Share

Bab 3 Wanita Abadi

Gadis itu beranjak dari tempat tidur, seolah ingin memastikan apa yang sebelumnya ia lihat. Kedua tangannya terus berada pada wajah mungilnya, berusaha menutupi mulutnya yang menganga.

"A-apa yang kamu lakukan padanya? Aku melihat semuanya tadi! Ta-tapi apa itu semua? Apa aku hanya bermimpi?" ia terus bertanya tanpa henti.

Aku segera mengambil jubah mandi yang lain untuk membalut tubuh telanjang ku. Dengan santai aku menghampirinya.

"Tenang lah, mungkin kita bisa membicarakan ini sembari minum kopi?" Aku tersenyum tenang.

Gadis itu tidak menjawab, tentu saja. Bila dia tidak terkejut melihat itu semua, bisa dipastikan dia serupa denganku. Gadis itu berjalan dengan ragu, ia berusaha melihat mayat yang mengering seperti mumi dihadapannya.

Dengan santai aku membuat dua gelas kopi, sembari sesekali melempar pandangan pada gadis itu. Takut ia akan melakukan hal-hal yang tidak aku duga. Namun ternyata, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong.

"Aku Amarta, aku yang menyelamatkan mu sebelumnya." Aku memberikannya segelas latte hangat.

Aku tak sengaja menyentuh tangannya yang dingin. Segelas latte hangat mungkin akan membuatnya lebih baik.

Gadis itu menatapku penuh kengerian. Netranya bergetar samar, dan wajahnya mulai terlihat tertekan.

"Tenanglah. Ambil nafas panjang dan hembuskan."

Aku berjalan mendekatinya, sesekali jari-jari lentikku membelai ujung rambut panjang miliknya.

"Apa yang kamu lihat belum seberapa," lanjutku.

Dia melihatku dari ujung matanya, dengan rasa ragu gadis itu kembali bertanya, "Makhluk apa sebenarnya kamu?" 

Aku tersenyum, "Aku manusia sama seperti mu, hanya saja di dalam sini..., Sudah ada iblis yang mengambilalih." Aku mengarahkan jari telunjukku di depan dada.

Air muka gadis itu semakin terlihat bingung. Sepertinya sulit baginya mengerti apa yang aku katakan.

"Sarah? Itu namamu bukan?" Aku balik bertanya.

Gadis itu hanya mengangguk pelan.

"Aku tidak akan melukai mu, tenang saja. Karena sepertinya kamu akan berguna, dan lelaki itu adalah orang yang hampir saja memperk*sa mu. Mungkin seharusnya ucapan terimakasih mengawali perkenalan kita." Aku tersenyum sinis.

Kening gadis itu mulai berkerut, "Apa? Apa benar?" tanyanya.

"Ya, sulit mengenalinya dengan kondisinya yang sekarang. Tapi aku tidak mungkin berbohong." Aku meletakkan gelas berisi kopi diatas meja.

"Lalu dimana lelaki yang lain? Aku ingat ada dua laki-laki?" tanyanya.

"Satu laki-laki sudah mati ditempat itu. Mungkin saat kejadian itu kamu sudah tidak sadarkan diri. Untungnya, mereka memilih tempat yang sangat sesuai, tidak ada yang akan tahu apa yang terjadi dengannya sebelum menjadi seperti itu," jelasku.

"Kamu menyelamatkan ku?" tanyanya lagi.

"Tentu saja. Anak dari seorang pejabat negara seperti mu tidak boleh mati dengan sia-sia." Aku mulai menyeringai.

"Te-terimakasih. Aku tidak perlu tahu kamu apa, atau siapa, tapi terimakasih karena sudah menolong ku." 

Dengan cepat ia berjalan mendekati ku dan menyalami tanganku.

"Apa aku boleh meminta imbalan? Aku rasa menyelamatkan nyawamu akan dihargai cukup mahal, bukan?" Aku menatapnya penuh maksud.

"Ya tentu saja. Apapun akan aku lakukan." Sarah berdiri dengan tatapan menyakinkan.

"Sebelumnya aku mau meminta maaf karena sudah melihat isi tasmu tanpa izin..." 

Sarah mengangguk pelan.

"Aku melihat didalam dompetmu ada foto salah satu orang penting di negara ini, apa itu ayahmu?" tanyaku.

"Ya, benar. Dia ayah kandungku." Sarah mengiyakan.

Aku mengangguk tanda mengerti.

"Sudah kuduga, kamu orang yang tepat untuk menjadi dayangku. Kamu bukan orang sembarangan, dan aku melihat kartu identitas mu, seorang sarjana hukum. Gadis pintar yang akan dengan mudah mengerti apa yang aku katakan." 

"Apa yang kamu mau?" Sarah mulai bertanya dengan lebih santai.

"Apa kamu percaya jika aku mengatakan bahwa aku sudah hidup selama seratus tahun?" tanyaku.

