sesekali aku pun berhenti. Aku bukanlah karang yang tetap tegar saat ombak di lautan menerpa. Air mata mulai menorobos benteng pertahanan. Walau ku tahu sia-sia saja aku menangisi orang yang sudah tidak peduli padaku, bahkan tidak lagi menghargai perasaanku. Suara pintu terketuk, membuat aku mengusap air mata ini dan bergegas untuk keluar."Mama," gumamku. Aku terkejut mama mertuaku tiba-tiba datang."Kamu habis nangis?" tanya Mama menyelidik."Enggak, Ma. Anisa kelilipan." Jawabku berbohong, keningnya mengkerut. Aku hanya berharap beliau percaya padaku, karena jika mama tahu aku bertengkar dengan mas Arman yang ada akulah yang disalahkan."Ya sudah! Mama masuk ya." aku mengangguk mengiyakan. Mama memperhatikan rumah yang sepi. Karena penghuni Rumah ini hanya kami berdua. Saat mas Arman pergi bekerja, maka aku pun akan sendiri di Rumah ini."Andai ada cucu ya, Nis! Pasti rumah ini rame." ucap ibu mertua. Sebenarnya, ucapan itu membuatku ngilu.'Apa tidak ada yang lain, selain anak?' umpat batinku. Mas Arman dan mama mertua sama saja. Selalu menyinggung soal anak, tapi saat aku meminta mas Arman untuk diperiksa pria itu akan menolak. Ia yakin bahwa ia tidak mandul dan ibunya pun sama saja. Beliau percaya bahwa putranya tidak mandul. Aku pun ingin memeriksa kesuburan, tapi mas Arman dan mama mertua tak akan percaya jika aku memeriksa kesuburan sendiri. Yang ada mereka berpikir, hasilnya itu hanyalah akal-akalanku saja sedangkan pria itu pun juga tidak mau mengantarku untuk ke Rumah Sakit apalagi membayarnya. Ia menganggap itu hanya menghamburkan uang saja. Memang mereka sangat membingungkan."Iy-iya, Ma." Jawabku."Kamu yang sabar, Sayang. Mungkin belum rizkinya,"" imbuh Mama. Beliau pun tersenyum"Iya, Ma." ucapku menundukan kepala. Ada perih di hati ini karena tak bisa segera memilikinya. Namun, aku hanya pasrah pada keadaan."Arman mana? Ini hari minggu," ucap Beliau. Mata Mama menelusuri segala penjuru ruangan mencari sosok Mas Arman, anak kesayangannya itu."Mas Arman. Mmm...keluar sebentar, Ma." Jawabku bohong. Padahal beberapa ini, hari dia pergi tanpa kabar. Aku tahu, pasti pulang ke rumah Anita."Oh, ya udah. Mama ada urusan dulu. Kamu jangan stress ,Sayang!" imbuh Beliau, aku mengangguk pelan. Bagaimana aku tidak stress? Jika aku telah melihat suamiku bersama wanita lain. Ingin aku mengatakan hal itu pada mama, tapi aku pun tak memiliki bukti apapun. Seandainya saja, saat itu aku tak melabrak mereka langsung. ------ Suara deru mobil terdengar. Itu mobil mas Arman, karena seorang istri pasti tahu dari kendaraan bahkan suara langkahnya sekalipun. Aku bergegas menghampiri pintu dan membukanya. Karena, jika terlambat dengan keadaan marah seperti itu ia akan berteriak di depan pintu. Tak ada senyum lembut dari wajah pria itu, yang ada hanya raut wajah masam yang terlihat jelas olehku."Mas, mau kopi?" tanyaku memulai pembicaraan. Bukannya aku bisa melupakan masalahku dan membuatku tampak biasa saja. Sebenarnya aku pun ingin membuatnya jadi udang tumbuk saking kesalnya. Namun, aku bukan wanita seperti itu."Gak usah," jawabnya ketus. Ia berjalan menuju sofa ruang tamu."Maaf Mas jika Nisa salah,"lirihku. Ish, bibir ini. Bukankah dia yang harusnya minta maaf? Aku yang terluka, tapi aku yang meminta maaf. Hal ini