Share

4

Auteur: Rizu Key
last update Dernière mise à jour: 2025-11-27 13:23:40

"Ugh...."

Keluhan kecil itu lolos dari bibir Aya saat kesadarannya mulai kembali ke tubuhnya. Kedua kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya seolah sulit dia gerakkan. Setiap inci ototnya menegang, bahkan ada hal lain yang terasa tak nyaman.

Aya menggeliat pelan, mencoba bangun. Tapi sebelum dia sempat mengangkat tubuh, ada sensasi hangat di sisi kirinya, kehangatan tubuh seseorang.

Seketika napas Aya tercekat. Dia menoleh perlahan, sangat perlahan, takut jika dia bergerak terlalu cepat maka akan ada hal buruk yang tidak bisa dihindari.

Dan di sana, tepat di sampingnya, seorang pria berbaring santai dengan rambut acak-acakan dan dada bidang yang naik turun perlahan. Mata Aya membesar namun dia tak bersuara.

"Sudah bangun?"

Suara berat itu terdengar seolah menusuk kamar hotel mewah tersebut. Dalam sekejap, ingatan semalam kembali menerjang Aya.

Sentuhan, ciuman, rintihan, dan juga desahannya. Tangan kekar pria itu yang menjamahnya dengan liar. Tubuhnya sendiri yang tak melakukan penolakan. Setiap adegan dan suara-suara yang tak ingin dia ingat lagi malah dengan jelas muncul di dalam otaknya.

Aya tersentak dan memeluk selimut erat ke tubuhnya.

"Ah... Eummm...." Suaranya gemetar.

Pria itu bangkit duduk di sampingnya. Cahaya matahari pagi mulai menerobos masuk dari tirai yang menutupi tembok dan jendela kaca. Dia memandang Aya, namun bukan sekadar memandang, dia menguliti Aya dengan tatapan yang begitu tajam.

Aya sekarang dapat melihat dengan sangat jelas wajah tampan pria yang menjamahnya semalaman. Wajah datar dengan rahang tegas. Ketampanannya adalah yang pertama kali dilihat Aya sebagai pria paling tampan di hidupnya. Tapi mata pria itu gelap, tajam, dan seperti menyimpan kekejaman.

'Dia benar-benar masih perawan,' gumam pria itu dalam hati saat teringat bahwa dirinya kesulitan menerobos gadis yang kini menatapnya dalam diam.

Ingatan panas semalam pun kembali dalam pikiran sang pria. Pikiran itu tercetak jelas dari cara tatapannya bergeser ke sela-sela selimut yang menutupi tubuh Aya. Ada keinginan untuk melihat lagi. Membuat pria itu menegang. Jakunnya naik-turun saat menelan ludah, seakan menahan sesuatu.

Dilihat dengan cara seperti itu, Aya semakin erat memeluk selimut. Tubuhnya gemetar, mulai waspada. Apa lagi rasa sakit di bagian paling sensitif tubuhnya masih terasa kuat. Mengingatkannya bahwa apa yang dia lakukan semalam itu nyata. Bahwa pria itu dengan liarnya memuaskan diri dengan tubuhnya.

"Tu-Tuan?" cicit Aya sembari menunduk. "Kenapa Anda masih di sini?"

Pria itu menyipitkan kedua matanya.

"Kamu mengusirku?" ucapnya sinis, rendah, penuh penghinaan yang entah bagaimana membuat Aya merasa semakin kecil.

"B-bukan begitu, Tuan...." Aya menunduk. "Hanya saja...."

"Kita kebetulan bangun bersamaan." Pria itu menyela dengan nada dingin. "Dan lagi...." Dia tak melanjutkan kalimatnya.

Tatapannya yang turun ke leher Aya, lalu ke tulang selangkanya, membuat Aya memalingkan wajah cepat-cepat. Sakit di antara pahanya membuatnya mengerang kecil saat dia mencoba menggeser tubuhnya.

Pria itu menyadarinya. Dan entah apa yang terjadi berikutnya, dia tiba-tiba membungkuk dan menindih tubuh Aya lagi.

"Ah!" Aya memekik pelan, kaget bercampur panik. Napas pria itu jatuh tepat di bibirnya.

"Tu-Tuan...?" panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban.

Sebaliknya, pria itu mencengkeram dagunya dan kembali menciumnya dengan rakus, seolah tadi malam belum cukup.

Aya terkejut. Tangannya hendak mendorong, tapi rasa sakit di tubuhnya membuat kekuatannya hilang. Bibirnya terperangkap dalam ciuman yang dalam, menuntut, dan menguasai.

Saat pria itu menjauh sedikit, napas Aya memburu. Dengan rakus dia menghirup oksigen di sekitarnya.

"Apa...." suaranya patah, "apa yang Anda lakukan?"

Pria itu memandanginya cukup lama. Sampai Aya benar-benar harus mengalihkan pandangannya karena malu.

"Sialan... Kenapa kamu bisa membuatku seperti ini?" gumamnya dengan kedua alis yang saling bertaut.

"Tuan?" Aya berbisik.

"Perempuan murahan seperti kamu harusnya tidak bisa membuatku menginginkanmu lagi...." Dia menggertakkan giginya.

"Ah!" Aya kembali terpekik saat pria itu menyibak selimut dengan kasar.

Cahaya terang mentari membanjiri tubuh telanjangnya. Aya terpaku, syok, malu, sakit—semuanya bercampur menjadi satu. Dia berusaha memeluk tubuhnya sendiri, tapi pria itu menangkap kedua pergelangan tangannya dan menguncinya di atas kepala.

"Jangan...." Aya merintih kecil.

Tapi pria itu hanya menunduk, menatap tubuhnya yang penuh tanda merah dan ungu yang dia tinggalkan tadi malam.

"Puaskan aku lagi," gumamnya dingin, "dan semua uang itu milikmu."

Suaranya bukan tawaran, tapi perintah. Dan Aya tak punya pilihan.

Karena ibunya membutuhkan uang itu. Meski dia mengambil keputusan yang bisa menghancurkan hidupnya.

Air mata Aya turun tanpa suara. Dan pagi itu, dia kembali harus melayani pria asing yang bahkan tidak dia ketahui namanya.

*

Sebuah kartu ATM tiba-tiba dilempar ke arah pangkuan Aya usai pergulatan panas mereka di pagi yang cerah itu.

"PIN-nya angka satu enam kali." Sang pria tak menoleh. Dia duduk di tepi ranjang sembari membelakangi Aya saat kembali memakai kemejanya.

Aya memeluk kartu itu seperti memegang dunianya.

"Terima kasih, Tuan...."

"Siapa namamu?" Pria itu bertanya tanpa menoleh.

Aya menahan napas. Dia tidak ingin memberi tahu identitasnya. Tidak ingin punya hubungan apa pun dengan pria ini.

Sayangnya pria itu lebih cepat. Dia meraih tas kecil Aya, membuka dompetnya seenaknya.

"Tuan! Jangan!" Aya mencoba mencegah, tapi rasa sakit membuatnya tak bisa bergerak cepat.

Pria itu mengangkat kartu identitasnya.

"Ayana Cantika. Mahasiswa." Pria itu mendengus. "Masih kuliah rupanya."

Aya menutup wajahnya. Ingin menangis. Ingin menghilang. Meski sebenarnya dia baru saja lulus, tapi dia tak mau mengakuinya.

"Kembalikan...." bisiknya.

Pria itu hanya melempar KTP itu ke kasur.

"Bereskan barangmu dan cepatlah pergi," ucapnya dingin.

Setelah itu, dia masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya.

Sementara Aya merosot perlahan. Dia memunguti pakaiannya satu per satu. Tubuhnya masih terasa remuk redam. Tapi dia harus pergi untuk menemui ibunya.

*

Rumah sakit itu tidak jauh dari hotel dan kelab malam, tapi bagi Aya, setiap langkah terasa berat meski dia sudah membawa uang sebagai harapan.

Aya segera tiba di lobi dengan napas terengah, rambut berantakan, mata bengkak, dan pakaian lusuh. Beberapa orang menatapnya aneh, tapi dia tidak peduli. Dia berlari menuju ruangan dokter untuk membicarakan operasi sang ibu.

"Dokter!" serunya begitu melihat dokter yang merawat ibunya. "Dokter! Saya sudah dapat uangnya! Tolong segera operasi ibu saya!"

Dokter itu menatap Aya dengan sorot mata yang tidak pernah Aya lihat sebelumnya. Membuat Aya mengerutkan kening.

"Dok? Dokter kenapa diam? Cepat! Tolong selamatkan Ibu saya!" desak Aya.

"Mbak Aya...." Dokter itu mencoba menenangkan.

"Dokter! Tolong selamatkan Ibu saya! Sekarang sudah bisa operasi kan? Saya sudah dapat uangnya."

Dokter itu menyentuh kedua bahu Aya dengan lembut.

"Mbak Aya... yang sabar, ya?"

Aya terdiam. Dia tak suka kalimat ini.

Dokter itu menarik napas panjang.

"Semalam kami sudah menelpon Mbak berkali-kali. Tapi Mbak tidak mengangkatnya."

Aya membeku. Ketakutan.

"Bu Ningsih...."

Dokter itu menunduk. "Bu Ningsih tidak berhasil bertahan. Beliau sudah meninggal semalam, Mbak."

***

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   5

    Kabar itu seperti petir yang menyambar di pagi hari yang cerah. Membuat sesuatu di dalam diri Aya patah, runtuh. "Nggak...." bibirnya bergetar. "Nggak mungkin...." Lalu dokter itu melanjutkan dengan pelan, seolah kata-kata itu bisa menjadi lebih tajam dari sebuah pisau. "Beliau berhenti bernapas pukul dua dini hari. Kami sudah mencoba yang terbaik, Mbak. Tapi kondisinya terlalu lemah. Bahkan lebih lemah dari sebelumnya...." Aya mundur satu langkah. Lalu langkah kedua. Sementara kedua kakinya kehilangan kekuatan. Wajahnya berubah putih pucat. Bibirnya gemetar keras. Air mata pun tak dapat dia bendung lagi. Kabar itu adalah tamparan keras baginya yang tak ingin dia percayai. "Ibu... Nggak mungkin... Ini pasti salah...." Sang dokter menatapnya iba. "Nggak mungkin...." suara Aya gemetar, "...operasinya saja masih beberapa hari lagi. Nggak mungkin ibu meninggal... Nggak mungkin...." Tangis pertama pecah dari tenggorokannya. Palan, namun begitu putus asa. Aya menekuk tubuhnya dan me

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   4

    "Ugh...."Keluhan kecil itu lolos dari bibir Aya saat kesadarannya mulai kembali ke tubuhnya. Kedua kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya seolah sulit dia gerakkan. Setiap inci ototnya menegang, bahkan ada hal lain yang terasa tak nyaman.Aya menggeliat pelan, mencoba bangun. Tapi sebelum dia sempat mengangkat tubuh, ada sensasi hangat di sisi kirinya, kehangatan tubuh seseorang.Seketika napas Aya tercekat. Dia menoleh perlahan, sangat perlahan, takut jika dia bergerak terlalu cepat maka akan ada hal buruk yang tidak bisa dihindari.Dan di sana, tepat di sampingnya, seorang pria berbaring santai dengan rambut acak-acakan dan dada bidang yang naik turun perlahan. Mata Aya membesar namun dia tak bersuara."Sudah bangun?"Suara berat itu terdengar seolah menusuk kamar hotel mewah tersebut. Dalam sekejap, ingatan semalam kembali menerjang Aya.Sentuhan, ciuman, rintihan, dan juga desahannya. Tangan kekar pria itu yang menjamahnya dengan liar. Tubuhnya sendiri yang tak melakukan peno

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   3

    Gina segera melangkah mendekat. Ia duduk di sisi ranjang, lalu meraih tangan Aya, menggenggamnya erat seolah memberi penopang. “Aya…” suaranya lembut, tapi serius. “Tadi waktu kamu pingsan, dokter periksa kamu, dan ternyata … kamu hamil.” Kata itu menghantam lebih keras dari yang Aya bayangkan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdetak tak karuan. “Ha… hamil?” suaranya nyaris tak keluar. Dugaan yang sejak tadi ia tekan kini menjelma kenyataan. Aya menelan ludah, napasnya bergetar. Gina tak melepas genggaman tangan Aya. Tatapannya tenang, tanpa tuduhan. “Aya… sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?” Air mata Aya menggenang. Ia menunduk, bahunya bergetar. “Maaf…,” hanya itu yang sanggup ia ucapkan. “Aku nggak bisa cerita.” Hendra menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Kalau begitu dengarkan aku. Apa pun kondisimu, aku siap tanggung jawab. Aku siap jadi ayah untuk anak itu… dan suami untuk kamu.” Aya mendongak, lalu menggeleng keras. “Mas, nggak,” suaranya bergetar. “Ak

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   2

    Kabar itu menghantam Aya seperti petir di pagi hari yang cerah. Sesuatu di dalam dirinya patah, runtuh seketika.“Nggak…,” bibirnya bergetar. “Nggak mungkin….”Penjelasan dokter terdengar seperti suara dari kejauhan. Berhenti bernapas. Terlalu lemah. Semua kata itu menamparnya tanpa ampun. Kakinya goyah, air mata jatuh tanpa sempat ia tahan.“Ibu… ini pasti salah…,” bisiknya lirih.Aya berlari ke kamar rawat, lalu terhenti ketika ranjang itu kosong. Tubuhnya gemetar saat ia dibawa ke kamar jenazah. Di sanalah ibunya terbaring, diam, dingin, tak lagi menjawab panggilan.Begitu selimut putih itu tersingkap, Aya jatuh berlutut. Tangisnya pecah singkat, patah, seperti napas yang kehabisan tempat berpijak. Ia memeluk tubuh ibunya, sementara kartu ATM itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.Uang yang ia dapatkan dengan harga yang terlalu mahal, tak mampu menyelamatkan apa pun. Ia sudah menyerahkan segalanya. Namun tetap saja… ia terlambat.Atau mungkin, itu adalah hukuman bagi A

  • Anak Rahasia Presdir Impoten   1

    “Tolong pelan, Tuan….”Pekikan itu terdengar lirih di dalam kamar hotel mewah yang pengap oleh hawa tubuh dan aroma parfum mahal. Suara Aya nyaris tenggelam oleh deru napas berat pria di atasnya.Ayana Cantika, gadis dua puluh dua tahun, dengan tubuh yang belum pernah benar-benar mengenal sentuhan seperti ini, terkungkung di bawah seorang pria tampan bertubuh kekar.Pinggul pria itu terus bergerak tanpa jeda, membuat Aya terpaksa mengikuti irama yang tak pernah ia inginkan.“Ahh…,” racau sang pria, suaranya berat dan serak.Dua tangan kekar menggenggam pinggul ramping Aya, menahannya agar tak menghindar. Desahan mereka bersahutan, namun hanya satu yang dipenuhi gairah. Pria itu memejamkan mata, tenggelam dalam sensasi yang ia nikmati sendiri.Di bawah cahaya lampu kamar yang terang, tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Rasa malu sudah lama luruh digantikan oleh erangan, desahan, dan napas yang saling bertabrakan tanpa makna.“Ahh… Tuan, tolong pelan sedikit…,” pinta Aya l

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status