Share

Anak atau Teman

Hal itu membuat Ariana spontan menjerit.

"Aw! Kenapa kamu nyubit lenganku, ha?!" tanya Ariana, ia sengaja melantangkan suaranya agar Jarot mendengarnya.

"Hssst, kamu jangan berisik, deh. Sini kopinya. Biar aku yang bawain buat temenku." Devan menjawabnya dengan ketus. Ia langsung membawakan kopi ke depan dan memberikannya untuk Jarot.

Vasya nampak keheranan dengan apa yang terjadi.

"Ma, Mama kenapa tadi teriak?" tanya Vasya gemetar. Gadis itu merasa ketakutan.

Melihat itu, Ariana segera meninggalkan pekerjaannya, ia berjalan ke arah sang anak dan mengelus kepalanya.

"Vasya, Mama nggak kenapa-napa, kok. Tadi itu, Ayah kamu nggak sengaja nyubit Mama. Makanya Mama teriak. Hehehe..."

"Oh, gitu ya. Ya udah, lain kali Mama hati-hati, ya." Vasya mengatakannya sembari tersenyum lebar. Wanita itu tersenyum dan segera menyiapkan bekal untuk anaknya. Meski dalam hati, dia ingin menangis.

'Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?' batin Ariana pedih.

Diam-diam, Ariana pun mengikuti langkah sang suami. Namun, dia begitu terkejut setengah mati begitu mendengar perbincangan sang suami dengan Jarot, sang preman pasar.

"Aku selalu mengingatkan istriku untuk membagikan makanan selagi kita punya rezeki," ucap Devan yang terlihat sok bijak.

Jarot tampak tersenyum lebar dan tampak kagum dengan Devan.

"Iya, bener kamu, Devan. Wah, Istri sama anakmu pasti bangga sama kamu, ya. Kamu keren banget, Devan."

Dari kejauhan, Ariana dapat mendengar itu. Seketika, perasaan muak muncul di hati Ariana. Devan bertingkah seolah dialah yang paling mulia di muka bumi ini!

"Aku nggak nyangka suamiku pinter akting. Aku ingin lihat apakah dia bisa terus begitu di hadepan temen-temennya," batin perempuan itu.

Ia lantas berjalan kembali ke dapur dan membungkuskan beberapa makanan untuk Devan.

Setelah itu, ia kembali ke depan dan memberikannya kepada Devan dan juga Jarot.

"Mas, ini makanannya," ucap Ariana dengan wajah jutek.

Melihat kedatangan Ariana, Devan sontak terkejut. Namun, pencitraan sebagai suami baik tampak tak luntur.

"Wah, masakannya udah jadi ya, Ma. Makasih, Ma!" Senyum yang jarang ditampilkan, tiba-tiba terlihat.

Ariana sampai bergidik ngeri. Namun, dia memilih diam. Hanya saja, kedua matanya menatap tajam Devan.

Menyadari itu, Devan bertindak cepat untuk mencairkan suasana--seolah tak ingin Jarot tahu bahwa keduanya tak baik-baik saja.

"Senyum dong, Ma. Ga enak loh dilihat temenku," ucap Devan sembari tertawa lirih. Namun, Ariana tahu ada ancaman di balik tawa itu.

"Senyum kaya mana, Mas? Maaf, aku gak bisa akting kaya mas. Temanmu harus tahu kalau kamu gak sebaik itu," lirih Ariana kesal.

Mendengar itu, Devan seketika marah. Namun, lagi-lagi dia masih tetap bermain sebagai "suami baik".

"Kamu tuh ngomong apa si, Ma! Cepetan masuk, ya." Tak lupa, pria itu tersenyum saat mengatakannya.

Ariana belum merasa puas. Namun setidaknya, teman Devan pasti segera sadar dengan apa yang telah dikatakan oleh Ariana.

Benar saja. Setelah kepergiaan Ariana, Jarot menatap Devan bingung.

Suaminya itu tampak salah tingkah. Tapi, lagi-lagi dia kembali menguasai dirinya.

"Jarot, maaf, ya. Istriku emang keterlaluan, dia mesti nggak pernah ngehargai aku yang udah kerja keras. Dikasih uang berapapun selalu ngeluh, dia juga nggak pernah berterima kasih kalo aku kasih uang. Tapi dia malah nanya terus, aku dapat uang dari mana. Seolah-olah, dia nggak percaya kalo itu bukan uang hasil nyuri." Devan mulai menampakkan wajah sedihnya.

Pria itu tak sadar jika Ariana masih mendengarnya. Rasanya, ingin sekali Ariana berdebat dengan suaminya. Namun, mau tidak mau, dia harus meredamnya.

