Share

Bab 7

Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Dari orang tuaku di kampung.

"Ya, Mah. Ada apa?" tanyaku sambil mengamati kondisi salon. Khawatir Mas Haviz keluar.

"Eh iya, Ra. Minta nomor rekening kamu ya, nanti kalau uang cair Mama langsung transfer ke kamu," ucapnya dengan nada terdengar bahagia. Dimana-mana orang tua sangat bahagia jika memberikan sesuatu untuk anaknya. Kebahagiaannya tidak terkira, ia sangat terdengar semringah.

"Iya, nanti Ara kirim." Aku menjawab sambil celingukan.

"Kamu di mana sih? Kok sepertinya bising?" tanya mama.

"Di jalan, Mah. Udah dulu ya," jawabku kemudian mematikan sambungan teleponnya.

Aku bergegas masuk ke dalam. Kulihat sekeliling, dan naik ke lantai atas. Kalau kata petugasnya, mereka berada di lantai atas.

"Tante!" teriak bocah kecil melengking.

Padahal aku sudah diam-diam ingin memergoki mereka. Lagi-lagi ia memanggilku. Tidak lama kemudian, mamanya datang menghampirinya.

"Anggi, kamu ke play ground dulu ya, Mama ada urusan sebentar," tutur wanita itu pelan. Ia coba menyuruh anak itu pergi menjauh.

Aku tersenyum sambil menghampirinya. "Maya Agustina, bagus nama Anda. Tapi sayang, ternyata Anda selingkuhan suami orang," celetukku seraya berbisik tepat di telinga wanita itu.

"Jangan sembarangan bicara, Mutiara," jawabnya mengetahui namaku.

"Kamu pelakor," bisikku seraya menyindirnya tepat di telinganya.

Tidak lama kemudian, Mas Haviz muncul dengan Anggi. Ia menggendong anak itu. Lalu menurunkannya di sebelah wanita yang tadi kusebut pelakor.

Kemudian, Mas Haviz menghampiriku. Ia meraih tangan ini di hadapan perempuan itu.

"Sayang, kita pulang, yuk!" ajaknya dengan entengnya.

"Jelaskan ada apa ini?" cecarku sambil melepaskan genggaman.

"Kita bicarakan ini di rumah ya," ucap Mas Haviz.

"Mah, kok tangan ayah pegang tangan Tante?" celetuk Anggi yang berada di belakang Mas Haviz. Seharusnya ia tidak melihat ini, aku pun paham dengan perasaannya.

Akhirnya aku pun mengangguk seraya menyetujui permintaan Mas Haviz untuk menceritakan di rumah. Namun, aku menolak satu mobil dengannya. Aku lebih memilih bawa mobil sendiri, ketimbang ikut berada di satu mobil dengannya.

Aku mulai keheranan ketika tiba di rumah. Anggi dan Maya tampak akrab dengan Mama Yuni.

"Eyang!" teriaknya kesenangan.

"Eh, Anggi, kamu ikut juga, Nak ke sini?" tanyanya membuatku semakin kaku. Ya, aku tidak bersuara sama sekali.

"Ara, kamu nggak jadi ke salon tadi?" tanyanya aku kira hanya basa-basi.

"Iya," jawabku singkat.

Ada hal yang tidak kuketahui, banyak yang mereka rahasiakan bertahun-tahun. Rasanya sakit tapi tak berdarah. Dulu sewaktu aku sakit, Mas Haviz tidak mau melakukan hal yang menyakitkan aku, makanya kupikir ia adalah lelaki setia yang tidak mungkin berkhianat. Namun, ternyata anak itu ....

Astaga, aku coba hempaskan ini dari otakku. Siapa tahu aku salah menilai mereka. Ya, aku coba pahami dulu, dan dengarkan apa yang ingin ia katakan.

Kami duduk berempat di meja makan, Anggi sengaja diajak ke kamar oleh Mbok Susi. Kemudian, Mama Yuni yang memulai lebih dulu pertemuan kami di siang ini.

