Setelah mengirimi aku pesan, Mas Fahri langsung buru-buru pulang. Sepertinya dia memang sudah tidak sabar untuk menuntut penjelasan dariku, padahal aku yang lebih berhak untuk itu.
Enak saja. Aku memang wanita dan harus taat terhadap suami, apakah kepada seorang pembohong juga aku harus hormat? Yang benar saja. Sebelum benar-benar pergi, Mas Fahri melirikku dengan tajam. Meskipun melihat dengan jelas, aku berpura-pura tidak melihatnya, dan tetap fokus sama Kania yang sedang digoda Dino. "Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Toh, mereka sudah pergi." Dino mulai mencoba mendapatkan penjelasan. "Seperti yang kamu lihat." Aku menjawabnya cuek. Tidak usah menjelaskan, dia juga pasti sudah tahu. "Jadi selama ini dia mengkhianati kamu?" tanyanya sambil menatapku tidak percaya. "Ah, yang benar saja. Memangnya apa kelebihan wanita itu sampai membuatnya berpaling darimu?" ia beberapa kali menggelengkan kepalanya. "Begitulah lelaki. Dia tidak akan pernah merasa cukup, padahal di rumah sudah ada ikat yang segar, dan halal baginya." Aku hanya mengatakan apa yang aku inginkan. Selama ini Mas Fahri memang tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dirinya mempunyai wanita lain. Baik itu selingkuhan atau pun yang lainnya. Ponselnya pun seringkali aku pegang, tapi tidak pernah aku temukan hal-hal yang aneh. Semuanya normal-normal saja. Perhatian dan sikapnya juga tidak pernah berubah. Mas Fahri selalu bersikap romantis tanpa membuat celah sedikit pun. "Kamu bisa menceritakan apapun yang dirasakan, Dee," lirih Dino. Ya, selama ini memang dia hanya akan mengatakan itu. "Bisa antar kami pulang?" tanyaku sambil memikirkan bagaimana reaksi Mas Fahri nanti ketika melihat kami pulang diantar Dino. "Tentu saja," jawabnya cepat. "Hore, kita diantar Papa pulang!" Kania langsung berseru setelah mendengar respon Dino dan Haikal pun ikut tersenyum lebar. Walaupun selama ini anak sulungku selalu bersikap dewasa, tapi dia tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. Namun, selama ini hanya aku yang ada di sisinya, tanpa seorang Papa. Mungkin sekarang hatinya sedang menghangat karena Dino berperan sebagai papanya meksipun hanya untuk beberapa saat. Ketika baru sampai di taman perumahan, anak-anak langsung minta berhenti. Mereka meminta turun untuk memborong semua jualan seorang wanita yang sudah sepuh. "Berapa rambut neneknya, Nek?" tanya Dino sambil duduk di sampingnya. "Satunya delapan ribu." Tanpa menunggu lama, Haikal langsung menghitung semuanya, lalu menyerahkan satu lembar uang merah kepada Nenek yang namanya masih tidak aku ketahui itu. "Tidak, biar Papa saja yang bayar." Dino menahan tangan Haikal dan mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ini, Nek, kembaliannya ambil saja." Kami kembali masuk ke dalam mobil dan benar saja, Mas Fahri sedang menunggu di depan pintu rumah. Kami turun dari mobil bersama-sama. "Ucapkan apa, Sayang?" Aku mengingatkan kepada anak-anak untuk selalu mengatakan permisi, maaf, tolong, dan terima kasih. Ini adalah kata-kata yang sangat penting bagiku dan anak-anak. Tepat di hadapan Mas Fahri, Haikal dan Kania memeluk Dino erat. "Terima kasih atas hari ini, Pa, kami bahagia sekali," ucapnya bersamaan. "Sama-sama, Sayang. Kan ini sudah menjadi kewajiban Papa sebagai orang tua kalian. Ingat, harus selalu nurut apa yang Mama katakan, ya," pesan Dino kepada anak-anak. Padahal dia belum