Share

Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi
Aku yang Kau Nikahi Dia yang Kau Nafkahi
Author: Siti Nurul Badriyah

Uang Bulanan

Hari ini adalah hari, dimana mas Arman menerima gaji dari kantornya. Walaupun sebenarnya keluarga mas Arman termasuk keluarga mapan. Entah mengapa, papa mertua tidak membuat mas Arman untuk mengelola perusahaan papa. Namun, rasanya walau ia punya penghasilan banyak itu tidak akan berpengaruh bagi diriku ini.

Dua tahun menikah, kami masih belum punya keturunan. Awalnya aku berpikir, mungkin belum diberi amanah. Sehingga, mas Arman pun tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semakin lama, mas Arman semakin berubah sikapnya padaku. Dulu sangat baik, tapi semakin lama malah semakin menjengkelkan.

"Mas, aku mau belanja bulanan. Mas belum ngasih uang gaji. Biasanya langsung ngasih,'' imbuhku dengan nada memelas ketika ia tengah duduk di sofa ruang keluarga.

'Apa mas Arman tidak berniat memberi uang bulanan saat ini?' tanyaku dalam hati.

Ia pasti kesal, jika aku meminta jatah bulanan. Padahal itu kewajiban suami pada istrinya, bukan orang lain yang meminta secara cuma-cuma. Bahkan aku tidak pernah menghamburkan uang untuk belanja semauku. Asal bisa makan dan yang lainnya saja aku sudah bersyukur.

"Nih, satu setengah juta. Kita belum punya anak. Gak perlu boros!" ucapnya ketus. Selalu saja, ia menyinggung soal anak. Aku benar-benar bosan mendengarnya.

"Tapi Mas, aku harus bayar listrik dan sebagainya," protesku. Matanya malah menatapku tajam, seolah aku orang yang melakukan kesalahan. Ia mungkin menganggap hal sepele dengan kebutuhan rumah.

"Mau, terima! Kalau gak mau, gak usah. Aku ambil lagi." hardiknya. Ia beranjak dari sofa dan berjalan meninggalkanku.

Aku yang tidak menerima uang yang hanya satu juta setengah darinya pun bergegas mengikuti.

"Mas, ini gak cukup," protesku saat berada di dekatnya.

"Cukup atau enggak, aku gak mau tahu," tukasnya. Jadi suami pelit amat.

"Loh kok gitu, Mas?" tanyaku heran.

"Bawel banget jadi istri. Udah ya, Mas capek. Sebagian uang Mas simpan buat anak kita. Itu juga kalau punya." ucap mas Arman dengan sedikit sindiran. Hal itu benar-benar menyayat hatiku. Tidak bisakah ia menghargai perasaanku sebagai perempuan? Ia selalu saja, menyakitiku dengan lidah tajamnya itu.

'Apa salahku, Mas?' lirihku dalam hati. Tiba-tiba bulir bening menetes di pipi. Hati ini teramat perih, karena perkataan Mas Arman dan sikapnya itu.

Aku tak menyangka, hanya karena anak ia malah berbuat seperti itu. Bukan mauku untuk tidak memilikinya, tapi mungkin saja belum waktunya. Aku bahkan tidak berhenti berdoa dalam sepertiga malam, tapi apalah daya yang mengatur semua itu bukan manusia, tapi Sang Pencipta.

Mas Arman beranjak pergi dengan rasa kesal. Deru mobil terdengar di luar. Entah akan kemana, ia pergi malam-malam seperti ini. Aku terdiam. Mungkinkah aku tak lagi berarti untuk dirinya? Sehingga, ia pergi tanpa sepatah kata pun untuk memberitahuku kemana ia akan pergi.

Jika dipikir lagi, hal itu memang selalu terjadi setiap kami bertengkar. Jadi, untuk apa pula aku peduli. Ia bahkan tidak peduli dengan perasaanku sama sekali.

-----

Hari ini, dengan tidak bersemangat aku membeli kebutuhan bulananku. Dua hari sudah, suamiku tanpa kabar. Aku menghembuskan nafas kasar dan memasukan beberapa produk ke keranjang.

"Mas, aku mau ini," rengek salah seorang pembeli. Terdengar seorang wanita meminta sesuatu pada prianya.

Apa yang kudengar membuatku berandai. Ya, andai saja mas Arman masih bisa seperti itu padaku. Mungkin, aku tidak akan terlalu pusing untuk mencukupi kebutuhan keseharian kami, tapi suara itu benar-benar membuatku heran. Aku seperti mengenal suara wanita itu. Namun, aku menepis rasa dan berusaha tidak peduli.

