LOGINSementara itu, setelah mendapat telepon dari sang nenek, pria misterius itu pergi meninggalkan Vania sendirian di kamar tersebut.
Sekitar 1 jam kemudian, pria tersebut sampai di rumah neneknya dengan membawa beberapa hadiah yang sempat ia beli sewaktu perjalanan menuju rumah sang nenek. "Nek," panggil pria tersebut. "Ah Xander, rupanya cucuku sudah pulang," ucap sang nenek sembari berjalan menuju kearah cucunya dan langsung memeluknya. Malam itu, Vania ditemani oleh seorang lelaki yang tidak lain adalah Xander Abraham Bernett, pengusaha muda yang namanya tersohor seantero jagat. Xander, yang masuk dalam daftar lima besar pengusaha terkaya di dunia, memiliki kekayaan yang belum pernah tertandingi di negeri ini. Dengan sikap yang elegan, Xander mencium punggung tangan neneknya, sebuah gestur yang menggambarkan hormat mendalam kepada sosok yang lebih tua. "Kamu kemana saja Xander? Kenapa tak ingat rumah? Apa kamu sudah lupa dengan nenekmu ini?" Ucap nenek Sania Bernett sendu, tapi biasa dipanggil nenek Bernett. "Nek, nenek kan tahu aku sangat sibuk. Maafkan aku ya nek, nanti jika ada waktu aku akan berkunjung kembali kesini," ujar Xander sembari tersenyum manis. "Sekalian bawa cucu menantu untuk nenek ya Xander. Nenek ingin sekali menggendong cicit. Sejak kepergian kedua orang tuamu dan kamu jadi pebisnis besar, kamu sekarang begitu sibuk dan jarang sekali mengunjungi nenek, nenek kesepian dirumah ini," kembali nenek Bernett terlihat sedih. Ia memang begitu kesepian walau banyak sekali para pelayan dan pengawal di rumah besar miliknya itu. Pada usia 13 tahun, nasib Xander dilanda badai hebat ketika kedua orang tuanya menjadi korban dalam tragedi mengerikan. Pesawat yang mereka tumpangi, dengan putus asa mencoba bertahan di angkasa, akhirnya menyerah pada kerusakan fatal di bagian mesin. Dengan pilu, tak satu pun dari awak kapal selamat dalam kejadian yang mencekam itu. Seluruh dunia yang mengenal kedua orang tua Xander, yang dikenal akan kemurahan hati mereka, terguncang dan bersatu dalam belasungkawa. Dalam kesendirian yang mendalam setelah tragedi itu, Xander dibimbing oleh neneknya, Sania, yang menganugerahi semua kasih sayangnya pada cucu tunggalnya itu. Di bawah naungan sang nenek yang penuh kasih dan peduli, Xander tidak hanya melanjutkan pendidikan formal di sekolah, tetapi juga dirintis untuk menguasai ilmu manajemen dan bisnis, pelajaran yang mengisi banyak sorenya di rumah neneknya yang penuh kenangan. Meski diliputi kesedihan, Xander berkilau dalam studinya, selalu berada di puncak kelasnya, memastikan bahwa setiap pelajaran tambahan dari neneknya bukan hanya sebatas kewajiban, melainkan pijakan untuk masa depan yang lebih cerah. "Aku masih belum memikirkan hal itu nek. Usiaku saja baru 28 tahun, aku masih ingin bersenang-senang," ucap Xander dengan entengnya dan itu membuat sang nenek geram dan sampai menjewer telinganya. "Apa nenek harus menyusul kedua orang tuamu dulu baru kamu mau menikah hah?" Kesal nenek Bernett pada sang cucu. "Aduh sakit nek. Aku kan hanya bercanda, lepaskan nek sakit," ucap Xander sembari memegangi tangan sang nenek yang menempel di telinganya. Nenek Bernett pun melepaskan tangannya dan membiarkan sang cucu kesakitan. Seketika para anak buah Xander pun tertawa namun tak bersuara. "Kalian mentertawakanku hah? Awas ya kalian, gaji bulan ini aku tahan," ujar Xander. Sontak, semuanya pun langsung diam. Nenek Bernett yang melihat hal itupun hanya bisa menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah laku sang cucu. "Mau sampai kapan kamu sendiri Xander? Sebelum nenek pergi, nenek ingin melihat kamu menikah dan menggendong anakmu," ucap nenek Bernett sendu. "Jangan bicara seperti itu nek. Aku jadi sedih, tapi aku tak bisa hanya sembarang mengambil perempuan dan menjadikannya istri. Pernikahan