Dua puluh tahun Mama melayani Papa, tidak pernah ada panggilan tengah malam begini. Papa jangan bohong! Papa kemana tadi malam?"
-Istri Kedua-
***
Dina tertidur sembari memeluk bonekanya. Aku kembali melangkah, pelan kaki ini terangkat ke atas ranjang. Lalu merebahkan diri di samping wanitaku.
Ia menggeliat dan berbalik. Wajahnya kini tepat ada di hadapanku.
Cantik, meski tak seputih dahulu.
Aku bangkit dan mencium keningnya perlahan. Hingga tak kuasa air mata ini kembali berderai. Sudah lama memperhatikannya dari kejauhan, tak terkira penyesalan yang kian menghujam. Aku ingin meminta maaf padamu, Din. Bagaimana caranya agar kau mengerti dan memaafkan diri ini?
"Sayang ...," lirihnya sembari mengelus kepala bonekanya. Dia mengigau.
"Kamu merindui anak kita, Din? Mas akan mencarinya dan membawa kembali dia dalam dekapanmu. Tapi kamu harus janji, harus bisa sembuh agar bisa mengenaliku dan anak kita," lirihku dalam hati.
Sambil memegang tangannya, aku mencoba memejamkan mata. Niat hati hanya sebentar, tapi apa daya. Mata tak mau diajak kompromi. Aku terlelap untuk jangka waktu yang lama. Bersamanya, yang selama ini hanya kutemui di alam mimpi.
*
Sesuatu terdengar bergesekan. Dengan segera mataku terbuka. Aku melihatnya, Dina dengan sebuah bantal di depan wajahku.
Seketika dia membekap wajah ini dengan bantal itu. Aku berusaha meronta.
Ya Allah ... Dia kembali hilang kendali. Kudorong bantal hingga Dina terjerembab ke atas ranjang.
Aku segera bangkit untuk kemudian membantu Dina yang sudah terjatuh. Dia menolak bantuanku, justru kembali meronta. Sekuat tenaga dia mendorong tubuhku hingga gantian aku yang terjerembab ke atas ranjang.
Semakin brutal, Dina duduk di atas tubuh ini sembari hendak mencakar-cakar wajah. Aku hanya bisa berusaha menahan gerakan dua tangannya. Tanpa ingin menyakiti.
"Sadar Din, ini Mas Fadly. Suamimu."
Gemeletak gerahamnya yang saling bergesekan membuat dada terasa sakit. Ya Allah sembuhkan istriku ini.
Dia terus melawan, bahkan kini memukul-mukul dadaku. Hingga dua perawat yang selalu stand by datang untuk membukakan pintu.
Mereka mengangkat Dina dari tubuhku. Dan segera menyuntikkan penenang. Dina masih meronta, namun kedua tangannya di pegang oleh perawat hingga tak lama matanya terpejam.
Huhft!
Aku bangkit dan terduduk lemas di atas ranjang.
"Maaf Sus, saya ketiduran."
Dua suster itu mengangguk, namun tampak kecewa. Ck! Kelalaianku.
Tak lama ponsel yang ada di saku celana berdering.
Siska?
[Papa dimana? Mama bangun Papa udah nggak ada?]
[Papa lagi ngurus pasien, Ma.]
[Pasien jiwa atau pasien hati, Pa?]
[Ya pasien jiwa lah, Ma.]
[Sejak kapan Papa pergi?]
[Tadi malam.]
[Jadi semalaman Papa tidur sama perempuan lain? Dasar pengkhianat!]
Siska menutup telponku sepihak. Membuat dua suster di hadapan mengulum senyuman.
"Maaf sudah membuat kekacauan."
"Tidak apa-apa, Dok. Semoga Mbak Dina tidak kenapa-kenapa."
"Jika ada sesuatu, segera beritahu saya. Minta Danang untuk lebih ekstra."
"Baik, Dok."
Dengan perasaan tak menentu, aku kembali ke rumah. Pasti di rumah akan disambut oleh amukan Siska.
