Tatapan mata Arumi di abaikan oleh Permana hingga Ibu Sutiyah datang. “Wah sedang ada tamu, loh Arumi kenapa malah masih disitu bukannya tamunya di persilahkan duduk,” tegur Sutiyah yang melempar senyum penuh curiga, melihat posisi Arumi.
“Oh iya Bu Sutiyah saya baru saja datang, tadi anak Ibu sepertinya tersandung kaki kursi itu. Saya belum sempat membantunya bangun,” kilah Permana, berusaha menutupi tingkah anaknya.
"Jika wanita itu tahu bahwa anaknya, berusaha menggodaku. Dia akan malu dan jadi tidak enak denganku. Aku harus segera menyampaikan tujuanku, sebelum gadis itu keluar lagi dari ruangan yang tertutup tirai itu," batin Permana.
“Maaf Bu sebelumnya, kalau kedatangan saya mendadak,” ujar Permana.
“Tidak apa-apa nak Permana, bagaimana keadaan Selvi? Maaf ibu belum sempat menjenguknya,” balas Sutiyah lemah lembut.
“Sebab itulah kedatangan saya kemari Bu, kondisinya saat ini masih perlu perawatan di rumah sakit. Maksud saya datang kemari ....” Permana menghentikan ucapannya. Berpikir sejenak, takut Ibu Sutiyah keberatan dengan tujuannya.
Memahami suara Permana yang semakin lirih dan tiba-tiba terhenti, Sutiyah langsung tersenyum. “Ibu paham dengan kedatanganmu Permana, berapa yang kamu butuh kan saat ini? Jangan kamu pikirkan cara mengembalikannya. Sekarang kesehatan istrimu lebih penting.” Hati Permana seakan tidak percaya, mendengar pernyataan Ibu Sutiyah.
“Benaran Bu? Masyaallah, saya sempat takut mengutarakan ini. Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi, terimakasih banyak ya Bu sudah mau menolong saya,” jawab Permana merasa bahagia, beban di benaknya seakan hilang seketika.
Sehingga saat Sutiyah menyerahkan sejumlah uang, segera Lelaki itu takzim kepada Sutiyah pamit undur diri menuju rumah sakit.
“Bu, mana tamunya tadi?” tanya Arumi dengan dua cangkir teh panas, beserta makanan ringan. Di atas nampan berbahan stainless, dengan ukiran dekoratif bunga beserta daun di kedua sisinya.
“Duh, sudah pulang dia buru-buru. Sini itu minumannya buat Ibu saja,” jelas Sutiyah.
Arumi memberikan secangkir, lalu yang secangkir lagi di bawanya masuk ke dalam.“Loh Nak, yang satunya kenapa enggak diminum? sini temani Ibu duduk sore, sambil minum teh panas enak pastinya,” tegur Sutiyah. Arumi langsung terbata menjawab pertanyaan Ibunya.“I—ni mau Arumi tambah gula ,” jawabnya, lalu membawa minuman itu masuk dan membuangnya di dapur. Arumi membuat teh baru, agar Ibunya tidak menaruh curiga.***
Saat usia kehamilan Selvi menginjak tujuh bulan, Selvi kabur meninggalkan Permana. Dengan kenyataan pahit, yang ia lihat tepat di depan mata.
Membuat hati Selvi hancur. "Kenapa kamu tega sama aku mas, kenapa kamu begitu? Anak kita sebentar lagi akan lahir, kenapa kamu bisa berbuat sekejam ini kepadaku," tangisnya sepanjang jalan.
"Apa lebih baik aku mengakhiri hidupku saja," batinnya. Saat berada di jembatan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.Selvi berdiri di jembatan memegang sisi jembatan yang terbuat dari besi, melihat jauh ke dasar sungai yang berada tepat di bawahnya. Air mata masih menetes di pipinya seakan banyak hal yang dia tidak percaya.
Apalagi sikap Permana, yang menurut dia seperti tidak wajar. Dengan kejadian-kejadian tiap malam seperti, seseorang mengetuk pintu kamar.
Terkadang suara orang mengetuk jendela, Saat di cari tidak ada. Hingga kejadian di pagi hari ini, tepat di depan matanya suaminya bisa berbuat sehina itu, seakan seperti bukan dirinya."Tidak mungkin Permana melakukan hal sekeji itu, di depanku dan di rumahku sendiri," gumamnya tidak percaya."Saat aku pulang dari pasar. Tapi faktanya, mas Permana seakan lupa denganku. Kamu kejam mas!" teriak Selvi, masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat.Kakinya mulai melangkah menginjak pembatas jembatan, yang terbuat dari besi. Hingga saat ini posisi Selvi berada tepat di atas pagar jembatan, berdiri ingin melompat. Suara seseorang, berteriak dari jauh.
Jangan ...!
Suara itu terlambat, Selvi sudah melompat. Beberapa orang yang bersama wanita itu, berteriak berusaha mencari Selvi di bawah jembatan. Saat itu air sungai mengalir deras.
