"Oh jadi Mama masih bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan anak teman Mama?" tanyaku disertai dengan senyuman."Iya lah, anak teman Mama itu udah jelas bibit bobot bebet nya, lah kalau kalian? Yang Mama heran tuh ya, Haviz kenapa sih mau nikahi kamu? Kalau Maya, Mama maklum kenapa dia tidak ninggalin Maya, tentunya karena Anggi adalah darah dagingnya. Sedangkan kamu, udah ibu rumah tangga, orang tua juga hanya tinggal di kampung, lalu apa yang dipertahankan?" Pertanyaan yang muncul dari mulut Mama Yuni sangat menyakitkan untukku. Namun, ini sudah sering kutelan mentah-mentah."Mah, jangan bawa-bawa keluargaku, mereka tidak tahu apa-apa, tolong jaga mulut Mama!" tekanku kesal.Kemudian, Maya juga tampak kesal karena seolah-olah Mama Yuni merendahkan para istri Mas Haviz."Mas, kamu jangan diam saja, lakukan sesuatu, tujuan kamu ke sini tuh untuk mengenalkan aku sebagai istri pertama, bukan malah dihina oleh Mama kamu begini!" sungut Maya terdengar kesal.Aku memutuskan untuk per
"Sini handphoneku!" Aku merampas ponsel yang tadi kuberikan padanya. Ada yang kulupakan, rekaman untuk gugat cerai ada di handphone itu, tapi aku malah mengembalikan semua pemberiannya, emosional yang membuatku lupa akan hal itu, "Ra, Ra," panggil mama masih tersambung."Nanti telepon lagi," sahutku, lalu mematikan sambungan telepon."Mama kamu sudah dengar penjelasan palsuku, Ra," ucap Mas Haviz penuh dengan kesombongan. Senyumnya dimiringkan seraya ia yang menang."Tunggu saja pembalasan aku, Mas," ancamku di hadapan Mas Haviz dan Mama Yuni. Mertuaku tampak ketakutan, ia berdiri di pojokan.Kemudian, aku pergi dari rumah Mas Haviz. Kudengar ia meneriakiku dari kejauhan. Namun, aku tak pedulikan itu.Lalu, ponselku berdering kembali. Dari mama lagi. "Ra, ada apa sebenarnya? Kenapa Haviz bicara seperti itu?" tanya mama."Nanti Ara jelasin, sekarang Ara mau pulang kampung," jawabku sambil berjalan ke arah depan jalan mencari ojek."Ya sudah, kamu hati-hati di jalan, ya. Dari tadi Mam
Mama melangkahkan kakinya dengan cepat. Matanya kulihat memerah seakan ingin marah. Aku coba ikuti langkah kakinya.Setibanya di ruang tamu, terlihat mertuaku dan Mas Haviz berdiri seraya menyambut kedatangan kami. Senyum tak lupa dipancarkan oleh mereka sembari menundukkan kepalanya. Mereka terlihat sopan dan jinak, padahal otak mereka isinya kelicikan."Kamu selingkuh kan, Haviz?" tanya mama sambil berkacak pinggang. Mamaku sudah pasang dada di hadapanku.Beberapa saat kemudian, papaku yang tidak mengetahui apa-apa datang menghampiri. "Kalau ada tamu tuh sediakan minum. Ara, ambil minum untuk mertua dan suamimu," suruh papa membuatku menghela napas berat."Pah, ngapain ngasih minum ke orang-orang songong ini?" Mama terdengar menentang dan marah."Mah, kamu apa-apaan sih? Jangan begitu di hadapan tamu," timpal papa belum paham juga.Kemudian, aku segera mengambil minum lalu menyediakan di meja agar cepat mengusir mereka.Mereka berdua belum mulai menyanggah dan menyangkal obrolan kal
Bu Halimah tampak kebingungan, ia menyoroti kami satu persatu. Aku tidak bermaksud mempermalukan keponakannya di hadapan orang tuaku. Namun, karena mertuaku juga ikut merahasiakan apa yang dilakukan anaknya, maka orang tuaku juga harus mengetahui ini."Cerita saja yang semalam Bu Halimah ceritakan," pintaku agar Bu Halimah tidak lagi kebingungan."Maksud saya bengong tuh kenapa ponakan saya disebut-sebut di tengah-tengah keluarga kamu, Ra?" tanyanya kebingungan. Walau bagaimanapun dia saudaranya, tentu masih berprasangka baik pada ponakannya itu."Ya, nanti saya jelaskan jika Bu Halimah bercerita," ujarku lagi.Kemudian, Mas Haviz memegang tanganku, tapi kutepis. Kini wajahnya bercucuran keringat seraya ketakutan dan tegang.Suasana hening, Mas Haviz yang didampingi ibunya pun saling beradu pandang juga. "Ada rahasia apa lagi yang Mama tidak ketahui, Viz?" tanya Mama Yuni yang tampaknya tidak mengetahui asal usul Maya Agustina.Mas Haviz mengedipkan mata seraya berkata pada ibunya unt
