Share

6. Jalan-jalan Dengan Hanz

Cecunguk itu kini berdiri di hadapan Adara.

"Hai, Ra. Makan yuk?" ajak Cecunguk itu.

"Nggak ah, ada makanan dari kantin. Sayang kalau di buang, kamu benaran Hanz?" Adara celingukan seolah mencari sesuatu.

"Benaran lah, kenapa emangnya?" tanya  Hanz.

"Tumben sopan," jawab Adara.

"Ye ... masih marah, ya. Maaf deh, ngeri amat dendamnya," ucap Hanz.

"Nggak, lah. Yuk, masuk." Adara mengajak Hanz masuk ke dalam kosannya.

Karena lapar, Adara langsung meraih kotak makan dan melahap isinya di depan Hanz, Hanz langsung merampas kotak makan itu dari tangan Adara. Dia menyendokkan lauk dan nasi lalu mengarahkan sendok itu ke mulut Adara.

"Sini, aku suapin. Kasihan ... kayaknya kamu nggak pernah disuapin sama cowok," ucap Hanz.

"Kampret."

Ucap Adara seraya meninjukan tangan  ke arah Hanz. Adara sedikit baper dengan ucapannya, karena apa yang diucapkan oleh Hanz memang benar. Bak anak kecil yang disuapin makan oleh ibunya yang bawel, begitulah keadaan Adara sekarang. Entah mengapa ia begitu nurut pada Hanz.

"Enak?" Tanya Hanz yang Adara jawab dengan anggukan kepala.

"Jelas enak lah, yang nyuapin kan tangan orang ganteng kayak aku," goda Hanz.

"Idih ... sory, ya. Enak karena aku emang kelaparan," ucap Adara.

"Ngaku aja deh ... oya, kapan kamu off Ra?" tanya Hanz.

"Besok, kenapa emangnya?" tanya Adara kembali.

"Wah, kebetulan aku juga off besok. Jalan yuk, ntar aku ajak kamu keliling hutan," jawab Hanz.

"Tapi  besok aku mau ke bank, urus rekening?" ucap Adara.

"Yaelah ... buka rekening cuma sebentar doang, paling lama sejam. Besok aku temenin deh," tawar Hanz.

"Nggak usah, aku bisa sendiri kok," tolak Adara.

"Dasar Ndut keras kepala! Ya udah aku balik dulu, nggak enak udah malam ntar aku di perkosa sama kamu." Hanz berdiri dan melangkah keluar, Adara mengikutinya dari belakang.

"Ceileh ... romantis amat Ndut sampai dianterin ke depan," goda Hanz.

"Banyak omong, pulang sana!" kesal Adara.

Hanz terkekeh mengejek Adara sebelum ia menaiki roda duanya, menarik gasnya, dan menghilang di antara pekatnya malam. Adara kembali ke dalam kosan dan bersiap untuk meraih mimpi indahnya.

["Good night, Ra. Mimpi indah ya."]

Sebuah pesan masuk, sepertinya malam ini Adara akan tidur sangat nyenyak dan bermimpi indah.

["Good night too, thx." ] reply.

Esoknya Adara bangun di pagi yang cerah, secerah dan seceria hatinya yang sedang bersenandung bahagia karena tidur yang nyenyak semalam. Entah berapa lama ia sudah tidak bisa menikmati bangun tidur di atas jam enam pagi, biasanya pada pukul empat tiga puluh dini hari ia sudah bangun.

Adara bangun pukul setengah tujuh, pukul tujuh  ia sudah rapi dan melangkah menuju warung Acil, warung yang cukup terkenal di dekat kosannya.

"Cil, Nasi kuning satu sama es teh satu ya," pesan Adara pada Acil.

"Siap, Dek. Silahkan duduk di dalam ya," responnya.

Ketika berada di ambang pintu hati Adara yang cerah ceria berubah menjadi suram dilanda dilema. Bagaimana tidak, orang yang sudah ia tabrak dua kali itu sedang duduk di salah satu sudut ruangan menikmati sarapan bersama rekan-rekannya. Dan sialnya, mata mereka berdua langsung saling beradu pandang.

"Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Maju malu, mundur lapar. Apalagi aku butuh tenaga untuk persiapan mengantri di bank," batin Adara.

Belum selesai batinnya berdiskusi dengan otak  tentang apa yang harus ia lakukan tiba-tiba Acil meletakkan pesanannya di meja yang berhadapan dengan meja si pria kurus itu.

"Ini Dek," ucapnya.

Adara hanya bisa mengangguk dan tersenyum tawar.

"Mampus kamu, Ra," ejek batinnya.

Dengan menahan segala rasa dan pergolakan di dalam dada Adara duduk di meja yang sudah disiapkan oleh Acil. Ia makan tanpa memperdulikan beberapa tatap mata yang memperhatikannya terutama si pria kurus itu yang sedari pertama Adara masuk sudah menatap Adara dengan lekat.