menikah, tapi sifatnya sudah seperti seorang ayah beneran. Andai saja Mas Fahri bisa seperti ini? Tapi ah, rasanya sangat tidak mungkin. "Darah, Pa." Anak-anak melambaikan tangannya ketika Dino menaiki mobilnya yang dibawa oleh karyawannya ke sini. "Apa yang kau lakukan? Siapa laki-laki itu?" Mas Fahri melayangkan tatapan tajam, seolah aku adalah seorang penjahat yang berhak untuk diintrogasi. Haikal dan Kania langsung masuk ke kamarnya tanpa memedulikan Mas Fahri yang tersenyum lembut kepada mereka. Bagus. Ini akan membuat Mas Fahri semakin merasa tersiksa. Tanpa menjawab, aku langsung masuk ke dalam rumahnya. Berpura-pura seolah tidak melihat manusia yang super duper sibuk itu. "Dania!" Mas Fahri mulai membentak dan tangannya mencekal pergelangan tanganku. Aku membalikan badan dan ikut melayangkan tatapan tajam. "Kenapa, Mas? Kenapa malah kamu yang marah?" tanyaku santai. Aku tidak ingin semua penyakitku kambuh hanya karena apa yang sudah dia lakukan padaku. Aku juga layak untuk bahagia. "Kamu perempuan yang sudah memiliki suami, apa pantas kamu melakukan hal itu dengan seorang laki-laki lajang di luaran sana, hah?" Ia berteriak tepat di depan wajahku. "Wah, sampai kapan kamu mau membalikan fakta, Mas? Kamu juga seorang laki-laki yang sudah beristri dan mempunyai dua anak, tapi malah bersama dengan wanita lain. Bahkan sampai melakukan kontak fisik," ucapku penuh penekanan. "Itu berbeda, Dania! Seorang laki-laki bisa mempunyai lebih dari satu wanita, tapi tidak dengan wanita sepertimu!" Suaranya kali ini terdengar lebih keras. "Siapa perempuan itu, Mas? Selingkuhan atau kekasih gelapmu?" tanyaku membuatnya langsung terdiam. Dia pikir aku akan langsung melupakan kejadian hari ini? Mimpi. "Oh, aku lupa, keduanya sama saja, ya. Bukankah kamu dulu pernah bilang, jika seorang suami lebih memilih selingkuh daripada memuliakan istrinya, maka anjing sungguh jauh lebih baik?" Aku menatapnya lekat untuk mendapatkan jawaban. Dulu dia mengatakan hal itu dengan menggebu-gebu dan sekarang dia tidak bisa berkutik?Bersambung ....Seorang laki-laki dipegang perkataannya, tapi belum apa-apa kelemahannya sudah ditemukan Dania. Apakah dia bisa menjawabnya?Mas Fahri tetap diam. Dia sepertinya belum menemukan alasan yang tepat untuk membohongiku, atau dia mungkin sudah tahu kalau aku tidak akan percaya lagi dengan apapun yang dia katakan. "Cepat jawab!" Aku mulai berteriak. Kesabaranku rasanya sudah habis, apalagi jika mengingat selama sepuluh tahun ini dia selalu berbohong. Mas Fahri masih diam. Andai anak-anak tidak ada, aku pasti sudah melampiaskan semuanya. "Ini yang kamu bilang sibuk selama sepuluh tahun ini?" tanyaku lagi sambil menatap matanya dengan penuh kebencian. Mata yang dulu memandangnya dengan penuh cinta dan kelembutan, kini tinggal tersisa hampa, dan kenangan yang pahit. "Jawab, Mas! Kenapa kamu hanya diam? Siapa wanita itu?" tanyaku berteriak. Mungkin saat ini anak-anak sudah mendengarnya, tapi semoga saja tidak. Di kamar, ada Mbak Lina yang baru bekerja kemarin untuk menjaga anak-anak kalau aku sibuk. Aku berharap dia bisa membuat anak-anak menjauh dark tempat kami sekarang. Kebetulan di kamar anak-anak juga ada p
