Share

Bab 7

Penulis: Siti_Rohmah21
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-31 22:23:49

Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Dari orang tuaku di kampung.

"Ya, Mah. Ada apa?" tanyaku sambil mengamati kondisi salon. Khawatir Mas Haviz keluar.

"Eh iya, Ra. Minta nomor rekening kamu ya, nanti kalau uang cair Mama langsung transfer ke kamu," ucapnya dengan nada terdengar bahagia. Dimana-mana orang tua sangat bahagia jika memberikan sesuatu untuk anaknya. Kebahagiaannya tidak terkira, ia sangat terdengar semringah.

"Iya, nanti Ara kirim." Aku menjawab sambil celingukan.

"Kamu di mana sih? Kok sepertinya bising?" tanya mama.

"Di jalan, Mah. Udah dulu ya," jawabku kemudian mematikan sambungan teleponnya.

Aku bergegas masuk ke dalam. Kulihat sekeliling, dan naik ke lantai atas. Kalau kata petugasnya, mereka berada di lantai atas.

"Tante!" teriak bocah kecil melengking.

Padahal aku sudah diam-diam ingin memergoki mereka. Lagi-lagi ia memanggilku. Tidak lama kemudian, mamanya datang menghampirinya.

"Anggi, kamu ke play ground dulu ya, Mama ada urusan sebentar," tutur wanita itu pelan. Ia coba menyuruh anak itu pergi menjauh.

Aku tersenyum sambil menghampirinya. "Maya Agustina, bagus nama Anda. Tapi sayang, ternyata Anda selingkuhan suami orang," celetukku seraya berbisik tepat di telinga wanita itu.

"Jangan sembarangan bicara, Mutiara," jawabnya mengetahui namaku.

"Kamu pelakor," bisikku seraya menyindirnya tepat di telinganya.

Tidak lama kemudian, Mas Haviz muncul dengan Anggi. Ia menggendong anak itu. Lalu menurunkannya di sebelah wanita yang tadi kusebut pelakor.

Kemudian, Mas Haviz menghampiriku. Ia meraih tangan ini di hadapan perempuan itu.

"Sayang, kita pulang, yuk!" ajaknya dengan entengnya.

"Jelaskan ada apa ini?" cecarku sambil melepaskan genggaman.

"Kita bicarakan ini di rumah ya," ucap Mas Haviz.

"Mah, kok tangan ayah pegang tangan Tante?" celetuk Anggi yang berada di belakang Mas Haviz. Seharusnya ia tidak melihat ini, aku pun paham dengan perasaannya.

Akhirnya aku pun mengangguk seraya menyetujui permintaan Mas Haviz untuk menceritakan di rumah. Namun, aku menolak satu mobil dengannya. Aku lebih memilih bawa mobil sendiri, ketimbang ikut berada di satu mobil dengannya.

Aku mulai keheranan ketika tiba di rumah. Anggi dan Maya tampak akrab dengan Mama Yuni.

"Eyang!" teriaknya kesenangan.

"Eh, Anggi, kamu ikut juga, Nak ke sini?" tanyanya membuatku semakin kaku. Ya, aku tidak bersuara sama sekali.

"Ara, kamu nggak jadi ke salon tadi?" tanyanya aku kira hanya basa-basi.

"Iya," jawabku singkat.

Ada hal yang tidak kuketahui, banyak yang mereka rahasiakan bertahun-tahun. Rasanya sakit tapi tak berdarah. Dulu sewaktu aku sakit, Mas Haviz tidak mau melakukan hal yang menyakitkan aku, makanya kupikir ia adalah lelaki setia yang tidak mungkin berkhianat. Namun, ternyata anak itu ....

Astaga, aku coba hempaskan ini dari otakku. Siapa tahu aku salah menilai mereka. Ya, aku coba pahami dulu, dan dengarkan apa yang ingin ia katakan.

