Share

MENIKAHLAH DENGANKU, YASMIN!

Yasmin segera bangkit berdiri begitu melihat siapa yang datang. Sementara Virni, ia hanya menatap Aliandra dengan mulut yang terbuka lebar dan kedua mata yang melotot seakan ingin keluar dari rogganya.  

Waluyo berdeham sambil menatap Virni penuh arti. Tetapi percuma saja, yang ditatap malah tidak memperhatikan Waluyo sama sekali. Gadis berkacamata itu masih sibuk menatap Aliandra hingga Yasmin mencubit pipi Virni dengan gemas, membuat gadis itu kembali mendapatkan kesadarannya.

Aliandra tertawa melihat tingkah kedua gadis di hadapannya. “Tidak pernah lihat tongkat?” tanya Aliandra kepada Virni. Saat itu Aliandra memang sedang berdiri dengan menopangkan tubuh pada tongkat kesayangannya.

“Ah, bukan, bukan. Saya hanya tidak pernah melihat malaikat sebelumnya,” ujarnya dengan santai, yang lagi-lagi membuat Yasmin mengeluh dalam hati.

“Malaikat?” Aliandra berucap sambil tersenyum manis.

“Iya, benar. Malaikat tampan. Anda tampan sekali, oh, astaga!” Virni meremas ujung kaosnya dengan gemas.

Yasmin dan Waluyo hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Virni.

“Silakan masuk, Tuan.” Yasmin mempersilakan Aliandra untuk masuk, sebelum akhirnya ia menghampiri sofa tua yang berada di tengah ruangan dan menepuk-nepuk Sofa itu dengan tangan kosong, bermaksud untuk menghilangkan debu yang menempel di sana.

“Terima kasih.” Aliandra tersenyum lalu mulai melangkah memasuki rumah sederhana itu. Waluyo membantu Aliandra berjalan menuju sofa yang telah dibersihkan oleh Yasmin hingga Aliandra duduk dengan nyaman di atas sofa sederhana itu

“Tuan?” Virni mengerjap bingung.

“Iya, Vir. Tuan ini adalah Tuan Aliandra.” Yasmin menjawab. Segera setelah Yasmin mengatakan hal itu, Virni menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti permintaan maaf dan ia pun berlari menuju ke kamar Yasmin untuk bersembunyi.

Yasmin memaklumi tindakan Virni, temannya itu pasti merasa takut sekali, karena telah berani berbuat kurang ajar kepada Aliandra. Dirinya pun melakukannya hal yang sama kemarin, saat dengan tidak sengaja ia berani berbuat tidak sopan kepada Aliandra.

“Mau minum apa, Tuan? Biar saya buatkan,” tanya Yasmin, tanpa memandang wajah Aliandra sama sekali. Ia masih merasa gugup.

“Memangnya ada apa saja di sini?” tanya Aliandra.

“Ada air putih, air putih dan air putih,” jawab Yasmin sambil terkekeh.

“Memangnya tidak ada teh atau kopi, Yas?” tanya Waluyo.

“Ada, Yah, tapi gulanya habis.”

Waluyo menepuk keningnya dengan keras. Ia merasa malu sekali, saat tuannya memutuskan untuk bertandang ke kediaman sederhananya, ia justru tidak memiliki apa-apa untuk disuguhkan. “Biar aku beli kalau begitu,” ucap Waluyo sambil bersiap pergi dari hadapan Yasmin dan Aliandra.

“Tidak perlu, Waluyo. Duduklah dan mari kita bicara,” titah Aliandra. “Kamu juga, Nona mata panda. Duduklah,” tambah Aliandra saat melihat Yasmin mengendap-endap hendak pergi dari ruangan itu. Mungkin ingin ikut bersembunyi bersama dengan temannya.

Yasmin untuk sesaat terlihat terkejut, tetapi ia segera mematuhi permintaan Aliandra. Gadis itu duduk dengan kaku di hadapan Aliandra, masih dengan wajah yang menunduk. Tidak sekali pun ia mendongak untuk menatap Waluyo atau Aliandra.

Keheningan meliputi mereka bertiga. Hanya terdengar deru napas yang memburu, tanda tengah terjadi kegugupan yang entah dari mana asalnya. Mungkin dari Aliandra yang memang sedang merasa gugup sekali. Ia merasa bingung dan bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana caranya melamar seorang gadis dengan benar. Belum lagi ditambah detak jantungnya yang mulai berdetak dengan cepat. Terasa aneh dan tidak normal.

Akan tetapi, bisa juga kegugupan itu berasal dari Waluyo yang memang tidak tahu harus bagaimana bersikap di depan Aliandra yang sebentar lagi pasti akan berstatus sebagai menantunya. Tentu saja ia sekarang merasa sangat gugup dan juga canggung. Atau bisa juga suara deru napas itu merupakan bentuk dari rasa gugup seorang Yasmin. Ya, Yasmin tentu saja merasa sangat gugup saat berhadapan kembali dengan Aliandra. Baru kemarin ia berciuman dengan pria itu dan memintanya untuk berbohong. Jadi tidak terlalu mengherankan jika suara deru napas itu paling mungkin berasal dari Yasmin. Membayangkan bagaimana lembutnya bibir Aliandra saat bertemu dengan bibirnya membuat Yasmin merasa jantungnya seakan hendak copot.

Aliandra kemudian berdeham untuk memecah keheningan yang terasa tidak nyaman. Seketika itu juga Yasmin dan Waluyo mengangkat wajah mereka dan memberikan perhatian kepada Aliandra.