bagiku bukan sekedar mainan dan candaan belaka." Ucap Xander sembari bersimpuh di kaki sang nenek. Ia sebenarnya tak ingin membuat sang nenek sedih, namun ia juga tak bisa asal memilih pasangan. Xander memang tak menginginkan neneknya sedih, tapi untuk yang satu ini, ia tak bisa asal memilih. "Bukankah banyak wanita di dekatmu?" Tanya nenek Bernett. "Mereka hanya haus uangku nek, tak ada yang benar-benar tulus dan menerimaku apa adanya," ucap Xander lagi dan itu membuat nenek Bernett terdiam. "Maafkan Xander nek jika Xander belum bisa memenuhi keinginan nenek yang satu ini," ucap Xander sedih. "Sudah sudah, daripada sedih lebih baik kita makan siang bersama. Sepertinya makanan sudah siap di meja," ucap nenek Bernett dan mengajak sang cucu untuk makan siang bersamanya. Sorot mata Nenek Bernett berbinar seraya senyuman menghias wajahnya yang penuh keriput itu. Bagi Xander, pertemuan kali ini terasa seperti berada di pelukan yang hangat, tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Jarang-jarang sekali ia mendapatkan kesempatan seperti ini, karena biasanya pertemuan dengan neneknya selalu diwarnai dengan diskusi tentang pernikahan yang selalu ia hindari. Xander sendiri memiliki pandangan yang cukup pesimis terhadap wanita, menganggap mereka terlalu rumit dan manja, gemar memboroskan uang dan tidak pernah puas dengan satu pria saja. Namun, di momen langka ini, ia bisa bernapas lega, merasakan kedamaian dalam diam tanpa prasangka atau paksaan, menyelami kedalaman ikatan keluarga yang terjalin melalui senyum tulus dari nenek yang begitu ia kasihi. "Maaf tuan, informasi tentang wanita yang anda cari sudah kami dapatkan," bisik salah satu anak buahnya. Xander pun mengangguk dan memberi kode untuk tak membahasnya kali ini karena takut sang nenek curiga padanya.Kata-kata Xander menggema di ruang itu, membawa gelombang ketegangan yang mencekam. Reno terpaku, hatinya berdebar. Jika bosnya sudah menyebut Vania ‘wanitanya’, maka nasib Elisa tak akan mudah. Sebuah pertaruhan berbahaya baru saja dimulai."Suruh beberapa anak buahmu segera kembali mencari Vania! Aku harus tahu apa yang sedang terjadi padanya, tanpa tunda!" perintah Xander menggelegar, suaranya bergetar oleh kecemasan yang terpendam di balik tatapan dingin penuh ambisi."Siap, Tuan," jawab Reno dengan langkah mantap, menghilang dalam bayang-bayang malam.Keesokan harinya, Reno kembali bukan hanya membawa kalung pesanan Xander, tapi juga mengemban misi rahasia yang jauh lebih berat. Dia harus merangkai kata dan janji manis yang bisa menghipnotis Elisa, memutar tali kekuasaan lewat tawaran kerja sama dan saham yang menggiurkan."Ingat," bisik Xander sambil memutar-mutar pulpen di tangannya, "bujuk dia dengan trik halus. Adik Vania itu haus akan ua
"Maaf jika kedatangan saya mengejutkan anda nona," ucap pak Nagato tak enak hati. Vania pun menggeleng dan tersenyum."Desain yang anda berikan dua Minggu yang lalu, ternyata meledak dan laku keras di pasaran nona. Banyak kaum hawa yang menyukai desain dari perhiasan ini. Rata-rata mereka bilang kalau desain anda sangat modis dan tak ketinggalan jaman, jadi mereka berbondong-bondong untuk membelinya. Pengrajin kami juga kewalahan mengatasi hal ini." Pak Nagato tersenyum sumringah."Syukurlah kalau begitu. Berarti kerja sama kita masih berlanjut kan pak?" Tanya Vania memastikan."Tentu nona, tentu. Saya yang seharusnya berterima kasih pada anda. Anda bagai malaikat tak bersayap yang dikirim oleh Tuhan untuk menyelamatkan rumah usaha saya." Kembali pak Nagato tersenyum.Vania pun tersenyum dan mengangguk pelan. Ia sangat lega jika karyanya bisa diterima di masyarakat Jepang."Sesuai dengan janji saya, saya akan memberikan bonus pada nona Va