Kami duduk berempat di meja makan, Anggi sengaja diajak ke kamar oleh Mbok Susi. Kemudian, Mama Yuni yang memulai lebih dulu pertemuan kami di siang ini.

"Satu hal yang ingin Mama katakan, maaf Ara. Ada rahasia yang akan kami ungkap sekarang," tuturnya.

"Ya, aku tahu, Maya Agustina adalah istri Mas Haviz Erlangga, iya kan?" tebakku membuat mereka saling beradu pandang.

"Lebih tepatnya istri pertama yang dinikahi siri oleh Haviz," jawab Mama Yuni. Aku berdiri sambil menggebrak meja.

"Jangan becanda!" sahutku. Tak lupa sedari tadi kurekam pembicaraan ini pada ponsel yang kusimpan di dalam tas.

"Dengarkan aku cerita dulu ya, Ra," lirih Mas Haviz.

Hening, suasana tiba-tiba hening. Kusorot wajah perempuan yang berada di samping mertuaku juga terlihat tegang. Bagaimana bisa aku yang istri kedua? Sedangkan aku yang memiliki buku nikah.

"Itu alasannya aku tidak mau menikah lagi ketika kamu sakit, Ra, karena dua saja aku belum bisa berlaku adil, apalagi tiga," jawab Mas Haviz. Aku mengepal seraya kesal. Tidak habis pikir jawabannya seperti itu, enteng sekali ia bicara denganku.

"Bagaimana bisa aku yang ternyata istri kedua? Bukankah saat itu di KTP kamu masih sendiri?" cecarku. Diam-diam aku melirik ke arah tas untuk memastikan bahwa rekaman masih berjalan.

"Ara, jujur saja Mama juga baru tahu saat menyecar Haviz untuk menikah dengan anak teman Mama, saat itu yang kau dengar ramai, itu adalah niat Mama memperkenalkan wanita lain, tapi saat itulah Haviz menjelaskan bahwa ia sudah memiliki anak perempuan." Mama bantu menjelaskan ini semua.

Aku tertawa kecil, lalu menyorot ke arah Maya Agustina. "Kamu wanita rendah, mau gitu dimadu?" ejekku. Ia hanya menunduk malu.

"Kalau begitu, aku minta cerai, Mas. Mumpung belum ada anak di antara kita," sungutku kesal.

"Nggak, Ra. Aku nggak bisa cerai dari kamu," lirihnya.

"Lalu, kamu mau dua istri?" tanyaku sekali lagi. "Aku nggak mau, Mas. Nggak sudi!" tekanku.

"Kalau aku nggak bersedia menceraikanmu, maka percuma kamu gugat cerai," ungkapnya menekankan.

"Aku ada bukti rekaman barusan, jadi siap-siap saja, Mas. Kita akan cerai!" tekanku.

Kemudian, aku berdiri sejajar dengan wanita yang ternyata istri pertama Mas Haviz.

"Kamu wanita rendah," bisikku kesal.

"Kamu yang rendah telah merebut Mas Angga dari sisiku!" sentaknya.

"Haviz Erlangga, hebat kamu Mas, ada yang bucin sama kamu," sindirku dengan senyuman miring.

Aku langkahkan kaki ini keluar rumah dan berencana untuk pergi dari sini. Namun, tiba-tiba Mas Haviz menarik tangan ini.

"Aku nggak akan cerai dari kamu!" tekannya.

"Mas, ngapain sih mempertahankan dia, bukankah kamu sudah ada Anggi dariku?" Dari ucapan Maya aku jadi yakin, bahwa ia yang memaksa Mas Haviz untuk menikahinya dan anak menjadi senjatanya.

Aku mundur sejenak, lalu bicara di tengah-tengah mereka.

"Kamu pilih aku atau Maya, Mas?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di hadapan mereka.

"Emm ...."

"Oke, aku yang pergi. Kita pisah saja!" seruku. Tiba-tiba Mama Yuni menghampiri kami yang sudah menjauh dari meja makan.

