Share

7. Jalan-jalan dengan Hanz 2

Jantung Adara berdebar tak menentu memandangi punggung si Cecunguk yang ada didepannya itu, perkataannya di bank membuat hati Adara sedikit berbunga. Adara tersentak dari sebuah rasa indah yang menyelimuti hati ketika sebuah telapak hangat menyentuh tangannya dan langsung menarik ke depan dan dilingkarkan pada pinggangnya.

Dengan cepat ia menarik kembali tangannya, namun sekali lagi Hanz menarik tangan Adara dan menjepitnya sehingga Adara hanya pasrah.

"Pegang, Ndut. Kalo kamu jatuh kasian aspalnya," ucap Hanz yang mampu menyulut bara dihati Adara

"Apa?!" kesal Adara.

Lucunya, walaupun kesal tapi Adara tetap melingkarkan tangannya dipinggang atletis milik Hanz.

"Kita mau kemana sih?'' tanya Adara.

"Udah, penumpang diam aja," jawab Hanz.

Adara hanya bisa berpasrah diri, duduk manis di belakang sambil memeluk tubuh hangatnya. Aroma tubuh Hanz yang berbau  maskulin, parfum khas laki-laki hampir saja membuatnya tertidur andai saja sepeda motor yang dipacunya tidak berhenti.

"Turun, Ndut. Udah sampai," ucap Hanz.

Puncak gunung, ada jalan kecil yang beraspal bertuliskan Tanjung Isuy pada petunjuk jalannya, kiri kanan jalan itu dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit. Dan dua meter dari jalan itu ada sebuah warung kecil disitulah Hanz mengajak Adara duduk, tempat yang dikenal dengan sebutan simpang sawit.

"Kamu mau makan apa, Ndut?" tawar Hanz

"Bakso sama es campur," jawab Adara.

"Pantas kamu bulat, hobinya makan pentol." Hanz terkekeh.

"Biarin, namanya juga takdir ya mau gimana lagi. Kalau kamu malu, kamu bisa mundur kok nggak usah temanan sama aku." Adara mendengus melewatinya dan duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu sungkai.

Hanz tertawa geli sambil mengikuti Adara dan duduk di kursi yang sama, "Cieee, ngambek ne. Gitu aja udah ngambek kamu, Ndut."

"Ngambek? Nggak lah ... aku sudah terbiasa di omongin yang macam-macam," ucap Adara dengan senyum yang mengembang. Entah mengapa Hanz hanya terdiam tak membalas ucapan Adara.

"Bude, tempat untuk pipisnya dimana ya kalau disini?" Tanya Adara pada pemilik warung kecil.

"Waduh, Dek. Nggak ada kamar mandi di sini, kalau mau pipis ya di bawah pohon sawit sana." Tunjuk Bude pada pohon sawit yang bejejer dibelakangnya.

"Waduuh!" Adara menarik salivanya dalam.

"Kalau mau pipis sini aku anter," bisik Hanz.

"Apa-apaan sih. Jangan mes*m deh." Kesal Adara.

"Yeee, siapa yang mes*um, silahkan pergi sendiri tapi aku nggak tanggung ya kalau kamu ditelan ular Phyton. Ya kan  Bude," ucap Hanz.

"Iya Dek, hati-hati kalau pergi sendiri di sawitan banyak ularnya," sahut Bude mengiyakan ucapan Hanz.

Dengan terpaksa Adara menarik tangan Hanz dan membawanya ke arah pohon sawit.

"Balik badan, awas ya kalau ngintip," ancam Adara.

"Ngapain ngintip kamu rugi," balas Hanz.

Mereka pun kembali lagi ke warung Bude setelah Adara selesai, akhirnya makanan mereka  tiba, setelah selesai menikmati makanan dan minuman mereka pun kembali melanjutkan perjalanan yang Adara sendiri tak tahu akan di bawa kemana oleh Hanz.

Mereka memasuki jalan aspal yang bertuliskan Tanjung Isuy tadi, sepanjang jalan hanya perkebunan kelapa sawit yang menghiasi pemandangan disisi kiri dan kanan. Adara sempat takut dan berpikiran yang tidak-tidak, karena Hanz membawanya memasuki areal perkebunan kelapa sawit.

Namun pikiran negatif itu tak terbukti karena Adara masih aman hingga mereka berhenti pada sebuah perkampungan. Hanz memacu dengan pelan sepeda motornya ketika melintasi jembatan kayu yang berderak ketika mereka melintas di atasnya.

Sepeda motor Hanz berhenti di depan Lamin yang sangat panjang "Lamin Mancong" itulah yang tertulis pada papan keterangan yang ada di dekat tangga.

Adara berdiri mematung memandangi keindahan rumah adat suku Dayak Benuaq yang disebut dengan Lamin itu.

"Kenapa? Jangan bilang kalau kamu belum pernah lihat rumah adat kamu sendiri?'' bisik Hanz di telinga Adara.

