Share

Muka Dua Devan

Meski bingung, wanita itu buru-buru mengambil uang dan menggenggamnya dengan erat.

"Mas, kamu dapet dari mana uang sebanyak ini?" tanya Ariana akhirnya. Ia berjalan ke arah sang suami dengan langkah ragu.

"Ya dari temen-temenku, lah! Kamu aja yang nggak tau, kan?!" Devan menaikkan salah satu alisnya.

"Teman-temanmu? Masa sih, Mas? Terus, kamu nggak kerja, gitu?" Ariana merasa ragu dengan apa yang diucapkan oleh Devan.

Hal itu terbukti dari gelagat Devan yang merasa gugup. Ia juga sering melempar pandangan ke segala arah.

"Mas, kok diem aja, sih? Jawab pertanyaanku, Mas."

"Halah, gak usah banyak tanya kamu! Yang penting kan, udah aku kasih uang! Tidur aja sana!" pekik Devan dengan nada tinggi. Ariana menundukkan kepalanya pelan. Setelahnya, ia langsung berjalan ke samping Devan dan tidur di sebelahnya.

"Ya, Tuhan! Ini uang dari mana?" batin Ariana bingung. Namun, tak lama dia terlelap.

Hari ini sudah terlalu melelahkan untuk ibu muda itu. Terlebih, menghadapi suami yang tak pernah peduli padanya.

****

"Ariana, bangun kamu!"

Devan menepuk pundak Ariana dengan kasar. Ariana yang masih berada dalam keadaan setengah sadar, seketika bangun.

Sungguh aneh, Devan tiba-tiba bangun lebih pagi dari biasanya.

"Ada apa, Mas?" tanya Ariana.

"Ini udah pagi, cepetan berangkat ke pasar buat belanja. Masakin soto ayam, ya. Vasya pasti suka," jawab Devan dengan suara lirih.

Ariana yang mendengarnya, seketika merasa aneh dengan pernyataan suaminya. Tumben sekali suaminya peduli dan memperhatikan kesukaan Vasya? Itulah yang dipikirkan.

"Mas, kamu mau aku berangkat sekarang?" tanya Ariana dengan suara lirih. Devan menganggukkan kepalanya pelan. Ariana pun bangkit dari tempat tidurnya. Ia segera ganti baju dan bergegas ke pasar.

Setelah kembali ke rumah, ia mulai ke dapur dan memotong ayamnya. Tak lama kemudian, Devan berjalan ke dapur.

"Ma, nanti kalo ayamnya udah jadi. Tolong siapin lima piring buat temen-temenku, ya." Devan mengatakannya dengan ketus.

"Hah?! Yang bener aja, Mas?! Lima piring?" Ariana bertanya dengan wajah keheranan.

"Iya, kenapa kamu kaget gitu?!"

"Mas! Aku kira Mas Devan itu tadi bilang gitu karena peduli sama Vasya, loh! Tapi, ternyata Mas nyuruh aku buru-buru ke pasar buat nyiapin makanan temen-temen Mas Devan?!" Ariana bertanya dengan suara lantang. Ia menepuk jidatnya sendiri.

"Loh, aku emang peduli sama Vasya. Tapi, kalo kita punya rejeki tuh nggak boleh lupa berbagi sama sekitar, Ma. Jadi orang tuh nggak boleh pelit," ucap Devan dengan suara lantang.

"Berbagi itu juga liat-liat, Mas! Kalo aku disuruh berbagi sama temen kamu yang modelan preman gitu, itu namanya bukan berbagi! Tapi sama aja kaya ngasih makan setan! Berbagi tuh ke orang-orang yang bener-bener membutuhkan, Mas! Mas punya pikiran nggak, sih?" tanya Ariana, ia tak mau kalah dengan Devan.

Mendengar itu, muka Devan tampak memerah.

"Kamu kalo ngomong dijaga ya, Ma! Udah, cepetan bikin! Nggak usah pake ngomel! Temen-temenku juga belum tentu bisa hidup enak kaya kita, Ma! Kamu nggak boleh pilih-pilih!" teriak Devan. Ia mendobrak pintu dapur dan segera pergi dari sana.

"Astaga, Mas! Kamu tuh kok bisa segitunya sih sama temen-temen kamu?" pekik Ariana tak percaya.

Namun, Devan sama sekali tak menggubrisnya. Pria itu justru meninggalkan Ariana dan bergegas mandi.

Ditinggalkan seperti itu, Ariana lantas menatap Devan dengan rasa kesal. Namun, tetap saja perkataan sang suami diturutinya.

Selang beberapa saat kemudian, Ariana telah selesai menyiapkan masakannya.

Ia pun langsung membungkus nasi untuk kelima teman Devan. Pada saat itu, ia kesulitan untuk menemukan plastik.

"Aduh, plastiknya di mana, sih? Masa iya udah habis? Perasaan, baru kemarin beli plastiknya," batin wanita itu pelan. Dia merasa kesal dengan hal itu. Di saat bersamaan, Devan datang menghampiri Ariana.

"Ma, gimana? Udah jadi belum, masakannya?" tanya Devan dengan tatapan sinis.

Ariana mendengus kesal. "Udah jadi."

"Oh, bagus, deh. Nanti Mama sekalian nyiapin piring sama nasinya juga, ya. Mau makan rame-rame di rumah," ucap Devan sambil tersenyum lebar.

"Apa, Mas? Kenapa tiba-tiba malah mau ngajak temen Mas makan di sini?! Mas pikir ini hari libur apa?! Apa kata orang-orang nanti kalo sampek tahu Mas kerjaannya cuman nongkrong di rumah sama temen-temen Mas yang nggak jelas itu, ha?!" Ariana membentak Devan dengan tatapan kesal.

"Kamu itu kalo ngomong bisa pelan-pelan, nggak?! Ya udah, bungkusin aja. Biar aku yang bawain nanti buat temen-temenku," jawab Devan dengan nada kesal.

Selang beberapa saat kemudian, Devan telah siap dengan setelan baju berwarna hitam dan jeans sobek-sobek. Ariana yang melihat itu merasa risih. Namun, dia diam saja, Ariana tidak ingin ribut lagi.

Sayangnya, itu tak berlangsung lama.

Devan lagi-lagi mencari masalah.

"Oh iya, aku juga mau minta uang lima puluh ribu sama kamu! Sisa uangnya masih ada, kan?!" tanya Devan dengan suara lantang.

Deg!

"Lima puluh ribu, Mas?" Wanita itu menaikkan salah satu alisnya. Ia tak menyangka bahwa suaminya bisa melakukan hal itu. Uang yang diberi itu jelas untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Bahkan, sudah dipotong untuk membuat soto teman-teman Devan. Tidak satu atau dua orang, tapi lima!

"Kok nanya?! Sisa uangnya masih ada, kan?! Berikan ke aku! Nanti, kalau aku dapet lagi, pasti aku kasih ke kamu, kok! Gitu aja kok repot si, Ma?!" tanya Devan dengan suara lantang.

"Bukan itu masalahnya, Mas! Sisa uang yang kamu kasih ke aku kan bisa dipakai buat yang lainnya, Mas! Nggak cuman buat hari ini aja! Kamu aja kadang nggak ngasih uang ke aku loh, Mas!"

Ariana mulai melawan Devan. Suaminya ini benar-benar harus diingatkan bahwa keperluan mereka dan anak-anak banyak. Mereka butuh uang untuk disimpan sebagai dana darurat.

Plak!

Bukannya menjawab, Devan justru menampar pipi istrinya.

Ariana mengelus pipinya pelan. Ia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh suaminya sendiri.

Di saat bersamaan, seseorang datang dan berada di depan rumah Ariana. Orang yang membuat mereka bertengkar sedari kemarin--Jarot.

"Devan! Buka pintunya!"

Hal itu tentu saja membuat Devan langsung terkejut. Dengan wajah kesal, dia menatap Ariana tajam untuk memperingatkan sang istri.

"Awas kamu, ya! Jangan ngomong aneh-aneh di hadepan temenku! Paham kamu?!"

Sayangnya, Ariana memilih diam.

Dia ingin menunjukkan protes pada sang suami tanpa suara. Melihat itu, Devan semakin geram. Pria itu mendadak memicingkan kedua matanya semakin tajam.

"Sekarang, kamu ke dapur dan siapin semuanya sekarang! Paham kamu?! Sekalian bikinin kopi! Nggak usah protes!"

Setelah itu, Devan pergi dari dapur dan segera bergegas ke depan rumah--meninggalkan Ariana yang menahan kesal di dada.

****

"Jarot, ayo masuk dulu. Istriku udah buatin kopi buat kita berdua," ucap Devan sembari tersenyum ke arah Jarot.

Keduanya pun masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi.

Namun, Jarot tiba-tiba menaikkan salah satu alisnya. "Kenapa nggak langsung berangkat, Van?" tanya pria itu, bingung.

"Nggak papa, Rot. Aku mau ngasih sesuatu buat kamu sama temen-temen kita."

"Wah, apa, tuh?"

"Habis ini kamu tahu, aku ke dalem dulu, ya. Mau ngecek Istriku," ucap Devan sembari tersenyum.

Jarot lantas menganggukkan kepala melihat Devan bergegas ke dapur. Menanti sesuatu yang dimaksud Devan.

Sementara itu, Devan masuk dan ingin menemui Ariana. Namun, tak sengaja dia melihat sang anak yang sedang bersiap-siap ke sekolah.

"Vasya, kamu udah selesai belum?"

Vasya yang sudah siap dengan pakaiannya itu, segera bergegas menemui sang ayah. "Udah, Yah. Habis ini Vasya mau makan. Nanti, Ayah bisa anterin Vasya, kan?"

"Oke, Sayang. Kamu mendingan makan dulu sama Mama."

Devan pun mengajak Vasya ke dapur. Langkah Devan ringan sekali--seolah tak ada perang apa pun yang terjadi tadi pagi.

"Mama masak apa hari ini?" tanya Vasya begitu melihat ibunya.

Ia berdiri di samping sang ibu yang tengah menuangkan nasi ke piring untuk sarapan Vasya.

"Eh, anak Mama udah bangun, ya. Mama hari ini masak soto buat Vasya. Gimana? Seneng, nggak?" tanya wanita itu sembari tersenyum lebar. Tentu saja Vasya kegirangan.

"Yey, Mama bikin makanan kesukaan Vasya," ucap Vasya sembari tersenyum lebar.

"Iya, dong, Vasya. Udah, yuk. Kamu mendingan makan dulu. Mama nanti siapin makanan buat bekal kamu juga," kata sang ibu sembari tersenyum lebar.

Vasya menganggukkan kepala. Ia segera duduk di meja makan dan mulai memakan makanannya.

Di satu sisi, Devan perlahan mendekati Ariana sembari bertanya pelan. "Gimana? Kopinya udah jadi, belum? Terus, masakan sotonya juga udah kamu bungkusin, belum?" tanya Devan.

"Kopinya udah jadi," balas Ariana datar.

Mendapati respons tak bersemangat itu, Devan sontak kesal.

Lantas, ia pun mencubit lengan Ariana sampai perempuan itu meringis kesakitan. "Aw!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status