*
Akhirnya, sampai juga aku di rumah. Rasanya malas untuk masuk dan memberi alasan palsu pada Siska. Tapi mau bagaimana lagi, jujur tak mungkin. Aku takut dia akan kembali menindas Dina.
Pelan, aku membuka daun pintu. Sebuah bantal mendarat ke wajah ini.
"Kenapa ini, Ma?"
"Papa tanya kenapa, semalaman Papa nggak pulang, pergi tanpa pamit. Lalu Papa tanya Mama kenapa?"
Aku hanya terdiam dan memilih duduk di pinggir ranjang.
"Katakan sesuatu, Pa."
Dia menggoyang-goyang tubuhku.
"Papa sudah bilang, tadi Papa mendadak harus ke rumah sakit."
"Dua puluh tahun Mama melayani Papa, tidak pernah ada panggilan tengah malam begini. Papa jangan bohong! Papa kemana tadi malam?"
Siska tak mau mengalah. Aku menghela napas.
"Papa ke rumah sakit, Ma. Benar ..."
Kuelus kepalanya dengan rambut yang masih acak-acakan. Maaf Ma, Papa terpaksa harus berbohong.
"Benar Papa nggak bohong sama Mama?"
Kuanggukan kepala hingga ia merebahkan dirinya ke dadaku. Entah kenapa angan ini kembali melambung ke sebuah rumah. Aku kembali membayangkannya. Ya, amukan Dina tadi subuh berhasil membuatku tersenyum.
Dina ...
*
Meja makan sudah siap dengan berbagai hidangan. Aku melangkah terlebih dahulu dan menunggu yang lainnya di meja makan. Tiba-tiba gadis itu muncul sembari membawa sebuah mangkuk berisi sayuran.
Dia menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Eh, Sabrina."
Gadis itu berhenti melangkah dan kembali berjalan mendekatiku.
"Bapak memanggil saya?"
"Iya, ada yang mau saya tanyakan sama kamu."
"Bapak mau nanya apa?"
"Dari mana asalmu?"
"Surakarta, Pak."
Aku tersentak.
"Orang tuamu tinggal di Surakarta?"
Dia mengangguk. Oh, hampir saja aku menyangka yang tidak-tidak. Jika saja ia mengatakan kedua orang tuanya telah tiada.
"Berapa usiamu sekarang?"
"Sembilan belas tahun, Pak."
"Sudah pernah kuliah."
Dia menggeleng.
"Orang tua saya tidak punya biaya, Pak."
"Kamu mau kuliah?"
Dia mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk. Hingga aku berhasil menangkap dua bola matanya. Sangat mirip dengan bola mata milik Dina. Ah, kenapa hati ini jadi sangat ingin kembali ke Surakarta? Sepertinya memang harus. Aku akan mencari tahu dengan jelas keberadaan anakku.
"Mau sekali, Pak."
"Jika kamu ingin sekali kuliah, saya akan membantu membiayainya. Tapi dengan satu syarat."
"Apa syaratnya, Pak?"
"Sebelum pergi kuliah, semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku harus sudah selesai. Bagaimana?"
Sejenak dia tampak berpikir.
"Emang boleh sama Nyonya, Pak?"
"Siska biar saya yang beritahu. Yang penting kamu harus bisa selesaikan tugasmu sebelum pergi kuliah. Supaya Siska tidak marah. Bagaimana?"
"Alhamdulillah ... Baik Pak, saya mau sekali."
"Yaudah, hari ini akan saya coba daftarkan."
"Terima kasih, Pak."
Sabrina berlalu dengan wajah gembira. Entah kenapa aku merasa tak tega jika melihat anak seumurannya tak kuliah. Ingatan ini selalu terlempar pada sosok anak yang belum pernah sama sekali kulihat. Semoga kebaikan ini akan kembali padanya.
Meski tak di sisiku, tapi dia dirawat oleh sepasang suami istri yang luar biasa hebat. Yang selalu mengenalkannya pada Allah dan Islam. Kabulkan ya Allah.