"Apapun kebutuhanmu, Sayang. Demi anak kita." aku terkesiap mendengar suara pria itu. Tunggu dulu! Suara itu persis suara mas Arman.

Aku mencari sumber suara dengan secepat mungkin, benar itu mas Arman bersama seorang wanita di sampingnya.

"Anita," pekikku terkejut, saat siapa yang bersama suamiku. Dia adalah sahabat karibku saat SMA.

Anita menatapku tak percaya. Aku ada disini.

"Kau! Kenapa kau malah bersama suamiku, huh?" cecarku.

"Dia suamimu? Kapan kalian menikah?" tanya Anita.

"Kau itu, menusukku dari belakang," ucapku meradang. Aku hampir menjambak rambutnya.

"Lucu kamu, Mas. Aku istrimu saja kau beri satu setengah juta dan kau membayar belanjaan wanita lain sesukanya," cecarku penuh emosi.

"Diam, kamu! Ini tempat umum." hardiknya. Ia bahkan meninggikan suara pada istrinya sendiri di tempat umum. Membuat aku gemetar mendengarnya.

"Ternyata, selama ini kau berkhianat. Hanya karena anak, kau seperti ini." hardikku. Aku tak menghiraukan ia menatapku dengan marah.

"Diam atau...," bentaknya.

"Atau apa?" tanyaku dengan meninggikan suara. Ia pun terdiam.

Suamiku menatapku nyalang, terlihat dari sudut mataku Anita menjauh dengan rasa takut atau mungkin hanya menjauhi perdebatanku dengan mas Arman.

Aku yakin ia tak akan mau pulang setelah ini. Aku tahu sifatnya yang tak mau langsung menyelesaikan masalah, saat kami dalam masalah. Pada akhirnya aku mengalah, tapi untuk hal ini maaf aku tidak akan mengalah.

-----

Aku mendaratkan bokongku kasar pada sofa. Menyimpan beberapa belanjaan dengan asal.

Aku merutuki kebodohanku yang percaya begitu saja. Padahal jelas ia tak menerima sepenuh hati pernikahan kami.

Aku tidak mengerti dengan sikapnya yang semakin hari semakin menjengkelkan. Ia bahkan mulai sering berkata kasar. Apalagi masalah anak, itu adalah masalah yang tabu untuk ia bahas. Padahal, hal itu membuatku merasa sakit hati. Ada sesak dalam dada, saat ia memakiku dengan kata yang secara tidak langsung menuduhku mandul.

Beberapa bulan ini aku sabar dengan perilakunya yang berubah, tapi berkhianat aku tak akan pernah terima. Tunggu! Ia bilang "anak kita". Apa mungkin Anita hamil?

Aku mungkin harus mencari tahu kebenaran hubungan mereka. Hal yang tidak mungkin jika aku menanyakan langsung pada pria itu. Yang ada aku hanya dicaci maki olehnya. Bagaimanapun caranya, aku harus mengungkap hubungan Anita dan suamiku yang pemarah itu.

Aku memang merasa janggal pada kedekatan mereka terlebih dengan kalimat yang benar-benar jelas di indera pendengaranku bahwa mas Arman menyebut "Anak kita" pada Anita.

Sudah cukup aku diam dan selalu mengalah. Saat kami selalu bertengkar. Sudah cukup juga ia memperlakukanku seperti orang lain. Dia bahkan memberiku nafkah lahir dan batin semaunya. Ia tidak pernah menghargaiku sebagai istri setelah satu tahun menikah kami tidak memiliki keturunan. Apa mungkin hanya alasan saja? Karena aku tahu diri, pernikahan ini memang bukan karena keinginan kami.

Jika benar ia berkhianat, akan ku pastikan ia tidak akan bisa mengelak. Aku pun akan melepaskan diriku dari kehidupan penuh tekanan ini.

Sebenarnya aku ingin meminta cerai. Akan tetapi, jika aku melakukannya tanpa alasan. Maka, kedua orangtua mas Arman bahkan mungkin yang lainnya akan menganggap aku yang salah bukan mas Arman. Meskipun, sekarang ia berselingkuh. Hal itu tidak mungkin juga menjadi alasan bagiku untuk bercerai, karena tak ada bukti yang kuat dan mas Arman pasti akan menuduhku yang melakukannya di hadapan orangtuanya. Ia memang pandai memutar balikan fakta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status