Share

Aliandra 'Tuan Muda Tersayang'
Aliandra 'Tuan Muda Tersayang'
Author: Novi Lestari

AHLI WARIS

  1. Ahli Waris

“Hanya dia yang tersisa! Ya, benar, hanya pemuda cacat itu, bukan?”

“Benar, si cacat itu adalah pewaris satu-satunya.“

“Tidak benar, bukankah dia memiliki saudara tiri?”

“Ya, ya, ayahnya ‘kan memiliki dua orang istri!”

“Pasti saudaranya yang menjadi pewaris, tidak mungkin si cacat itu!”

Desas-desus terdengar semakin jelas di telinga seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah kursi roda. Seolah dirinya tidak ada. Semua orang membicarakannya dengan suara keras seakan dirinya itu hanyalah sebuah patung. Padahal dirinyalah yang sekarang ini sedang menjadi pusat desas-desus murahan itu.

Aliandra Mahesa. Siapa yang tidak kenal dengannya, satu-satunya pewaris dari Mahesa Group. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang pariwisata dan perhotelan.

Kematian ayahnya yang mendadak membuat namanya semakin sering digaungkan oleh para pemegang saham.

Bukan sebuah kalimat penyemangat atau sekadar ucapan turut berbelasungkawa, tetapi sebuah cemooh yang sangat menyakiti hati. Bahkan sekarang, saat sedang di pemakaman pun para relasi ayahnya itu masih membicarakan dirinya.

‘Dasar tidak sopan!’ batinya. 

Waluyo memutar kursi roda Aliandra, saat satu per satu pelayat mulai meninggalkan gundukan kecoklatan itu.

Aliandra mengangkat sebelah tangannya, meminta Waluyo untuk berhenti.

“Tinggalkan saja aku. Aku ingin di sini sendirian untuk beberapa saat!”

“Tapi, Tuan—“

“Turuti perkataanku, Waluyo!”

Waluyo mengangguk, lalu segera berbalik meninggalkan Aliandra. Pria tua yang selalu setia merawat Aliandra itu duduk di bawah sebuah pohon besar yang tidak jauh dari Aliandra. Sehingga ia dapat segera menghampiri Aliandra jika terjadi sesuatu.

Aliandra kembali memutar kursi rodanya menghadap gundukan coklat yang masih basah. Tangannya menyentuh gundukan itu dan setetes bulir bening mulai melesak keluar dari sudut matanya.

Ada rasa sesak yang mengimpit dada saat ia kembali mengingat perdebatan yang terjadi sebelum sang ayah meninggal dunia.

Kurnia Mahesa, yang sekarang memiliki gelar mendiang memanggilnya untuk datang ke ruang kerja malam itu. Sudah jelas sang ayah pasti ingin membahas perdebatan yang masih menggantung sore tadi.

Melalui panggilan telepon, sang ayah terus menghubunginya. Padahal saat itu mereka sama-sama sedang berada di rumah dan seharusnya ayahnya tahu bahwa dirinya tidak mungkin turun ke lantai bawah seorang diri. Akan tetapi Kurnia terus menghubunginya.

Aliandra sama sekali tidak  menaruh curiga jika ternyata nyawa sang ayah saat itu sedang terancam. Aliandra bahkan tidak memperhatikan typo yang berserakan pada isi pesan yang dikirimkan Kurnia kepadanya.

“Andra, ruang kerja. Sekarang!”

Seharusnya seperti itulah isi pesan yang benar, tetapi Kurnia Mahesa malah mengirimkan pesan yang sulit sekali diartikan, jika saja Aliandra tidak terbiasa dengan isi pesan seperti itu ia pasti tidak akan mengerti juga.

“Aabndsra, truang jkwrja. Aeksrang!”

Kacau sekali. Sepertinya diketik dengan terburu-buru.

Benar saja. Tidak lama setelah panggilan terakhir dari Kurnia yang juga diabaikan oleh Aliandra, terdengar suara tembakan dari lantai bawah—di mana ruang kerja Kurnia Mahesa berada.

Aliandra segera bangkit dari ranjang. Tangannya meronta di udara, berusaha meraih tongkat yang berada terlalu jauh dari ranjangnya. Bahkan kursi rodanya pun berada jauh sekali dari jangkauannya.

“Argh! Shit! Kaki sialan!” ujarnya geram. “Waluyo!, Waluyo!”

Waluyo tidak datang saat itu. Kemudian ia menyadari bahwa tidak ada satu pun orang di rumah saat itu, hanya ada dirinya dan sang ayah. Semua pelayan pergi ke suatu tempat atas perintah seseorang.

“Seseorang!” gumamnya.

Aliandra menyentuh nisan yang bertuliskan nama pria yang paling disayanginya. Wajahnya mendekat ke nisan itu dan bibirnya mulai membisikan sebuah kalimat. “Aku tahu siapa dia, Ayah, tunggulah. Aku akan menguburnya di samping makammu. Aku janji!”

***

Hari berganti tetapi tidak dengan keadaan. Tepat satu bulan setelah kepergian Kurnia Mahesa, Aliandra Mahesa pun memegang kendali atas perusahaan yang selama ini dikelola oleh mendiang ayahnya.

“Hanya untuk sementara, sebelum saudara Anda tiba di Indonesia.” Salah seorang pemegang saham yang cukup berpengaruh mendelik dengan menyebalkan ke arah Aliandra.