Vasya harus berangkat ke sekolah. Amarah di kepalanya, sejenak mereda--mengingat putrinya tadi begitu senang akan diantarkan sang ayah.

Dengan cepat, Ariana membantu putrinya bersiap dan menyuruhnya menemui sang ayah. Dari jauh, Ariana memperhatikan itu semua.

Namun, ia lupa kebiasaan Devan yang suka merokok.

Tak lama, Vasya pun terdengar batuk-batuk.

"Ayah, kenapa ngerokok? Kan, Vasya nggak bisa kena rokok," ucap Vasya, gadis itu menutup hidungnya sendiri.

Namun, Devan tak peduli. Dia justru menyebulkan asap rokok di hadapan Vasya. "Kamu kalo nggak kuat, mendingan ke dalem aja, Vasya. Jangan di sini."

"Tapi, Ayah kan tadi bilangnya mau anterin Vasya ke sekolah," jawab Vasya lirih.

Wajah Devan lantas memerah. "Vasya, kamu lihat di sini ada tamu, kan? Masa Ayah ninggalin gitu aja? Mana Mamamu? Suruh ke sini!" Devan berkata dengan suara tegas.

"Van, sabar, Van." Jarot menepuk pundak Devan.

Seketika, Devan tersenyum dan menjawab dengan lembut. "Oh, ya harus, dong. Aku cuman mau kasih tau Istriku aja, kok."

"ARIANA!" teriak Devan tiba-tiba.

Vasya bahkan terlihat gemetar setelah teriakan sang ayah.

"Kenapa, Mas?" tanya Ariana.

"Ajarin sopan santun ke Vasya. Gimana sih kamu jadi Ibu? Jelas-jelas dia lihat ayahnya ada tamu, kok malah disuruh nganter ke sekolah?" Devan mengatakannya dengan nada tegas.

"Bukannya Mas yang janji mau nganterin dia ke sekolah?"

"Tapi kan sekarang ada tamu!" bentak Devan lalu menatap Jarot, "Liatin, Rot. Ya gini ini, Istriku. Udah tahu salah, masih nyangkal."

Devan seketika menuduh Ariana--seolah ingin mendapat pembelaan.

Tangan Ariana mengepal kesal. Dia tak menyangka Devan bisa berlaku seperti itu.

Bahkan, Jarot kini menggelengkan kepala dan menepuk pundaknya--seolah prihatin dengan nasib Devan. "Sabar, Van! Kamu anterin aja anakmu. Tak tunggu di sini, ya."

"Lihat, Ma! Temenku pengertian, kan?! Dia sampek mau nunggu aku gara-gara aku harus nganterin anakku ke sekolah dulu!" jawab Devan.

Ia menepuk punggung temannya dengan rasa bangga. Ariana rasanya ingin berdebat, tetapi dia menjaga perasaan sang putri.

Alih-alih bersumpah-serapah, Ariana justru mengelus kepala sang anak dan menyuruhnya bersiap.

Sebelum pergi, ia pun disuruh bersalaman dengan Jarot. Namun, Ariana tak tahu bahwa Devan dalam keadaan marah dan siap membuat Ariana tak berani lagi melawannya. Dia akan melakukannya lewat putri mereka.

*****

Devan kini menaiki motor dengan kecepatan penuh sesuai rencana. Bahkan, hal itu membuat tubuh kecil Vasya terpental ke atas.

Benar saja, Vasya kini tampak begitu takut karena selama di perjalanan. Dengan gemetar, dia pun mulai berkata, "Ayah, pelan-pelan ngendarain motornya, Vasya takut."

Namun, Devan justru semakin marah. Semakin ditambahkannya kecepatan motor itu.

Tak lupa, pria itu kembali memaki, "Bodo amat! Kamu kalo ada tamu tuh yang sopan! Masa gara-gara nganter kamu ke sekolah aja, bisa ribut! Mama kamu juga nggak becus ndidik kamu, lagi!" pekik Devan dengan wajah kesal.

"Ayah jangan salahin Mama! Mama nggak salah apa-apa!" bela Vasya.

"Udah! Diem kamu! Habis ini sampek! Pegangan yang kenceng biar nggak jatuh! Ngerti, kamu?!" teriak Devan.

Vasya menuruti permintaan sang ayah dengan rasa takut di wajahnya.

Namun, di tengah-tengah perjalanannya menuju sekolah, penglihatan Devan tiba-tiba terganggu karena sebuah asap yang mengganggu jalanan.

Asap itu berasal dari pembakaran sampah yang terjadi di sisi kanan jalan. Perlahan, Devan mulai oleng, hingga...

Brak!

Devan tak sengaja bertubrukan dengan seorang pedagang sayuran.

Vasya dan Devan pun terjatuh dari sepeda motor.

"Ayah!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status