"Pak, Anda sudah tahu alasan saya di sini, ayah saya sedang sakit dan di rawat disini." Vania menatap tajam, suaranya berat penuh harap."Kalau memang Bapak setuju, saya siap bekerja sama dengan anda, tapi saya tak bisa meninggalkan ayah saya dan ikut ke rumah usaha Bapak." Lanjut Vania.Dahi Pak Nagato mengerut, pandangannya penuh tanda tanya."Maksudmu...?"Vania menghela napas dalam, mencoba menjelaskan dengan hati-hati."Saya akan bekerja di sini, sambil menjaga ayah saya. Di negara ini, kami hanya berdua, jadi saya tak mungkin meninggalkam ayah saya sendirian disini." Jawab Vania.Setelah sejenak terdiam, Pak Nagato mengangguk pelan, menandakan ia mulai mengerti. Namun, dari balik ketegaran wajahnya, tersirat kerumitan yang menghantui pikirannya. Keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Ia tahu, harus bolak-balik ke rumah usaha untuk memberikan sketsa dan gambar yang dikirim Vania ke para pengrajin, semua demi menjaga pekerjaan tetap berjalan."Baiklah. Apakah ada hal lain yang ing
"Bukan. Lihat ini, ada goresan kecil bertuliskan 'VL'. Ini bukan karya adik Vania, tapi karya asli Vania yang mungkin belum pernah dipublikasikan. Aku juga melihat beberapa hasil karya Vania yang diunggah di sosial media miliknya, dan itu pasti ada goresan kecil bertuliskan VL ini," ucap Xander dengan suara dingin, menusuk sampai ke tulang.Reno membara, dadanya sesak oleh amarah yang membuncah, tangannya mengepal sampai urat-uratnya menonjol."Gila! Berani sekali dia mencuri karya nona Vania dan mengaku sebagai miliknya! Perintahkan aku, tuan, agar aku bisa balas dendam atas penghinaan ini!" Ucap Reno geram.Senyum licik meluncur di bibir Xander, sebuah rahasia gelap terpatri di matanya yang tajam. Reno menatap bosnya dengan bingung, tak mengerti kenapa ekspresi itu muncul di saat kemarahan membara."Diamlah, aku tahu cara membuatnya berhenti mencuri karya Vania. Cara yang tak pernah dia duga sebelumnya," gumam Xander, penuh keyakinan yang membua
Ia mundur dengan hati yang berdebar, melepas perjuangan itu pada dokter dan suster-suster yang sigap. Suster pertama membuka kancing baju Pak Widodo dengan hati-hati, lalu memasang elektrokardiogram, alat kecil yang kini menjadi harapan mereka untuk mengawasi setiap denyut jantung ayahnya.Sementara itu, suster satunya lagi menusukkan jarum suntik berisi obat perangsang saraf, dosis tepat yang mereka harapkan mampu memicu perubahan. Dokter Willy mengawasi semuanya dengan mata yang tak pernah lepas, penuh harap namun juga ketegangan, menyadari bahwa hidup dan harapan berayun di ujung jarum kecil itu."Sebelum pak Widodo sadar, saya akan memberikan obat perangsang saraf ini dalam bentuk cairan dan disuntikkan ke infusan ayahmu. Nanti jika beliau sudah sadar, barulah kita bisa memberikan obat berupa pil atau semacamnya. Saya masih memberikan obat ini dalam dosis yang kecil terlebih dahulu, untuk mengetahui keefektifannya. Jika masih belum ada perubahan, maka akan saya
Elisa menatap layar laptop yang tak kunjung memberinya secercah inspirasi. Dua jam berlalu tanpa hasil, membuat dadanya sesak dan kesabarannya terkikis perlahan."Aarrggh!" Suaranya pecah, tenggorokannya tercekat oleh kekecewaan."Kenapa otak ini makin dipaksa malah makin mentok?!" geramnya, jari-jarinya menekan tombol dengan gelisah.Dia sudah menggali referensi dari berbagai sumber, menyusuri jejak-jejak desain orang lain, namun tak satu pun yang menyentuh harapan tuan Bernett. Rasa putus asa menggerayangi pikirannya, seolah setiap detik adalah pengkhianatan bagi kreativitas yang ia butuhkan.Tiba-tiba, sebuah kilatan ide melintas, mendorongnya berdiri mendadak."Ah, bodoh! Kenapa baru sekarang terpikir? Kenapa nggak dari tadi?!" keluh Elisa, suara penuh penyesalan sekaligus semangat membara. Langkahnya cepat mengarah ke kamar Vania yang sengaja tak terkunci, terbuka lebar seperti peluang yang baru saja datang menghampiri. Di balik pint