“Ada yang ingin kukatakan kepadamu, Yas,” ucap Aliandra.

“Apa tentang kejadian kemarin?” tebak Yasmin dengan gugup. “Saya sungguh minta maaf, Tuan, kemarin saya telah bersikap kurang ajar kepada Anda. Saya mohon jangan pecat Ayah saya.”

Aliandra menatap Yasmin dengan kening berkerut. Rupanya gadis itu telah salah mengartikan kedatangannya. Aliandra menggunakan kesempatan itu untuk menjahili Yasmin. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan kepada siapa pun, tetapi kali ini ia ingin melakukannya.

Aliandra kemudian berdeham dan menatap Yasmin dengan wajah serius. “Dari mana kamu tahu jika kedatanganku ke rumah ini untuk membahas masalah kemarin dan untuk memecat Waluyo?”

Mendengar perkataan Aliandra, wajah Yasmin terlihat menegang. ‘Ah, sial. Padahal aku cuma menebak-nebak saja agar dia iba, tapi ternyata dia benar-benar ingin memecat ayah. Sabar, sabar. Ingin rasanya aku meninju wajah sok tampan itu. Seandainya saja aku tidak kasihan melihat keadaannya, pasti akan kuhajar dia!’ batin Yasmin.

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Ingin menghajarku atau menciumku?” tanya Aliandra begitu melihat ekspresi di wajah Yasmin

Wajah Yasmin semakin tegang, begitu juga dengan Waluyo. Pria tua itu bingung karena Aliandra menggunakan kata sevulgar itu kepada putrinya yang masih kecil. Ya, kecil menurutnya, tetapi tidak demikian menurut Aliandra.

“Ci-cium? Tidak, saya ... saya ... kemarin itu tidak sengaja,” ucap Yasmin dengan terbata-bata. “Siapa suruh Anda banyak bergerak.”

“Bergerak? Apanya yang banyak bergerak? Dan ciuman apa maksud kalian, hah?” Tanya Waluyo dengan mata melotot. Memang Aliandra adalah majikannya, tetapi sekarang dirinya sedang berperan sebagai calon ayah mertua. Tentu saja ia harus bersikap galak, apalagi Aliandra dan Yasmin membahas masalah ciuman yang tidak ia ketahui dan tidak ia sangka juga.

“Sstt, Ayah. Santai, santai, dia majikan kita,” desis Yasmin. Ia terkejut karena ayahnya berani memelototkan mata seperti itu kepada Aliandra.

Mendengar perkataan Yasmin, Waluyo segera mengatur napas dan kembali bersikap biasa. Walaupun terasa sulit, tetapi ia tetap berusaha.

Aliandra tertawa melihat apa yang Waluyo lakukan. Pria tua itu berusaha menahan amarahnya. “Marahlah jika ingin marah, Waluyo. Toh mulai hari ini kamu bukan asistenku lagi—“

“Plis, jangan pecat Ayahku,” ucap Yasmin memohon.

“Sayang sekali aku harus memecatnya. Semua karena kamu.” Aliandra menatap Yasmin yang terlihat sedih. Karena merasa tidak tega mempermainkan gadis itu lebih lama lagi lantas ia melanjutkan, “Karena Waluyo akan segera menjadi mertuaku.”

Yasmin terlihat bingung. Ia merasa jika pendengarannya pasti bermasalah. Maka ia menepuk-nepuk kedua telinganya lalu berkata kepada Aliandra, “Coba ulangi!”

Aliandra tertawa, tawa renyah yang membuat Yasmin terpesona. “Dia akan menjadi mertuaku. Menikahlah denganku, Yasmin. Sekarang ini aku sedang melamarmu.”

“Hah, menikah!” Virni yang sejak tadi menguping di balik tirai tiba-tiba muncul. Sementara Yasmin, gadis itu terlihat tidak sadarkan diri.

“Dia pingsan!” teriak Virni lagi.

***

Irene merintih kesakitan saat dokter memeriksa pergelangan kakinya. Sebenarnya kaki itu hanya terkilir dan sudah ditangani dengan baik oleh dokter sejak kemarin. Hanya saja bukan Irene namanya jika tidak melebih-lebihkan sesuatu.

Sejak dokter mengatakan bahwa kakinya tidak apa-apa, sejak saat itu juga Irene telah mengganti sedikitnya lima dokter. Barangkali ada salah satu dari dokter yang memeriksa dirinya mengatakan bahwa kakinya patah. Namun, semua sama saja. Mereka semua mengatakan bahwa tendangan rivalnya tidak begitu fatal untuk membuat kakinya patah.

“Kamu hanya perlu beristirahat dan mengoleskan krim yang telah kuberikan. Dengan begitu keadaanmu akan segera membaik, Irene,” ujar dokter pribadi Irene.

Iren berdecak kesal lalu meminta dokter wanita itu untuk pergi. Ia merasa kesal sekali karena tidak dapat memperpanjang masalahnya dengan Yasmin. Ya, kecuali ia mengadu pada kakeknya. Kakeknya tidak pernah membiarkan dirinya terluka sedikit pun. Dengan begitu maka Yasmin yang dibencinya akan mendapat balasan yang setimpal. Berani sekali gadis miskin itu menendang kakinya.

“Tunggu pembalasanku. Jika aku mengadukan pada kakek, maka tamatlah riwayatmu Yasmin miskin!” gumamnya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status