menjadi kebiasaanku yang ingin mempertahankan hubungan kami. Mengalah, tapi membuatku hampir tak waras. Sepertinya ia semakin seenaknya menyakitiku, karena merasa tidak bersalah."Apa-apaan, kamu? Sengaja bikin malu aku, huh! Yang kamu lihat belum tentu benar,'' celotehnya dengan intonasi yang cukup tinggi dan memekik telinga. Kenapa dia yang emosi? Padahal dia sendiri yang bilang "anak kita" seolah Anita mengandung anaknya. Dia juga terlihat mesra saat berbelanja."Kamu itu, harusnya jangan banyak ulah! Bikin aku malas di rumah," cerocosnya dengan intonasi yang tidak kalah tinggi. Kalau aku bisa, aku ingin mencopot bibirnya yang seenaknya bicara atau menyumpal mulutnya dengan satu gengam cabe terpedas di Dunia.Namun, itu tidak mungkin dilakukan dan hanya bisa di anganku saja. Agh, mulutnya pun sudah sangat pedas. Kalau bakso lava enak, ini mulut pedas yang membuatku sangat muak."Mas, aku itu kan...," belum sempat aku mengatakan apa yang ada di benakku, Ia malah terus mengoceh. Kalau ada lomba ocehan suami terlama, kayaknya Mas Arman bakal menang telak."Sudah! Kamu itu jadi istri udah bawel, malah berani bikin malu suami." hardiknya. Membuat sesak di dada. "Jangan bikin ulah lagi! Harusnya, kamu itu jaga nama baik suami, patuh sama suami. Ini malah bikin suami kesal terus," sambungnya. Dan setelahnya, ceramah pasti dilakukannya. Ceramah panjang lebar seolah ia adalah pemuka agama saja. Lah, dia malah gak ngerasa selingkuh itu salah. Aku hanya terdiam, mendengar ceramah darinya. Apapun salahnya, pasti dia akan memutar balik fakta atau memberi alibi. Dia yang salah, aku yang selalu kena marah. Anehnya suamiku, tak ada lagi pria lembut yang ku kagumi seperti dulu."Ya sudah, kalau Mas gak mau Nisa malu-maluin. Kenapa Mas bisa sama Anita? Gandengan mesra terus belanja bareng juga," cecarku. Entah keberanian darimana aku mengatakan hal demikian. Aku tak lagi peduli pada suamiku itu sekarang."Jawab dong, Mas! Kan, kamu selalu benar," ucapku sinis."Anita itu teman, Mas. Faham!" tukasnya."Oh teman. Teman satu selimut mungkin, ya." ucapku dengan menyindir.Ia menatapku tajam seolah akan menerkam seperti elang dan tangannya terangkat. Sepertinya ia hendak menamparku. Sementara aku tak kalah menatapnya tajam sekarang."Ayo tampar!" ucapku menantang. "Bukannya bagus, setelah menamparku Kau akan masuk penjara. Anita pun akan selalu menengokmu tanpa aku halangi." sambungku tak kalah sinis."Ah, anak yang kau sebut ANAK KITA pun akan menunggumu nanti," tuturku. Aku tersenyum sinis. 'Sejak kapan aku sinis gini?' umpatku dalam hati. Mas Arman pun menurunkan tangannya dan meninggalkanku begitu saja."Dan satu lagi. Jangan menganggap remeh masalah ini," tukasku. Aku mungkin selalu dianggap lemah selama ini. Akan aku pastikan tak ada lagi rasa takut menyikapi pria itu. Sudah cukup, ia bersandiwara seolah rumah tangga kami baik-baik saja dan jika ada kesalahan. Pasti aku yang dipikir menjadi penyebabnya.Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc
Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel
Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."
Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?
Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.
Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer