Se connecterKabar itu seperti petir yang menyambar di pagi hari yang cerah. Membuat sesuatu di dalam diri Aya patah, runtuh.
"Nggak...." bibirnya bergetar. "Nggak mungkin...." Lalu dokter itu melanjutkan dengan pelan, seolah kata-kata itu bisa menjadi lebih tajam dari sebuah pisau. "Beliau berhenti bernapas pukul dua dini hari. Kami sudah mencoba yang terbaik, Mbak. Tapi kondisinya terlalu lemah. Bahkan lebih lemah dari sebelumnya...." Aya mundur satu langkah. Lalu langkah kedua. Sementara kedua kakinya kehilangan kekuatan. Wajahnya berubah putih pucat. Bibirnya gemetar keras. Air mata pun tak dapat dia bendung lagi. Kabar itu adalah tamparan keras baginya yang tak ingin dia percayai. "Ibu... Nggak mungkin... Ini pasti salah...." Sang dokter menatapnya iba. "Nggak mungkin...." suara Aya gemetar, "...operasinya saja masih beberapa hari lagi. Nggak mungkin ibu meninggal... Nggak mungkin...." Tangis pertama pecah dari tenggorokannya. Palan, namun begitu putus asa. Aya menekuk tubuhnya dan menangis seperti anak kecil yang kehilangan seluruh dunianya. Lalu dia kembali bangkit. "Di mana ibu saya? Saya nggak percaya dia meninggal," ucap Aya kemudian sembari mengusap air matanya. Gadis itu tanpa kata, tanpa menunggu jawaban sang dokter, langsung berlari menuju ke kamar rawat ibunya. Mengabaikan panggilan dari dokter di belakangnya. Namun, saat tiba di sana, ibunya sudah tidak ada di tempatnya. Semakin gemetarlah tubuh kurus Aya. "Mbak," panggil dokter yang berhasil menyusulnya. "Di mana ibu saya, Dok?" tanya Aya putus asa. Dan dokter itu dibantu oleh seorang perawat, membawa Aya ke kamar jenazah. Di sanalah terbaring orang yang paling Aya cintai di dunia ini setelah ayahnya tiada. Dengan langkah kaki yang berat, Aya mendekati sebuah brankar. Perlahan, dengan tangan yang bergetar hebat, Aya menyingkap selimut putih dan kini bola matanya seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. Bruk! Aya terjatuh. "IBUUUUU!!!" Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Dia memeluk erat tubuh lemah sang ibu yang sudah tak bernyawa. Jeritan itu menggema di dalam kamar jenazah. Membuat siapa pun yang mendengarnya seolah ikut terluka. "Ibu... Jangan tinggalin Aya, Bu... Ibu janji mau pulang sama Aya...." isak gadis malang itu sembari memeluk jenazah ibunya. Dokter yang mendampingi pun hanya menatap iba. Dia ikut sedih karena nasib buruk yang menimpa gadis malang itu. "Mbak Aya, yang tabah, ya," ujar sang dokter. Aya terus saja menangis. Uang yang sudah dia dapatkan dengan cara singkat dan mengorbankan kesuciannya, nyatanya tak dapat menyelamatkan nyawa ibunya. Dan pagi itu, di dalam kamar jenazah yang dingin itu, cahaya Aya runtuh. Semua pengorbanan, semua rasa sakit, bahkan semua keputusan buruk semalam, terasa sia-sia. Karena ibu yang ingin dia selamatkan sudah pergi untuk selama-lamanya. Dan tak peduli berapa banyak uang yang dia pegang sekarang, dia tetap terlambat menyelamatkan satu-satunya pelita dalam hidupnya. Dokter itu pun membiarkan Aya melepas semua kesedihannya. Setelahnya, jenazah Ningsih segera diantar pulang ke rumah sederhana Aya di sebuah kampung modern. Gadis itu dengan tegar memandikan ibunya untuk terakhir kali. Dan saat ibunya dimakamkan, Aya tak dapat menahan air matanya lagi. Gadis itu pun jatuh terduduk di samping pusara ibunya, di mana menjadi satu-satunya tempat istirahat terakhir wanita yang sangat dia sayangi di dunia ini. "Yang sabar, Ay," ucap sahabat dekat Aya yang ikut hadir melayat. "Gina... Ibuku udah nggak ada...." isak Aya sembari memeluk sahabatnya. Gina pun mengusap punggung Aya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan pada sahabat dekatnya itu. "Maafin aku karena nggak bisa bantuin kamu, Ay," bisik Gina. "Ini bukan salah kamu... Akulah yang nggak bisa jaga Ibu dengan baik...." "Bukan, bukan... Kamu anak yang baik. Ibu kamu juga sayang banget sama kamu... Jangan bicara begitu...." Gina ikut menangis. Tak sanggup menahan air matanya karena dia tahu