"Ya sudah, dua-duanya nggak usah dipertahankan! Lebih baik kamu nikah dengan anak teman Mama saja!" sambar Mama Yuni terdengar menyebalkan tapi idenya sungguh luar biasa.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
edan tuh mama Yuni sok kegantengn gitu ank mu havis bnr Ara lebih baik cerai qm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 25

    Tiba-tiba team medis yang menangani Mas Haviz keluar. Dokter menghampiri kami semua."Dok, bagaimana suami saya?" Mata Anggi mendadak menyorotku ketika aku menyebut ayahnya adalah suamiku."Alhamdulilah, operasi berjalan lancar, setelah observasi enam jam, pasien akan masuk ke ruangan rawat inap," jawab dokter seketika membuatku dan keluarga bernapas lega."Terima kasih, Dok," ucapku sambil memeluk Anggi.Lalu Dhea menghampiri, ia ikut mendekatiku dan Anggi. "Anggi, wanita ini mengaku-ngaku istri ayahmu loh, kuburan ibumu masih basah," celetuk Dhea."Kan Tante Ara memang akan jadi mamaku," sahut Anggi.Kemudian, aku memutuskan tidak meladeninya. Namun, aku curiga ketika Dhea mendapatkan telepon masuk, ia menjauh dari kami. Akhirnya aku coba ikuti langkahnya.Dhea mengangkat telepon di balik pembatas dinding rumah sakit, aku coba menempelkan telinga ini untuk menguping pembicaraan."Makasih ya, Toni, sopir truk yang kamu kirim kerjanya bagus, tapi sayangnya orang yang kuincar tidak ter

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 24

    "Bu, ayo Bu kita ke rumah sakit! Kasihan anaknya khawatir ada luka dalam!" ajak salah satu petugas kepolisian yang melihatku berdiri tertegun menyorot Dhea."Iya, Pak." Aku menjawabnya sambil ikut masuk ke dalam ambulance yang sudah ada Mas Haviz terbaring lemah.Wajah Mas Haviz keluar darah segar, sepertinya ada benturan di bagian rahang pipinya. Tangan dan kaki sebelah kanan masih utuh tapi tidak tahu kondisi dalamnya seperti apa, sebab posisi Mas Haviz terjepit pintu yang diserempet oleh truk."Tante, Ayah baik-baik saja, kan?" tanya Anggi. Aku terdiam, ia pasti trauma setelah kehilangan dua orang sekaligus dalam satu hari."Anggi doakan saja, ya. Semoga Ayah baik-baik saja." Aku mengelus-elus rambut bocah yang sedang memegang tangan ayahnya.Suara ambulance mengingatkanku pada peristiwa empat tahun silam. Dimana saat itu kondisiku sakit tak berdaya. Mas Haviz begitu panik ketika almarhumah mertua mengabarkan bahwa aku tidak mampu berjalan. Ia menghubungi ambulance khawatir Mas Hav

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 23

    "Ara ada di sini?" Mas Haviz bertanya dengan senyum semringah. Kemudian, Anggi diajak turun oleh Mas Haviz. Ketika Anggi turun, ia tidak seperti biasanya, menyergap lalu memelukku, yang dilakukan Anggi justru menunduk sambil berjalan ke arahku dengan wajah sendu.Perlahan langkahnya lama-lama mendekatiku. Kemudian ia menyodorkan tangannya yang memegang sekuntum bunga mawar merah."Loh, biasanya mawar putih, kenapa sekarang mawar merah?" tanya diiringi dengan senyum, namun Anggi tak juga menyunggingkan senyuman dari bibirnya."Tante, ini bunga terakhir untuk Tante, mawar berduri," celetuknya. Aku meraih bunga mawar yang ia berikan, setelah itu menatap wajah anak dari Mas Haviz dan istri sirinya, lalu menyorotnya sambil tersenyum, dan aku memeluknya erat.Responnya masih datar, ia tak kunjung menyunggingkan senyuman."Tante kenapa meluk aku? Bukankah Tante sudah tidak mau bertemu lagi dengan anak haram?" Astaga, anak ini dapat kata-kata itu dari mana?Aku tercengang mendengar penuturan

