Share

Bab 6

"Mimpi apa barusan, Man?" tanyaku sambil mengangkat alis. Kulihat mereka juga langsung beradu pandangan.

"Nggak tahu lupa, Ra. Emang tadi aku ngigau apaan?" tanya Firman balik. Aku pun menghela napas panjang sambil tersenyum.

Sebenarnya aku tahu bahwa Firman hanya takut pada Mas Haviz. Ia adalah teman dekat yang terpercaya, lelaki yang dipegang memang hanya ucapannya, meskipun itu menjadi boomerang untuk orang lain nantinya.

"Sudahlah, lupakan masalah ngigau tadi, ngomong-ngomong kamu tuh tidur lama banget loh, kemarin nggak tidur ya?" candaku disertai mimik wajah ngeledek.

"Nggak tahu, tiba-tiba mataku ngantuk, apa jangan-jangan ...." Firman memutuskan ucapannya. Kemudian, ia menoleh ke arah istrinya.

"Nggak apa-apa, kamu cuma ngantuk aja, Mas. Sekarang udah nggak ngantuk kan? Kalau masih, aku yang nyupir mobil," tutur Keyla sambil berdiri.

Ia meminta aku memanggil ibu mertuaku, dan Keyla pamit. Setelah itu mereka bergegas pergi. Sedangkan aku yang masih mengingat ucapan Keyla. Alamat jl. Mahoni nomor 15 masih melekat di kepala ini.

Aku coba ke dapur, melihat mertuaku dan Mbok Susi yang sedang ingin memasak. "Mah, masak segini banyak memang kelar ya untuk makan siang nanti?" tanyaku pura-pura. Mau tanya to the point ke inti tapi nggak mungkin dijawab.

"Cuma dua orang kok tamunya, cepatlah sekarang baru jam sepuluh," jawabnya. Kemudian ia menyorotku tajam. "Mendingan kamu rapi-rapi, Ra. Dandan yang cantik," tambahnya lagi.

"Aku ke salon ya, Mah? Cuci rambut dan minta rapikan semuanya?" tanyaku lagi.

Mama mengangguk,"Ya biar kelihatan beda saja di hadapan tamu," kata Mama Yuni lagi.

Tamu siapa sih yang ia maksud? Kenapa aku disuruh dandan? Segitu terhormatnya kah tamu itu?

Kalau ke salon sekarang masih ada waktu, jadi lebih baik aku ikuti sarannya saja. Namun, sebelum ke salon, ada baiknya aku ke jl. Mahoni nomor 15 dulu, supaya hilang rasa penasaran ini.

Aku minta antar sopir yang mengantarkan mertuaku ke sini. Setibanya di rumah tersebut, aku berhenti di pinggir jalan. Rumah minimalis berwarna hitam dikelilingi pohon rambutan itu nampak sepi. Sepertinya tidak ada orang di dalamnya. Namun, aku sangat penasaran jadinya. Akhirnya aku beranikan diri untuk turun.

Kulangkahkan kaki ini ke dalam rumah yang tanpa pagar itu. Kutekan bel yang tersedia di depan pintu. Namun, setelah beberapa kali aku pencet, ada yang membuka pintu. Seorang asisten rumah tangga di rumah itu.

"Maaf, Bu Maya nggak ada di rumah, sedang pergi ke salon, ada pesan?" tanya pembantu yang memakai daster warna hijau muda itu.

"Nggak, Mbok. Oh jadi ini rumah Bu Maya. Ini Bu Maya Agustina, kan, Mbok?" tanyaku memastikan bahwa alamat yang Keyla kasih tidak salah.

"Iya, benar, ini rumah Bu Maya Agustina," jawabnya.

"Kalau boleh tahu, Bu Maya ke salon mana ya?" tanyaku lagi.

"Wah kalau itu saya nggak tahu, Bu. Soalnya dijemput sama suaminya tadi," jawabnya.

"Suaminya? Namanya siapa ya, Mbok?" cecarku lagi. Namun, si mbok nampak curiga, ia terdiam sejenak, tak menjawab pertanyaanku.

"Kalau Ibu adalah teman Bu Maya, seharusnya tahu nama suaminya, ini kenapa tanya ke saya," tutur Mbok menatap dengan penuh curiga.

"Takut salah, Mbok. Nama suaminya setahu saya Haviz," ucapku.

"Bukan, Bu. Tuh kan Ibu penipu ya?" tanyanya lagi.

"Astaga, untuk apa saya nipu, nama suaminya Maya Agustina itu Haviz Erlangga bukan?" sentakku tak sabar dengan disertai emosi.

Hening sejenak, mata asisten rumah tangga itu menyorotku. "Benar nama belakangnya saja. Yang saya tahu nama bapak adalah Angga Erlangga, bukan Haviz Erlangga," jelasnya.

Dari nama ini aku bisa menyimpulkan, bahwa mereka ke salon langganan Mas Haviz. Sekarang aku tahu, bahwa mereka adalah suami istri. Mas Haviz adalah Angga, ayahnya Anggi, si bocah kecil yang pernah memanggil di mall, dan pernah bertemu denganku di taman.

Hebat sekali lelaki itu, menyembunyikan wanita di satu perumahan tanpa meninggalkan bau sama sekali. Memang agak jauh sih, perumahan ini luas dengan berbagai macam blok yang tersedia. Namun, ini adalah bentuk rasa tega terhadap aku yang telah dibohonginya bertahun-tahun. Usia anak itu lima tahun, sedangkan usia pernikahanku enam tahun. Kapan mereka menikah?

"Bu, kok bengong?" tanya Mbok membuyarkan lamunanku. Ya, dugaanku sangat kuat, bahwa Erlangga yang dimaksud adalah suamiku.

Lalu kukeluarkan ponsel yang berada di dalam tas. Kemudian, memberikan foto Mas Haviz padanya.

"Apa ini bos kamu?" tanyaku. Ia pun mengangguk. Sekarang jelas, Angga Erlangga yang dimaksud adalah Haviz Erlangga.

Akhirnya aku pamit dari rumah itu, dan segera meluncur ke salon langganan Mas Haviz, yang berada tidak jauh dari sini.

Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, aku tiba di salon yang lumayan besar. Biasanya Mas Haviz mengajakku tiap akhir bulan. Entah kenapa siang ini ada acara, malah Maya yang diajaknya. Apa jangan-jangan mertuaku sengaja nyuruh aku salon agar ketemu dengan Mas Haviz dan Maya?

Kulihat mobil kuning berlogo huruf H ada terparkir di halaman depan salon. Itu mobil kesayangan Mas Haviz, aku akan menemui mereka sekarang. Ingin tahu apa yang akan dijelaskan dia di salon yang lumayan ramai orang.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
nah kan benar klu suami mu udh menikah lagi ara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status