"Se-seratus tahun?" Air muka Sarah nampak bingung.

"Ya, sudah lebih dari seratus tahun aku hidup dalam wujud yang rupawan seperti ini. Tanpa keriput sedikitpun." Aku tersenyum membanggakan diri.

"Bagaimana bisa?!" Sarah terkejut.

"Bisa Sarah, apapun bisa kita lakukan asalkan mampu memenuhi syarat yang ditentukan." Aku menyeringai.

"Lalu, apa yang kamu butuhkan dari manusia biasa seperti ku?" tanya Sarah.

"Banyak Sarah. Sudah beberapa dekade aku kesulitan mencuci harta kekayaan yang di tinggalkan suami-suami ku yang telah meninggal, dan tentu saja aku masih membutuhkan uang untuk hidup. Aku akan meminta kamu menjadi orang kepercayaan ku, mengurus semua masalah ku, tentunya dengan bayaran yang setimpal. Apa kau mau?" tanyaku setelah menjelaskan semuanya.

"Suami-suamiku?" 

Sarah nampak keheranan setelah mendengar dua kata itu dalam satu kalimat yang aku ucapkan.

"Ya, selama lebih dari seratus tahun ini aku sudah menikah dengan banyak lelaki, dan mereka semua... Mati." Aku tersenyum setelah mengucapkan kata yang sangat menakutkan bagi sebagian manusia yang masih hidup.

"Seperti itu?" Sarah dengan masih ragu-ragu menunjuk jasad kering diatas kursi.

"Tidak, aku tidak sebodoh itu. Bagaimana bisa seorang wanita yang berkali-kali membunuh suaminya masih bebas berkeliaran seperti ini? Ada cara khusus sehingga tidak ada yang tahu bahwa mereka mati dibunuh." 

"Bagaimana caranya?" Sarah kembali bertanya.

Perlahan aku menghampiri Sarah, bediri dihadapannya dan membelai lembut wajahnya.

"Sarah..., Kamu sepertinya ingin tahu tentang semua hal. Apa kamu tidak takut aku bunuh karena sudah memiliki banyak informasi?" bisikku.

Sarah mematung. Rasa penasaran mendorongnya melewati batas ketakutan yang harusnya ia miliki sebagai manusia biasa. Gadis itu segera memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam yang ditunjukan padanya.

"Tidak aku tidak ingin tahu, a-aku hanya penasaran." Sarah tertunduk.

"Sedikit demi sedikit kamu akan tahu kisahku Sarah. Tapi itu tergantung keputusanmu saat ini," ucapku.

"Apa kamu mau menjadi orang kepercayaan ku? Sebagai ganti karena aku sudah menolongmu... Aku ingin kamu menjadi tangan kananku, mengurus segala hal yang tidak bisa aku urus, dan untuk kedepannya, mungkin aku juga bisa membantumu dengan urusan yang tidak dapat kamu tangani." Aku tersenyum licik. 

Mungkin Sarah tidak sadar, aku mendorongnya pada keputusan tanpa pilihan. Bersedia atau tidak, dia harus mengikuti apa yang aku katakan. Atau... Dia akan mengalami hal mengerikan seperti jasad manusia dihadapannya.

"Aku bersedia. Bukan karena aku takut padamu, tapi orang tuaku selalu mengajarkan agar selalu berterima kasih pada siapapun yang sudah menolongku." Kali ini Sarah berbicara dengan wajah penuh dengan rasa percaya diri. 

Aku tersenyum, memang keputusan ku tidak salah. Sarah memang gadis yang tepat. Pintar, percaya diri dan memiliki latar belakang yang kuat. Dia gadis yang dibesarkan dengan tidak mengenal rasa takut.

"Baiklah. Terimakasih atas keputusanmu Sarah." 

Aku memeluknya, memberi tanda bahwa saat ini tidak boleh ada keraguan diantara kami, begitupun dengan Sarah. Saat itu, aku dapat merasakan rasa hangat dari tubuh manusia normal, rasa yang tidak pernah aku terima dengan percuma. 

Biasanya, hanya dengan sentuhan sederhana seperti ini aku akan dengan mudah menyerap energi kehidupan dari manusia. Tapi kali ini, aku justru memberikan sedikit energiku padanya. Luka dikeningnya telah sembuh. Beberapa goresan pada kulitnya pun telah menghilang. 

Sarah yang menyadari rasa perih pada tubuhnya telah menghilang melemparkan pandangannya padaku. Dengan tatapan tak percaya dia mulai menyentuh luka-lukanya yang sudah menghilang.

"Kamu memang bukan manusia." Sarah berdecak kagum pada apa yang ia saksikan.

Saat itu, seharusnya Sarah sadar. Ketika ada keuntungan, maka akan selalu ada yang dikorbankan, dan dia tidak menyadari apa yang harus ia korbankan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status