Kini meja makan sudah lengkap. Aku, Siska dan Mira menyantap makanan untuk kemudian memutuskan pergi ke tiga arah yang berbeda.
Sebelum meninggalkan Magelang, terlebih dahulu aku berkunjung ke rumah Dina untuk memastikan keadaannya. Wanita itu masih tertidur. Rasanya ingin sekali kudekati ia, lalu membisikkan padanya kata rindu, tapi apa daya. Aku hanya bisa membisikkan pada angin yang lalu, semoga akan tersampaikan padanya.
Tepat pukul sembilan pagi, mobil berjalan menuju Surakarta. Mobil langsung menuju panti asuhan Anak Bangsa. Suasana tempat ini begitu asri. Beberapa anak-anak berseragam terlihat berjalan di tengah halaman.
Sepertinya, selain panti asuhan, di sini juga sudah tersedia sebuah sekolah dasar.
Kuparkirkan mobil di bawah sebuah pohon Akasia. Lalu bergegas diri ini menuju kantor utama. Kehadiranku disambut hangat oleh petugas panti.
"Silahkan masih, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang wanita paruh baya.
"Saya kemari ingin mencari informasi."
"Informasi?"
"Iya, Buk."
Kuberitahu maksud kedatangan diri ini. Mulai dari kisah Dina yang melahirkan di rumah sakit jiwa hingga oleh pihak rumah sakit dimana anaknya dititikan di panti ini. Wanita itu menyimak dengan baik. Setelah kumenutup kisah, dia menyapu matanya.
"Sungguh kisah yang membuat hati terasa ngilu, Pak. Maaf saya sampai menitikkan air mata. Tapi sungguh, mungkin data tersebut sudah tidak ada lagi di rumah sakit ini. Sebab sepuluh tahun yang lalu, panti ini sempat terbakar. Semuanya menjadi abu bersamaan dengan mengabunya bangunan."
Aku menghela napas mendengar penuturan wanita ini. Tidak adakah kesempatan untukku bertemu dengan buah hati yang tak pernah kusentuh wajahnya itu?
Ya Allah ...
"Tapi, pendiri pertama panti ini, masih hidup sampai sekarang, Pak. Barangkali Bapak bisa menanyakan pada beliau. Siapa tahu beliau masih ingat dengan kejadian dua puluh tahun silam itu."
Wajahku seketika kembali berbinar.
Setidaknya masih ada harapan.
"Boleh saya tahu alamat rumah beliau?"
Wanita itu mengangguk dan menuntunku menaiki sedikit bukit hingga kemudian kami sampai pada sebuah rumah gubuk.
***
Bersambung.
Utamakan baca Al-Quran ya.
"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu. Kini berita kematian pendiri panti akan menjadi berita terlengkap yang akan membumihanguskan harapan unt bertemu anakku."-dr.Fadly.-***Mataku terperangah."Ini rumahnya, Buk?""Eh iya, Pak. Abah Kasim orangnya memang sederhana. Tidak ada sepeserpun dana yang dihadiahkan oleh pemerintah setempat yang tidak ia gunakan untuk keperluan panti. Alhasil, rumahnya dari dulu sampai ia tua ya segini-gini aja," ucap wanita paruh baya yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.Kami berhenti tepat di depan pintu, namun dari dalam seperti terdengar suara tangis diiringi lafal syahadat.Wanita bernama Fatimah itu langsung mengetuk pintu. Dan tak lama, pintu rumah tersebut terbuka."Assalamualaikum.""Waalaikum salam.""Ngopo dengan Abah, Teteh?""Abah sedang sakaratul maut."Ibuk Fatimah berhamburan ke dalam. Dan di sini hatiku hancur. Jika satu-satunya lelaki yang kemungkinan masih mengetahui p
Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."***Siska masuk dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Aku segera bangkit untuk menyapanya."Mama sudah pulang?""Iya Pa."Dia menyalami tanganku lalu menarik diri ini ke kamar."Mama mandi dulu ya, Pa. Gerah banget ini."Kuanggukan kepala sambil mencoba bersandar pada kepala ranjang. Kuhidupkan televisi dan memilih acara berita. Entah kenapa rasa penasaran menghujam dada. Tatkala terdengar dering ponsel di dalam tas milik Siska. Kuangkat tubuh untuk kemudian membuka tas itu. Hingga mata berhasil menangkap benda pipih yang kini masih menyala dengan sebuah nama tertera di layarnya.Sabiq.Siapa Sabiq? Kenapa aku tidak pernah mendengar nama itu selama ini?Kucoba mengangkat.[Hallo.]Tak terdengar suara jawaban dari seberang hingga tak lama telpon itu justru ditutup. Karena penasaran, aku coba kembali menelpon ke nom
"Darimana kamu tahu kalau Ibu kandungmu gila?""Ibu Asti yang ngomong begitu, Pak. Benar nggaknya saya nggak pernah dan sudah tidak mau tahu. Sebab saya menganggapnya sudah tiada Pak. Sudah hampir dua puluh tahun, jika dia menganggap saya anaknya, pasti dia sudah mencari saya 'kan Pak. Tapi kenyataannya, siang malam saya menunggu, kadang saya jauh berjalan mencarinya hingga saya lupa jalan pulang ke rumah. Tapi Ibu Asti selalu menemukan saya. Kadang rindu ingin melihat seperti apa wajah ibu dan ayah kandung saya, tapi saya percayakan pada Allah, mungkin memang benar mereka sudah tiada."Dua bola mata Sabrina kembali digenangi cairan. Dan di sini hatiku pun ikut terasa pilu. Seperti itukah perasaan seorang anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibunya? Lalu apakah seperti ini pula yang dirasakan oleh anakku? "Saya tahu kamu kuat. Saya hanya ingin memberitahu satu hal padamu. Bahwa Allah Maha Mengetahui. Apa yang terjadi sama kamu, semua sudah Allah kehendaki. Dan hanya Allah pula
POV SabrinaAku tak bisa percaya ada lelaki sebaik Bapak Fadly di dunia ini. Tak seperti majikanku yang lain, dia begitu perhatian. Bahkan berniat memasukkan dan membiayai biaya kuliahku di sebuah universitas.Selain baik, dia juga tampan. Meski sudah memiliki seorang anak yang kutahu seusiaku. Tapi auranya masih tampak begitu menawan. Dan yang lebih membuatku kagum ketika dia mengenakan jas dokternya. Sungguh dia begitu berwibawa.Hari ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Pak Fadly mengajakku ke sebuah mall. Sesekali kulihat ia mencuri pandang menatap wajah ini di kaca depan mobilnya. Ya Rabb, apa mungkin beliau menyukaiku? Yang bahkan lebih layak menjadi anaknya?Tapi jujur, sikap istimewanya, membuat sesuatu bermekaran di dalam dada. Huhft, bolehkah aku menyukainya.Lanjut di mall. Ia mengajakku berbelanja pakaian. Dia terus memperhatikan saat diri ini memilih-milih pakaian mana yang kiranya cocok untuk dikenakan tubuhku.Sesekali mata kami bertemu. Debar aneh itu semakin jelas k
"Udah diem, jangan berisik. Ini udah selesai kok."Mbak Mira membiarkanku bangkit lalu dia berjalan ke pinggir ranjang."Ganti bajumu dengan pakaian ini ya.""Baju siapa ini, Mbak?""Pokoknya dipakai aja."Kuulur tangan untuk membuka kantong plastik yang diberikan Mbak Mira. Bau menyengat seketika menguar."Ini baju siapa, Mbak?""Adalah, jika kamu jijik, sebelum pakai baju itu pakai baju lain di dalamnya.""Kok harus segininya Mbak?""Iya, karena saya nggak mau kamu jatuh cinta sama mas Fandy. Eh, salah. Saya nggak mau Mas Fandy ngelirik cewek lain selain saya. Oke paham!"Aku terdiam tanpa kata. Bagaimana caranya menolak, jika kemarin saja dia bersedia aku menumpang di mobilnya. Walau tidak jadi."Yaudah iya, Mbak.""Nah, gitu donk. Baru namanya manusia cerdas. Jika kamu berhasil, nanti kamu bakalan aku kasih hadiah.""Hadiah?""Iya. Nanti semua barang kamu yang udah diambil sama Mama, bakalan aku kembalikan.""Benaran Mbak?""Iya, makanya kamu harus bisa ngambil buku itu tanpa memb