"Adam?" Aku mengucapkan nama itu dan membuat Mas Fahri menatap tajam ke arahku. "Jangan ganggu privasi suamimu, Dania!" bentaknya membuatku sangat terkejut. Oh, jadi dia mau bermain lembut? Baiklah. Aku akan dekati Ranti tanpa sepengetahuanmu, Mas, dan lihat bagaimana hasilnya nanti. Karena takut anak-anak sudah kembali ke kamar dan melihat pesan dari Ranti alias Adam itu. Aku akan mengumpulkan bukti yang cukup untuk membuat keluarga besar kami berdua percaya dengan apa yang akan aku katakan. [Kenapa, Mbak? Mbak terkejut, ya? Aku pacaran dengan Mas Fahri meksipun masih status istri karena suamiku suka main kasar, Mbak. Bukan hanya itu, dia juga suka main perempuan. Tidak pernah kasih nafkah, jadi hanya bisa marah-marah, dan itu membuat Mas Fahri semakin peduli padaku.] [Apalagi anak-anak kekurangan kasih sayang dari ayahnya, jadi Mas Fahri yang menggantikan posisi itu.] Sederet pesan yang Ranti kirimkan membuat dadaku bergemuruh. Bisa-bisanya Mas Fahri peduli kepada anak orang
Hari ini aku akan menemui Mbak Mira untuk mencari tahu siapa nama kontak Ranto di ponselnya Mas Bagas. Entah kenapa aku sangat yakin kalau itu adalah Ranti. "Ayo kita sarapan dulu, Mas, Dek!" seruku kepada anak-anak yang sudah selesai bersiap di kamarnya. Mereka pun langsung keluar, tapi langkah mereka terhenti sambil menatap heran ke arahku. "Kenapa, kok, berhenti? Ayo, dong, Mama langsung antar ke sekolah setelah sarapan," ajakku lagi tapi mereka masih diam. Beberapa detik kemudian aku baru tersadar kalau mereka menatap bukan ke arahku, jadi aku ikut melihat apa yang sedang mereka tatap. "Mas Fahri, ngapain?" tanyaku aneh ketika melihat suami yang tidak pernah sarapan bersama tiba-tiba ada di belakangku. "Mas mau makan bersama dengan kalian," jawabnya lirih. "Enggak usah, gak perlu. Sana lanjutkan tidurnya, anak-anak gak bakalan nangis meskipun kamu tinggal sekali pun," ucapku sinis sambil membawa anak-anak keluar dari kamarnya. "Kamu jangan egois, Nia. Anak-anak pasti memb
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam Aku benar-benar tidak habis pikir, ternyata Mas Fahri bahkan masih punya waktu untuk berdebat di jalanan dengan istri barunya. Sungguh terlalu. Padahal dari rumahnya sudah biasa buru-buru, ternyata hanya untuk hal seperti ini. "Dania!" Baru saja aku melangkah masuk pintu depan restoran, suara Tata sudah mulai terdengar. Tata adalah sahabat yang aku percayakan untuk memegang restoran. Lumayan, bisa untuk tambahan uang kuliahnya. "Hei, maaf kalau aku telat, ya." Aku langsung menghampirinya yang sedang sibuk di kasir. "Gapapa, kalau bos datang kapanpun bukan masalah," kelakarnya. Dulu, aku sempat curiga kalau Tata ada hubungan dengan Mas Fahri, karena ia suka terang-terangan mengungkapkan kebenciannya. Kupikir sama seperti di cerita-cerita, bilang benci, tapi nyatanya cinta. Ditambah biasanya sahabat adalah musuh yang paling dekat, ternyata itu semua hanya pikiran negatifku. "Ada masalah?" Ia bisa menangkap raut wajahku dalam waktu cepat. "Gapap
Alasan Lembur Suamiku "Kau lagi, kau lagi." Mas Fahri menatap Dino penuh dengan kebencian. "Bisa gak sih jangan jadi perusak hubungan orang?" sinisnya. "Loh, kok, jadi gue yang merusak hubungan kalian? Bukannya Lo sendiri yang berkhianat duluan?" ucap Dino santai sambil menarikku untuk duduk, tapi dari bahasanya, aku tahu dia sedang sangat marah. "Dengarnya, kalau bukan karena kamu yang mendekati anak-anak, mereka tidak akan pernah menjauhiku." Mas Fahri menghampiri Dino dengan penuh amarah. Oh, dia mau mengajak Dino berkelahi? Sepertinya Mas Dino lupa kalau sahabatku ini mahir bela diri. Dia bisa mengendalikan tubuhnya untuk menghindar serangan dan membuat lawan terkapar dalam waktu dekat. Mas Fahri memang tidak pernah tahu tentang Dino, tapi aku pernah ceritakan tentangnya dengan detail. Entah dia ingat atau tidak, yang jelas bukan masalah kalau Mas Fahri ajak berkelahi. Hanya saja, aku takut anak-anak akan kasian kalau melihatnya sakit, terus mau dekat lagi dengan dia. "Jang