bagaimana perjuangan keluarga kecil sahabatnya itu. "Sekarang ayo pulang, Ay... Biarkan ibu kamu istirahat," ajak Gina yang menyadari bahwa langit telah gelap di atas mereka. "Tapi aku masih mau di sini, Gin...." "Ay... Kita doakan ibu dari rumah. Ayo...." bujuk Gina lagi. Tak jauh dari sana, berdiri kakak lelaki Gina yang kemudian ikut mendekat. "Aya... Sebaiknya kita pulang. Kami akan menemani kamu," bujuk Hendra lembut seperti seorang kakak. "Tapi Aya masih mau nemenin Ibu, Mas...." cicit Aya dengan suara terisak. Baik Gina dan Hendra sama-sama tak tega melihat keadaan gadis muda itu. Namun, mereka harus membawa Aya pulang ke rumah sebelum hujan mulai turun. "Ay, kita doakan Ibu di rumah. Ayo, Ay." "Tapi...." "Apa kamu mau buat Ibu kamu sedih?" tanya Gina kemudian. Dan kali ini berhasil membuat Aya terdiam. Akhirnya Aya kembali pulang ke rumahnya. Hujan pun mulai turun pelan ketika rombongan kecil itu perlahan bubar dari pemakaman. Tanah merah yang baru ditutup masih basah, menyisakan aroma lembap yang menusuk hidung. Aya sesekali menoleh ke arah makam seolah takut jika dia kembali, ibunya akan pergi lebih jauh lagi. "Ibu... maafin Aya...." bisiknya parau. * Beberapa hari setelah pemakaman, rumah kecil yang ditempati Aya terasa kosong. Sunyi dan sepi. Setiap sudut rumah sederhana itu membuatnya sesak, mengingatkan pada sosok ibu yang selalu tersenyum meski hidup tak pernah ramah pada mereka berdua. Aya duduk di lantai kamarnya sembari memeluk kedua lututnya. Dia diam dengan tatapan mata kosong. Pikirannya terus kembali pada malam sebelum ibunya meninggal, malam kelam di mana dia mengambil jalan pintas demi uang operasi. Air mata kembali menetes. "Mungkinkah ini hukuman untukku? Ibu nggak mau menggunakan uang kotorku ini...." gumamnya sembari menatap kartu ATM dari sang pria tampan misterius. "Maafin Aya, Bu... Tapi Aya hanya ingin Ibu sembuh... Andai waktu bisa diulang, Aya nggak mau kuliah , Aya pengen fokus kerja dan jagain Ibu...." Isakannya terdengar pelan namun menyayat hati. Akan tetapi, waktu tidak bisa kembali. Dan kartu ATM hitam itu tak ada gunanya saat ini. Selain kehilangan kehormatannya, Aya juga kehilangan ibunya. Tok tok tok "Ay, sarapan dulu," panggil Gina. Sahabatnya itu masih menemani Aya di rumah sederhananya sampai tujuh hari meninggalnya Ningsih. "Ay?" Gina masuk ke dalam kamar Aya. Cepat-cepat Aya menyembunyikan kartu ATM itu ke dalam tas kecilnya. Gina berjalan mendekat. Dia diam sejenak menatap sahabatnya yang tak berdaya. "Ay, ayo makan dulu. Mas Hendra udah masak buat kita," ajaknya lembut. Aya mendongak, menatap wajah teduh sahabatnya. Entah apa yang akan Gina katakan jika dia mengakui perbuatan nekat dan bodohnya sebelum ibunya meninggal. "Gin... Maaf...." "Sudahlah. Kamu nggak ada salah. Ayo makan dulu!" Gina menarik lengan Aya, membantunya berdiri. Dan Aya menelan kata-katanya. Dia tak mau membuat sahabatnya kecewa padanya. ***Kabar itu seperti petir yang menyambar di pagi hari yang cerah. Membuat sesuatu di dalam diri Aya patah, runtuh. "Nggak...." bibirnya bergetar. "Nggak mungkin...." Lalu dokter itu melanjutkan dengan pelan, seolah kata-kata itu bisa menjadi lebih tajam dari sebuah pisau. "Beliau berhenti bernapas pukul dua dini hari. Kami sudah mencoba yang terbaik, Mbak. Tapi kondisinya terlalu lemah. Bahkan lebih lemah dari sebelumnya...." Aya mundur satu langkah. Lalu langkah kedua. Sementara kedua kakinya kehilangan kekuatan. Wajahnya berubah putih pucat. Bibirnya gemetar keras. Air mata pun tak dapat dia bendung lagi. Kabar itu adalah tamparan keras baginya yang tak ingin dia percayai. "Ibu... Nggak mungkin... Ini pasti salah...." Sang dokter menatapnya iba. "Nggak mungkin...." suara Aya gemetar, "...operasinya saja masih beberapa hari lagi. Nggak mungkin ibu meninggal... Nggak mungkin...." Tangis pertama pecah dari tenggorokannya. Palan, namun begitu putus asa. Aya menekuk tubuhnya dan me
