"Biasa aja apanya sih, Mas? Apa jangan-jangan mata kamu sudah tidak berfungsi, ya?" Wanita itu terlihat sangat kesal. Jelas, semua mata pasti tahu bagaimana tampilan laki-laki yang kini duduk di depanku.
"Kania mau makan apa? Mau disiapin?" Laki-laki yang bernama Dino itu menawarkan diri kepada Kania. Gadis kecilku menggeleng pelan. "Kania hanya mau disuapi Papa," tolaknya halus. Dino menatapku untuk meminta penjelasan. "Nanti aku jelaskan, sekarang bukan waktu yang tepat," ucapku setengah berbisik. Dino mengangguk. Ia pun mengambil piring Kania dan memberikan suapan. "Papanya lagi sibuk, sama Om aja, ya?" ucapnya lembut. Kania kembali menggeleng. "Papa gak sibuk, itu Papa ada di sana," lirihnya pelan sambil menunjuk ke arah meja Mas Fahri yang sontak membuat Dino ikut menatap ke arahnya. "Sial*n. Apa yang sedang laki-laki itu lakukan di sana?" Dion sangat marah setelah melihatnya. "Seperti yang Om lihat, Papa sedang makan dengan seorang ibu, dan beberapa anak kecil." Haikal berbisik dan membuat Dino terlihat semakin marah. "Maka dari itu aku mau minta izin sama Om, boleh gak kalau kita panggil Papa?" tanyanya membuatku terkejut. "Kamu gak perlu setuju kalau gak merasa nyaman." Aku menimpali. Selama ini aku selalu membuat Dino berada di posisi yang sulit, tapi dia tidak pernah menolak untuk membantuku sedikit pun. "Gapapa, aku tidak pernah merasa tidak nyaman jika itu berhubungan denganmu, dan juga anak-anak," jawabnya dan kami langsung mengucapkan terima kasih. "Kania Sayang, mulai sekarang kamu panggil Om dengan sebutan "Papa" saja, bagaimana?" Haikal berbisik di telinga Kania dan gadis itu langsung berubah drastis. "Beneran boleh?" tanyanya sambil menatapku untuk meminta izin. "Gapapa, Sayang. Om akan sangat senang kalau jadi Papa kalian." Dino mulai menunjukkan sikapnya yang kelewat percaya diri. Untunglah dia hanya suka menunjukkannya di hadapanku, entah bagaimana kalau yang lainnya melihat sikapnya yang seperti ini. Kania sontak berdiri. "Hore, akhirnya aku punya Papa," serunya membuat Mas Fahri dan semua orang yang ada di meja itu menatap ke arah kami. "Papanya keren, ya, Ma?" Anak-anak wanita itu ikut memuji ketampanan Dino dan itu membuat rahang Mas Fahri kembali mengeras. "Iya, tampan, gagah, ker—" "Cukup!" Mas Fahri berbicara dengan setengah berteriak membuat wanita itu menghentikan perkataannya. "Jangan puji laki-laki itu lagi, cepat habiskan makanan kalian, dan kita langsung pulang!" titahnya tajam dan hal itu membuat anak-anak yang ada di depannya kembali tidak bicara. "Pa, aku mau itu!" Kania menunjuk makanan yang ada di dekatku, tapi dia malah meminta tolong kepada Dino. Aku baru sadar, ternyata Kania sudah pintar membuat Mas Haris kebakaran jenggot. "Iya, Sayang." Dino mengusap puncak kepala Kania lembut dan matanya menatap ke arahku. "Sayang, Kania katanya mau makan itu." Aku terbelalak ketika mendengar Dino memanggilku dengan sebutan "Sayang", bahkan mata Mas Fahri secara terang-terangan menatap ke arah kami dengan tajam. "Ayo kita pulang!" Mas Fahri tiba-tiba berdiri dan hendak melangkah, tapi wanita itu menggenggam tangannya kembali. "Kamu gak kasihan sama anak-anak, Mas? Kasian mereka masih mau makan, mana makannya lahap banget," pintanya lembut. Melihat bagaimana cara anak-anak itu makan, aku bisa menarik kesimpulan kalau wanita itu dari kalangan biasa, tapi aku akui sikapnya sangat baik, dan tulus. Tidak seperti pelakor biasanya yang selalu liar dan tidak punya sopan santun. Setelah melihat anak-ana yang ada di depannya makan dengan lahap, Mas Fahri mencoba menurunkan egonya, dan kembali duduk. "Papa, aku mau disuapi, maaf kalau tadi aku menolak Papa yang mau menyuapi. Aku maunya baru sekarang!" Kania kembali meminta