Gadis itu beranjak dari tempat tidur, seolah ingin memastikan apa yang sebelumnya ia lihat. Kedua tangannya terus berada pada wajah mungilnya, berusaha menutupi mulutnya yang menganga.
"A-apa yang kamu lakukan padanya? Aku melihat semuanya tadi! Ta-tapi apa itu semua? Apa aku hanya bermimpi?" ia terus bertanya tanpa henti.
Aku segera mengambil jubah mandi yang lain untuk membalut tubuh telanjang ku. Dengan santai aku menghampirinya.
"Tenang lah, mungkin kita bisa membicarakan ini sembari minum kopi?" Aku tersenyum tenang.
Gadis itu tidak menjawab, tentu saja. Bila dia tidak terkejut melihat itu semua, bisa dipastikan dia serupa denganku. Gadis itu berjalan dengan ragu, ia berusaha melihat mayat yang mengering seperti mumi dihadapannya.
Dengan santai aku membuat dua gelas kopi, sembari sesekali melempar pandangan pada gadis itu. Takut ia akan melakukan hal-hal yang tidak aku duga. Namun ternyata, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong.
"Aku Amarta, aku yang menyelamatkan mu sebelumnya." Aku memberikannya segelas latte hangat.
Aku tak sengaja menyentuh tangannya yang dingin. Segelas latte hangat mungkin akan membuatnya lebih baik.
Gadis itu menatapku penuh kengerian. Netranya bergetar samar, dan wajahnya mulai terlihat tertekan.
"Tenanglah. Ambil nafas panjang dan hembuskan."
Aku berjalan mendekatinya, sesekali jari-jari lentikku membelai ujung rambut panjang miliknya.
"Apa yang kamu lihat belum seberapa," lanjutku.
Dia melihatku dari ujung matanya, dengan rasa ragu gadis itu kembali bertanya, "Makhluk apa sebenarnya kamu?"
Aku tersenyum, "Aku manusia sama seperti mu, hanya saja di dalam sini..., Sudah ada iblis yang mengambilalih." Aku mengarahkan jari telunjukku di depan dada.
Air muka gadis itu semakin terlihat bingung. Sepertinya sulit baginya mengerti apa yang aku katakan.
"Sarah? Itu namamu bukan?" Aku balik bertanya.
Gadis itu hanya mengangguk pelan.
"Aku tidak akan melukai mu, tenang saja. Karena sepertinya kamu akan berguna, dan lelaki itu adalah orang yang hampir saja memperk*sa mu. Mungkin seharusnya ucapan terimakasih mengawali perkenalan kita." Aku tersenyum sinis.
Kening gadis itu mulai berkerut, "Apa? Apa benar?" tanyanya.
"Ya, sulit mengenalinya dengan kondisinya yang sekarang. Tapi aku tidak mungkin berbohong." Aku meletakkan gelas berisi kopi diatas meja.
"Lalu dimana lelaki yang lain? Aku ingat ada dua laki-laki?" tanyanya.
"Satu laki-laki sudah mati ditempat itu. Mungkin saat kejadian itu kamu sudah tidak sadarkan diri. Untungnya, mereka memilih tempat yang sangat sesuai, tidak ada yang akan tahu apa yang terjadi dengannya sebelum menjadi seperti itu," jelasku.
"Kamu menyelamatkan ku?" tanyanya lagi.
"Tentu saja. Anak dari seorang pejabat negara seperti mu tidak boleh mati dengan sia-sia." Aku mulai menyeringai.
"Te-terimakasih. Aku tidak perlu tahu kamu apa, atau siapa, tapi terimakasih karena sudah menolong ku."
Dengan cepat ia berjalan mendekati ku dan menyalami tanganku.
"Apa aku boleh meminta imbalan? Aku rasa menyelamatkan nyawamu akan dihargai cukup mahal, bukan?" Aku menatapnya penuh maksud.
"Ya tentu saja. Apapun akan aku lakukan." Sarah berdiri dengan tatapan menyakinkan.
"Sebelumnya aku mau meminta maaf karena sudah melihat isi tasmu tanpa izin..."
Sarah mengangguk pelan.
"Aku melihat didalam dompetmu ada foto salah satu orang penting di negara ini, apa itu ayahmu?" tanyaku.
"Ya, benar. Dia ayah kandungku." Sarah mengiyakan.
Aku mengangguk tanda mengerti.
"Sudah kuduga, kamu orang yang tepat untuk menjadi dayangku. Kamu bukan orang sembarangan, dan aku melihat kartu identitas mu, seorang sarjana hukum. Gadis pintar yang akan dengan mudah mengerti apa yang aku katakan."
"Apa yang kamu mau?" Sarah mulai bertanya dengan lebih santai.
"Apa kamu percaya jika aku mengatakan bahwa aku sudah hidup selama seratus tahun?" tanyaku.