Pencarian itu seakan sia-sia, matahari mulai tergelincir di ufuk barat, belum juga mendapatkan hasil.“Ya Allah, bagaimana nasibmu Nduk (panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa).” Suara isak tangis, terdengar dari sepasang Suami istri.
Dengan penyesalan-penyesalan yang terlontar dari wanita paruh baya, yang saat ini masih menanti hasil di tepi sungai tempat Selvi meloncat.“Bagaimana Man, sudah ada hasilnya? Selvi sudah ketemu belum," tanyanya, berusaha menutupi rasa cemasnya.
Suparman yang masih berusaha bersama beberapa warga, hanya bisa menjawab dari jauh dengan bahu di angkat.
Dirman berlari dan berteriak, membawa sendal sebelah kiri yang biasa di gunakan Selvi.
“Mbak!” teriaknya, berlari melewati bebatuan sungai mendekat ke arah wanita yang sedang menangis itu.
“Ini sendalnya Selvi atau bukan?” tanyanya memastikan.“Iya ini sendalnya Selvi, ketemu dimana?” tanya Winarsih.
"Tadi di dekat pohon bambu di ujung sana, ke arah hutan," cerita Dirman.
Semua warga menyisir sungai, ke arah yang di tunjuk Dirman. Kemungkinan besar Selvi hanyut, terbawa derasnya air sungai menuju ke arah pesisir.Usaha mereka masih belum membuahkan hasil, hingga mereka menemukan pasangan dari sendal Selvi. Sendal itu sudah terbawa air, sekitar lima kilometer dari tempat awal di temukan sendal yang sebelahnya.
“Pak kalau terjadi sesuatu yang buruk ... sama dia bagaimana?” Kecemasan, semakin melanda wanita paruh baya itu.
“Sudahlah Bu, kita berdoa saja. Jika terjadi sesuatu sama dia, kita harus laporkan sama nyonya Sutiyah mengenai hal ini,” jawab Darno berusaha menenangkan istrinya.
“Sekarang kita banyak berdoa saja, semoga dia masih hidup. Jika tidak, minimal kita menemukan jasadnya," jelasnya.
Wanita paruh baya itu menyeka air matanya, dia tetap setia menunggu hasil pencarian di pinggir sungai. "Semoga kamu selamat ya Nduk, kasihan bayi yang di kandunganmu," gumamnya sambil berdoa.
"Jika memang kamu tidak selamat, minimal kami menemukanmu. Agar bisa memastikan kondisi Anakmu," gumamnya dalam hati, berharap keajaiban.
Tetapi waktu sudah semakin gelap, warga memutuskan untuk meneruskan pencarian besok. Dengan lunglai Winarsih melangkah pulang ke rumah.
Dia menemukan potongan kain. "Ini seperti pakaian yang di kenakan Selvi, Pak lihat ini." Winarsi menunjukkan potongan kain itu, sobekan tidak wajar. Tangis wanita itu pecah seketika.
Bersambung ...
Jangan lupa follow Instagram @IndraqilsyamilFarhan menunggu balasan dari pesan singkatnya, tapi tidak kunjung di balas oleh Valencia. Hingga dia menyium bau dupa yang keluar dari ruangan khusus ibunya.Langkanya semakin dekat hingga dia menemukan sesuatu yang menjadi kecurigaannya selama ini, sosok menyeramkan sedang berdiskusi dengan Ibunya.'A-apa itu?' tanyanya terbata di dalam hati.Sebuah sosok besar menyerupai ular dengan separuh badan manusia, kaki Farhan tidak dapat bergerak dia mematung seketika."Jangan kau ambil anakku, tunggu beberapa hari aku akan memberikan permintaanmu." Farhan hanya bisa menelan saliva. Hingga sebuah notif pesan singkat menyadarkannya dari lamunan.[ Aku baik-baik saja, saat ini sudah berada di rumah]Farhan menutup smartphonenya lalu gersenyum, dia masih bingung harus membalas apa. Saat ini ia masih tidak menyangka, Ibunya bersekutu dengan Jin.[ Alhamdulillah , kalau kamu sudah baik- baik saja] balas Farhan dalam pesan singka
Farhan kembali menuju tempat Ayahnya berada dia tidak habis pikir, dengan apa yang dia lihat. Sosok yang dingin itu tiba-tiba menghilang. Menurut Farhan seperti ada pesan yang ingin di ceritakan gadis itu. Walau Farhan berupaya menyingkirkan kejadian yang dia alami, tetapi semua seakan sia-sia. Benaknya masih bertanya-tanya ke mana perginya gadis dengan ekspresi dingin, yang membuat bulu kuduknya merinding. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang, Pria itu terkejut. Hampir saja dia memukul orang yang dibelakanginya itu. “Duh Ayah, hampir jantungku copot,” ungkapnya. “Kenapa, seperti habis lihat setan saja?” tanya Bramasta. Farhan diam sejenak seakan masih bingung harus bagaimana memulainya. “Tadi pas ke lantai atas ada anak seusiaku, dia sendirian. Mungkin salah satu anak rekan kerja Ayah,” ceritanya. “Bisa jadi, tapi apa yang membuat kamu jadi seperti ini. Seperti habis melihat setan saja,” ujar Bramasta. Wajah Farhan terlihat pucat, menurut Bramasta ada yang janggal.
