Share

4. Mengunjungi Panti Asuhan

Dua puluh tahun Mama melayani Papa, tidak pernah ada panggilan tengah malam begini. Papa jangan bohong! Papa kemana tadi malam?"

-Istri Kedua-

***

Dina tertidur sembari memeluk bonekanya. Aku kembali melangkah, pelan kaki ini terangkat ke atas ranjang. Lalu merebahkan diri di samping wanitaku. 

Ia menggeliat dan berbalik. Wajahnya kini tepat ada di hadapanku. 

Cantik, meski tak seputih dahulu. 

Aku bangkit dan mencium keningnya perlahan. Hingga tak kuasa air mata ini kembali berderai. Sudah lama memperhatikannya dari kejauhan, tak terkira penyesalan yang kian menghujam. Aku ingin meminta maaf padamu, Din. Bagaimana caranya agar kau mengerti dan memaafkan diri ini?

"Sayang ...," lirihnya sembari mengelus kepala bonekanya. Dia mengigau.

"Kamu merindui anak kita, Din? Mas akan mencarinya dan membawa kembali dia dalam dekapanmu. Tapi kamu harus janji, harus bisa sembuh agar bisa mengenaliku dan anak kita," lirihku dalam hati.

Sambil memegang tangannya, aku mencoba memejamkan mata. Niat hati hanya sebentar, tapi apa daya. Mata tak mau diajak kompromi. Aku terlelap untuk jangka waktu yang lama. Bersamanya, yang selama ini hanya kutemui di alam mimpi.

*

Sesuatu terdengar bergesekan. Dengan segera mataku terbuka. Aku melihatnya, Dina dengan sebuah bantal di depan wajahku.

Seketika dia membekap wajah ini dengan bantal itu. Aku berusaha meronta. 

Ya Allah ... Dia kembali hilang kendali. Kudorong bantal hingga Dina terjerembab ke atas ranjang.

Aku segera bangkit untuk kemudian membantu Dina yang sudah terjatuh. Dia menolak bantuanku, justru kembali meronta. Sekuat tenaga dia mendorong tubuhku hingga gantian aku yang terjerembab ke atas ranjang.

Semakin brutal, Dina duduk di atas tubuh ini sembari hendak mencakar-cakar wajah. Aku hanya bisa berusaha menahan gerakan dua tangannya. Tanpa ingin menyakiti.

"Sadar Din, ini Mas Fadly. Suamimu."

Gemeletak gerahamnya yang saling bergesekan membuat dada terasa sakit. Ya Allah sembuhkan istriku ini.

Dia terus melawan, bahkan kini memukul-mukul dadaku. Hingga dua perawat yang selalu stand by datang untuk membukakan pintu.

Mereka mengangkat Dina dari tubuhku. Dan segera menyuntikkan penenang. Dina masih meronta, namun kedua tangannya di pegang oleh perawat hingga tak lama matanya terpejam.

Huhft!

Aku bangkit dan terduduk lemas di atas ranjang.

"Maaf Sus, saya ketiduran."

Dua suster itu mengangguk, namun tampak kecewa. Ck! Kelalaianku.

Tak lama ponsel yang ada di saku celana berdering.

Siska?

[Papa dimana? Mama bangun Papa udah nggak ada?]

[Papa lagi ngurus pasien, Ma.]

[Pasien jiwa atau pasien hati, Pa?]

[Ya pasien jiwa lah, Ma.]

[Sejak kapan Papa pergi?]

[Tadi malam.]

[Jadi semalaman Papa tidur sama perempuan lain? Dasar pengkhianat!]

Siska menutup telponku sepihak. Membuat dua suster di hadapan mengulum senyuman.

"Maaf sudah membuat kekacauan."

"Tidak apa-apa, Dok. Semoga Mbak Dina tidak kenapa-kenapa."

"Jika ada sesuatu, segera beritahu saya. Minta Danang untuk lebih ekstra."

"Baik, Dok."

Dengan perasaan tak menentu, aku kembali ke rumah. Pasti di rumah akan disambut oleh amukan Siska.

*

Akhirnya, sampai juga aku di rumah. Rasanya malas untuk masuk dan memberi alasan palsu pada Siska. Tapi mau bagaimana lagi, jujur tak mungkin. Aku takut dia akan kembali menindas Dina.

Pelan, aku membuka daun pintu. Sebuah bantal mendarat ke wajah ini.

"Kenapa ini, Ma?"

"Papa tanya kenapa, semalaman Papa nggak pulang, pergi tanpa pamit. Lalu Papa tanya Mama kenapa?"

Aku hanya terdiam dan memilih duduk di pinggir ranjang.

"Katakan sesuatu, Pa."

Dia menggoyang-goyang tubuhku.

"Papa sudah bilang, tadi Papa mendadak harus ke rumah sakit."

"Dua puluh tahun Mama melayani Papa, tidak pernah ada panggilan tengah malam begini. Papa jangan bohong! Papa kemana tadi malam?"

Siska tak mau mengalah. Aku menghela napas.

"Papa ke rumah sakit, Ma. Benar ..."

Kuelus kepalanya dengan rambut yang masih acak-acakan. Maaf Ma, Papa terpaksa harus berbohong.

"Benar Papa nggak bohong sama Mama?"

Kuanggukan kepala hingga ia merebahkan dirinya ke dadaku. Entah kenapa angan ini kembali melambung ke sebuah rumah. Aku kembali membayangkannya. Ya, amukan Dina tadi subuh berhasil membuatku tersenyum.