"Pak Fadly?"Serasa ada yang berdegup kencang di dada ini, tatkala melihat seseorang yang sedaritadi amat kukhawatirkan ada di depan mata."Bisa ikut saya sebentar," ucapnya dengan suara bergetar.Aku dapat menangkap dua bola mata majikanku itu tampak basah. Sebenarnya, ada apa dengan beliau?Tanpa banyak bicara, kuikuti langkah Pak Fadly hingga sampai di ruang keluarga. Tadinya yang kukira semua sudah terlelap, sebab tak terdengar suara berisik walau sedikit pun. Ternyata empat pasang mata kini seperti tengah menanti kedatanganku."Duduklah di salah satu kursi," ucap Pak Fadly kembali hingga membuat darah ini terasa membeku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi, apa aku melakukan kesalahan hingga membuat mereka memanggil di tengah malam begini?"Maaf Pak Fadly, Nyonya Siska, apa saya melakukan sebuah kesalahan hingga diharuskan menghadap semua orang begini di tengah malam?"Nyonya Siska menghela napas, sedang di sisinya Mbak Mira tampak tegang."Kamu nggak melakukan kesalahan apapun Sa
Kami sampai di sebuah mall. Nyonya Siska menuruni mobilnya seraya menyuruhku ikut turun. Perasaan ini tidak enak, sudah semenjak awal saat aku menginjakkan kaki di kendaraan miliknya. Tapi apa daya, aku tak kuasa menolak ajakan majikanku tersebut.Ia tak berbicara sepatah katapun, kaki jenjangnya lanjut berjalan menaiki lift dan aku mengikuti dari belakang hingga kami sampai di lantai dua. Tempat berbelanja segala jenis pakaian.Nyonya Siska meneruskan langkah memilih tiga pasang pakaian lalu menyerahkannya padaku. Tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Dia mengangkat sejenak lalu menutup layar dengan tangannya dan berbisik pelan padaku."Kamu ganti pakaianmu, saya mau menemui teman sebentar. Jangan kemana-mana, tetap di tempat ini sampai saya menjemput."Aku hanya mengangguk. Di detik ini, entah kenapa rasa takut semakin menguasai diri. Iya, aku takut ditinggalkan. Tapi tak urung kuiyakan perkataannya untuk mencoba pakaian yang dia beri.Ketiga-tiganya sudah aku coba, saatnya mene
"Ibu?""Lo kamu 'kan yang tadi ketemu saya di toilet?"Aku mengangguk. Ternyata, wanita yang hampir menabrak adalah wanita yang tadi menyelamatkanku."Gimana Ma, apa ada yang terluka?"Suara seorang lelaki membuat pandanganku teralihkan. Aku menatap sosok lelaki yang kini ikut berdiri di jalanan. Lelaki yang kemarin sempat kutemui dengan cara yang begitu ekstrim."Dr. Fandy?"Lelaki itu sama terkejutnya denganku."Jadi kalian udah saling kenal?"Tettt!Belum sempat aku menjawab pertanyaan wanita di hadapan, bunyi klakson dari beberapa mobil yang tertahan lajunya karena kejadian ini, membuat wanita itu segera membantuku berdiri."Kamu ikut sama saya aja dulu, ya."Wanita itu menggandeng tanganku memasuki mobilnya. Sedang dari jarak beberapa meter. Aku masih dapat melihat dua orang lelaki yang katanya suruhan Pak Fadly. Mereka hanya berdiri membiarkanku di bawa pergi. Alhamdulillah setidaknya aku terlepas dari lelaki tak dikenal itu. Jika pun benar mereka adalah suruhan Pak Fadly, aku