Di tempat lain di mana Farhan berada, pria itu mendapat pesan singkat dari Valencia. Awalnya dia tidak yakin akan membalas pesan itu atau langsung menghubunginya. Hati kecilnya sempat bergelut merasa tidak yakin. Jika dia menghubungi langsung, maka dia tidak perlu repot-repot menghapus setiap kata. Akhirnya dia memutuskan menekan tanda telepon di gawainya. Panggilan mulai berdering, Farhan menunggu dengan sabar hingga ada jawaban dari Valencia. Tetapi hingga dering terakhir Valencia tidak menjawabnya. Mungkin dia sedang sibuk akhirnya Farhan memutuskan menjawab melalui pesan singkat, dia kembali meletakkan gawainya di atas nakas. Kegiatan hari ini dia ikut ayahnya ke salah satu perusahaan mereka, jadi perjalanan yang akan di tempuh lumayan lama dari kota Palopo ke Makassar. “Farhan sudah siap?” tanya Bramasta. “Sebentar lagi Farhan keluar, ini lagi mengenakan sepatu,” ujarnya. Sekitar lima belas menit kemudian Bramasta melihat Putranya dengan kemeja hitam dan sepatu ala kant
Panggilan itu masih Valencia abaikan, perasaannya benar-benar bingung. Mau menjawab takut di tanya oleh Bundanya.Satu panggilan terabaikan, ada rasa lega di hati Valencia. Mereka bergegas keluar menuju lobi. Sekitar lima belas menit dari panggilan itu. Gawai Valencia berbunyi lagi, nama yang tertera kali ini Jordi.Segera dia menggeser lambang telepon berwarna hijau.“Assalamuallaikum, ada apa Jor?” tanya Valencia dalam panggilan itu.“Waallaikumsalam, kata ART kamu pulang hari ini Val?” tanya Jordi antusias.“Hem, bagaimana ya. Mau kamu pulang hari ini atau tidak?” goda Valencia.“Huff, aku serius Val? Kamu enggak kasihan aku merana seperti pena kehilangan buku,” ujar Jordi.“Hahaha ... jangan sedih gitu. Aku sekarang dalam perjalanan, Kamu siapkan coklat kalau tidak ...,” ancam Valencia yang menghentikan ucapannya.
Selvi menghela napas panjang, memikirkan permintaan yang sangat berat menurut dia. Betapa baiknya putrinya ini, nyawanya hampir melayang dia masih mau memaafkan orang yang mencelakainya.Melihat ketulusan Valencia, membuat Selvi luluh. Akhirnya Selvi menghubungi pengacaranya untuk mencabut semua tuntutannya itu.Valencia senang karena, Bunda nya mau memaafkan Hana dan bulan. Memandang jauh keluar kaca jendela rumah sakit, terlihat pasien lain yang di antar oleh ke dua orang tuanya.Perasaan Selvi seakan hancur, dia merindukan kehadiran Ayahnya. Tetapi dia tidak tahu apakah Ayahnya masih hidup atau tidak, terkadang ingin bertanya tapi ada perasaan takut jika bundanya marah.“Bunda,” panggilnya dengan suara lirih.“Iya ada apa?” tanya Selvi.“Bunda tidak ingin memiliki pendamping hidup? Seperti mereka,” tanya Valencia.Selvi tertegun mendenga
Hujan turun deras, mobil Terios putih memasuki halaman Rumah sakit, saat itu cuaca seakan mendukung perasaan Selvi. Langkahnya diiringi Jordi menuju ruang ICU, di depan ruangan itu masih setia menunggu Darno dan Winarsih.“Bagaimana, Pak sudah ada perkembangan?” tanya Selvi cemas.“Belum Nduk ( nak), sepertinya kita harus banyak berdoa,” jawab Darno, mengelus pundak Selvi.Wajah Selvi semakin cemas, Dia takut jika Valencia tidak akan sadar. “Aku akan kesekolah, ingin ku temui siswa itu,” ungkapnya geram.Saat dia akan melangkahkan kaki menuju SMK Duta Karsa, salah satu perawat meminta di masuk ke ruangan Dokter. Akhirnya dia menuju ruangan Dokter, di buka pintu berwarna putih tulang. “Masuk Bu, silakan duduk,” ucap Dokter Ivan.“Bagaimana, kondisi anak saya Dokter? Apakah dia masih bisa sembuh?” tanya Selvi.“Alhamdulillah anak Ib