"Ugh...."Keluhan kecil itu lolos dari bibir Aya saat kesadarannya mulai kembali ke tubuhnya. Kedua kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya seolah sulit dia gerakkan. Setiap inci ototnya menegang, bahkan ada hal lain yang terasa tak nyaman.Aya menggeliat pelan, mencoba bangun. Tapi sebelum dia sempat mengangkat tubuh, ada sensasi hangat di sisi kirinya, kehangatan tubuh seseorang.Seketika napas Aya tercekat. Dia menoleh perlahan, sangat perlahan, takut jika dia bergerak terlalu cepat maka akan ada hal buruk yang tidak bisa dihindari.Dan di sana, tepat di sampingnya, seorang pria berbaring santai dengan rambut acak-acakan dan dada bidang yang naik turun perlahan. Mata Aya membesar namun dia tak bersuara."Sudah bangun?"Suara berat itu terdengar seolah menusuk kamar hotel mewah tersebut. Dalam sekejap, ingatan semalam kembali menerjang Aya.Sentuhan, ciuman, rintihan, dan juga desahannya. Tangan kekar pria itu yang menjamahnya dengan liar. Tubuhnya sendiri yang tak melakukan peno
Gina segera melangkah mendekat. Ia duduk di sisi ranjang, lalu meraih tangan Aya, menggenggamnya erat seolah memberi penopang. “Aya…” suaranya lembut, tapi serius. “Tadi waktu kamu pingsan, dokter periksa kamu, dan ternyata … kamu hamil.” Kata itu menghantam lebih keras dari yang Aya bayangkan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdetak tak karuan. “Ha… hamil?” suaranya nyaris tak keluar. Dugaan yang sejak tadi ia tekan kini menjelma kenyataan. Aya menelan ludah, napasnya bergetar. Gina tak melepas genggaman tangan Aya. Tatapannya tenang, tanpa tuduhan. “Aya… sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?” Air mata Aya menggenang. Ia menunduk, bahunya bergetar. “Maaf…,” hanya itu yang sanggup ia ucapkan. “Aku nggak bisa cerita.” Hendra menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu dengarkan aku. Apa pun kondisimu, aku siap tanggung jawab. Aku siap jadi ayah untuk anak itu… dan suami untuk kamu.” Aya mendongak, lalu menggeleng keras. “Mas, nggak,” suaranya bergetar. “Ak
Kabar itu menghantam Aya seperti petir di pagi hari yang cerah. Sesuatu di dalam dirinya patah, runtuh seketika.“Nggak…,” bibirnya bergetar. “Nggak mungkin….”Penjelasan dokter terdengar seperti suara dari kejauhan. Berhenti bernapas. Terlalu lemah. Semua kata itu menamparnya tanpa ampun. Kakinya goyah, air mata jatuh tanpa sempat ia tahan.“Ibu… ini pasti salah…,” bisiknya lirih.Aya berlari ke kamar rawat, lalu terhenti ketika ranjang itu kosong. Tubuhnya gemetar saat ia dibawa ke kamar jenazah. Di sanalah ibunya terbaring, diam, dingin, tak lagi menjawab panggilan.Begitu selimut putih itu tersingkap, Aya jatuh berlutut. Tangisnya pecah singkat, patah, seperti napas yang kehabisan tempat berpijak. Ia memeluk tubuh ibunya, sementara kartu ATM itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.Uang yang ia dapatkan dengan harga yang terlalu mahal, tak mampu menyelamatkan apa pun. Ia sudah menyerahkan segalanya. Namun tetap saja… ia terlambat.Atau mungkin, itu adalah hukuman bagi A
“Tolong pelan, Tuan….”Pekikan itu terdengar lirih di dalam kamar hotel mewah yang pengap oleh hawa tubuh dan aroma parfum mahal. Suara Aya nyaris tenggelam oleh deru napas berat pria di atasnya.Ayana Cantika, gadis dua puluh dua tahun, dengan tubuh yang belum pernah benar-benar mengenal sentuhan seperti ini, terkungkung di bawah seorang pria tampan bertubuh kekar.Pinggul pria itu terus bergerak tanpa jeda, membuat Aya terpaksa mengikuti irama yang tak pernah ia inginkan.“Ahh…,” racau sang pria, suaranya berat dan serak.Dua tangan kekar menggenggam pinggul ramping Aya, menahannya agar tak menghindar. Desahan mereka bersahutan, namun hanya satu yang dipenuhi gairah. Pria itu memejamkan mata, tenggelam dalam sensasi yang ia nikmati sendiri.Di bawah cahaya lampu kamar yang terang, tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Rasa malu sudah lama luruh digantikan oleh erangan, desahan, dan napas yang saling bertabrakan tanpa makna.“Ahh… Tuan, tolong pelan sedikit…,” pinta Aya l