Dina ...

*

Meja makan sudah siap dengan berbagai hidangan. Aku melangkah terlebih dahulu dan menunggu yang lainnya di meja makan. Tiba-tiba gadis itu muncul sembari membawa sebuah mangkuk berisi sayuran.

Dia menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Eh, Sabrina."

Gadis itu berhenti melangkah dan kembali berjalan mendekatiku.

"Bapak memanggil saya?"

"Iya, ada yang mau saya tanyakan sama kamu."

"Bapak mau nanya apa?"

"Dari mana asalmu?"

"Surakarta, Pak."

Aku tersentak. 

"Orang tuamu tinggal di Surakarta?"

Dia mengangguk. Oh, hampir saja aku menyangka yang tidak-tidak. Jika saja ia mengatakan kedua orang tuanya telah tiada.

"Berapa usiamu sekarang?"

"Sembilan belas tahun, Pak."

"Sudah pernah kuliah."

Dia menggeleng.

"Orang tua saya tidak punya biaya, Pak."

"Kamu mau kuliah?"

Dia mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk. Hingga aku berhasil menangkap dua bola matanya. Sangat mirip dengan bola mata milik Dina. Ah, kenapa hati ini jadi sangat ingin kembali ke Surakarta? Sepertinya memang harus. Aku akan mencari tahu dengan jelas keberadaan anakku.

"Mau sekali, Pak."

"Jika kamu ingin sekali kuliah, saya akan membantu membiayainya. Tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya, Pak?"

"Sebelum pergi kuliah, semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku harus sudah selesai. Bagaimana?"

Sejenak dia tampak berpikir.

"Emang boleh sama Nyonya, Pak?"

"Siska biar saya yang beritahu. Yang penting kamu harus bisa selesaikan tugasmu sebelum pergi kuliah. Supaya Siska tidak marah. Bagaimana?"

"Alhamdulillah ... Baik Pak, saya mau sekali."

"Yaudah, hari ini akan saya coba daftarkan."

"Terima kasih, Pak."

Sabrina berlalu dengan wajah gembira. Entah kenapa aku merasa tak tega jika melihat anak seumurannya tak kuliah. Ingatan ini selalu terlempar pada sosok anak yang belum pernah sama sekali kulihat. Semoga kebaikan ini akan kembali padanya. 

Meski tak di sisiku, tapi dia dirawat oleh sepasang suami istri yang luar biasa hebat. Yang selalu mengenalkannya pada Allah dan Islam. Kabulkan ya Allah.

Kini meja makan sudah lengkap. Aku, Siska dan Mira menyantap makanan untuk kemudian memutuskan pergi ke tiga arah yang berbeda. 

Sebelum meninggalkan Magelang, terlebih dahulu aku berkunjung ke rumah Dina untuk memastikan keadaannya. Wanita itu masih tertidur. Rasanya ingin sekali kudekati ia, lalu membisikkan padanya kata rindu, tapi apa daya. Aku hanya bisa membisikkan pada angin yang lalu, semoga akan tersampaikan padanya.

Tepat pukul sembilan pagi, mobil berjalan menuju Surakarta. Mobil langsung menuju panti asuhan Anak Bangsa. Suasana tempat ini begitu asri. Beberapa anak-anak berseragam terlihat berjalan di tengah halaman. 

Sepertinya, selain panti asuhan, di sini juga sudah tersedia sebuah sekolah dasar.

Kuparkirkan mobil di bawah sebuah pohon Akasia. Lalu bergegas diri ini menuju kantor utama. Kehadiranku disambut hangat oleh petugas panti.

"Silahkan masih, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang wanita paruh baya.

"Saya kemari ingin mencari informasi."

"Informasi?"

"Iya, Buk."

Kuberitahu maksud kedatangan diri ini. Mulai dari kisah Dina yang melahirkan di rumah sakit jiwa hingga oleh pihak rumah sakit dimana anaknya dititikan di panti ini. Wanita itu menyimak dengan baik. Setelah kumenutup kisah, dia menyapu matanya.

"Sungguh kisah yang membuat hati terasa ngilu, Pak. Maaf saya sampai menitikkan air mata. Tapi sungguh, mungkin data tersebut sudah tidak ada lagi di rumah sakit ini. Sebab sepuluh tahun yang lalu, panti ini sempat terbakar. Semuanya menjadi abu bersamaan dengan mengabunya bangunan."

Aku menghela napas mendengar penuturan wanita ini. Tidak adakah kesempatan untukku bertemu dengan buah hati yang tak pernah kusentuh wajahnya itu?

Ya Allah ...

"Tapi, pendiri pertama panti ini, masih hidup sampai sekarang, Pak. Barangkali Bapak bisa menanyakan pada beliau. Siapa tahu beliau masih ingat dengan kejadian dua puluh tahun silam itu."

Wajahku seketika kembali berbinar. 

Setidaknya masih ada harapan. 

"Boleh saya tahu alamat rumah beliau?"

Wanita itu mengangguk dan menuntunku menaiki sedikit bukit hingga kemudian kami sampai pada sebuah rumah gubuk.

***

Bersambung.

Utamakan baca Al-Quran ya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
laki2 sejati dan bertanggungjawab itu tegas dan g takut sama istri sendiri. sementara si fadly aja takut sama siska. udah tau penyebab perginya si dina juga g ngaruh sama fadly kecuali omong kosong aja. lagipula si dina juga dungu banget. klu dia sampai jd istri srorang dokter berarti pernah sekolah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status