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 22

    "Tante, aku ingin tinggal dengan Tante Ara," lirihnya membuatku berkaca-kaca. Anak ini tidak paham siapa aku, jika ia tinggal bersamaku, sama saja aku menyiksa diri. Meskipun ia tidak salah apa-apa, tapi wajahnya mengingatkanku pada masa lalu."Anggi, Tante nggak bisa, maafin Tante, ya," ucapku padanya. Kemudian, aku masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.Kudengar suara tangisannya, ada rasa tidak tega bersemayam di dalam dada. Namun, aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Ya, aku pernah berjanji akan meninggalkan Mas Haviz, dan tidak mungkin aku menarik perkataanku itu hanya karena kasihan kepadanya.Satu-satunya cara adalah tidak menemui anak itu untuk sementara waktu, agar iba dan belas kasih tidak muncul dalam benakku.Mama mengetuk pintu, ia izin untuk masuk dan bicara denganku. Mama duduk di sebelahku."Sudah pulang, Mah?" tanyaku saat mama duduk. Ia mengangguk, lalu aku tersenyum agak sedih."Mama tahu perasaan kamu, pasti teringat perbuatan Haviz padamu," ujar mama.

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 21

    "Apa-apaan kamu, Dhea! Sudahlah jangan menambah kesedihan Mama!" sentak Bu Dwi pada anaknya."Mah, kenapa sih Mama pilih kasih? Sewaktu Maya masih hidup, ia meminta untuk jadi suaminya Haviz diizinkan, padahal mereka sudah sebar undangan," sungut Dhea menjadikan pernikahan Maya suatu alasan."Cukup Dhea, cukup!" Bu Dwi pun berlalu pergi ke kamarnya.Kemudian, aku dan mama hendak pamit, supaya tidak menambah masalah dan kesedihan Bu Dwi. Namun, Anggi mencegahku untuk pergi. Ia merengek agar aku tetap berada di sampingnya.Akhirnya aku putuskan untuk menunggu Anggi tidur siang, setelah itu barulah kami berdua kembali ke kampung. Sambil mengelus-elus rambut dan punggung Anggi, aku dan mama tiba-tiba kepikiran dengan berkas yang telah kumasukkan ke pengadilan agama."Bagaimana dengan berkas kamu? Apa mau dicabut?" tanya mama, aku hanya bisa terdiam. "Cabut saja ya," suruhnya lagi."Kita bicarakan ini nanti, Mah. Sekarang lebih baik kita bersiap-siap pulang ke kampung, kasihan Papa, mungk

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 20

    "Anggi, aku juga Tante kamu, kenalkan ya, aku Tante Dhea." Dia memperkenalkan diri pada Anggi. Jadi namanya Dhea, entah apa hubungannya dengan Maya."Aku nggak kenal sama Tante, kata Mama, jangan dekat-dekat orang yang tidak dikenal," ucap Anggi. Lalu ia pindah ke dekatku. Aku tersenyum tipis, lalu menggandeng tangan kecil Anggi ke depan. Ya, proses pemakaman akan segera dilaksanakan. Nanti aku akan menanyakan siapa wanita tadi setelah pemakaman selesai.Kami berangkat dengan hati pilu, gerombolan orang yang serempak mengenakan baju hitam pekat pun mulai mengiringi jalannya jenazah untuk masuk ke ambulance.Tangisan Bu Dwi pecah, ia seakan tidak sanggup mengantarkan jenazah Maya. Namun, mamaku berusaha menguatkannya.Mobil beriringan menuju pemakaman yang katanya berjarak sekitar 7 kilo meter. "Yah, wanita tadi itu siapa ya, Yah? Yang mengaku Tante," tanya Anggi dengan polosnya. Mas Haviz yang menyupir mobil pun menoleh sedikit ke arahku seraya mempertanyakan padaku."Iya, Mas. Tadi