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam PoV Fahri Aku tidak tahu sejak kapan Dania ada di sini. Bahkan, aku juga baru tahu kalau anak-anak ternyata sekolah di sini. Ah, ayah macam apa aku ini, tapi kasian juga anak Ranti kalau tidak ada yang menjemputnya. Kata dokter, kejiwaan Ranti sedang terganggu. Ia tidak bisa terlalu banyak pikiran, atau dia bisa marah-marah tidak jelas. Berulang kali aku menjelaskan padanya kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun, tapi sepertinya Dania tidak percaya. "Maaf, Dania, aku tidak tahu kalau anak-anak juga sekolah di sini," ucapku jujur. Dania malah tersenyum sinis. "Oh, tidak tahu, ya?" Ia berjalan cepat ke arahku. "Coba lihat, berapa tahun Haikal sekarang?" tanyanya menantang. Jujur, aku memang melupakan umur anak-anak. Mereka lahir kapan, tahunnya saja aku tidak ingat. Apalagi bulan atau hatinya. "Bukankah mereka yang ada di restoran waktu itu?" tanya Raya anaknya Ranti yang pertama. Aku lupa kalau anak-anak masih ada di sini. "Kalian m
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam PoV Dania. "Enggak usah, Bu. Aku sudah punya segalanya, jadi rasanya tidak penting. Maaf, tapi walaupun aku tidak punya apapun, rasanya aku tetap tidak ingin harta Mas Fahri walau sedikit," tolakku halus. Aku bukan wanita yang mudah menggunakan yang lelaki, walaupun itu suamiku sendiri. Rasanya terlalu mahal harga diri jika dibandingkan harta. "Terus, apa yang akan kamu lakukan, Nak? Tapi Mama gak mau kalau Fahri semakin tidak tahu diri." Mama Mas Fahri terisak. Sebagai perempuan, ia juga terluka dengan apa yang dialami olehku. Apalagi Mas Fahri adalah anak laki-laki yang dibesarkan ibu. Dapat kulihat dari celah pintu kalau Mas Fahri sedang mendengarkan apa yang kami bicarakan. Yah, aku memang sengaja mengatakan kata-kata tadi sama ibu. Aku ingin Mas Fahri merasakan harga diri yang tercabik-cabik. Pintu diketuk dari luar. "Ma, ada Dania?" tanyanya bersandiwara. Oh, jadi kamu mau bermain peran? Siapa takut, Mas. Kalau aku langsung menggugat cer
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam PoV DaniaBalasan dari Ranti dengan cepat aku terima. [Mas, kamu jangan becanda begini, gak lucu tahu gak. Kamu dari semalam kenapa? Kok, gak bisa dihubungi?] Aku tertawa kecil membacanya. Dia itu memang wanita baik-baik atau hanya berpura-pura? Kalau dia memang perempuan baik, aku akan membuatnya sadar siapa Mas Fahri. Kalau bukan, akan aku tambah dengan sedikit bumbu. [Sudah aku bilang aku adalah istrinya. Semalam kita makan bersama di rumah mertuaku, yaitu orang tuanya Mas Fahri, juga bersama keluarga besarnya. Kamu sendiri belum pernah bukan dipertemukan dengan mereka?] Setelah pesan terkirim, terdengar suara seseorang mencoba untuk memutar kenop pintu dari luar. Jangan-jangan Mas Fahri? Ah, bodo amat. Sudah aku kunci ini, jadinya aman. Paling minta kunci cadangan sama Mama. [Siapa kau?] Ranti hanya membalas dua kata, tapi justru dari dua kata ini aku bisa mengambil kesimpulan kalau Ranti tidak sebaik yang wajahnya perlihatkan. Sepertinya