Adara memandang wajah Han yang terlalu dekat dengan wajahnya, "Hanz ku pikir ...."

"Apa?" potong Hanz lembut.

"Ku pikir kamu mau nyulik aku en mau buang aku di area sawit," Adara beralih dari tatapan mata Hanz dan berlari menaiki anak tangga.

"Eh, apa? Asem kamu, Ndut. Siapa juga yang mau nyulik cewek ndut kayak kamu, rugi tahu. Berat di ongkos!'' cecar Hanz sambil mengejar Adara.

Adara  hanya bisa memonyongkan kedua bibirnya tanda kecewa saat berada di depan pintu, karena ternyata semua pintu Lamin tertutup dan terkunci rapat.

"Senin tutup, Ndut. Sabtu Minggu baru buka." Hanz tiba-tiba sudah berada di belakang Adara.

"Yuk, ah. Ntar kalau ada waktu off pas di Sabtu Minggu kita kesini lagi." Hanz menarik tangan Adara dan menggiringnya turun ke bawah.

"Udah tahu tutup, kenapa ngajak aku kemari," gerutu Adara Hanz  hanya terkekeh geli.

Motor yang mereka naiki kembali melaju, namun kali ini melaju di jalanan yang berbatu dan sudah rusak parah. Motor Hanz berhenti disebuah jembatan kayu yang panjang, melintasi sebuah danau yang sangat indah.

Hanz meninggalkan motornya diujung jembatan, dia menarik tangan Adara dan membawanya  berjalan sampai ditengah-tengah jembatan.

"Duduk, Ndut." Hanz duduk dipinggir jembatan dan mengayun-ayunkan kakinya dengan riang.

"Kamu nggak berniat ngedorong aku ke bawah kan," ucap Adara memastikan.

"Tergantung dari sikap kamu," jawab Hanz , Adara  hanya melotot ke arahnya.

"Udah, duduk sini. Bercanda kali."

Hanz menarik tangan Adara ke bawah sehingga ia terduduk disampingnya, begitulah cerita di off pertama kerja Adara. Seharian ia habiskan dengan menikmati waktu demi waktu bersama Hanz, mereka akhiri off hari itu dengan menikmati senja yang syahdu di tengah Danau Jempang dengan duduk di atas jembatan yang menghubungkan antara kampung Tanjung Isuy dan Tanjung Jaan.

Sementara di tempat lain.

Dada Aqilla bergemuruh menahan bulir yang akan keluar dari sudut matanya, seorang laki-laki memandangnya dengan kesal.

"Kamu bisa nggak sih nggak gangguin aku mulu, aku muak tahu!" teriak Raffa si pria es batu inceran Aqilla.

"Aku nggak suka cewek kecentilan kayak kamu! Please deh, mulai detik ini aku nggak mau ngeliat wajah kamu di depan aku lagi!"

Aqilla berlari keluar meninggalkan Raffa yang masih diliputi dengan kekesalan, saat berada di luar kantin Aqilla berhenti karena mengingat sesuatu. Namun ia urungkan niatnya untuk mengambil kotak makan yang tertinggal karena mengingat ucapan Raffa.

"Udah, Fa. Kasihan dia, lagian kamu kebangetan jadi cowok." Nata sahabat Raffa, menarik tangan Raffa untuk segera duduk kembali di meja makan.

"Biarin." ketus Raffa.

Nata hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap sahabatnya itu, namun untuk menegur sahabatnya itu pun percuma. Nata sudah hapal dengan sifat Raffa yang keras dan dingin, jadi Nata memilih untuk diam dan melanjutkan makan malamnya.

Raffa tertegun menatap kotak makan yang ada di depannya, terbesit sebuah penyesalan dihatinya. Namun ia menutup semua perasaan bersalah itu dengan mengunyah makanan secepat mungkin.

"Aku balik duluan." Raffa tiba-tiba berdiri dan berlalu pergi meninggalkan Nata dan Irwan.

"Teman  kamu kenapa, sih?" ucap Irwan.

"Tahu lagi PMS kali, teman kamu juga tahu," jawab Nata.

Aqilla berjalan secepat mungkin menjauhi kantin perusahaan, langkahnya terus melaju dan akhirnya berhenti di depan kosan Adara.  Hati Aqilla semakin sedih kala ia memandang pintu kosan yang masih tergembok dengan rapi. Aqilla berbalik hendak pergi namun sepasang pemuda dan pemudi menghentikan kendaraan tepat di depannya. Saat sang pemudi turun, si pemuda langsung pergi tanpa pamit.

"Hai, La. Mau kemana," sapa Adara riang.

"Mau balik, tapi ...."

"Nggak usah balik deh, ayuk mampir bentar," ajak Adara.

"Ada makanan nggak, Ra. Aku lapar." Aqilla memelas.

"Ada nih, tenang aja," Adara mengapit lengan Aqilla dan membawanya masuk ke dalam kosan.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status