"Jadi, Maya Agustina adalah mantanku," ucap Mas Haviz membuatku seketika bangkit. Rasa pusing di kepala saat itu juga hilang, yang tersisa hanya luka di hati yang ia torehkan.Aku menyandar di sandaran ranjang. Menelan ludah karena teringat ucapan ia dulu yang bilang sudah tidak ada ikatan apa-apa dengan mantan-mantannya."Mantan yang masih berstatus pacar kah waktu itu?" tanyaku penasaran. Namun, ia menggelengkan kepalanya."Kami sudah putus, tapi Maya sulit melupakan aku, ia terus menerus mengejarku. Hingga pada waktu dua bulan sebelum kita menikah, saat itu sedang mempersiapkan undangan dan segala macam, Maya minta ketemuan," jawabnya sedikit jelas sekarang. Dari sini aku menangkap, bahwa wanita jika mencintai satu pria, ia takkan mudah melepaskannya begitu saja. Wanita lebih sulit membuka hatinya."Kemudian, kalian bertemu dan memadu kasih, begitu?" cecarku dengan nada menyindirnya. Saat ini bukan rasa sakit saja atas pengkhianatan Mas Haviz. Akan tetapi, aku merasa dibodohi deng
"Oh ya perkenalkan dulu, ini Nurdin dan istrinya Dwi. Mereka ke sini mau menjelaskan sesuatu hal, kenapa memaksa Haviz untuk menikah dengan Maya," terang Bu Halimah menjelaskan.Aku dan mama beradu pandang. "Iya saya tahu, bukankah karena Maya hamil anaknya Haviz?" tanya mama pada orang tuanya Maya."Kemarin Haviz baru cerita kalau kalian ribut, kamu sudah mengetahui semuanya. Makanya saya ke sini mau ngejelasin bahwa pernikahan siri itu memang benar ada, tapi sebenarnya ada satu hal yang membuat kami memaksa selain dari hamilnya Maya pada waktu itu," tuturnya membuatku bingung.Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menunda cerita dan pamit menerima panggilan masuk lebih dulu.Ia agak menjauh sekitar jarak 3 meter, setelah kembali, justru ngajak suami dan Bu Halimah pergi."Pah, ayo kita pulang! Limah ayo pulang, gawat ini," ucapnya seraya panik. Ia meneguk air putih yang kami sediakan lebih dulu, setelah itu pamit terburu-buru. Entahlah, apa yang membuat mereka harus segera meninggalkan
"Mama suruh berdoa pada Allah, minta keajaiban, biar bisa merawat kamu hingga besar," ucapku sambil nyolek dagu Anggi. Kemudian, Maya menarik lengan anaknya. Lalu memberikan sarat untuk diam. Jarinya terlihat menutup mulut Anggi seraya tak menyukai anaknya bicara denganku."Emm, Ara, Bu Kenny, kami permisi dulu, nanti kapan-kapan saya boleh main ya," ucap Bu Dwi tapi tangannya ditepuk oleh Maya."Mah, jangan aneh-aneh deh," celetuk Maya.Mereka pergi, begitu juga dengan Mas Haviz, ia tidak banyak bicara di hadapanku dan mama, sepertinya memang masih ada satu hal yang belum diutarakan oleh ibunya Maya. Sampai detik ini pun kami masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin dibicarakan Bu Dwi? Apa Mas Haviz tahu apa yang ingin disampaikan ibundanya Maya?"Sudah yuk!" ajak mamaku mencari hotel untuk kami berteduh. Setibanya di hotel, aku merebahkan tubuh ini, sedangkan mama beberes baju dan meletakkannya di lemari. Kami berdua sempat kepikiran dengan Mas Haviz dan Maya, sebenarnya ad
"Maya itu punya penyakit kanker, mohon maaf sebelumnya jika karena kondisi Maya ini, saya jadi memaksa Haviz untuk menikahi Maya, terlepas dari hamilnya Maya pada saat itu. Sebenarnya dalam perjanjian pernikahan, Haviz akan menceraikan Maya setelah Anggi lahir, tapi kenyataannya, saya memaksakan lanjut, karena tidak ingin saat-saat terakhir Maya nanti, ia sendirian dalam melawan penyakitnya." Aku terkejut dengan penuturan mamanya Maya. Sebab, ia bilang kemarin Maya terkena penyakit yang sama denganku, urat saraf kejepit.Meskipun melalui sambungan telepon, aku paham betul, Bu Dwi sedang menangis di seberang sana."Maaf, Bu. Apa penyakit urat saraf kejepit itu rekayasa? Supaya Ibu berpikir itu karma atau bagaimana?" tanya mamaku antusias. Ya, mama salah satu orang yang penasaran dengan pernyataan Bu Dwi yang sempat tertunda."Jadi Maya yang meminta merahasiakan penyakitnya dari kamu, Ra. Ia tidak ingin dikasihani olehmu. Tapi sejujurnya, rasa kemanusiaan Maya sangat tinggi, ia tetap me