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 19

    "May, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku sulit melihatnya, sebab ada kepala Maya yang bersandar di bahuku. Kemudian, Anggi yang mendengar melihat ke arah mamanya."Mama bobo, Tante, nyenyak sekali Mama bobonya," sahut Anggi.Perasaanku mulai tak karuan, aku punya firasat buruk dengan kondisi Maya. Mama yang sederetan denganku pun menoleh."Iya tidur," celetuknya. Aku mau suruh mama cek napasnya khawatir membuat Mas Haviz panik, jadi diam-diam aku memeriksa denyut nadi tangannya.Aku raba lalu kucermati denyutannya, tapi tidak ada denyutan sedikitpun. Astaga, apa Maya juga telah ...."Mas, coba berhenti sebentar, ya," suruhku tapi berusaha tenang, supaya mereka semua tidak panik.Kemudian, setelah memastikan mobil berhenti. Mamanya Maya langsung turun dan buka pintu belakang. Sepertinya ia curiga sejak tadi aku bertanya pada Maya namun tak dijawabnya."Maaf, Bu. Saya mau lihat kondisi Maya," ucapnya."Bu Dwi, sepertinya Maya sudah nggak ada, tadi setelah ada suara seperti cegukan, ia t

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 18

    Kami keluar lagi, tapi hanya selang beberapa menit saja dokter memanggil kembali. Kali ini dokter menyampaikan bahwa Mama Yuni sudah mengembuskan napas terakhirnya."Pak, Bu, maaf, ternyata Allah berkehendak lain, Ibu Anda telah meninggal dunia barusan, sekali lagi kami team dokter minta maaf sebesar-besarnya, Bu Yuni tadi menolak ditransfusikan darahnya dan hanya berpesan pada saya sampaikan minta maafnya pada Ara," tutur dokter membuat Mas Haviz menghela napas panjang. Kemudian ia memukuli tembok dengan amat menyesalnya."Mah, maafin Haviz, seandainya Haviz yang mengantarkan Mama, tentu takkan terjadi seperti ini," keluhnya dengan penuh penyesalan.Aku mendekati Mas Haviz. Posisiku berdiri tepat di belakangnya. Kemudian, tangan ini memegang pundaknya yang kini rapuh, orang tua satu-satunya kini pergi meninggalkan dirinya.Kudengar suara isak tangis yang keluar dari arah Mas Haviz, setegar-tegarnya lelaki, jika ibunya yang meninggalkan dirinya, tentu akan sangat kehilangan. "Mas, ak

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 17

    "Maya sakit?" tanya mama."Bukan, Mah. Mama Yuni kecelakaan, ini minta tolong sama aku untuk jemput Ara, ia mau bicara pada Ara," ucap Mas Haviz terdengar sangat panik.Aku yang mendengar kabar mertuaku kecelakaan sontak terkejut. Meskipun ia selalu bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan orang lain. Namun, ia dulu sempat merawatku ketika sakit. Makan dan minum ia layani meskipun dengan disertai ocehan yang kadang tak enak didengar."Ya, Mas, jemput aku segera ya," sahutku menyambar ketika ada kabar. Telepon pun terputus. Mama tersenyum tipis melihat wajahku. Matanya berkaca-kaca seraya sedih menatapku. "Kenapa, Mah? Kok mandang aku seperti itu?" tanyaku dengan mata menyipit."Mama salut denganmu, Ra. Begitu hormatnya kamu pada mertua, semoga jadi pahala untukmu," tutur mama sedikit sendu."Mah, kalau pada orang tua, aku selalu ingat orang tua kandungku, meskipun aku ini anak satu-satunya, dan tidak mungkin Mama melakukan hal seperti Mama Yuni, tapi tidak tega saja kalau itu te

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status