Sebenarnya Adara orang yang cuek dan tak peduli pada apa pun karena ia sudah terbiasa di bully dengan fisiknya yang jauh dari kata sempurna itu.

Tapi entah mengapa, ia tak bisa menerapkan rasa cuek itu pada makhluk kurus yang ada di depannya itu. Dan akhirnya, dengan penuh perjuangan ia bisa menghabiskan sepiring nasi kuning viral milik Acil itu dan bergegas pergi.

Adara berpikir ia  sudah bisa menarik nafas dengan lega, ternyata tidak. Saat keluar dari warung Acil Cecunguk yang bernama Hanz itu sudah ada di depan warung  sambil duduk di atas motor Satria FU berwarna biru miliknya

"Kamu kok bandel sih, Ndut? Disuruh nunggu kok kabur? Untung aku ngeliat kamu masuk ke warung," ucapnya.

"Kamu kok ngeyel sih, kan udah aku bilang semalam kalau nggak usah. Aku bisa pergi sendiri," balas Adara.

"Idih ... sok kecakapan kamu, Ndut. Ayo cepat naik, capek tahu nungguin kamu dari tadi," ucap Hanz kesal.

"Eh, what? Kamu nungguin aku dari ta-."

Belum selesai kalimat yang Adara lontarkan Hanz menarik tangannya dan mengarahkan untuk naik ke atas motor. Tentu saja dengan tinggi yang semampai agak kesulitan bagi Adara untuk menaiki motor Satria FU yang di modif sedikit tinggi jok belakangnya.

"Buruan dasar Ndut," ucapnya lagi.

Dengan terpaksa Adara mengikutinya, saat menoleh ke belakang tanpa sengaja si kurus melihat adegan Hanz menarik tangan Adara, entah apa yang membuatnya tertegun sesaat sebelum berpaling membuang mukanya dari tatapan mata Adara.

Motor melaju dengan pelan ke arah bank, mungkin lebih cepat langkah kaki  Adara ketimbang laju motor yang ia tumpangi saat itu. Mereka tiba pada bank yang di tuju, Adara turun dan langsung mengambil nomor antrian dan duduk mengantri sementara si Cecunguk itu tanpa aba-aba sudah duduk manis di sampingnya.

"Antrian dua puluh lima."

Setelah dua jam lebih menunggu akhirnya nomor antrian Adara dipanggil, ia maju untuk menyelesaikan urusannya.

"Adara. Ternyata benar kamu, Ra. Dari tadi aku perhatiin ternyata benar."

Ucap Fany teman Adara dari Tenggarong sembari mencubit gemes tangan Adara, yang ternyata adalah teller di bank tersebut.

"Ya ampun, Fany. Kamu tugas di sini ternyata,'' ucap Adara senang.

"Iya, udah berapa lama kamu disini, Ra. Kok nggak ngasih kabar?" tanya Fany.

"Gimana mau ngasih kabar, kontak kamu aja aku nggak punya," jawab Adara.

"Oh, iya. Eh, kamu mau urus apa nih?" tanya Fany lagi.

"Mau buka rekening Fan," jawab Adara.

"Ya udah, taruh aja KTP kamu disini sama uangnya, terus tulis nama PT tempat kamu kerja di kertas ini, and tulis tanda tangan  di sini sama disini biar aku yang buatin. Kamu duduk aja lagi, ntar kamu terima bersih deh," ucapnya.

"Makasih, Fan." Ucap Adara sembari meletakkan apa yang dia pinta, lalu ia kembali duduk di dekat Hanz. Lima belas menit kemudian Fany Kembali memanggil namanya.

"Ini Ra, udah beres semua. Coba cek dulu benar nggak datanya sebelum aku cetak." Ucapnya seraya mengarahkan komputer ke hadapan Adara.

"Benar, Fan," jawab Adara setelah memastikan data yang ada di komputer.

"Oke, tunggu situ bentar nggak lama kok," ucapnya.

"Oke," jawab Adara.

"Eh, kamu pacaran sama Hanz, Ra." tanya Fany seraya menyerahkan buku rekening dan kartu ATM.

"Nggak, Fan. Temanan doang, itu juga baru kenal," jawab Adara.

"Nggak papa kalau pacaran, Ra. Hanz orangnya baik kok aku dukung, Ra. Hanz itu sahabat aku," ucap Fany.

"Oh ya," kaget Adara.

Hanz tiba-tiba muncul di belakang Adara dan memegang pundaknya.

"Kami cocok nggak Fan," ucap Hanz.

"Cocok," jawab Fany.

"Apaan sih ... udah deh, aku pamit ya, Fan." ucap Adara sembari menepis tangan Hanz.

"Hati-hati ya, Ra. Ntar kita lanjut SMS-an ya," jawab Fanny.

"Oke, Fan," ucap Adara lagi sambil berlalu meningalkan meja Fanny.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status