Pria congkak yang memiliki senyum dan tatapan menyebalkan itu merupakan sahabat Kurnia Mahesa. Ya, setidaknya begitulah yang orang-orang ketahui, tetapi Aliandra tahu bagaimana busuknya pikiran pria dengan rambut yang sudah memutih itu.

“Aku pewaris satu-satunya, Pak Burhan, jadi sampai kapan pun tidak ada yang bisa menggeser posisiku bahkan saudaraku sendiri.” Aliandra menatap sinis seorang Burhan Lubis yang masih mendelik kepadanya.

Burhan tertawa hingga matanya berair. “Tidak ada yang bisa menggeser posisi Anda! Yang benar saja, Pak Andra! Aku rasa cucuku di rumah saja dapat menggeser posisi Anda dengan mudah!” ujarnya, lalu mendorong kursi roda yang di duduki Aliandra dengan kakinya, membuat kursi roda itu bergeser dari tempatnya semula. “See, aku menggeser Anda dengan mudah. Sadarlah, Anda itu cacat!”

Aliandra tersenyum miring. Senyum khas yang ia miliki itu membuat wajahnya terlihat semakin dingin dan menakutkan. Pria itu kemudian mendongak dan menatap tajam langsung ke dalam mata Burhan Lubis yang berdiri tidak jauh di hadapannya.

“Aku cacat. Ya, aku mengakuinya. Aku memang cacat, tapi perlu Anda ketahui, Pak Burhan, bahwa aku pria cacat yang cerdas. Aku tidak bodoh! Jikalau nanti pun akhirnya aku akan tersingkir dengan mudah, maka ingatlah bahwa aku pasti akan kembali dengan mudah.”

Burhan Lubis menatap Aliandra dengan benci. “Kita lihat saja nanti—“

“Ya, kita lihat saja nanti. Untuk sekarang cepat keluar dari ruangan ini! Keluar sekarang juga, Pak Burhan, sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!” Aliandra berteriak.

Melihat raut kemarahan di wajah Aliandra, membuat Burhan seketika berlari untuk keluar dari ruangan itu. Pria tua itu tahu betul siapa dan bagaimana perangai Aliandra. Seandainya pria muda itu tidak cacat, sungguh Burhan sama sekali tidak berani membuat Aliandra kesal.

***

“Tidak baik jika Anda terus berteriak, kepada mereka, Tuan. Sama sekali tidak ada gunanya.” Waluyo segera memasuki ruangan ketika melihat Burhan Lubis berlari dengan wajah cemas melintasi koridor kantor.

Hanya dengan melihat wajah pria tua itu, ia tahu bahwa Tuannya pasti baru saja mengamuk.

“Waluyo. Kamu selalu tiba di saat yang tepat. Tolong ambilkan aku air dingin. Aku sangat haus,”  perintah Aliandra.

Waluyo mengangguk dan segera menghampiri lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Setelahnya, ia kembali menghampiri Aliandra dengan sebuah botol air mineral dingin di tangannya.

“Thanks!” ujar Aliandra, lalu segera meneguk air dingin yang Waluyo berikan.

“Pengacara tiba setengah jam yang lalu, Tuan. Saat Anda masih sibuk dengan si Tua dari keluarga Lubis.” Waluyo berkata dengan tenang.

Aliandra melirik pria tua yang selama ini selalu sabar menghadapinya itu. Sudah banyak asisten yang ia miliki dan ia pecat juga pastinya karena ketidakcocokkan antara dirinya dan juga si Asisten. Namun, tidak demikian dengan Waluyo. Pria tua itu terlalu tenang dan selalu dapat memahami suasana hatinya dengan baik. Sehingga ia sama sekali tidak punya keluhan atau alasan untuk memecat pria tua itu seperti asisten-asisten sebelumnya.

“Setelah membesarkan seorang putri sendirian, sungguh Anda bukanlah masalah besar buat saya, Tuan. Jika Anda tahu bagaimana sifat keras kepala putri saya, maka Anda pun pasti akan merasa bahwa Anda sama sekali tidak keras kepala! Anda itu belum ada setengahnya dari putri saya.”

Hal itulah yang selalu Waluyo katakan kepada Aliandra. Aliandra sendiri belum pernah bertemu dengan putri dari Waluyo. Jika memang Waluyo memiliki putri sekejam itu, sungguh ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan gadis itu.

“Ehem, Anda tidak ingin mendengar kelanjutannya, Tuan?” Waluyo mengagetkan lamunan  Aliandra.

“Lanjutkanlah, aku menyimak,” jawab Aliandra, kembali meneguk air mineral.

“Para pemegang saham memang tidak akan menyetujui kepemimpinan Anda, dikarenakan keadaan Anda. Akan tetapi, di dalam surat wasiat jelas sekali tertulis bahwa Anda  bisa mengendalikan segalanya hanya dengan satu syarat yang mudah.”

Aliandra mengerutkan keningnya dengan bingung. Melihat Aliandra tidak berniat untuk menanyakan persyaratan yang dimaksud, maka Waluyo kembali melanjutkan penjelasannya.

“Anda hanya perlu menikah, Tuan!”

Mendengar kata menikah, membuat Aliandra terkejut dan menyemburkan air yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.

“Menikah?!” teriaknya.

Waluyo mengangguk pelan. "Ya, menikah!"

“Argh! Shit!”

Bersambung  .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status