hal yang tidak-tidak. "Boleh." Tanpa banyak bicara, Dino langsung melakukan apapun yang diminta Haikal dan juga Kania. Bahkan, kami juga pergi ke taman bermain yang kebetulan ada di belakang meja Mas Fahri. Kami berjalan santai melewatinya, tapi mata Mas Fahri tidak lepas dari kami dengan tatapan yang penuh emosi. Seolah mengatakan, "Aku yang seharusnya ada di sana, bukan laki-laki itu." Kami saling becanda dan tertawa bersama tanpa memperhatikan Mas Fahri dan yang lainnya. Ketika Kania dan Haikal sudah lelah bermain, kami kembali duduk di meja, dan memesan minuman segar. "Bagaimana, seru enggak?" tanya Dino kepada kedua anakku. "Seru banget, Pah, kapan-kapan kita main lagi ke sini, ya?" Kania menatap wajah Dino dengan penuh harap. Menurutku ini wajar, karena Mas Fahri tidak pernah ada di rumah selama anak-anak libur. Apalagi ketika mereka sekolah. "Siap, Tuan Putri. Apapun yang kalian inginkan, Papa akan langsung memberikannya tanpa ragu," jawab Dino sambil memeluk Kania juga Haikal dan mata yang menatapku. Kami sudah terlihat seperti keluarga bahagia. Baru saja aku mau ikut memeluk Kania, ponselku berdering sangat keras. Ternyata hanya sebuah pesan dari Mas Fahri. [Cepat pulang, ada banyak hal yang perlu kita bicarakan!] Harusnya aku yang berbicara begitu, bukan seorang laki-laki penipu seperti dia. Bersambung ....Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam Kini aku sedang menunggu Haikal bicara, apa maksud dari pergi jauh yang dia katakan tadi. Namun, orang yang kutunggu itu hanya diam saja sambil beberapa kali memasukan makanan ke dalam mulutnya. "Kami hanya akan datang kalau Kania kembali merindukan orang yang tidak seharusnya dirindukan," ucap Haikal tiba-tiba membuka suara setelah melap bibirnya yang penuh saus dengan tisu. Merindukan orang yang seharusnya tidak dirindukan? Apa aku memang pantas untuk tidak dirindukan? Ya Allah, apa yang sebenarnya sudah aku lakukan di masa lalu, sampai lukanya Haikal sebesar ini? "Sayang, Papa adalah ayah kandung kalian. Bukankah rasanya tidak mungkin kalau kalian tidak merindukan Papa?" Aku kembali bertanya dengan basa-basi. Padahal tubuhku sendiri ingin membawa mereka ke dalam pelukan. Kini aku tahu bagaimana rasanya tidak dianggap ada. Baru sebentar saja, aku merasa sudah mengalami hal ini sangat lama. Aku juga menjadi tahu bagaimana rasanya dibenci oleh
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 46 "Katakan padaku, apa papanya Dania telah berbohong padaku?" tanyaku pada Chris sambil mencengkram erat bajunya. "Saya tidak tahu, Pak. Saya tadi sudah mengatakan pendapat tentang alamat yang diberikannya ini, tapi Bapak menolak untuk tahu." Ia menjelaskan dengan jujur. Benar, ini adalah kesalahanku sendiri. Harusnya aku belajar dari pengalaman, dan tidak lagi tertipu oleh tipuan murahan. Aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. "Kembali ke kantor. Kita kerjakan pekerjaan yang sudah lama kita tinggalkan," titahku dan Chris langsung menjalankan mobilnya. Aku benar-benar tidak habis pikir, sikap Dino dan Dania ternyata sangat ke kanak-kanakan. Kalau dari awal mereka memang tidak berniat untuk bertemu denganku, kenapa mereka muncul di taman waktu itu? Terus kenapa papanya Dania pun ikut memberikan alamat yang salah padaku. Apa memang aku pantas diperlakukan seperti ini? Sungguh terlalu. Aku bekerja keras untuk kebahagiaan mereka, tapi inik
