Itu bagaikan suara petir di telingaku. Meli mengucapkannya dengan terbata dan ragu.Kulepaskan tanganku dari genggamam Meli, lalu memeluknya. “Kalau benar yang kau katakan, harusnya sejak dulu kau tahan Dian agar tetap di sisimu, hingga ia tak punya kesempatan untuk bertemu lagi denganku,” ucapku. “Sekarang, aku sudah menyebar undangan pada semua rekan, dan akad nikah kami tinggal beberapa hari lagi. Kenapa kau baru bercerita?” tanyaku setenang mungkin seraya melepas pelukan.Seumur hidup, baru kali ini aku memeluk Meli. Rasanya, seperti menemukan ‘rumahku’ setelah kepergian Ibu. Tapi, sayang, sebentar lagi Meli akan pergi.“Karena, begitu banyak ketakutan dalam dadaku. Kau tahu, kan, berkata jujur tak mudah? Terlebih hal yang kukatakan akan membuatmu terluka,” jawab Meli, matanya berkaca-kaca. “Tapi, kenapa kau begitu tenang, Fai? Tidakkah kau terkejut atau sedih mendengarnya? Calon suamimu pernah ‘bersetubuh’ denganku.”Aku mengusap air mata yang mulai menetes di pipinya. Bedaknya t
*Kamar Meli kini kosong, aku mengubahnya menjadi tempat menaruh semua persiapan akad nikahku. Pagi ini barang-barang yang telah kupesan datang, mulai dari baju pengantin hingga sayuran. Semua kugeletakkan begitu saja di sana. Entah apa yang akan kulakukan dengan barang-barang itu, karena aku telah mengundurkan akad nikahku.“Beri aku waktu untuk berpikir,” ucapku saat mengajukan pengunduran tanggal akad nikah pada Dian, pagi kemarin sebelum detik-detik berpisah dengan Meli. Dian menyetujuinya, ia mengerti bagaimana galaunya pikiranku setelah mengetahui kebenaran itu Miris, memang. Sejak kehadiran Meli dalam hidupku, aku selalu dapat “bekasnya”. Baju, tas, sepatu, mainan, dan lainnya … selalu bekas Meli. Apakah salah jika kali ini aku menolak ‘lelaki bekas Meli’ untuk jadi suamiku? Kurasa, cukup di masa kecil saja aku pakai ‘barang-barang bekas’.“Astaghfirulloh,” gumamku saat menyadari telah mengatai Dian dengan ujaran yang tak sopan. Semua itu karena rasa kesalku padanya.Setelah p
Aku menggeser posisi, menjauh dari Dian. “Aku hargai kejujuranmu, dan kesiapanmu menerima konsekuensinya. Terimakasih untuk semua itu. Kita masih bisa berteman. Itulah bentuk penghargaanku atas kejujuranmu,” ucapku dengan gemetar sambil melangkah mundur. Tak sangka niat untuk mengakhiri hubungan dengannya, terucap juga.“Fai, ap—apa maksudmu?” Dian bertanya untuk memastikan pernyataanku.“Aku tak bisa melanjutkan hubungan denganmu,” jawabku dengan yakin. Kemudian melangkah mundur perlahan.“Tapi, undangan sudah disebar. Dan bagaimana dengan hatiku?” Setiap aku mundur selangkah, Dian pun akan maju selangkah. Sehingga jarak diantara kami tetap sama.“Soal undangan, aku akan mengurusnya. Dan soal hati … kita urus masing-masing!” tegasku sambil mempercepat langkah ke pinggir jalan, melambaikan tangan pada angkutan kota yang tengah melintas. Beruntung, ujung jilbabku tersapu angin hingga menutupi wajah, dan menyerap air mataku yang tiba-tiba saja menetes tak terkendali. Semoga saja, tak
“Halo, Mel?” balasku.“Fai, how are you?” tanyanya di seberang sana.“Fine. And you?”“Not too bad. By the way, iklanku sudah tayang di televisi dan channel Youtube. Coba lihat, deh,” katanya.“Aku lagi kerja, mana bisa nonton TV Mel.”“Ya bukan di TV, dong. Lagian iklannya gak akan tayang di TV Indo. Maksudku, lihat di Youtube. Kemarin aku shooting dua iklan sekaligus, hasilnya bagus banget. Perusahaan juga puas dengan kinerjaku, mereka langsung memperpanjang kontrak. Mimpiku sebentar lagi terwujud, Fai! Kamu harus nonton, ya!” “Oke, Mel. Nanti kalau istirahat aku pasti nonton. Thanks ya udah nyempetin nelepon, sering-sering aja.”Keceriaan Meli di ujung telepon membuatku senang sekaligus teriris. Aku tahu kepergiannya ke Singapore bukan hanya untuk mengejar karir, tetapi juga untuk melarikan diri dari bayang-bayang masa lalunya bersama Dian.Mita menghampiri mejaku, menyerahkan berkas yang harus segera kuselesaikan. Seminar kesehatan akan diadakan hari ini, aku harus menyusun power