"Se-seratus tahun?" Air muka Sarah nampak bingung.
"Ya, sudah lebih dari seratus tahun aku hidup dalam wujud yang rupawan seperti ini. Tanpa keriput sedikitpun." Aku tersenyum membanggakan diri.
"Bagaimana bisa?!" Sarah terkejut.
"Bisa Sarah, apapun bisa kita lakukan asalkan mampu memenuhi syarat yang ditentukan." Aku menyeringai.
"Lalu, apa yang kamu butuhkan dari manusia biasa seperti ku?" tanya Sarah.
"Banyak Sarah. Sudah beberapa dekade aku kesulitan mencuci harta kekayaan yang di tinggalkan suami-suami ku yang telah meninggal, dan tentu saja aku masih membutuhkan uang untuk hidup. Aku akan meminta kamu menjadi orang kepercayaan ku, mengurus semua masalah ku, tentunya dengan bayaran yang setimpal. Apa kau mau?" tanyaku setelah menjelaskan semuanya.
"Suami-suamiku?"
Sarah nampak keheranan setelah mendengar dua kata itu dalam satu kalimat yang aku ucapkan.
"Ya, selama lebih dari seratus tahun ini aku sudah menikah dengan banyak lelaki, dan mereka semua... Mati." Aku tersenyum setelah mengucapkan kata yang sangat menakutkan bagi sebagian manusia yang masih hidup.
"Seperti itu?" Sarah dengan masih ragu-ragu menunjuk jasad kering diatas kursi.
"Tidak, aku tidak sebodoh itu. Bagaimana bisa seorang wanita yang berkali-kali membunuh suaminya masih bebas berkeliaran seperti ini? Ada cara khusus sehingga tidak ada yang tahu bahwa mereka mati dibunuh."
"Bagaimana caranya?" Sarah kembali bertanya.
Perlahan aku menghampiri Sarah, bediri dihadapannya dan membelai lembut wajahnya.
"Sarah..., Kamu sepertinya ingin tahu tentang semua hal. Apa kamu tidak takut aku bunuh karena sudah memiliki banyak informasi?" bisikku.
Sarah mematung. Rasa penasaran mendorongnya melewati batas ketakutan yang harusnya ia miliki sebagai manusia biasa. Gadis itu segera memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam yang ditunjukan padanya.
"Tidak aku tidak ingin tahu, a-aku hanya penasaran." Sarah tertunduk.
"Sedikit demi sedikit kamu akan tahu kisahku Sarah. Tapi itu tergantung keputusanmu saat ini," ucapku.
"Apa kamu mau menjadi orang kepercayaan ku? Sebagai ganti karena aku sudah menolongmu... Aku ingin kamu menjadi tangan kananku, mengurus segala hal yang tidak bisa aku urus, dan untuk kedepannya, mungkin aku juga bisa membantumu dengan urusan yang tidak dapat kamu tangani." Aku tersenyum licik.
Mungkin Sarah tidak sadar, aku mendorongnya pada keputusan tanpa pilihan. Bersedia atau tidak, dia harus mengikuti apa yang aku katakan. Atau... Dia akan mengalami hal mengerikan seperti jasad manusia dihadapannya.
"Aku bersedia. Bukan karena aku takut padamu, tapi orang tuaku selalu mengajarkan agar selalu berterima kasih pada siapapun yang sudah menolongku." Kali ini Sarah berbicara dengan wajah penuh dengan rasa percaya diri.
Aku tersenyum, memang keputusan ku tidak salah. Sarah memang gadis yang tepat. Pintar, percaya diri dan memiliki latar belakang yang kuat. Dia gadis yang dibesarkan dengan tidak mengenal rasa takut.
"Baiklah. Terimakasih atas keputusanmu Sarah."
Aku memeluknya, memberi tanda bahwa saat ini tidak boleh ada keraguan diantara kami, begitupun dengan Sarah. Saat itu, aku dapat merasakan rasa hangat dari tubuh manusia normal, rasa yang tidak pernah aku terima dengan percuma.
Biasanya, hanya dengan sentuhan sederhana seperti ini aku akan dengan mudah menyerap energi kehidupan dari manusia. Tapi kali ini, aku justru memberikan sedikit energiku padanya. Luka dikeningnya telah sembuh. Beberapa goresan pada kulitnya pun telah menghilang.
Sarah yang menyadari rasa perih pada tubuhnya telah menghilang melemparkan pandangannya padaku. Dengan tatapan tak percaya dia mulai menyentuh luka-lukanya yang sudah menghilang.
"Kamu memang bukan manusia." Sarah berdecak kagum pada apa yang ia saksikan.
Saat itu, seharusnya Sarah sadar. Ketika ada keuntungan, maka akan selalu ada yang dikorbankan, dan dia tidak menyadari apa yang harus ia korbankan.