PoV Fahri Oke, aku mengaku kalah. Sudah 7 x 24 jam aku mencari mereka tanpa kenal lelah dan makan pun sudah tidak aku ingat, tapi sama sekali tidak ada jejak apapun. Mereka seperti menghilang ditelan bumi. "Kenapa, Pak?" Chris tiba-tiba mendekat ke arahku. Aku yang hanya ingat kalau dia adalah orangnya Dino pun langsung emosi dan menarik kerah bajunya. "Katakan di mana majikan kamu itu berada?" tanyaku sambil menatap manik matanya. Aku sudah tidak bisa lagi bersabar apalagi menahan amarah untuk tidak memberikan pelajaran kepada orang yang ada di depanku ini. "Maaf, Pak. Saya memang tidak tahu lagi mereka ada di mana. Tadi saya diberitahu oleh orang khusus mereka kalau Bu Dania dan keluarganya sedang ada di taman," jelasnya membuatku semakin marah. "Kalau begitu sekarang tanya orang khusus itu dia di mana. Jawab sekarang juga, jangan sampai membuatku marah!" "Baik, Pak. Tapi tolong lepaskan dulu cengkraman tangan bapak ini." Tanganku seketika terlepas dari kerahnya. "Cepat t
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 44 Berada di kamar terlalu lama membuatku penat. Apalagi suara anak-anak sudah tidak terdengar lagi. Baik Haikal, Kania, Raya, ataupun Rani. Rumah ini seperti kosong. "Mas, sarapan!" teriak Mbak Jum setelah mengetuk pintu. "Iya, Mbak. Sebentar lagi saya keluar." Aku langsung mandi dan bersiap untuk kembali ke kantor. Namun sebelum berangkat, aku harus sarapan dulu. Sekaligus untuk melihat bagaimana sikap Dania dalam melayani Dino di pagi hari seperti ini. Apa sama seperti apa yang kulakukan dulu, atau berbeda. Namun, pikiranku mengatakan kalau sikap Dania pasti berbeda. Sikapnya padaku tentu akan lebih spesial. Setelah siap aku langsung keluar dari kamar menuju tempat makan dengan sangat gembira. Namun ketika sampai di sana, aku hanya mendapatkan kekecewaan. "Kok, hanya ada Mama sama Papa, yang lainnya ke mana?" tanyaku heran sambil menatap makanan yang tertata rapi di meja hanya sedikit saja. Tidak ada makanan kesukaan Dania ataupun anak-ana
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 43 PoV Fahri Setelah sempat bangun dan menyaksikan kemesraan mereka berdua, aku ternyata kembali tidak sadarkan diri. Sekarang aku baru membuka mata dan sangat lapar, sementara di dalam kamar hanya ada aku sendiri. Memang kebangetan semua penghuni rumah ini, setidaknya tinggalkan makanan atau buah di dekat tempat tidurku agar aku tinggal makan pas bangun. Mana badan sakit semua lagi. Baru saja aku membuka pintu kamar, terdengar perbincangan dari kamar sebelah yang kutahu adalah kamar anak-anak. "Apa nama benda ini, Pa?" terdengar Haikal bertanya. "Ini adalah kelereng. Permainan anak-anak zaman dulu, biasa dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan. Cuman dulu papa gak bisa memainkannya, selalu kalah." Dino pun menjelaskan. Mendengar kedekatan mereka, hatiku kembali teriris, lalu tersiram perasaan air jeruk yang asam. Sangat menyakitkan. Dulu aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan mereka, yang ada di pikiranku hanya ada Rani dan Raya.
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 42 PoV Fahri "Kamu pasti terkejut, kan? Padahal tidak perlu, karena kami sudah merencanakan hal ini dari jauh-jauh hari. Bahkan tahun." Mas Bagas berjalan mendekat ke arahku sambil meracau. "Asal kamu tahu, aku selalu iri melihatmu begitu diperhatikan oleh Dania. Dari pagi sampai malam, hanya kau yang dia perlakukan istimewa. Sementara aku, aku hanya bisa menjadi penonton dari kemesraan kalian," lanjutnya. Aku benar-benar tidak faham dengan apa yang dia katakan. Sepertinya dia sudah salah minum obat, jadi mengatakan hal yang tidak-tidak. "Cukup, hentikan sandiwara ini!" Aku berjalan ke arah pintu dan mencoba untuk membukanya, tapi tidak bisa. Ternyata mereka kembali mengunci pintunya. Aku membalikkan badan dan menatap ke arah mereka satu persatu. "Jadi maksudnya kalian bersekongkol?" "Seperti yang kau lihat dan kita sama-sama menginginkan orang yang berbeda," jawab Mas Bagas mantap. Sebenarnya siapa yang mereka inginkan? "Aku menginginkan Diana