“Yang salah, adalah orang yang menyalahkan orang lain atas kesalahan yang telah dilakukannya!” jawabku, kemudian beranjak meninggalkan Dian sendiri.Sikap kami mengundang perhatian rekan-rekan yang lain. Mereka tampak heran karena aku dan Dian masih bisa berbincang walaupun telah membatalkan pernikahan.“Dian kayaknya masih belum rela melepaskanmu, Fai,” bisik Pak Anwar yang tengah membantuku melepas kabel infokus. Sementara Dian sudah pulang lebih dulu. “Gosip orang ketiga itu benar?”“Tidak ada orang ketiga, Pak. Saya hanya menemukan ketidakcocokan dengannya. Walaupun saya mengenal baik Dian di masa kecil, tapi rupanya sekarang sudah banyak yang berubah darinya,” jawabku.Pak Anwar manggut-manggut. Sambil membetulkan letak kacamatanya, ia mencoba mengatakan sesuatu padaku. “Fai, Dian itu insyaalloh lelaki yang baik, walau tak sempurna. Sebaiknya, kalau ada kesempatan kalian untuk bersama, maka kembalilah bersama,” ucapnya. Aku langsung terdiam, entah harus menanggapi apa. Yang past
Meli membawakan iklan sabun mandi. Dalam video itu ia memperlihatkan seluruh bagian punggungnya hingga pinggang, tanpa sehelai kain yang menutupinya, sambil menoleh dan tersenyum ke arah kamera.Aku merebut ponsel dari tangan Dian dan segera mem-pause videonya. Tak sengaja kulihat banyak respon viewers di kolom komentar, kebanyakan para lelaki. Mereka menggoda Meli dalam komentar itu, dan kata-kata mereka sangat tidak pantas! Sebagai saudaranya, hatiku teriris hingga napasku tersengal. Meli, dia sangat berani berakting seperti ini di depan kamera.“Kau lihat sendiri, kan? Dia selalu berdalih apa yang dilakukannya adalah seni, keindahan tubuhnya adalah seni. Dulu pada saat berprofesi sebagai fotografer, aku pun beranggapan begitu. Tapi, sekarang aku bukan fotografer lagi, Fai. Sekarang aku ini seorang lelaki yang mencari calon istri, dan aku hanya akan memilih wanita yang baik untuk jadi istriku. Tolonglah mengerti,” kata Dian panjang lebar.Ucapan itu membuatku terhenyak. Membaca kome
“Fai, kau masih di sana?” Akhirnya Meli menyahut.“Iya, Mel. Sinyalnya mungkin jelek. Sambungannya sempat terputus barusan. Aku sedang memilah sayuran. Akad nikahku batal, Mel,” jawabku.“Kenapa, Fai? Apa karena aku?” tanyanya dengan nada terkejut.“Tepat sekali. Makanya, kamu harus pulang, ya. Aku sudah minta Dian untuk bertanggungjawab. Kau harus menuntutnya agar mau menikahimu, jangan menyerah!”“Tapi, tak mungkin Dian mau menikahiku. Dia selalu menganggapku murahan.”Aku menghela napas, berat sekali permasalahan ini. “Yang dikatakan Dian itu memang benar. Karena kamu mengumbar auratmu. Seorang wanita yang ‘mahal’, tidak akan mengobral tubuhnya. Sudah kubilang, tinggalkan dunia itu!” tegasku.“Kalian sama saja, ya! Sungguh tidak mengerti seni! Kenapa tidak ada satu orang pun yang mau mengerti aku? Semua orang menghakimiku! Padahal aku bukan kriminal, aku hanya berpose di depan kamera!”Bukan Meli namanya jika tidak keras kepala. Ia langsung menutup teleponnya, dan aku hanya bisa me
“Sudah pergi, Fai. Gak tahu di mana alamat rumahnya. Sepertinya dia orang jauh,” jawab Bu Beni.Tanpa pikir panjang, aku segera pamit pulang dengan membawa baju-baju ayahku, setelah minta izin terlebih dahulu. “Fai, ada satu kesalahan Ibu yang akan membuatmu tak bisa memaafkanku. Namun, Ibu tak akan menceritakannya padamu. Andai kau masih punya waktu, dan meski rasanya mustahil, carilah ayahmu. Ibu yakin, dia akan menceritakannya. Biar nanti kau dengar sendiri darinya, apa kesalahanku itu.”Sepanjang perjalanan, pesan Ibu di detik-detik terakhir hayatnya itu terus menghantui rasa penasaranku. Aku yakin setulus hatiku, bahwa Ibu tak punya dosa apapun. Semua orang tahu perjuangannya untuk membesarkanku. Semoga saja, waktu itu aku hanya salah dengar, atau Ibu pasti telah salah bicara. Sebuah mobil kolbak berhenti di depan warung sembako, beberapa orang lelaki tengah menurunkan beras dalam kemasan plastik 5kg. Melihatnya, aku jadi teringat Dian. Semasa kecil, dia pernah membantuku memba