"Satu hal yang ingin Mama katakan, maaf Ara. Ada rahasia yang akan kami ungkap sekarang," tuturnya.

"Ya, aku tahu, Maya Agustina adalah istri Mas Haviz Erlangga, iya kan?" tebakku membuat mereka saling beradu pandang.

"Lebih tepatnya istri pertama yang dinikahi siri oleh Haviz," jawab Mama Yuni. Aku berdiri sambil menggebrak meja.

"Jangan becanda!" sahutku. Tak lupa sedari tadi kurekam pembicaraan ini pada ponsel yang kusimpan di dalam tas.

"Dengarkan aku cerita dulu ya, Ra," lirih Mas Haviz.

Hening, suasana tiba-tiba hening. Kusorot wajah perempuan yang berada di samping mertuaku juga terlihat tegang. Bagaimana bisa aku yang istri kedua? Sedangkan aku yang memiliki buku nikah.

"Itu alasannya aku tidak mau menikah lagi ketika kamu sakit, Ra, karena dua saja aku belum bisa berlaku adil, apalagi tiga," jawab Mas Haviz. Aku mengepal seraya kesal. Tidak habis pikir jawabannya seperti itu, enteng sekali ia bicara denganku.

"Bagaimana bisa aku yang ternyata istri kedua? Bukankah saat itu di KTP kamu masih sendiri?" cecarku. Diam-diam aku melirik ke arah tas untuk memastikan bahwa rekaman masih berjalan.

"Ara, jujur saja Mama juga baru tahu saat menyecar Haviz untuk menikah dengan anak teman Mama, saat itu yang kau dengar ramai, itu adalah niat Mama memperkenalkan wanita lain, tapi saat itulah Haviz menjelaskan bahwa ia sudah memiliki anak perempuan." Mama bantu menjelaskan ini semua.

Aku tertawa kecil, lalu menyorot ke arah Maya Agustina. "Kamu wanita rendah, mau gitu dimadu?" ejekku. Ia hanya menunduk malu.

"Kalau begitu, aku minta cerai, Mas. Mumpung belum ada anak di antara kita," sungutku kesal.

"Nggak, Ra. Aku nggak bisa cerai dari kamu," lirihnya.

"Lalu, kamu mau dua istri?" tanyaku sekali lagi. "Aku nggak mau, Mas. Nggak sudi!" tekanku.

"Kalau aku nggak bersedia menceraikanmu, maka percuma kamu gugat cerai," ungkapnya menekankan.

"Aku ada bukti rekaman barusan, jadi siap-siap saja, Mas. Kita akan cerai!" tekanku.

Kemudian, aku berdiri sejajar dengan wanita yang ternyata istri pertama Mas Haviz.

"Kamu wanita rendah," bisikku kesal.

"Kamu yang rendah telah merebut Mas Angga dari sisiku!" sentaknya.

"Haviz Erlangga, hebat kamu Mas, ada yang bucin sama kamu," sindirku dengan senyuman miring.

Aku langkahkan kaki ini keluar rumah dan berencana untuk pergi dari sini. Namun, tiba-tiba Mas Haviz menarik tangan ini.

"Aku nggak akan cerai dari kamu!" tekannya.

"Mas, ngapain sih mempertahankan dia, bukankah kamu sudah ada Anggi dariku?" Dari ucapan Maya aku jadi yakin, bahwa ia yang memaksa Mas Haviz untuk menikahinya dan anak menjadi senjatanya.

Aku mundur sejenak, lalu bicara di tengah-tengah mereka.

"Kamu pilih aku atau Maya, Mas?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di hadapan mereka.

"Emm ...."

"Oke, aku yang pergi. Kita pisah saja!" seruku. Tiba-tiba Mama Yuni menghampiri kami yang sudah menjauh dari meja makan.

"Ya sudah, dua-duanya nggak usah dipertahankan! Lebih baik kamu nikah dengan anak teman Mama saja!" sambar Mama Yuni terdengar menyebalkan tapi idenya sungguh luar biasa.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
edan tuh mama Yuni sok kegantengn gitu ank mu havis bnr Ara lebih baik cerai qm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status