Malam itu aku membiarkan Sarah beristirahat di kamar hotel milikku. Tentunya dia sempat menolak tidur sekamar dengan mayat mengerikan itu. Namun ia tidak punya pilihan lain. Sarah tidak mau ada yang tahu kejadian nahas yang baru saja menimpanya. Tentu saja karena ayahnya adalah salah satu orang berpengaruh yang tidak boleh ditimpa berita buruk.Keesokan paginya, setelah aku memberikannya baju ganti. Dia bertanya padaku, apa yang harus dilakukan pada jasad itu. Tentu saja aku memberitahunya. Ini adalah tugas pertama dihari pertamanya sebagai dayangku."Aku akan pulang terlebih dahulu, lalu kembali kesini bersama beberapa orang kepercayaanku. Tenang saja, aku akan mengurus mayat ini dengan rapih." Sarah berkata dengan yakin."Baiklah, aku akan menyerahkan semuanya padamu." Saat itu Sarah langsung pergi. Sebenarnya bisa saja dia tidak pernah kembali. Bisa saja dia pergi dan tidak menepati janjinya. Namun gadis itu ternyata memang memiliki integritas yang kuat. Dia datang bersama dua aju
Sudah satu minggu aku menghabiskan waktuku dirumah ini. Segala kebutuhanku disediakan oleh Sarah. Hanya ajudan setianya yang menemani ku disini. Terkadang, ada pikiran jail yang melintas di dalam benakku untuk menggunakan ajudan Sarah itu sebagai mainan. Hanya untuk menghiburku dikala bosan. Suatu hari aku sudah sangat berniat melakukan itu pada ajudan Sarah. Namun, tanpa aku duga. Justru aku yang hanyut dalam kisahnya. Lelaki berkepala plontos itu mengeluarkan sebuah kalimat yang menampar jiwaku. "Kamu sangat cantik, bahkan saat ini aku ingin meniduri mu. Namun, bayangan wajah dari kedua anakku menari-nari dalam pikiranku. Seolah-olah kalian berebut mendapatkan atensiku, dan anak-anak ku lah yang memenangkan pertarungan. Maka, sebisa mungkin aku mengalihkan pandanganku darimu, Nona." Begitulah kira-kira kalimat yang ia katakan. Setelah hari itu, aku berhenti menggodanya. Sejahat apapun sesuatu didalam diriku tidak akan menang melawan manusia yang benar-benar tulus. Saat ini aku h
Johan terdiam sejenak, namun akhirnya pikirannya yang dangkal membuatnya mengambil keputusan yang mungkin saja bisa dia sesali. "Baiklah, mari aku bantu." Jawabnya tanpa ragu. Sekali lagi, nafsu manusia selalu mengalahkan hati nuraninya. Dia mengikuti langkah ku kedalam kamar mandi. Tanpa ragu menyentuh apa yang seharusnya tidak dia sentuh. "Buka bajumu!" Netraku menatap lekat padanya, penuh penekanan. Perlahan Johan melepas satu persatu kaitan kancing kemejanya. Malam itu, desahan demi desahan terdengar samar bersama gemericik air yang mengalir. Sekali lagi, iblis licik ini mendapatkan kemenangan atas jiwa manusia yang haus akan kepuasan. Aku membawanya hanyut dalam gairah dan kenikmatan duniawi. Tanpa paksaan atau pun ancaman. Johan menyentuhku, mencumbu setiap jengkal tubuhku, ia terperangkap dalam lubang yang bahkan lebih memabukkan dibandingkan dengan segelas wine. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu bersama di dalam kamar mandi. Setelahnya aku membawa pemuda itu masu
Aku membawa mercy boxer-ku melintasi jalanan kota Jogjakarta. Rodanya berputar menuju salah satu pusat perbelanjaan. Kaki jenjangku yang terbalut sepatu hak tinggi berwarna merah berjalan indah di pelataran toko. Suara ketukannya membuat setiap orang melirikku dengan pandangan yang sukar untuk diartikan. Aku berhenti di depan sebuah toko baju, dan menyadari ada seorang pria yang sudah memasang senyum manisnya menyambutku. "Halo, selamat siang. Silahkan ada yang bisa saya bantu?" Ujarnya. Aku membalas senyumannya seraya terus berjalan masuk ke dalam toko. "Siang, emm... Aku ingin pakaian untuk anak perempuan juga anak laki-laki." Netraku menelusuri pakaian yang terpajang. "Untuk usia berapa tahun kak?" Lelaki itu bertanya kembali. "Tolong pilihkan mulai dari usia 1 tahun sampai usia 12 tahun. Setiap model, untuk laki-laki dan perempuan," jawabku. Lelaki itu mematung, merasa bingung dengan kalimatku. "Aku ingin pakaian anak laki-laki dan perempuan dari usia satu tahun sampai 12
Aku sudah terpojok, dengan pakaian yang sudah tak karuan. Dengan jelas aku melihat Johan menutup pintu kamar, menguncinya dan dengan sengaja melemparnya ke sembarang arah. "Baiklah. Aku harap kalian tidak menyesal." Aku berbisik. "Tidak, kami tidak akan menyesal. Ayolah jangan terlalu banyak melawan." Lelaki berkulit hitam itu mulai menyentuh tubuhku. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus membunuh mereka semua. Lelaki yang selalu menjadikan wanita hanya sebagai objek pemuas nafsu, memang pantas mati." Gumamku dalam hati. "Baiklah. Jangan kasar! Aku akan bermain dengan kalian." Seruku dengan suara pelan. Aku menarik lelaki yang bernama Hari. Menidurkannya dengan paksa dan segera duduk diatasnya. "Wow, kamu sedikit agresif ya." Lelaki itu tersenyum. "Aku mohon, jangan terlalu banyak melawan." Aku berbisik tepat didekat telinganya. Lelaki itu tertawa menahan geli. Untuk terakhir kali aku menatap matanya. Dengan lembut aku menggiring wajahnya hingga bibir kami saling bertaut. Sebuah c
Malam sudah sangat larut, suara burung hantu bahkan terdengar nyaring dari luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Hadi membawa Johan ke ruang tengah, ia mengikatnya diatas kursi dan menyumpal mulutnya. "Harusnya kamu tidak usah kerja di sini Johan." Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang terjadi pada Johan. Sarah masih berada di dalam kamar. Wanita itu memperhatikan dengan teliti kekacauan yang terjadi di sana. "Amarta, cairan apa ini?" Sarah berteriak dari dalam kamar. "Cairan apa? Aku yakin itu pasti air kencing Johan." Jawabku dengan nada kesal. "Bukan! Ini, cairan berwarna hitam dan baunya seperti bau bangkai." Sarah terdengar hampir saja muntah. Dengan santai aku menjawab seraya merebahkan diri di atas kursi ruang tamu, "Oh, itu darahku. Salah satu dari mereka melukai ku dengan pisau." Seketika Hadi mengarahkan pandangannya padaku, begitupun dengan Sarah. Wanita itu langsung keluar kamar dan menatapku tak percaya. "Kenapa darahmu
Sarah menatapku tak percaya. Dipikirkan bagaimana pun penjelasan ku tidak masuk akal. Ya, memang tidak semua hal di dunia ini bisa diterima oleh akal sehat.Malam itu, sekali lagi Sarah dan Hadi mengurus mayat-mayat yang terlihat mengerikan itu. Didalam hati mereka tahu bahwa semua tindakannya adalah salah, namun manusia cenderung patuh pada siapapun sesuai dengan situasi dan kondisi. Bagi sebagian manusia, Iman hanyalah sesuatu yang muncul disaat mereka merasa hidupnya terancam.Suara resleting terdengar nyaring ditengah keheningan malam. Dengan hati-hati Hadi memasukan mayat-mayat itu kedalam empat buah koper berukuran cukup besar. Mereka sudah tertata rapih, siap untuk dikuburkan."Aku harus kembali kerumah, ayah pasti mencariku nanti." Sarah melihat sekilas pada jam dinding."Hadi akan ikut bersamaku dulu. Siang nanti dia akan kembali ke sini," lanjut Sarah."Baiklah. Biar semua kekacauan disini aku yang urus." Aku melemparkan pandangan pada ruangan kamar tempat mayat-mayat itu se
Beberapa jam sebelumnya...Setelah pertemuan pertamanya dengan Amarta, kehidupan Sarah tak lagi sama. Dia jelas sangat menghargai pertolongan yang Amarta berikan, namun resiko dari menerima pertolongan itu ternyata cukup menyusahkannya.Setelah membunuh lelaki yang hendak memperkosanya, kini Amarta membunuh lagi empat orang lelaki sekaligus. Entah sampai kapan Sarah dapat menutupi semua tindakan kriminal ini.Dini hari Sarah baru saja kembali dari kediaman Amarta. Dia terburu-buru karena harus menghadiri beberapa pertemuan penting."Setelah pertemuan ku bersama ayah selesai, aku mau kamu langsung bersiap menuju kediaman Amarta." Sarah memberi perintah pada Hadi sembari berjalan terburu-buru kedalam rumahnya."Baik non." Hadi menundukan kepalanya tanda mengerti.Sarah sengaja melepaskan alas kaki miliknya, ia takut orang tuanya akan terbangun mendengar suara ketukan sepatu saat hari bahkan masih gelap.Perlahan kakinya berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar tidurnya.Sesampainya di